Gadis berpakaian kaos polos lengan pendek warna putih dan celana hot-pants di ruang keluarga itu tengah asyik menyimak percakapan di grup WhatsApp GUGUS 3 yang baru dibuat beberapa jam lalu.
Sentakan seseorang di sebelah kanannya yang menghantam sofa membuat Viola terkesiap. "Ngagetin aja, sih, Kak!"
Raka bergeming. Ia lebih memilih untuk meraih remot dan menyalakan televisi daripada memberi tanggapan pada adiknya.
Tiba-tiba, Viola teringat sesuatu. Ia menonaktifkan ponsel, lalu duduk bersila menghadap sang kakak. "Jadi, sejak kapan kakak Viola ini menjabat sebagai pengurus OSIS?"
Raka menoleh pada gadis di sebelahnya dengan kening berkerut dan tatapan heran. "Emang kenapa kalau Kakak pengurus OSIS?"
"Vio, kok, nggak pernah tahu?"
"Emang kamu harus tahu?"
"Iyalah!" Viola kembali menghadap layar televisi. Gadis itu mengulas senyum tengil, kemudian berkata, "Heran aja, pengurus OSIS yang cukup dikenal, plus salah satu most wanted-nya BHANERA, tapi masih jomlo."
Raka menatap dengan tajam ke arah Viola yang sedang tergelak. "Ngaca!" tukasnya.
"Dih?" Viola tampak tidak mau kalah. "Lihat aja, sebentar lagi Vio bakal punya pacar."
Raka terkekeh tanpa melihat ekspresi Viola.
"Kenapa ketawa?" tanya Viola sinis.
"Nggak," balas Raka di sela-sela tawanya. "Nggak apa-apa."
Viola berdecak kesal. Ia beranjak meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya dengan menghentakkan kaki.
"Yeee ... gitu aja, ngambek!" seru Raka yang membuat mood Viola mendadak turun. "Jangan lupa minum obat!"
Viola hanya mendengus saat mendengar kalimat terakhir kakaknya.
Sesampainya di kamar, Viola kembali memainkan ponsel di atas kasur yang terbalut seprai warna pink pastel. Ia melihat foto profil WhatsApp-nya yang entah sejak kapan menjadi gambar kosong.
"Selfie dulu kali, ya?" guman Viola yang kemudian menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan.
"Nah! Gini baru oke!" Viola tersenyum puas. Namun, senyum itu seketika sirna saat ia mengamati kembali foto profilnya.
Tatapannya beralih pada bandul kalung yang melingkar apik di lehernya. Viola meremas bandul berukiran huruf C sekuat tenaga.
Memorinya berpacu cepat menuju masa lampau. Rasa sakit itu kembali menyergap relung hatinya. Membuat Viola merasakan sesak itu, lagi. Viola benci ini. Ia membenci dirinya yang belum mampu mengendalikan memori yang suka berpindah-pindah dari momen satu ke momen yang lain.
Viola membulatkan tekad. Ia meraih kaitan kalung di lehernya dan terlepaslah kalung itu. Kemudian, Viola mengusap kasar cairan bening yang entah sejak kapan telah menetes.
Gadis itu beranjak menuju lemari pakaian dan menyimpan benda yang semula berada di genggamannya. Viola memang melepas kalungnya, namun tidak berniat untuk mengganti foto profil pada akun WhatsApp-nya.
Viola menghela napas. Berusaha menetralisir emosi yang baru saja membludak. Ia kembali menyalakan ponsel.
Tepat saat itu, sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk.
+62*** :
Viola?
...•••...
Lelaki remaja berkaos hitam lengan pendek itu baru saja kembali ke kamar setelah makan malam bersama keluarganya. Tanpa ayahnya, tentu. Ia membanting tubuh ke kasur yang terbalut seprai bermotif garis-garis.
Afkar meraih ponsel dan melihat notifikasi chat dari grup WhatsApp GUGUS 3 yang bejibun. Afkar merasa tidak tertarik. Sungguh.
Jemarinya beralih membuka ruang chat yang berisi sebuah pesan dari gadis bernama Ina. Sebelum itu, Afkar melihat foto profil Ina.
"Cakep, sih. Tapi gue nggak suka rambut pendek," gumam Afkar.
Malina Sabila:
Itu foto profil emang sengaja kosongan, ya?
Afkar spontan mengecek apa yang baru saja ia baca. Ternyata benar. Entah hal itu sudah berapa lama. Yang jelas, tidak ada alasan khusus mengapa Afkar tidak menggunakan foto profil. Ia memang merasa tidak pernah dan tidak perlu terlalu eksis di dunia maya.
Tiba-tiba, sebuah lampu neon yang terang seolah muncul dari dalam kepala Afkar. Ia segera menggerakkan ibu jarinya pada layar ponsel dengan lincah. Setelah menemukan apa yang ia cari. Seulas senyum terbit dari kedua ujung bibirnya.
^^^Me:^^^
^^^Viola?^^^
Ponsel yang terbalut case warna hitam di genggaman Afkar kembali bergetar. Ia baru sadar jika belum membalas pesan gadis yang ia ketahui bernama Ina.
Malina Sabila:
Kar?
^^^Me:^^^
^^^Iya, nih. Udah lama emang PP gue kosongan, hehe.^^^
Malina Sabila:
Kasih foto lo, dong. Lo, kan, cakep
Afkar hanya tersenyum miring. Bukannya sombong, tapi Ina memang orang kesekian yang mengatakan hal itu.
