16 Juli 2513.
Keesokan siangnya aku terbangun, terlihat Alice yang senantiasa menemani di samping kasurku. Wajahnya terlihat cerah dan menyenangkan. Apabila dia manusia, tentu Alice akan menjadi seorang wanita yang sangat pengertian & lembut.
"Rad, mari kita ke ruang makan, aku sudah menyiapkan beberapa makanan untukmu."
Setelah sarapan yang kesiangan, aku langsung menuju kamar mandi untuk berendam dan menyegarkan pikiran. Saat berendam, banyak sekali pertanyaan yang ada di dalam pikiranku. Dari kebohongan yang telah aku lakukan seumur hidup hingga kemunafikan dan egoisme manusia di dunia.
Sejak dulu, aku menginginkan sebuah kehidupan yang bebas dan damai. Kehidupan tanpa ada satupun kebencian, kemunafikan, kerusakan, dan keegoisan. Aku bosan dengan kehidupanku sendiri. Semua manusia dan alien berlomba-lomba untuk menjadi yang terhebat & terkaya. Mereka tidak sadar akan arti kebersamaan, arti kehidupan. Memang aku selalu hidup dalam kebohongan, menjalani kehidupan sehari-hari seperti orang normal lainnya. Aku telah berbohong bahwa aku bahagia dengan hidupku di depan orang tua, teman, saudara, dan makhluk lainnya di bumi.
Aku mulai merasa bosan dengan acara televisi, kucoba untuk berjalan keluar rumah, menikmati lingkungan sekitar.
"Rad mau kemana? Diluar panas, sebaiknya di dalam rumah."
Alice mengingatkanku akan teriknya matahari di siang ini. Bukan tanpa alasan, pada tahun ini matahari lebih lama dalam menampakkan sinarnya, namun yang berbahaya adalah atmosfer bumi yang semakin terkikis yang menyebabkan sinar ultraviolet terlalu tinggi.
"Sudah tak apa Alice, aku memakai jaket pelindung dan krim matahari khusus kok."
Langkah kaki ini terasa menyenangkan, bisa melihat lingkungan di luar rumah pada siang hari. Ku masukkan kedua tanganku pada saku celoana panjang. Aku menghirup udara jalanan yang sedikit beracun oleh sisa-sisa polusi udara. Terlihat lalu lalang kendaraan bertenaga surya dan listrik di aspal jalanan yang mulai rusak. Banyak sekali manusia dan alien yang berjalan di trotoar yang aku lalui. Mulai dari seorang diri, dengan temannya mungkin, hingga dengan keluarga dan anak-anaknya. Namun ada satu pemandangan yang terlihat sama, mereka jarang sekali berjalan dan mengobrol atau bercanda padahal mereka sedang bersama- sama. Yang mereka lakukan saat berjalan adalah sibuk dengan telepon genggam masing- masing. Trotoar itu memiliki sebuah lajur khusus pengguna telepon genggam agar tidak membahayakan nyawa mereka saat berjalan dan fokus pada telepon genggam mereka masing-masing. Jadi di trotoar tesebut ada dua lajur yang masing-masing memiliki lebar satu meter, lajur untuk pengguna telepon genggam dan lajur untuk pejalan kaki yang tidak sibuk dengan telepongenggamnya. Aku berjalan di lajur umum, bukan lajur khusus pengguna telepon genggam. Hampir tidak ada manusia atau alien yang melewati lajur ini, hanya beberapa orang yang melewatinya. Saat telepon genggamku berbunyi, aku mulai berjalan pindah ke lajur khusus pengguna telepon genggam. Saat berjalan pindah menuju lajur satunya kubuka dan terlihat pesan video dari Nat, tiba-tiba ada seseorang yang menabrak diriku. Aku terjatuh saat belum sampai ke lajur khusus pengguna telepon genggam. Aku terjatuh dengan telepon genggam yang masih berada di tanganku.
"Ma ma maaf nak Bapak tidak sengaja."
