Hari kedua MPLS di SMA BHANERA telah berlangsung sejak 2 jam terakhir. Para kakak pembina masing-masing gugus menggiring para peserta MPLS untuk mengelilingi sekolah baru mereka.
Tepat 10 menit berikutnya, bel tanda jam istirahat menggema di seluruh antero SMA BHANERA. Hal itu sontak membuat seluruh murid berhamburan. Ada yang menuju toilet, kelas, bersantai di bawah pohon rindang, kebanyakan menuju kantin untuk mengisi perut.
"Woy!" teriak Riri sembari menepuk dari belakang bahu kedua sahabatnya yang tengah menyisiri koridor untuk menuju kantin.
"Anjir, lo!" umpat Ina yang sedikit merasa kaget. Dan hal itu membuat kedua sahabatnya tergelak.
"Pada mau ke kantin?" tanya Riri.
"Iya," sahut Ina.
Akhirnya, mereka berjalan beriringan. Melewati puluhan siswa yang juga sedang menyisiri koridor sekolah.
Sesampainya di kantin, Viola, Ina, dan Riri segera menempati bangku yang kosong. Setelah itu, Riri beranjak untuk memesan makanan yang telah disebutkan oleh Viola dan Ina.
Di meja berbentuk bundar itu, Viola dan Ina sama-sama sibuk memainkan ponsel. Sampai akhirnya, suara Ina menusuk gendang telinga Viola.
"OMG!!! Cakep banget!!!" Ina memekik tertahan.
Viola yang melihat respon berlebihan dari sahabatnya itu hanya memutar kedua bola mata dengan malas. Tidak ingin tahu apa yang membuat Ina berekspresi demikian.
"Vi, coba lihat, deh!"
Viola menghela napas sejenak. Dengan malas, gadis itu melengos untuk melihat apa yang terpampang di layar ponsel Ina.
"Cakep banget, 'kan?" Lagi-lagi suara Ina terdengar menahan gemas di telinga Viola.
"Biasa aja," sahut Viola dengan ekspresi datar. Gadis itu kembali memainkan jari pada layar ponselnya.
"Ish! Lo, tuh, ya! Kapan bisa move on dari Cal—"
"Stop, Na! Nggak usah sebut-sebut nama itu lagi."
Si tersangka langsung kicep, tersadar akan kesalahan yang baru saja ia perbuat. Ina yang semula menatap layar ponselnya dengan senyum merekah, kini beralih menatap Viola dengan tatapannya yang menyaratkan rasa bersalah.
"Sorry," cicit Ina.
Viola hanya menanggapi itu dengan sebuah senyum singkat—palsu. Sama sekali tidak ada gairah untuk memperpanjang topik barusan.
Viola melirik jam pada layar ponselnya. Waktunya minum obat. "Gue ke toilet bentar," ucap Viola yang langsung melenggang dari tempatnya. Tanpa melihat Ina yang masih memandangnya dengan tatapan yang---Ina yakin, Viola akan sangat membenci itu.
Di toilet, Viola segera bergegas melakukan apa yang menjadi tujuannya datang kemari. Ia enggan menatap dirinya di depan cermin. Sebab, saat Viola melakukan itu, entah mengapa rasa sesak tiba-tiba menyeruak dan menghimpit saluran pernapasannya.
Setelah selesai, Viola melangkah santai keluar dari area toilet. Tiba-tiba, sesuatu terasa menghantam bahu kanannya kala ia tengah sibuk merapikan seragam.
"Awh!" Viola spontan mendongak untuk melihat bahu siapa yang bertabrakan dengan bahunya.
"Sorry," ucap suara bariton yang merupakan tersangka.
Viola mengulas senyum ramah. "Nggak apa-apa."
Saat Viola akan kembali melangkah, laki-laki itu meraih pergelangan tangannya. Membuat Viola tersentak untuk beberapa saat. Viola menerobos manik mata lelaki itu dengan tatapan herannya. Yang ditatap sedemikian pun tersenyum—mengerti akan pertanyaan Viola di balik manik matanya.