^^^Me:^^^
^^^Gue nggak punya foto, hehe.^^^
Malina Sabila:
Maksudnya? Lo nggak pernah foto gitu? Selfie kek?
Afkar telah meninggalkan ruang chatting dengan Ina saat pesan itu masuk. Kini, pria itu beralih pada pesan dari sahabatnya yang masuk semenit lalu.
Reza Alfaro:
P
Reza Alfaro:
Woy!
Reza Alfaro:
Kar!
^^^Me:^^^
^^^Apaan?^^^
Reza Alfaro:
Cewek yang tadi sama lo pas jam istirahat siapa namanya?
Dahi Afkar kontan berkerut. Oh, Ina?
^^^Me:^^^
^^^Yang mane?^^^
Reza Alfaro:
Itu, lho, yang rambutnya panjang.
Membaca pesan dari Reza, Afkar sadar bahwa yang dimaksud bukanlah Ina. Sebab, rambut gadis itu hanya mencapai bahu.
^^^Me:^^^
^^^Viola maksud lo?^^^
Reza Alfaro:
Nah, kan! Namanya aja cakep. Dia temen segugus lo, kan?
^^^Me:^^^
^^^Kenapa emang?^^^
Reza Alfaro:
Cakep! Kenalin, kek.
Tanpa sadar, Afkar terkekeh. Pria itu mengakui bahwa yang Reza katakan adalah benar adanya.
^^^Me:^^^
^^^Jangan dia. Orangnya nggak asyik.^^^
^^^Kaku banget kek sapu ijuk.^^^
Reza Alfaro:
'Masa?
^^^Me:^^^
^^^Iya. Sumpah. Mending sama temennya aja. Si Ina.^^^
Reza Alfaro:
Cewek yang rambutnya sebahu itu?
^^^Me:^^^
^^^Yoi.^^^
Reza Alfaro:
Nggak, ah. Lebih menarik si Viola. Jadi penasaran gue.
^^^Me:^^^
^^^Serah lo, dah.^^^
Afkar menutup ruang chatnya dengan Reza dan kembali membalas pesan Ina.
Malina Sabila:
Kar, save nomor gue, ya, hehe.
^^^Me:^^^
^^^Iya :D^^^
Tepat setelah itu, sebuah pesan lain muncul. Tidak. Bukan dari Reza. Pesan kali ini berhasil membuat binar mata Afkar terpancar jelas dan terlukis senyum semringah di bibirnya.
Viola Senia:
Siapa, ya?
Senyum di bibir Afkar sontak lenyap seolah tertelan suara detak jam dinding di kamarnya begitu saja.
"Bahkan dia nggak ingat gue," gumam Afkar.
^^^Me:^^^
^^^Afkar.^^^
Viola Senia:
Afkar siapa?
Mungkin, jika Afkar memasang fotonya sendiri di profil WhatsApp, Viola akan mengingatnya. Ya, mungkin saja.
Afkar mengambil gitar hitam miliknya. Gitar yang lebih tepat dijadikan Afkar sebagai pajangan. Ia meraih topi putih di atas nakas dan mengenakannya dengan posisi terbalik. Lelaki berumur enam belas tahun itu segera membuka kamera belakang pada ponselnya. Lalu, ia ber-pose ala cowok cool di hadapan cermin dan menjadikannya foto profil.
"Ck! Keren banget, dah, gua!" Afkar tergelak, menertawakan dirinya sendiri.
Afkar kembali pada chat Viola yang belum ia balas.
^^^Me:^^^
^^^Sekarang inget?^^^
Butuh waktu kurang lebih 10 menit untuk Viola kembali membalas pesan Afkar.
Viola Senia:
Oh, elo.
"Anjir! Gitu doang jawabnya?" gerutu Afkar sembari meremas guling miliknya yang berbalut seprai warna abu-abu pekat.
^^^Me:^^^
^^^Save nomor gue.^^^
Viola Senia:
Ya.
"Oh, Goddd!!! Nih cewek, bener-bener, ya. Fix! Gue harus bikin dia jatuh cinta sama gue."
^^^Me:^^^
^^^Lo emang gini, ya, orangnya?^^^
Viola Senia:
Gimana?
^^^Me:^^^
^^^Nggak asyik.^^^
Viola Senia:
Y.
"Anjir!"
Kemudian, suara nyaring bocah berumur 10 tahun membuat Afkar menggeletakkan ponsel di atas nakas.
"KAK!!! DIPANGGIL MAMA!!!"
...•••...
"Kenapa, Ma?" tanya Afkar pada ibunya yang tengah menonton televisi di ruang tengah.
"Papa katanya mau pulang. Kamu minta apa?"
Afkar mendengus. "Minta papa nggak usah pulang."
Ucapan Afkar sontak mendapat hadiah berupa pelototan dari Bela. "Kapan kamu damai sama papa?"
Afkar mengedikkan bahu tak acuh.
Bela menghela napas sejenak. "Tolonglah, Kar. Kasih papa kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Mata elang Afkar menghunus manik mata sang ibu. "Selama papa masih kasar sama Mama, nggak akan ada kata damai dari aku buat papa."
Afkar lantas beranjak tanpa menghiraukan panggilan Bela.
Jangan salahkan Afkar. Anak mana yang sudi ibunya diperlakukan kasar? Apalagi dengan ayahnya sendiri. Tidak ada.