Setelah 30 menit berjalan, Aruta dan Zaka akhirnya sampai di jalan masuk Kota Vortex. Kota itu benar-benar sebuah kota mati. Gedung-gedung dan perumahan berdiri dengan jendela yang kosong. Gulma-gulma liar tumbuh dengan bebas. Sesekali suara decit pintu berkarat terdengar. Ada beberapa mobil-mobil rusak tanpa tuan tergeletak di jalan begitu saja.
"Tempat ini benar-benar mati," ujar Aruta kepada Zaka.
"Cerita ini harus di tutup dengan kejadian pahit. Sungguh kota yang kasihan," ujar Zaka berhenti melihat salah satu mobil berkarat di dekatnya. "Orang-orang tiba-tiba saling membunuh satu sama lain. Dan sampai sekarang misteri kota ini belum terpecahkan."
Zaka kembali berjalan memasuki lebih dalam area kota. Aruta pun mengikuti Zaka dari belakang. Aruta dan Zaka terus berjalan melalui kota mati itu. Suasananya benar-benar sunyi seperti hanya Aruta dan Zaka makhluk hidup yang berada di sana.
"Okay sekarang bagaimana kita bisa mencari Raven?" tanya Zaka melihat ke sekeliling.
BRAAAK!! terdengar suara suatu barang jatuh dengan keras. Aruta dan Zaka langsung menoleh ke arah sumber suara itu dan menghampiri untuk memeriksanya. Saat dihampiri, mereka hanya menemukan jendela yang jatuh ke batu dan kacanya berserakan.
"Oh hanya kaca," ujar Aruta yang sampai duluan di tempat kaca itu jatuh sebelum Zaka.
Namun tiba-tiba Zaka merasakan sesuatu dan berkata, "Tunggu, ada yang aneh di sini."
Mendengar apa yang disampaikan Zaka, Aruta langsung waspada. Aruta pun melihat ke arah rumah yang kacanya jatuh tadi dan berkata, "Bagaimana jika aku mengecek rumah itu?"
"Baiklah, ayo kita masuk," ujar Zaka.
Mereka berdua mulai mendekat ke arah pintu rumah itu. Zaka mulai memegang gagang pintu dan membuka pintu itu. Kreeekk pintu itu mulai terbuka. Zaka mengangguk kepada Aruta dan Aruta membalas anggukannya. Aruta mulai masuk duluan di rumah itu dan Zaka mengikutinya dari belakang. Beruntung matahari bersinar cerah dan mampu menerangi isi rumah itu. Beberapa ubin dari lantai rumah itu sudah retak dan tanah keluar dari retakan itu.
Saat Aruta dan Zaka masuk, mereka berada di sebuah lorong. Di lorong itu, terdapat empat ruangan sedangkan di ujung lorong sepertinya ada satu ruangan terbesar dari rumah itu.
"Aruta, aku akan mengecek ruangan yang ada di ujung lorong sana. Kau cek keempat ruangan yang ada di lorong ini," ujar Zaka kepada Aruta.
"Baiklah," jawab Aruta.
Mereka berdua pun mulai berpisah. Aruta mulai mengecek satu demi satu ruangan yang ada di lorong tersebut. Ruang pertama yang Aruta cek adalah ruangan sebelah kiri dari area terdepan lorong itu. Pintu ruangan itu sudah lepas dari engselnya dan tergeletak di lantai. Saat Aruta memasuki ruangan itu, Aruta melihat tv namun dengan kaca layarnya sudah hilang. Ada meja kayu yang sudah rapuh juga dan kursi yang tergeletak berantakan. Sepertinya ini bekas ruang tamu dulunya.
Aruta lanjut mengecek ruangan selanjutnya yang tepat berhadapan dengan ruangan barusan. Di ruangan ini, pintunya telah hilang entah kemana. Aruta mulai memasuki ruangan itu dan melihat ruangan itu yang cukup kosong. Hanya ada sebuah tempat perapian, sebuah kursi, tiga buah pisau, dan satu buah senapan. Tunggu, bagaimana ada pisau dan senapan? Aruta mulai mengambil salah satu pisau yang ada di sana.
"Ada pisau? Kayaknya tragedi Kota Vortex benar-benar brutal ya. Tapi kenapa orang-orangnya melakukan hal semengerikan itu?" batin Aruta melempar pisau itu kembali ke lantai.
Aruta lanjut melihat-lihat dan melihat tempat perapian. Kotoran dari tempat perapian itu berserakan di luar perapian. Tapi sepertinya tidak terlalu aneh. Aruta lanjut mengecek ke ruangan selanjutnya.
Kedua ruangan sisanya hanya gudang. Tidak ada yang terlalu aneh. Hanya barang-barang tua berserakan.
Saat Aruta keluar dari ruangan terakhir, kebetulan Zaka juga selesai memeriksa areanya dan berpapasan dengan Aruta.