Lelaki yang tingginya sedikit di atas Viola itu kemudian mengulurkan tangan. "Gue Reza, dari gugus empat."
Viola yang bingung harus merespon apa, hanya mengulas senyum dan membalas jabatan tangan Reza dengan canggung. "Viola."
"Sorry, buat yang tadi." Reza kembali unjuk senyum terbaiknya.
"Nggak apa-apa," balas Viola seadanya. "Gue permisi." Oke. Jujur, bahu kanan Viola terasa nyeri sekarang. Tidak masalah. Rasa nyeri itu akan hilang dalam beberapa saat.
Reza yang melihat Viola telah beranjak, hanya menatap punggung cewek itu dengan senyum terpatri. "Nggak secuek kata Afkar," gumamnya.
Tanpa Reza sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan aksinya dengan tatapan tajam dan tangan mengepal kuat. Pemilik mata itu meraih kaleng yang tertangkap pandangannya, lalu meremasnya kuat. Hingga kaleng itu menjadi tak berbentuk.
Bukan waktu yang tepat untuk meluapkan buncahan dalam dada secara terang-terangan. Mengingat dirinya begitu payah dalam mengontrol emosi.
Dan tanpa pemilik sepasang mata itu sadari pula, Viola menangkap dengan jelas ekspresinya.
...•••...
Siang yang biasanya terik, entah mengapa sekarang mendadak mendung.
Gadis berambut panjang yang sudah beberapa saat lalu keluar dari gerbang sekolah itu menengadah. Menghalau awan hitam pekat yang terasa dekat, meski sebenernya sangat jauh.
Kedua sahabatnya—Ina dan Riri—sudah meninggalkan area sekolah sejak 10 menit yang lalu. Hari ini Viola akan pulang bersama kakaknya.
Getaran pada ponsel di saku rok seragam abu-abu, membuat Viola meraih benda pipih itu.
Raka Senio Mahrito:
Kakak ada rapat pengurus OSIS mendadak, Vi. Kamu pulang duluan aja.
"What?!" pekik Viola. Jari-jarinya yang lentik menari di atas layar ponsel dengan penuh emosi.
^^^Me:^^^
^^^Riri udah balik tadi, Kak. 'Masa Vio naik taksi? Nggak mau!^^^
Raka Senio Mahrito:
Ya, terus? Kamu tunggu aja kalau gitu.
^^^Me:^^^
^^^Lama nggak?^^^
Raka Senio Mahrito:
Belum tahu. Biasanya kalau rapat dadakan gini, minimal 2 jam.
Viola mendengus sebal. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk menuju halte depan sekolah dan menunggu taksi. Mau bagaimana lagi? Dari pada menunggu selama 2 jam, Viola lebih memilih untuk pulang naik taksi.
Saat berumur delapan tahun, Viola pernah mengalami peristiwa suram akan mobil biru tersebut. Ia hampir saja diculik, jika papanya tidak cepat tanggap. Kala itu, Viola dan papanya naik taksi untuk pergi menyusul Bela dan Raka yang sudah terlebih dulu tiba di Lamongan—rumah nenek Viola. Karena rumah nenek Viola berada di dalam gang, maka Viola dan papanya turun tidak di depan rumah. Kesalahan Rohim adalah dirinya turun terlebih dahulu. Taksi itu sempat melesat, namun tertahan oleh kerumunan orang yang berlalu-lalang dan Viola berhasil diselamatkan.
Sejak saat itu, Viola belum pernah naik kendaraan umum lagi.
Taksi yang dinanti-nanti datang setelah 15 menit Viola menunggu. Saat hendak meraih gagang pintu taksi, sebuah tangan yang berukuran lebih besar dari tangan Viola melilit pergelangan gadis itu dengan telapak tangannya.
