Fic melangkah ke Ruangan Direktur Keuangan. Dia bisa melihat Rafael yang sedang fokus dengan Laptopnya.
Mendengar langkah kaki, Rafael menoleh. Seketika dia berdiri saat melihat Fic yang datang.
"Fico. Kenapa kemari? Aku bisa datang ke Ruangan mu, jadi kamu tidak perlu serepot ini."
Fic tidak menjawab. Dia menarik kursi lain dan duduk di hadapan Rafael. Sejenak dia menatap Rafael. Sebenarnya nama sepupu Fic ini adalah Mahendra Adreno. Tetapi dia memiliki nama panggilan saat kecil dari almarhum nenek yaitu Rafael.
"Bagaimana? Apa kau ada kesulitan?"
"Tentu saja tidak. Hum.. Apa kamu sudah mengecek hasil pekerjaan ku hari ini?"
Fic hanya mengangguk saja.
"Apa ada kesalahan?" Rafael bertanya lagi dan kembali duduk.
"Sejauh ini tidak. Tapi aku tidak tahu kedepannya. Jadi lebih baik kamu berhati hati jika ingin lebih lama bekerja disini."
Rafael mengangguk, dia tahu jika Fic ini bukanlah orang yang mudah percaya kepada siapapun. Apalagi Rafael sangat tahu bagaimana hubungan keluarga mereka yang kurang baik sejak dulu. Tetapi kehadiran Rafael saat ini sebenarnya bermaksud baik. Rafael ingin membuat hubungan kekeluargaan mereka yang retak kembali harmonis.
Meskipun awalnya dia tidak menyetujui keinginannya ayahnya yang memaksanya masuk ke Perusahaan Galaxy Group. Rafael kemudian setuju tanpa menghiraukan rencana Ayahnya yang sesungguhnya. Hanya satu keinginannya, mengembalikan hubungan baik antara keluarganya dan Fic.
"Rafael. Ada yang ingin aku tanyakan." Fic kemudian berhenti. Fic berpikir jika ini akan konyol. Dia tidak boleh bertanya tentang hubungan Rafael dan Erina di masa lalu.
Sementara Rafael sendiri cukup heran dengan panggilan Fic barusan. Tidak biasanya Fic memanggilnya dengan panggilan kecilnya.
"Kau memanggilku Rafael?" Kemudian Rafael tertawa kecil. Dia terlihat senang.
"Kau ingin bertanya apa? Tanya saja. Aku akan menjawabnya."
"Lupakan saja." Fic berdiri.
"Bekerjalah dengan baik. Itu saja." Fic kemudian keluar dari ruangan Rafael.
Sore hari, Erina sudah pulang ke Rumah. Dia belum juga melihat Fic. Lalu bertanya kepada Melan. Melan mengatakannya jika Fic belum pulang.
Erina hanya menarik nafas, meminta Melan untuk keluar saja meninggalkan dirinya seorang diri.
Lalu Erina pergi mandi. Baru saja dia selesai mandi, Fic sudah memasuki kamar.
"Kamu sudah pulang?" Erina menoleh dan bertanya. Fic hanya melempar senyuman tipis seraya mengangguk.
Fic melepas sepatu, dia melirik wajah Erina yang terlihat murung, rambut Erina masih terlihat basah dan meneteskan Air.
Lalu setelah membersihkan diri Fic menghampiri Erina yang duduk di tepi Ranjang. Erina terlihat murung sambil memegang handuk.
"Kenapa sudah pergi bekerja? Kau masih belum sehat."
Erina mendongak. Pertanyaan Fic terdengar seperti sebuah perhatian padanya.
"Tidak apa apa. Aku sudah sembuh. Ada banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan hari ini."
Fic hanya mengangguk. "Tadi pagi, Maaf. Aku terburu buru. Dan ku pikir, kau belum mau bekerja. Jadi aku tidak menunggumu bangun."
"Tidak apa apa." Erina hanya menjawab demikian.
"Rambutmu masih basah." Fic mengambil handuk dari tangan Erina dan mengusap rambutnya.
"Kamu bisa sakit lagi jika begini. Aku akan membantumu mengeringkannya."
"Aku bisa sendiri Fic." Erina menarik tubuhnya untuk lebih menjauh. Tapi Fic menahan tangan Erina.
"Tidak apa apa." Fic melanjutkan pekerjaannya mengusap lembut rambut Erina dengan handuk.
Erina hanya menunduk, membiarkan Fic mengeringkan rambutnya.
"Fic , apa aku boleh bertanya sesuatu?" Erina sambil melirik Fic.
Fic menganggukkan kepalanya.
"Siapa Mentari?"
Mendengar pertanyaan dari Erina, Fic Menghentikan tangannya. Fic menarik nafas gusar.
"Ini sudah selesai." Fic berdiri dan menaruh handuk di tempatnya.
"Apa kamu sudah makan? Jika belum, aku akan menyuruh Melan menyiapkannya."
"Aku sudah makan." Erina cepat menjawab.
"Baiklah. Kalau begitu, pergilah tidur. Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan. Aku akan pergi ke ruangan kerja ku dahulu." Fic melangkah keluar.
Erina hanya terdiam. Sepertinya Fic sangat sensitif jika Erina menyebut nama Mentari.
