Dan untuk yang ke 28 kalinya gue di tolak. Mungkin bukan di tolak, tapi gue kurang hoki.
Siang itu gue mau ke rumah wanita yang gue taksir, gue mau ngajak dia makan siang, namanya Mona, niatnya setelah makan siang, gue mau nembak dia. Walaupun baru kenal tiga bulan, gue yakin cinta gue pasti di terima.
Sesampainya di rumah si Mona, gue langsung ngabarin keberadaan gue, kalau gue sudah berada di depan rumahnya. Dan gue pun di suruh untuk menunggu, kurang lebih 5-10 menit dan kebetulan di depan rumah si Mona ada tukang bakso keliling lagi mangkal.
"Bang, bakso dong satu," Pinta gue.
"Di bungkus atau makan di sini?" Tanya tukang bakso.
"Makan di sini aja, bang,"
"Oke, siap. Ngomong -ngomong mau kemana bang, wangi banget?"
"Biasa, gue mau kencan. Oh ya bang sudah lama jualan di sini?"
"Wah, saya sudah puluhan tahun jualan disini bang," jelas tukang bakso.
"Kalau gitu, kenal dong sama cewek yang tinggal di rumah itu?"
"Maksudnya si Mona, bang?"
"Iya bang, kira-kira dia sudah punya cowok belum ya?"
"Kalau itu saya kurang tahu, coba aja tanya sama si bapak iru?" Dan gue lihat di situ ada satu Bapak-Bapak gendut berkumis tebal yang hanya memakai kaos dalam sedang menikmati semangkuk bakso.
"Ada perlu apa sama si Mona?" Gue pun langsung duduk di sampingnya.
"Bapak pembantu nya, ya?"
"Kalau iya, memang kenapa?"
"Cocok sih Pak, tampangnya kucel. Oh ya, Saya mau nanya Pak, kira-kira si Mona sudah punya pacar belum ya?" Tanpa menjawab pertanyaan gue. Bapak berkumis tebal itu langsung berdiri dan menghampiri si tukang bakso.
"Saya sudah kenyang. Yang bayar biar anak muda itu ya," Ucap si bapak-bapak berkumis tebal itu yang langsung masuk ke dalam kerumah yang di tinggali si Mona.
"Pak, kok saya yang bayar?" Bapak-bapak berkumis tebal itu menoleh dengan tatapan tajam.
"Memang situ belum tahu bang?" Ujar si tukang bakso.
"Tahu apa bang?"
"Dia itu bapaknya si Mona!" Jelas tukang bakso. Mendengar perkataan si tukang bakso gue benar-benar panik dan gue langsung pamit pergi.
Dan keesokan harinya gue dapat kabar kalau si Mona sudah di jodohkan dengan si tukang bakso.
Dan untuk yang ke-29 kalinya gue di tolak.
Namanya Indah, kurang lebih tiga bulan gue dekat dengannya.
Malam itu gue lagi rebah-rebahan di dalam kamar. Tiba-tiba, handphone gue berdering. Ternyata si Indah nelpon gue.
"Tumben nelepon, gue. Biasanya, selalu gue yang nelpon," Ucap hati gue.
"Iya, Ndah, Kenapa?"
"Lagi apa, Ka?"
"Biasa, gue lagi di kamar aja. Loe sudah makan belum?"
"Sudah, Ka,"
"Oh ya, Ndah. Kita kan sudah berteman lama, kurang lebih tiga bulan. Loe selalu buat hati gue gembira. Loe mau gak jadi pacar gue?"
"Hmm, gimana ya. Besok aja gue jawab nya, ya,"
"Tapi benar, ya?"
"Iya, Ka. Besok loe ada kesibukan, gak?"
"Kayaknya enggak, deh,"
"Besok antar gue ya, Ka,"
"Mau kemana, Ndah?"
"Ada, deh. Pokonya besok antar gue ya,"
Dan keesokan harinya. Ternyata, dia mau di antarkan ke stasiun Manggarai. Sesampai nya di stasiun Manggarai.
"Gimana, Ndah. Loe mau jadi pacar gue?"
"Bentar dulu, ya," Gue lihat, sikap si Indah aneh banget, dia terus celingak-celinguk setiap ada kereta yang berhenti. Seperti sedang menunggu seseorang. Dan benar aja, setelah tiga kali kereta berhenti, ada satu cowok yang datang menghampiri gue berdua.
