Chapter 6 - Kirana

Aku memandangi plafon rumahku yang sudah mulai berjamur. Hening sekali rasanya minggu pagi ini, terlalu hening dengan kedua kakiku yang sulit untuk bergerak. Tanganku yang berukuran kecil bahkan lebih kecil dari tangan seekor simpanse dewasa. Kurus, dengan jari yang bulat-bulat seperti jari jemari katak hijau Australia.

Hari-hariku hanya berbaring di kasur. Padahal aku masih sangat muda, tapi Tuhan memberiku takdir yang tidak biasa. Terlampau spesial sampai-sampai aku sendiri tak ingin besar kepala. Mengapa harus? Ukuran perutku saja sudah sebesar ini. Kalau kepalaku juga membesar maka bentukku akan jelek sekali. 

Keluargaku bergantian menggendongku saat aku ingin sedikit berjalan. Mereka tidak mampu membeli sebuah kursi roda karena memang mahal harganya. Tapi tak apa, dengan begini aku lebih bisa menghafal bau keringat mereka satu persatu. Ayahku, ibuku, juga kakak perempuanku. Mereka sangat menyayangiku lebih dari apapun. Seperti ayah yang susah payah mencarikan biaya pengobatan ke sana kemari, dan segala metode pengobatan yang sudah kutempuh. Ibu yang selalu ada di sampingku dan menyiapkan makanan yang ingin kumakan. Kakakku yang terkadang bercerita tentang apa saja yang tidak aku tahu tentang dunia.

Karena sakit yang kualami ini, aku memiliki keterbatasan untuk bergerak. Aku tidak bisa berjalan, karena bentuk kakiku sangat kurus, sedangkan perutku besar seperti wanita hamil 9 bulan jadi kakiku tidak kuat menyangga tubuhku. Mataku kuning, dan warna kulitku kecoklatan. Setiap 3 bulan sekali, aku harus melakukan tranfusi darah karena setiap aku kelelahan, darahku habis entah ke mana.

Entah apa tujuan Tuhan memberiku hadiah sebesar ini. Di umur yang ke 10 tahun, teman-teman sebayaku tumbuh meninggi, bermain, berlari kesana kemari. Aku tidak merasakan semua itu. Jika aku kelelahan, kadar hemoglobinku akan berkurang dan harus melakukan tranfusi darah.

Aku sekolah di rumah dengan seorang ibu guru yang datang ke rumah. Bu Indah namanya. Ia mengajariku pelajaran kelas 5 SD. Bukan karena keluargaku memaksa untuk tetap belajar, aku yang tidak ingin ketinggalan pelajaran apapun dengan segala keterbatasanku ini. Mulai 6 bulan yang lalu, aku berhenti bersekolah di sekolah karena kadar hemoglobin yang tiba-tiba menurun drastis. Saat itu dokter kaget melihatku yang masih bisa bernafas dengan kadar hemoglobin serendah itu, di mana mungkin normalnya manusia tidak akan bisa bertahan. Mungkin memang aku sedikit memiliki kekuatan super, seperti kata kakakku.

Setelah kejadian itu, aku tidak bisa berjalan. Perutku berat sekali. Mungkin lebih berat daripada beban hidup seorang generasi Z yang mengeluh soal mental ketika orangtuanya masih memenuhi semua gaya hidupnya. Kakiku lemah, aku hanya bisa duduk dan berbaring. Jadi masuk sekolah tidak memungkinkan kala itu. Jadi orang tuaku memutuskan untuk mencarikan home schooling, agar aku tetap bisa belajar.

Keluargaku sangat optimis. Mereka bilang aku pasti bisa sembuh, padahal dokter berkata fungsi hatiku hanya tinggal 60%, bisa dipertahankan, namun sangat mungkin bisa berkurang. Orangtuaku tahu bahwa hidupku tidak akan lama, tapi mereka berusaha semaksimal mungkin untuk membuat hidupku bermakna.

Hingga pada 1 Juni, 2014 aku merasa lelah yang sangat lelah. Lelah yang belum pernah aku rasakan bahkan saat kondisiku kritis sekalipun. Aku merasa akan berada dalam tidur panjang yang dalam. Di telingaku terdengar suara yang membisikan ajakan untuk pulang. Kupejamkan mataku sebentar, lalu ketika membuka mata, aku melihat ayah dan bunda berdiri di depan sebuah pintu dari jauh, mengulurkan tangan mereka seraya mengajakku memasuki pintu dengan sinar terang itu.

Tapi ada yang aneh, tiba-tiba aku bisa berdiri dari tempat tidurku, aku bisa berjalan dengan ringan bahkan berlari. Perutku tidak lagi besar dan kulitku terlihat cerah. Aku melompat dari tempat tidur, berlari ke arah mereka dan mereka menyambutku dengan pelukan. Dari jauh kulihat kakak memanggilku,"Kirana, ayo sini!" ia sudah masuk ke dalam pintu itu. Mengajakku bergabung ke dalam sebuah pekarangan yang luas dengan rerumputan yang subur.

Aku memasuki pintu itu, kakiku menginjak rumput tanpa alas kaki. Rasanya nyaman dan menggelitik. Sangat menyenangkan. Setelah 6 bulan lamanya kakiku tidak menapak, sekarang sangat ringan. Bahkan rasa sakit yang menghantuiku selama bertahun-tahun menghilang begitu saja. Pertama kalinya aku merasa sangat bahagia.

Tapi aku mencoba menoleh ke pintu yang kumasuki tadi. Sayup-sayup terdengar tangisan dari suara yang tidak asing. Seperti suara dari ketiga anggota keluargaku. Tapi di saat yang sama, aku melihat mereka berdiri di depanku dengan senyuman lebar dan wajah yang cerah. Lalu pintu itu tertutup, mungkin aku hanya berhalusinasi. Atau sakit yang kuderita selama ini mungkin juga hanya mimpi, sekarang aku berada di alam nyata. Apapun itu, tapi aku merasa sangat-sangat bahagia karena bisa terlepas dari mimpi buruk yang kurasakan bertahun-tahun lamanya.

RIP. Kirana Devitriani 2002-2014