"Oh, Kau sudah selesai?" tanya Aruta.
"Ya, hanya ruang makan, kamar mandi, dan kamar tidur. Tidak ada yang mencurigakan," jawab Zaka memasukkan tangannya ke saku mantelnya.
"Yasudahlah. Ayo kita keluar," ujar Aruta.
Aruta dan Zaka mulai berjalan kembali menuju pintu keluar rumah itu. Namun saat Aruta melewati ruangan dengan perapian tadi, tiba-tiba terdengar seperti ada sesuatu yang bergerak. Suara itu berasal dari tempat perapian ruangan tadi.
Aruta dan Zaka yang menyadari suara itu pun langsung waspada. Mereka berdua mulai memasuki ruangan itu dan mendekat ke tempat perapian itu dengan perlahan. Semankin dekat mereka dengan perapian itu.
Saat sudah cukup dekat, Zaka mulai berjongkok untuk memeriksa ke dalam perapian itu. Saat Zaka mulai mengintip, tiba-tiba sesuatu keluar.
Kucing bermata hijau yang mencuri es krim Zaka tadi pun melompat keluar dari tempat perapian itu. Kucing itu membuat Zaka kaget hingga jatuh terduduk.
Tidak berhenti sampai di situ, kucing itu terus berlari ke arah Aruta. Kucing itu melompat dan menggigit kalung Aruta dan melepasnya dari leher Aruta.
"Hah? Hey itu kalungku!" ujar Aruta berusaha mengambil kembali kalungnya.
Kucing itu tidak berhenti dan lari keluar dari rumah itu dan pergi menjauh. Aruta dengan segera juga ikut keluar dari rumah itu dan berlari mengejar kucing itu. Di sisi lain, Zaka menyusul di belakang Aruta.
"Hey kucing nakal. Kembalikan!" Aruta terus berlari mengejar kucing itu.
Kucing itu berlari, melompat ke sana kemari, dan terkadang menjatuhkan barang yang dia pijak.
"Kucing sialan!"
Setelah beberapa lama bermain kejar-kejaran, akhirnya kucing itu membawa Aruta ke sebuah rumah kayu tua. Kucing itu sembari membawa kalung Aruta pun berlari masuk ke dalam rumah tua itu. Aruta sendiri belum menyerah dan terus berusaha mengejar kucing itu dan ikut masuk ke dalam rumah bersama Zaka.
Di dalam, Aruta melihat kucing itu masuk ke dalam sebuah pintu tua yang begitu tua. Pintu itu sedikit terbuka membuat kucing itu bisa masuk. Saat Aruta ingin masuk, tiba-tiba Zaka menghentikan Aruta.
"Tunggu!" seru Zaka.
"Huh? Ada apa?" tanya Aruta.
"Biar aku yang membuka pintu itu terlebih dahulu." Zaka mulai berjalan mendekat ke arah pintu itu. Membukanya perlahan dan saat dibuka, Aruta dan Zaka melihat tangga yang sepertinya begitu dalam hingga dasar tangga itu tidak terlihat karena terlalu gelap.
"Huh? Ruang bawah tanah?" Aruta kebingungan.
"Tidak. Ini... medan sihir? Tapi aliran energi LYNK di area ini seperti teknik LYNK biasa," Zaka ikut bingung.
"Bagaimana kalau kita mengeceknya saja?" tanya Aruta.
"Baiklah. Berhati-hatilah," jawab Zaka.
Mereka berdua mulai mengambil ponsel mereka untuk menyalakan senter.
"Apa batre mu masih ada?" tanya Zaka.
"Lumayan. Baiklah, ayo kita mulai," ujar Aruta menyalakan senter ponselnya.
Mereka berdua pun memulai perjalanan memasuki ruang bawah tanah aneh itu.
***
Di sisi lain di suatu tempat yang sangat gelap, gelap sekali. Raven tergeletak di tengah-tengah ruangan itu. Raven mulai terbangun dan melihat ke sekelilingnya. Hanya ada kegelapan yang mengelilinginya.
"Uh? Aku dimana?" tanya Raven sembari bangkit berdiri.
Dia yang memang tidak penakut, merasa biasa saja di sana. Dia mulai berjalan berkeliling walau dia hampir tidak bisa melihat apa-apa. Dia benar-benar sendirian di sana atau lebih tepatnya, Raven tidak tahu siapa yang bersamanya.
Raven menecoba mengeluarkan energi LYNK di tangannya namun tidak ada yang muncul.
"Wah, bisa gawat ini," ujar Raven walau nada bicaranya datar.
Raven mulai lanjut berjalan namun tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara dari arah belakangnya.
"monster," kata yang Raven dengar. Sebuah kata yang sangat familiar baginya.
Raven terkejut dan segera menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun di belakangnya. nafas Raven menjadi semakin cepat dan jantung Raven mulai berdebar sedikit kencang.