"Indah, ya?"
"Iya, gue Indah. Loe Irwan ya?"
"Iya, gue Irwan," Di hadapan gue mereka berdua langsung berpelukan.
"Siapa dia, Ndah?"
"Oh iya, kenalin, Ka. Dia Irwan, pacar gue,"
"Pacar loe, Ndah?"
"Iya, pacar gue. Gue baru jadian semalam. Padahal gue kenal dia baru tiga bulan, loh," mendengar ucapannya gue sangat syok. Dia pun langsung pergi bersama pacar barunya ninggalin gue gitu aja di stasiun. Benar-benar plot twist.
Dan untuk yang ke 30 kalinya gue di tolak cewek. Tapi bukan di tolak, gue nya aja kurang berusaha.
Siang itu gue lagi jalan sama wanita yang gue taksir, namannya Maya. Gue baru kenal dia tiga bulan.
"May, setiap gue jalan sama loe, gue benar-benar merasa senang banget. Seakan akan dunia ini hanya milik kita berdua,"
"Bisa aja loe, Ka,"
"May, loe mau gak jadi pacar gue?"
"Gimana ya, Ka. Sebenarnya gue belum di bolehin pacaran sama bokap gue,"
"Loe tenang aja, May. Gue gak akan mengecewakan loe, kok,"
"Kalau loe serius mau jadi pacar gue. Loe harus minta ijin dulu ke bokap gue, Ka,"
"Kalau itu masalah kecil, May. Gue yakin bokap loe pasti ngijinin," Tegas gue dengan yakinnya.
Dan keesokan harinya, gue mutusin untuk mampir ke rumahnya si Maya dengan tujuan untuk bertemu dengan bokapnya.
Sesampainya gue di depan rumah si Maya, gue melihat ada 3 cowok tepat di depan pintu gerbang, gue perhatiin, mereka seperti sedang kelelahan dan seluruh tubuhnya pun sudah di penuhi dengan keringat.
"Loe bertiga kenapa?" Tanya gue heran.
"Gak kenapa-napa!" Jawab salah satu cowok dengan nafas yang masih terengah engah.
"Selamat berjuang!" Celetuk cowok yg satunya.
Tanpa memperdulikan mereka bertiga gue langsung masuk ke dalam rumah si Maya.
"Masuk aja, Ka. Bokap gue sudah nunggu di ruang tamu," Ujar si Maya.
Sesampainya di ruang tamu. Benar aja, bokapnya si Maya sedang menyeruput segelas teh hangat. Dengan tanpa rasa sopan santun, gue langsung duduk di sofa, sedangkan si Maya langsung pergi menuju dapur.
"Siapa yang nyuruh kamu duduk," ucap bokapnya si Maya. Karena malu, gue langsung berdiri lagi. Dan setelah gue perhatiin setiap sudut foto di ruang tamu, banyak sekali foto bokapnya si Maya memakai segaram anggota TNI. Apa mungkin bokapnya si Maya ini anggota TNI, ucap hati gue.
"Siapa nama kamu?"
"Saya Dika, om,"
"Kalau di tanya itu harus tegas, gunakan kata siap,"
"Siap, om. Saya Dika!"
"Yang lengkap!"
"Siap om, nama saya Andika pratama, biasa di panggil Dika," Tegas gue.
"Duduk!" Perintah bokapnya si Maya.
"Saya boleh duduk, om?" Gue pun langsung duduk dengan kaki gemetaran.
"Siapa nama kamu, saya lupa,"
"Dika, om,"
"Yang tegas!" Gertak bokapnya si Maya.
"Siap, Andika Pratama om,"
"Ulangi, badan kamu harus tegak, jangan bungkuk gitu,"
"Siap, om. Nama saya Andika pratama, biasa di panggil Dika," Jelas gue. Bokapnya si Maya langsung mengambil sebatang rokok dan menghisapnya. Kurang lebih 20 menit gue di diemin sama bokap nya si Maya.
"Kamu kesini mau apa?" Tanya bokap nya si Maya.
"Saya mau," jawab gue gugup.
"Yang tegas!" Gertak bokapnya si Maya.
"Siap om, saya mau jadi pacarnya Maya,"
"Kamu mau pacarin anak saya?"
