Gayatri bangun dari tempat tidur, kemudian keluar dari kamar. Ia jumpai ibunya sedang berkemas-kemas di dapur. Ayahnya juga sibuk memasukkan barang-barang ke dalam mobil truk miliknya yang biasa digunakan untuk muat hasil panen dan mengirim batako. Wanita cantik itu keheranan dengan semua ini.
"Mak, kita mau pindah? Kemana?" tanyanya sambil mengambil handuk di jemuran dapur. Ibunya yang sedang memasukan perabot dapur ke sebuah karung, menyahut tanpa melihat Gayatri.
"Iya, kita akan pindah, Nak. Di kampung ini sudah tidak nyaman lagi. Pak Kades memfitnah keluarga kita terus. Hingga banyak warga yang membenci kita. Penghasilan Ayahmu jadi macet. Job Emak pun hilang. Mereka lebih baik melahirkan di Puskesmas yang jauh, daripada minta tolong dengan Emak." Wanita setengah tua itu menghela napas berat. Masih membereskan barang yang tersisa.
"Terus kita mau pindah kemana, Mak?"
"Kita akan pindah jauh dari kampung ini. Semoga di sana kita menemukan kehidupan baru lagi. Kau sehari semalam tak bangun-bangun dari tidur, Gayatri. Apa kau begadang di tempat pengajian itu?"
Ibunya menjelaskan tentang bagaimana Gayatri ketika malam itu. Dia sendiri pun bingung, mengapa tiba-tiba sudah ada di kamarnya. Motor pun terparkir manis di teras. Kapan dia pulang dan masuk rumah? Ingin bercerita tapi rasanya sungkan sekali. Ini bukan waktu yang tepat. Karena semua sibuk mengemasi barang-barang.
"Iya mungkin, Mak. Aku kecapekan!" Gayatri langsung masuk kamar mandi dengan perasaan yang tidak menentu. Dia mencoba menutupi atas kejadian yang menimpa dirinya.
Setelah selesai membereskan barang-barang masuk semua ke dalam bak mobil truk dan mengunci semua pintu dan jendela, ketiga orang itu masuk ke dalam truk. Ayahnya duduk di belakang kemudi, ibunya duduk di sebelah Ayah dan Gayatri duduk dekat jendela.
"Kita nunggu rumah itu ada yang beli. Dan semua kebun karet juga kebun kelapa sawit sudah Bapak lelang. Kita enggak bisa terus bertahan hidup di kampung ini, dengan nama pembunuh yang mereka sematkan untuk keluarga kita," terang Ayahnya sambil menghidupkan mesin mobil.
Gayatri memandang sedih pada rumah besar bercat hijau itu, di sana lah ia dilahirkan dan dibesarkan sampai menikah. Banyak kenangan yang sudah tercipta, sehingga rasanya sulit untuk di lupakan. Ibunya langsung mendekap tubuh putri semata wayang itu, mengelus bahunya lembut seakan mengerti perasaannya.
Mobil truk itu pun bergerak jalan meninggalkan rumah mereka dan kampung tersebut, menuju sebuah desa yang jauh di pelosok dengan harapan dapat melupakan masa lalu. Sebelum warga kampung lebih anarkis lagi, maka mereka yang mengalah. Pergi menghindar sejauh mungkin agar menemukan ketenangan kembali.
Memang sudah takdir Gayatri untuk tidak meneruskan berumah tangga dengan Alm. Irawan yang ternyata tempramen dan pemabuk. Tapi masalahnya, hingga kini ia belum mengerti akan musibah pembunuhan terhadap suaminya itu yang belum sempat melakukan bulan madu. Siapa pembunuhnya? Mengapa dibunuh? Sungguh Gayatri tidak tahu-menahu. Hanya itu yang selalu ada dalam pikiran serta kejadian di malam yang dia ingin diperkosa ramai-ramai. Kejadian-kejadian belakangan ini, sungguh membingungkan. Yang pasti kini, statusnya adalah janda kembang dan tetap masih perawan.
*****
Di desa Harapan Baru kini keluarga Gayatri tinggal. Dekat dengan pegunungan yang jauh dari perkotaan. Di sanalah mereka memulai kehidupan baru berharap dapat keterangan dan melupakan masa-masa pahit itu. Desa yang masih tampak asri dengan pelataran puncak gunung yang indah serta berhawa dingin. Walaupun jauh dari kampung Sukajadi, namun masih satu provinsi.
