Chereads / Golden Love (Ketika-Cinta-Diperlombakan) / Chapter 4 - Berpisah Denganmu

Chapter 4 - Berpisah Denganmu

"Ndre, kenapa mukamu kusut begitu?" tanya Roy kepada Andre di dalam Perpus Pusat lantai tiga yang cuma ada beberapa mahasiswa di sekitarnya saat keduanya memilah-milah buku di sebuah rak buku untuk mengerjakan tugas.

"Ada malasah, Ndre?" tanya Roy lagi sambil mengembalikan sebuah buku ke dalam raknya, lalu dia berjalan menghampiri sahabatnya itu yang hanya berjarak sekitar empat meter di samping kirinya.

"Lusa, Dea dipindahin Papanya ke Oxford, Roy!" jawab Andre sambil membaca sebuah buku yang dipegangnya.

"Oxford itu di Inggris ya Ndre?" tanya Roy.

"Iya, Roy!" jawab Andre sambil mengembalikan buku yang dibacanya ke tempatnya seperti semula, lalu Andre memilah-milah buku lagi untuk dijadikan referensi tugasnya.

"Kan cuma pindah aja, Ndre!" kata Roy yang masih berdiri di sampingnya.

"Kan masih bisa telpon, kirim sms, dan chattingan kan?" sambung Roy lagi.

"Kalau telpon dan SMSan sudah nggak bisa, Roy!" jawab Andre sambil membaca sebuah buku lainnya lagi yang barusan diambilnya dari rak.

"Terus kenapa kamu sedih, Ndre?" tanya Roy.

"Papanya tidak merestui hubunganku dengan Dea, Roy!" jawab Andre.

"Sudah berapa lama sih hubunganmu dengan Dea, Ndre?" tanya Roy.

"Sudah hampir dua minggu ini!" jawab Andre.

"Memangnya kenapa, Roy?" tanya Andre.

"Nggak apa-apa kok, Ndre! Aku cuma tanya aja!" jawab Roy sambil kembali memilih-milih buku di rak buku dekat Andre.

"Rencananya, Papanya juga menginginkan Dea menempuh S2nya di sana!" jawab Andre sambil berjalan membawa buku yang dibacanya tersebut ke meja yang kosong di dekatnya, lalu diikuti Roy dari belakang sambil membawa buku yang diambilnya dari rak buku tadi.

"Terus kenapa kamu kok sedih, Ndre?" tanya Roy yang sudah duduk di sebelahnya.

"Ini aku serius nanya!" kata Roy sambil garuk-garuk kepala.

"Aku kan masih semester tiga, Roy!" jawab Andre sambil membuka laptopnya dan bersiap-siap mengetik dari sebuah buku yang dibawanya tadi sebagai referensi tugasnya.

"Terus apa hubungannya dengan Dea, Ndre?" tanya Roy lagi yang juga sambil membuka laptopnya.

"Selama itu aku akan berpisah dengan Dea, Roy!" jawab Andre sambil mulai mengetik.

"Berpisah??" tanya Roy.

"Iya, Roy!" jawab Andre dengan sedih.

"Ya enggak dong! Kan bisa LDRan, Ndre!" kata Roy sambil mulai mengetik. Andre hanya terdiam saja sambil mengetik.

"Rencanamu ke depan apa, Ndre??" tanya Roy.

"Maksudku, kamu ingin kuliah di Oxford seperti Dea??" tanya Roy lagi sambil melihat Andre yang sedang sibuk mengetik tugasnya.

"Aku juga ingin seperti itu kelak, Roy!" jawab Andre sambil berhenti sejenak mengetik, lalu menatap Roy dengan tatapan penuh harap.

"Oh gampang itu, Ndre!" jawab Roy dengan entengnya.

"Gampang??" tanya Andre yang masih menatap Roy dengan terperangah.

"Gimana caranya, Roy??" tanya Andre lagi.

"Kamu tinggal belajar yang rajin aja!" jawab Roy. Setelah Roy berkata demikian, Andre seperti mendapat dorongan semangat dan pencerahan dari sahabat karibnya tersebut.

"Terus??" tanya Andre.

"Ya kamu nanti daftar beasiswa ke Oxford dong!" jawab Roy.

"Baiklah, kawan!" kata Andre sambil mulai mengetik tugasnya.

"Apa kamu mau aku doain lagi, Ndre?" tanya Roy sambil berhenti sejenak mengetik, lalu tersenyum kepadanya.

"Iya, Roy! Pasti!" jawab Andre yang sudah tidak bersedih lagi.

"Terus kamu mau ngasih aku apa kalau nanti kamu berhasil kuliah di Oxford??" tanya Roy sambil lanjut mengetik lagi.

"Sepeda motor baru!" jawab Andre sambil tertawa.

"Hahahaha....!" Roy hanya tertawa terbahak-bahak saja.

"Deal?" tanya Roy sambil mengulurkan tangan kanannya ke Andre untuk mengajak bersalaman tanda kesepakatan telah dibuat kalau Andre mengucapkan deal dan kemudian menyalami tangan Roy.