"Siap, om,"
"Lantas, apa alasan kamu kamu tertarik dengan anak saya, apakah dia cantik, baik hati, pintar atau dadanya besar"
"Siap om, dadanya besar. Eh, maksud saya baik hati dan pintar om," Saat itu gue cuma bisa gemetaran. Bokapnya si Maya langsung berdiri.
"Ikut saya!."
"Siap, om," dan ternyata gue di ajak kesebuah lapangan kecil yang berada tepat di belakang rumahnya, lapangan itu seperti lapangan khusus untuk training tentara.
"Lepas semua pakaian mu, kecuali kolor," jelas bokapnya si Maya. Gue pun langsung mengikuti perintahnya.
"Kamu lari sebanyak 20 putaran, cepat!" tegas bokapnya si Maya.
"Siap, om," gue langsung berlari sekuat tenaga dan ternyata gue hanya sanggup 5 putaran aja.
"Payah sekali, baru 5 putaran sudah kelelahan,"
"Saya haus, om,"
"Maya ambilkan air untuk dia,"
"Siap, yah," Setelah menunggu, si Maya pun datang menghampiri gue sambil memberikan segelas air minum.
"Semangat ya, Ka," ucap si Maya. Mendengar ucapannya, gue pun kembali semangat.
"Sudah 20 putaran, om," ujar gue sambil nafas terengah engah.
"Sekarang kamu sit up 50 kali,"
"Tapi, om,"
"Gak ada tapi tapian, kamu itu lelaki calon seorang imam, harus kuat tenaga dan kuat mental,"
"Siap, om," dengan terpaksa gue pun sit up mengikuti keinginan bokapnya si Maya, baru 20 kali sit up gue sudah kelelahan.
"Minum dulu, Ka," ucap si Maya sambil memberikan gue segelas air minum. Semangat gue kembali meronta. Setelah 50 kali sit up, sekarang gue malah di suruh push up.
"Sekarang push up 50 kali,"
"Tapi, om," Keluh gue.
"Gak ada tapi tapian!" gue pun langsung push up, baru 15 kali push up, gue sudah mulai kelelahan dan lagi-lagi si Maya ngasih gue air minum dan menyemangati gue.
"Demi cinta gue harus berkorban," ucap hati gue yang langsung melanjutkan push up.
"Sudah om, sudah 50 kali," gue langsung tepar di tanah.
"Sekarang istirahat dulu, setelah itu kamu pull up 100 kali," Mendengar perkataan bokapnya si Maya gue semakin drop.
"Sebenarnya, ini tes mau dijadiin pacar anaknya atau mau jadi tentara, sih," ucap hati gue.
"Om, saya boleh ke toilet, saya kebelet,"
"Ada di samping rumah, toilet khusus pembantu," gue pun langsung pergi ke toilet dengan tergesa-gesa sambil membawa pakaian gue. Melihat keadaan yang sangat sepi, gue mutusin untuk pergi ninggalin rumah si Maya.
"Kalau gue lama di sini, yang ada gue bisa jadi kambing guling," keluh gue.
Sesampainya di depan gerbang, ternyata gerbangnya di gembok dan gue terpaksa harus manjat gerbang. Setelah gue berada di luar gerbang, tiga cowok yang pertama kali gue jumpai itu masih ada.
"Gimana bro, sudah lulus jadi pacarnya si Maya?" Tanya salah satu cowok yang masih keringatan.
"Maksudnya?" Tanya gue heran.
"Kita bertiga ini calon pacarnya si Maya dan syarat agar bisa jadi pacarnya si Maya harus lulus tes fisik, tes kesehatan dan tes kejiwaan,"
"Pantes, tadi gue di suruh lari muterin lapangan. Terus Kalian kenapa masih disini?"
"Gue bertiga memang lagi nunggu loe, ingin tahu hasilnya gimana,"
"Ga ada hasilnya, gue kabur. Gue gak sanggup," jelas gue.
"Hey, kalian berempat masih mau jadi pacar anak saya?" Tanya seseorang, setelah gue dan ketiga cowok itu menoleh ke arah gerbang, ternyata itu bokapnya si Maya.
"Cabut, cabut!" Ucap salah satu cowok itu. Akhirnya gue dan ketiga cowok itu mutusin untuk pergi meninggalkan kediaman si Maya dengan tergesa-gesa.