Gayatri pesimis dengan kehidupannya di Desa ini yang rumah-rumah penduduknya berjauhan. Tentu keadaan siang dan malam menjadi sepi. Dia belum ada teman di sani, hari-harinya ia habiskan di rumah saja dan di kebun milik Ayahnya.
Ayahnya sudah membeli beberapa hektar kebun karet dan sawah. Di sini jarang kelapa sawit. Ibunya membuat kebun tanaman sayur mayur di belakang rumahnya yang besar tapi masih semi permanen. Tak jauh dari rumahnya adalah pemakaman umum. Penerangan listrik sudah masuk ke desa tersebut jadi tidak begitu menyeramkan jika malam hari.
Ibunya yang bernama Komariah itu biasa dipanggil Mak Kokom mulai lancar mendapatkan job melahirkan dari beberapa tetangga. Tak jarang Gayatri pun ikut mengantar Mak Kokom bila ada panggilan melahirkan, sebab ibu setengah tua itu namun masih tampak segar dan cantik, tidak bisa mengendarai motor matic-nya sendiri. Atau sering juga di jemput oleh suami atau keluarga dari si yang ingin melahirkan.
Selain menjadi dukun beranak, Mak Kokom pun bisa mengobati orang sakit. Misalkan kerasukan, demam yang tidak biasa, patah tulang dan penyakit anak-anak seperti steep (panas tinggi), batuk dan influensa. Hingga nama Mak Kokom jadi tenar di desa tersebut. Selain ongkosnya murah, ia pun tidak jarang mengobati tanpa bayaran. Mak Kokom bilang sekedar menolong orang yang kesusahan. Sebab di desa Harapan Baru ini, mayoritas penduduknya adalah petani dan supir truk.
Tapi di rumah jika ada pasiennya yang datang untuk diobati, ada kamar khusus pengobatan. Sebagian orang yang datang berobat jadi merinding jika masuk ke kamar praktek tersebut. Suasananya mistis sekali. Banyak keris beraneka bentuk bergantung di dinding dengan dilapisi kain merah. Ada dupa dan baskom tempat air kembang warna warni.
Kamar khusus tersebut hanya diperuntukkan oleh pasien yang ingin meminta penglaris atau susuk pelet juga dengan orang-orang yang terkena gangguan jin. Bila untuk melahirkan cukup dipanggil saja. Akan tetapi Gayatri tidak terlalu banyak mencampuri urusan ibunya itu. Dia justru sering kali menghindar dari rumah jika ada tamu-tamu Mak Kokom datang.
Hingga sering kali Mak Kokom kerepotan sendiri karena tidak ada asisten. Maka diputuskan untuk memanggil keponakannya yang berada di pulau Jawa guna membantu pekerjaannya. Yaitu Jaka Kelana seorang lajang yang usianya tidak jauh beda dengan Gayatri. Seorang yang tampan, berkulit putih dan mempunyai tahi lalat di keningnya. Jaka adalah anak dari adik kandung Mak Kokom yang hanya tamatan SMP. Pikiran Jaka lumayan ikut Uwaknya ada uang tabungan yang nanti akan digunakan untuk menikah dengan Neng Dina, pacarnya di Jawa sana. Sebab biar pun Jaka ikut keluarga Gayatri tetap akan di beri uang dan tidak cuma-cuma.
*****
Malam itu Gayatri dan Jaka hanya berdua menjaga rumah. Kedua orang tuanya sedang ke desa sebelah untuk menghadiri pesta pernikahan kerabat. Kemungkinan besok akan pulang, mengingat jarak yang di tempuh lumayan jauh dan tidak memungkinkan harus pulang pergi.
Gayatri berada dalam kamar sendirian sedang menulis diary. Sementara Jaka berada di ruang dapur lagi masak nasi goreng. Keduanya memang baru berjumpa lagi setelah sekian tahun tidak bertemu. Terakhir saat masih di bangku sekolah dasar.
KELOTAK
Tiba-tiba jendela kamar Gayatri ada yang menimpuk dengan batu kecil.