Apa pertanyaan ku begitu lancang?
Erina hanya ingin tau siapa Mentari. Bukan berarti ingin mencampuri urusan pribadi Fic. Bukankah sekarang ini dia istrinya? Apa salah jika dia ingin tau siapa Mentari, nama yang sudah disebut suaminya didalam tidurnya.
Erina merebahkan tubuhnya di kasur. Pikirannya melayang.
Mentari. Erina benar benar penasaran. Tapi dia merasa bersalah karena sudah lancang mempertanyakan itu pada Fic.
Lalu dia mengalihkan pikirannya kepada Sang Ayah yang saat ini sedang koma di Rumah Sakit.
Fic berada di ruang kerjanya yang terletak tidak jauh dari Kamarnya. Fic tidak melakukan apapun selain duduk menatap foto seorang gadis cilik yang berada ditangannya.
Hati Fic begitu resah. Tadinya dia cukup senang dengan kehadiran Erina. Tetapi akhir akhir ini, setiap kali melihat Erina, Fic kembali teringat Mentari. Setiap kali berada didekat Erina, dia terus dihantui rasa bersalah.
Apalagi pertanyaan Erina tadi, apa yang harus dijelaskan pada Erina tentang Mentari. Mentari bukan kekasihnya. Tetapi adalah tunangannya. Tunangannya yang sudah tiada.
Lalu Erina akan bersedih jika mengetahui alasan Fic kenapa menikahinya. Karena Fic merasa Erina mirip dengan Mentari.
Ada rasa takut berlebih di hati Fic. Takut Erina pergi meninggalkannya jika tau alasan Fic ini.
"Maafkan Aku. Suatu saat aku akan menceritakan kepada Erina tentang siapa dirimu. Kau jangan bersedih Mentari. Ku rasa Erina adalah gadis yang baik seperti mu. Kau pasti bisa melihat, mata dan senyumnya sama persis seperti dirimu."
Sampai tengah malam, Fic baru kembali ke kamar. Menatap Erina yang sudah tertidur dengan posisi memeluk selimut seperti biasa.
Fic mendekat untuk membetulkan selimut. Dia memandangi wajah Erina dengan cukup lama.
Semakin lama dia menatap Erina, itu semakin membuat Fic mengingat Mentari.
Fic kemudian memutuskan untuk pergi tidur di sofa saja.
Pagi pagi, Erina bangun lebih dulu. Dia melihat Fic tidur di Sofa.
Erina tertegun beberapa saat.
'Dia benar benar marah padaku hanya karena aku menanyakan siapa Mentari.'
Mentari pasti orang yang sangat penting bagi Fic, sampai sampai Fic sangat tersinggung saat dirinya menanyakan siapa Mentari. Erina berpikir demikian.
Erina melirik Ponselnya yang berdering. Dia cepat menjauh dan mengangkat panggilan dari Bosnya. Lalu setelah selesai menjawab panggilan, Erina terburu-buru untuk pergi mandi dan bersiap ke Stasiun Televisi. Dia menoleh pada Fic yang sudah berdiri menatapnya.
"Fic. Aku harus pergi pagi pagi. Hari ini aku akan pergi kota B untuk Wawancara."
Fic cukup terkejut mendengar itu. "Ke kota B? Itu cukup jauh dari sini."
"Iya. Tapi mau bagaimana lagi. Ini adalah pekerjaan ku. Jadi kemungkinan kami akan menginap disana." selesai bicara Erina langsung meraih tangan Fic dan menciumnya.
"Aku berangkat ya. Soal pertanyaan ku semalam , aku minta maaf. Jika kamu keberatan, aku tidak akan bertanya lagi."
"Aku akan mengantarmu. Kau bisa sarapan dulu sambil menungguku selesai mandi." Fic menahan pergelangan tangan Erina.
"Tidak perlu. Aku sangat buru buru." Erina menarik tangannya.
"Kalau begitu, biarkan sopir mengantarmu."
"Tidak perlu Fic. Kan aku sudah biasa sendirian. Jadi jangan khawatir."
Mendengar ucapan Erina, hati Fic terasa teriris.
'Sudah biasa sendirian? Tapi bukankah sekarang seharusnya kamu tidak sendiri lagi? Ada aku Erina. Tapi aku tidak berguna.'
"Fic." Erina memanggil Fic yang malah terdiam.
"Ah iya .Baiklah. Hati hati. Jika sudah sampai disana, tolong beri aku kabar."
Erina mengangguk dan melangkah.
"Erina."
Erina menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Jika ada apa apa, kau bisa memberi tahu ku segara. Jangan sungkan."
"Iya. Terimakasih."
"Dan, maafkan aku jika aku belum bisa bercerita padamu tentang Siapa Mentari."
Erina tersenyum. "Tidak mengapa. Aku yang meminta maaf. Seharusnya aku tidak boleh selancang itu ikut campur urusan pribadimu."
"Bukan seperti itu, tetapi,"
"Ah, baiklah. Aku bisa terlambat. Aku berangkat ya?" Erina melangkah keluar kamar.
Sekilas Fic bisa menangkap wajah gelisah Erina. Fic sungguh merasa bersalah.
Fic mendengus sendirian, hanya bisa menatap punggung Erina yang hilang di balik pintu.