Sang supir taksi yang telah menunggu pun menurunkan kaca tepat di depan Viola.
Viola baru saja membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun suara bariton dari lelaki berahang tegas di sebelahnya menyela.
"Maaf, Pak. Nggak jadi."
Viola menatap Afkar dengan kening berkerut. Saat itu pula, taksi melenggang pergi.
"Lo apa-apaan, sih?!" geram Viola.
Gadis itu melirik pergelangan tangannya yang masih digenggam erat oleh Afkar. Sementara Afkar yang sadar akan arah lirikan Viola, tidak berniat untuk melepas gadis itu.
"Lo mau pulang, 'kan? Bareng gue aja," kata Afkar santai.
"Hah?" Viola bingung.
Bukannya memberi Viola jawaban atas kebingungan yang berkecamuk di kepalanya, Afkar malah menyeret gadis itu dan Viola tidak sanggup untuk mengelak.
Viola mengekori langkah Afkar dengan mulut terkatup rapat. Ia ingin bertanya, namun tidak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Afkar memakai helm dan menaiki motor sportnya. Kemudian, lelaki itu segera menyalakan mesin. Saat menoleh ke samping, ternyata Viola masih bergeming di tempatnya.
Viola masih menatap Afkar dengan bingung. "Ini serius?"
"Iya. Buruan naik."
"Tapi gue nggak bawa helm."
"Gue tahu jalan tikus. Buruan!"
Tanpa kata, Viola pun pada akhirnya menuruti permintaan Afkar.
Setelah memastikan Viola duduk dengan benar, Afkar segera menjalankan motornya.
Hening. Tidak percakapan yang terjadi di antara mereka selama motor Afkar membelah jalanan Kota Pahlawan. Viola tidak berminat untuk memulai obrolan, sedangkan Afkar bingung harus memulai dari mana.
"Ini ke mana?" Suara Afkar memecah keheningan.
"Lurus aja, nanti ada perempatan ke kiri."
Afkar mengangguk. Ia menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Sejenak, lelaki itu merasakan sesuatu.
Gue kayak pernah ngelewatin jalan ini.
"Kenapa gue ngerasa dejavu, ya?" tanya Afkar yang membuat Viola segera menatapnya.
"Dejavu gimana?"
Afkar melirik Viola dari kaca spion sekilas. "Gue kayak pernah ngelewatin jalan ini."
"Ini, kan, jalan umum. Wajarlah!" tukas Viola kasar. Gadis itu enggan melanjutkan pembicaraan.
Sementara Afkar kembali fokus pada jalanan di hadapannya sambil mengulas senyum penuh makna. Semakin kemari—arah jalan yang diutarakan oleh Viola—Afkar semakin yakin bahwa ini adalah jalan menuju rumah Raka. Kakak kelas yang sudah ia kenal sejak setahun lalu, karena Raka menjalin hubungan dengan Sella.
"Kar, gue takut!"
"Ada gue di sini."
"I love you."
Afkar membuka mata lebar-lebar. Tarikan napas diambil perlahan untuk memasok udara dalam paru-parunya. Setelah merasa lebih baik, Afkar berusaha fokus pada arahan Viola dan jalan yang ia susuri.
Hingga pada akhirnya, motor Afkar terhenti di salah satu rumah di sebuah kompleks perumahan. Rumah bertingkat dua dengan dominasi cat berwarna putih, pagar hitam tinggi menjulang, dan terdapat taman yang cukup luas di samping hingga belakang rumah itu.
Afkar mengamati gadis di sebelahnya yang sedang sibuk membuka pagar. Tak lama kemudian, pagar itu pun terbuka.
"Gue nggak ditawarin masuk, nih?" celetuk Afkar. Mengingat Viola bertingkah seolah gadis itu hanya seorang diri.
"Oh, lo mau masuk?" tanya Viola datar.
"Boleh?"
"Masuk aja."