"Aku tidak biasanya seperti ini. Mungkin aku tidak enak badan saja," batin Raven berbalik dan melanjutkan berjalan.
Setelah beberapa saat, di antara kegelapan samar-samar Raven melihat sebuah kursi kayu.
"Kursi kayu?"
Raven melihat-lihat kursi kayu itu namun dia tidak menemukan apapun yang bisa membantunya.
"Hmm yasudah lah." Raven pun mengabaikan kursi kayu itu lalu pergi.
Saat sedang berjalan lagi, tiba-tiba sayup-sayup lagi terdengar suara.
"Dasar kau anak iblis," suara yang Raven dengar dengan sayup-sayup namun sedikit lebih jelas dari suara yang pertama dia dengar.
Raven terkejut dan kembali menoleh ke arah belakangnya. Lagi-lagi tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Jantung Raven mulai berdetak lebih kencang. Raven berusaha mengabaikannya dan terus berjalan lurus ke arah depan.
Setelah beberapa saat Raven berjalan, Raven akhirnya menemukan kursi yang dia temukan tadi berada di depannya menghadap kepadanya.
"Uh? Kursi ini lagi?" batin Raven.
Raven melihat ke kursi itu. Kursi itu sama persis seperti kursi yang dia temukan tadi.
"Huff apa aku terjebak di sini? Hah aku coba berjalan sekali lagi saja lah."
Raven mengabaikan kursi itu dan lanjut berjalan lurus. Jantung berdetak semakin kencang namun Raven masih berusaha tenang. Tiba-tiba terdengar suara lagi yang sedikit lebih jelas dari suara sebelumnya.
"Iblis harus mati."
Raven dengan segera menoleh ke belakang dan berseru, "Huh, Siapa kalian!? Aku tahu kalian ada di sini!" Namun lagi-lagi tidak ada siapapun di belakangnya.
Jantung Raven berdetak semakin kencang sekarang. Raven berbalik dan kembali berjalan. Kali ini, dia mulai mempercepat langkahnya.
Setelah beberapa saat berjalan, Raven lagi-lagi menemukan sebuah kursi kayu yang menghadap ke arahnya. Kursi itu seolah-olah berkata kepada Raven, "Ayo, duduklah."
"Mungkin aku butuh sedikit istirahat," ujar Raven berusaha menenangkan diri. "Tidak ada siapa-siapa di sini. Mungkin aku cuma halu tadi. Haha... ha... "
Raven mengambil nafas panjang dan duduk di kursi kayu itu. Raven masih berusaha menenangkan diri namun jantung Raven berdebar terlalu cepat untuk dia tenangkan. Belum sempat Raven tenang terdengar lagi suara yang jauh lebih jelas dari sebelumnya.
"Dia pembawa nasih buruk."
Raven berusaha menghiraukan suara itu dengan berkata, "Tidak-tidak. Ini cuma halusinasi. Tidak ada orang di sini. Ya, ini cuma dari pikiranku saja." Walau sebenarnya jantung Raven sudah mengeluarkan keringat dingin dan jantungnya berdebar dengan sangat kencang.
Tiba-tiba terdengar lagi suara dan kali ini ada dua suara yang Raven dengar.
"Pembawa kematian."
"Bagaimana ada iblis di sini?"
Selain suara itu, Raven juga merasa ada yang melihatinya. Raven sudah sangat panik dan berseru, "S-siapa kalian?! Aku tahu kalian sedang melihatiku sekarang!"
Namun hanya kegelapan yang Raven lihat. Suara-suara aneh pun mulai bermunculan.
"Kau tidak layak hidup di dunia ini."
"Oh penghuni neraka yang tidak sengaja datang di dunia."
"Hal yang layak kepadamu hanyalah kematian."
Raven mengangkat kakinya dan meringkuk di atas kursi itu. Kedua tangannya memegangi kepalanya sembari berusaha berkata kepada dirinya sendiri, "Ini hanya mimpi buruk. Aku pasti akan segera terbangun. Aku pasti akan segera terbangun."
Namun suara-suara tadi tidak kunjung berhenti. Tidak berhenti sampai di situ, Raven merasa ada sangat banyak mata yang melihat ke arahnya. Begitu banyak pasang mata yang melihati dirinya di balik kegelapan. Mata-mata itu melihati Raven dari depan, belakang, kanan, dan kirinya. Dan semua mata itu seolah-olah hanya memiliki satu tujuan saat melihatnya. "Kami ingin melihat Raven mati." Jantung Raven sudah berdetak sangat amat kencang sekarang.
"Bunuh dia sekarang."
"Dia pantas untuk mati."
"Kami semua melihatmu."
"HHAAAAAHHHHHHH!!!!!!" Raven yang sudah tidak tahan akhirnya mengeluarkan jeritan yang sangat keras. "Seseorang... kumohon... tolong aku."