Aku adalah seorang perempuan. Ya, ku tegaskan sekali lagi bahwa aku adalah seorang perempuan. Tidak ada yang spesial dariku, hanya perempuan biasa yang tidak punya harta ataupun kekuatan. Posisiku juga tidak berpengaruh di masyarakat. Hanya sebagaimana perempuan biasa yang ingin hidup menjalani kehidupan yang biasa saja tanpa banyak kekhawatiran.
Namaku Jani. Umur 28 tahun, lahir dan dibesarkan oleh keluarga TNI AU. Ayah seorang tentara yang sangat disiplin dan bunda adalah ibu rumah tangga yang penyayang tentunya. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, setidaknya sampai adikku meninggal di usianya yang ke 11 tahun karena liver, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara yang tidak ingin melepas title itu selamanya.
Meskipun ayahku seorang tentara, tapi beliau hanya berasal dari Tamtama atau prajurit tingkat dua, dengan upah minimum. Sayangnya kebanyakan orang di desanya tidak tahu bahwa sebagian besar tentara ditingkat ini menghabiskan masa hidupnya dengan banyak cicilan. Mereka hanya paham bahwa tentara itu terlihat berwibawa dan mengira semua tentara hidup dengan sejahtera. Dengan gaji dan uang pensiunan yang mereka kira-kira sendiri mampu menghidupi keluarganya dengan berkecukupan. Padahal kenyataannya aku hanya mampu membeli baju baru saat menjelang lebaran setahun sekali. Itupun sudah termasuk pakaian dalam dan kaos untuk dipakai sehari-hari. Selain masa itu, gaji orang tuaku hanya cukup untuk bertahan hidup. Membayar uang makan, sekolah, dan cicilan-cicilan yang mereka pakai untuk membeli kendaraan dan rumah sederhana yang ditinggali setelah masa pensiun.
Untungnya bundaku adalah orang yang tidak terlalu suka menghamburkan uang. Beliau sosok ibu penyayang dengan watak sedikit keras seperti ibu pada umumnya. Ketika marah, beliau bisa berteriak sambil melebarkan matanya seperti yang dilakukan ibu singa pada anaknya yang tidak pandai berburu. Beliau tidak suka membeli perhiasan, lebih suka menabung dalam bentuk uang yang dimasukkan ke dalam amplop-amplop coklat panjang dan diselipkan di tengah-tengah lipatan baju di lemari. Tidak seperti anaknya yang hanya tahu bagaimana cara menghabiskan uang, bunda sangat suka menabung dan menyimpan uangnya bahkan di saat gajinya sangat menipis.
Sedangkan aku sendiri, saat ini berumur 28 tahun, sudah menikah dan memiliki empat anak perempuan yang cantiknya luar biasa mengambil gen dari wajah tampan ayahnya. Jadi tak heran ketika aku mengantar anak pertamaku sekolah di sebuah kelompok bermain di daerah perumahan TNI AU, para wali murid mengira aku adalah seorang baby sitter yang mengantar anak seorang perwira. Mereka heran bagaimana bisa seorang ibu dengan muka pas-pasan dan kulit sawo matang agak busuk mengantar seorang anak yang berkulit putih dan cantik begitu.
Aku menikah di usia 18 tahun, tanpa membawa harta sepeserpun atau harta orang tuaku. Malah, awal menikah aku masih tinggal bersama mereka sampai memiliki dua anak. Bahkan orang tuaku membantu biaya kuliahku yang tak kunjung selesai sampai cerita ini dibuat. Itupun karena mereka ingin melihatku lulus sarjana. Ketika anak pertamaku berumur 6 bulan, adikku meninggal dunia dan menghancurkan dunia orang tuaku. Mereka seperti tidak punya lagi semangat untuk hidup karena satu-satunya alasan terbesar mengapa mereka masih semangat mencari uang adalah untuk pengobatan anak keduanya. Jadi setelah beberapa bulan adikku meninggal, ayah menyuruhku untuk melanjutkan kuliah di sebuah universitas negeri berbasis online (agar aku bisa tetap mengurus anak dan berkuliah) dan beliau yang membiayainya.
Lagi lagi ku katakan bahwa aku adalah seorang perempuan biasa. Selain tidak memiliki harta, aku juga tidak memiliki aset atas namaku sendiri. Seperti kendaraan yang aku naiki atas nama suami. Mungkin siapapun yang membaca tulisan ini, akan berpikir bahwa aku adalah perempuan nekat, yang menikah muda tanpa otak dan bisa seenaknya hidup di bawah kaki suami. Memang tidak salah juga, karena aku tidak berkarir, hanya ibu rumah tangga biasa yang mengandalkan uang dari gaji suami.