Terlihat seorang tua yang menggenggam sebuah kotak besar dengan balutan baju tahun 2000 an. Beliau memiliki kumis dan rambut klimis yang mulai memutih. Tubuhnya kurus namun terlihat tegap. Wajahnya menawan untuk ukuran seorang bapak-bapak di jaman sekarang. Pada waktu ini, kebanyakan orang tua akan terlihat gemuk dengan perut yang menggelembir, mungkin karena kurangnya mereka berolah raga, asal kalian tahu bahwa waktu ini semua serba instan. Tetapi tidak untuk bapak ini, sepertinya beliau hidup sehat dengan sering berolah raga dan memakan makanan sehat. Langsung saja aku tersenyum, dan kutawarkan bantuan untuk membawakan kotak tersebut. Bapak tersebut tersenyum dan berterima kasih secara berulang. Beliau mengajakku berkunjung ke rumahnya dan menawarkan beberapa cemilan sebagai permintaan maaf. Aku berpikir bahwa tidak ada salahnya untuk mengiyakan bapak tersebut, aku juga sedang bosan karena aku tidak tahu arah dan tujuanku berjalan, hanya sekedar melihat keadaan sekitar.
Kami pun berjalan menuju kediaman bapak tersebut. Selama perjalanan kami mengobrol secara basa-basi tanpa sedikitpun pindah ke jalur khusus telepon genggam. Bahkan pesan video Nat yang kubuka tadi belum sempat kubaca. Terlihat sebuah gang yang cukup sempit, namun disekitar gang tersebut terdapat banyak sekali mural yang melambangkan bumi yang hijau hingga tatanan kota jaman dulu dimana masih hijau dan indah. Akhirnya setelah beberapa meter sampai pula kami di kediaman beliau, sebuah rumah sederhana yang masih berbentuk bangunan lama. Langsung saja bapak tersebut mengajak masuk ke rumahnya. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamunya yang bernuansa tahun 1990an, sementara bapak tersebut masuk ke ruang tengah dengan kotaknya.
Ruang tamu itu berukuran seluas kamarku, terdapat berbagai pernak-pernik barang yang berasal dari jaman dulu, mulai dari jam weker hingga pajangan wayang. Kursi tamu yang kududuki merupakan sofa memanjang yang sangat klasik. Terasa empuk namun tidak seempuk dan senyaman kursi atau sofa masa kini yang dapat secara otomatis menyesuaikan tubuh penggunanya. Namun terdapat perasaan nyaman saat aku menduduki sofa tua ini.
Beberapa menit kemudian bapak tersebut keluar dan duduk di kursi tamu.
"Oh iya, saya Gatot, mas siapa namanya?"
Bapak tersebut mulai memperkenalkan diri, begitu pula aku. Akhirnya kami mulai mengobrol. Ternyata beliau adalah seorang mantan dosen di sebuah perguruan tinggi nasional.
"Mari mas silahkan ini teh nya, pak ini kopi buat bapak ya."
Seorang wanita yang seumuran dengan bapak tersebut keluar dari ruang keluarga menuju tempat kami berdua mulai mengobrol dengan membawakan dua cangkir minuman.
"Mas Rad perkenalkan, ini istri bapak, Jani."
Pak Gatot mengenalkan wanita tersebut kepadaku. Ibu tersebut menyalami dan tersenyum kepadaku. Setelah kami berkenalan, beliau mengobrol sedikit denganku dan kembali masuk menuju ruang dapur.
Setelah lama mengobrol, mulai dari menanyakan asal hingga pembicaraan tentang mimpiku, dunia yang hijau, tak terasa waktu sudah mulai sore. Aku pun kaget melihat jam tangan yang ternyata menunjukkan pukul setengah lima sore. Akhirnya aku berpamitan dengan Pak Gatot dan istrinya, Bu Jani. Sebelum pulang, beliau memberikan sebuah bungkusan makanan serta sebuah kotak kayu yang agak berat, beliau berpesan bahwa kotak tersebut akan berguna untuk anak muda yang baik sepertiku.
"Senang melihatmu kembali nak, kau akan menemukan jati dirimu kelak.", begitulah ucapan pak Gatot sesaat setelah aku keluar dari rumahnya.
Dalam perjalanan pulang aku merasa bersyukur telah dikenalkan dengan manusia baru yang ramah dan menyenangkan serta memiliki keinginan yang sama. Aku merasa sedikit bahagia karena Pak Gatot memiliki mimpi yang sama denganku.