***
Najwa Shihab, seorang jurnalis ternama di Indonesia yang sudah jadi panutanku dari umur 16 tahun. Siapa yang tidak tahu dia, ataupun namanya yang terbalut dalam sebuah produk Mata Najwa. Dia adalah panutan yang ingin ku ikuti jejaknya dari masa SMK. Menjadi seorang jurnalis perempuan, mengangkat polemik-polemik yang terjadi pada perempuan, kritis, cerdas, dan berani.
Aku pernah melihatnya secara langsung di sebuah acara di Universitas Muhammadiyah Malang. mataku berbinar dalam hati aku berkata bahwa suatu saat aku akan berada di posisinya, secerdas dan seberani dia dan disinilah aku sekarang. Membuat sebuah tulisan fiksi yang digemari tidak terlalu banyak orang, sambil menyeka pup anak bayiku dengan fisik yang semakin menua.
Setahun setelah melihat Najwa Shihab secara langsung, aku menikah dan setahun setelahnya, aku memiliki anak pertama. Lalu dua tahun kemudian, anak kedua, empat tahun kemudian, anak ketiga, dan dua tahun setelahnya anak keempat. Ketika Najwa Shihab terus berkarir dan bersinar, aku meredup dibalik ketiak anak-anakku. Sambil pelan-pelan meneruskan kuliah dan cuti beberapa tahun, dan kuliah lagi sampai aku muak sendiri dengan mata kuliah jurusan Sastra Inggris yang tidak terlalu kupahami. Aku mencintai Sastra bahkan menyetubuhinya, tapi tidak dengan Bahasa Inggris. Tidak ada seorangpun yang bisa kuajak berbicara atau membetulkan grammar juga terlalu minder untuk praktik dengan sembarangan orang. Jadi aku hanya mengerti ketika melihat orang lain berbicara Bahasa Inggris, tapi gagap ketika menjawab sebuah pertanyaan mudah.
Ketika Najwa Shihab bertemu orang-orang besar dan mewawancarainya, aku bertemu dengan baby blues dan depresi postpartum, juga berjuang keras melawan diriku sendiri. Saat dia menyuarakan tentang 'Susahnya Jadi Perempuan', aku menjadi perempuan paling lemah tanpa kekuatan apapun.
***
Sekarang akan kuberi tahu bagaimana rasanya hidup menjadi perempuan tanpa harta ataupun aset, tanpa keberanian, dan tidak punya pengaruh sama sekali. Diskriminasi sudah menjadi makanan sehari-hari. JIka perempuan di luar sana bisa berbicara soal pekerjaan, karir, mimpi, dan cita-cita dengan bebas, maka sebagai perempuan menikah dan memiliki anak, akan dianggap sebagai keegoisan. Bagaimana bisa seorang perempuan yang sudah memiliki anak masih bermimpi untuk mengejar karirnya sendiri? Siapa yang akan mengurus anaknya? Ah, dia hanya malas dan tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah. Percayalah, kata-kata seperti ini sudah penuh dan nyaris membusuk di telingaku.
Bahkan, perkataan soal feminisme di tempatku adalah hal sensitif yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan dapat menimbulkan pertengkaran. Beberapa orang disekitarku menganggap bagaimanapun wanita tidak bisa setara dengan laki-laki karena fisik sudah berbeda. Anggapan bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki bukan hal tabu. Pekerjaan domestik pastinya sudah harus menjadi rutinitas yang jika aku mengabaikannya karena kondisiku sakit atau mental yang sedang tidak stabil, akan dianggap sebagai sebuah perilaku salah yang fatal.
Tidak ada poin penting dalam tulisan ini, hanya kata-kata yang tidak lebih dan tidak kurang seperti sebuah curahan. Percayalah, aku tahu kalau aku yang tidak punya kekuatan ini sama sekali tidak spesial. Yang kupunya hanya kata-kata. Aku sering merasa bahwa ketika sedang menulis, aku menjadi manusia super di duniaku sendiri. Segala diskriminasi dan perlakuan rendah yang kualami seperti anjing menggonggong yang mayatnya berlalu. Biar saja, mereka melakukannya sepuas mereka. Aku akan tetap di sini, menulis sesuka hati, sampai nanti bisa membuahkan hasil dan membungkam perilaku kejam siapapun.
Jadi, untuk kalian wanita yang sepertiku, aku tidak akan menyuruh kalian sabar. Jadilah superhero versi terbaik kalian sendiri. Kalian semua punya kekuatan super yang mungkin belum kalian temukan di manapun letaknya. Ah, sudahlah. Sekali lagi aku adalah perempuan dan tulisan ini tidak lebih dan tidak kurang hanya seperti sebuah curahan. Kuharap suatu saat bisa kubaca dan kuingat lagi kenangannya.