"Deal!" jawab Andre sambil menyalami tangan Roy, sehingga Andre telah menyanggupi akan memberikan sebuah sepeda motor baru kepada Roy kalau dia nanti berhasil mendapatkan beasiswa kuliah S2 ke Oxford.

"Ngomong-ngomong, sepeda motor baru apa yang kamu berikan kepadaku nanti, Ndre?" tanya Roy penasaran.

"Rahasia dulu dong!" jawab Andre sambil mulai mengetik lagi dan tersenyum.

"OK!" kata Roy yang juga mulai mengetik lagi. Dua jam kemudian, tugas kuliahnya Andre dan Roy sudah selesai. Kemudian, dua sahabat karib tersebut pun pulang bersama-sama seperti biasanya. Pada sore harinya, Andre datang ke rumah Dea untuk menjenguk Dea yang sedang sakit menurut telpon yang diterima darinya beberapa saat sebelum mandi sore. Andre pergi sendirian ke rumahnya Dea dengan naik angkot. Ketika berada di depan pintu gerbang rumahnya Dea, seorang satpam yang dulu pernah menanyainya dan Roy saat pesta ulang tahunnya Dea yang ke-23 pun menemui dan menanyainya:

"Ada apa, mas? Ada yang bisa saya bantu, mas?" tanya si satpam tersebut kepada Andre yang tampak kebingungan di depan pintu gerbang.

"Dea ada di rumah, pak?" tanya Andre kepadanya.

"Iya, mas! Ada di rumah!" jawab si satpam tersebut di dalam area pintu gerbang yang masih belum membukakan untuk Andre.

"Katanya hari ini Dea sedang sakit ya pak?" tanya Andre untuk memastikan Dea sedang sakit atau tidak.

"Oh tidak tahu saya mas kalau itu!" jawab si satpam tersebut.

"Masnya tahu dari mana non Dea sedang sakit hari ini?" tanya si satpam tersebut.

"Saya tadi ditelpon Dea sendiri pak!" jawab Andre.

"Kata non Dea gimana mas?" tanya si satpam tersebut yang tak ingin rumah mewah dan besar berlantai tiga yang dijaganya itu kecolongan dari orang asing yang hanya mengaku-ngaku saja.

"Dea cuma mengabari saya kalau dirinya sedang sakit sekarang, pak!" jawab Andre.

"Cuma itu saja, mas?" tanya si satpam tersebut yang mencoba mengorek keterangan lebih jauh.

"Iya, pak!" jawab Andre singkat.

"Masnya sendiri apanya non Dea?" tanya si satpam tersebut. Ada tiga satpam lagi yang bertugas sore itu, tapi satu satpam itu saja yang menanyai Andre sejak tadi, sedangkan tiga satpam lainnya sedang asyik ngobrol-ngobrol di dalam pos satpam yang ada di dalam area dekat pintu gerbang tersebut.

"Saya pacarnya Dea, pak!" jawab Andre tanpa basa-basi.

"Pacar??" tanya satpam tersebut tak percaya.

"Iya, pak!" jawab Andre dengan tegas.

"Masnya satu jurusan dengan non Dea??" tanya satpam itu lagi untuk memastikan bahwa identitas Andre jelas.

"Bukan, pak!" jawab Andre singkat.

"Saya kuliah jurusan Ekonomi, pak! Tapi semesternya sama dengan Dea!" sambung Andre.

"Non Dea kuliahnya jurusan apa ya mas? Bapak lupa!" tanya satpam tersebut yang pura-pura lupa hanya untuk mengetes Andre.

"Bahasa Inggris, pak!" jawab Andre dengan cepat.

"Oh iya!" jawab satpam tersebut sambil tersenyum kepada Andre. Tiga satpam yang sedang mengobrol-ngobrol dan sesekali bergurau di dalam pos satpam membiarkan saja temannya tersebut menginterogasi Andre.

"Boleh saya lihat Kartu Mahasiswanya mas?" tanya si satpam tersebut.

"Baik, pak!" jawab Andre. Tidak beberapa lama kemudian, Andre mengambil dompetnya di dalam saku belakang celana jeansnya, lalu dia mengeluarkan Kartu Mahasiswanya dari dalam dompetnya itu yang ditaruhnya di dalam sebuah ruang sempit bersama dengan kartu-kartu lainnya.

"Ini, pak!" kata Andre sambil menyodorkan Kartu Mahasiswanya dengan tangan kanannya ke satpam tersebut melalui sebuah sela di antara dua jeruji besi cor yang merupakan bagian dari pintu gerbang tersebut. Si satpam tersebut segera mengambilnya dengan tangan kanannya juga, lalu melihat dan membaca keterangan-keterangan yang ada pada bagian depan dan belakang Kartu Mahasiswanya Andre. Tidak beberapa lama kemudian, Pak Anton datang dari arah belakangnya Andre dengan mobil Avanza warna abu-abu seperti biasa dia pakai ke kantor. Pak Anton segera membunyikan klakson dua kali sebagai pertanda bagi satpam-satpam yang sedang bertugas untuk membukakan pintu gerbang. Tiga satpam yang sejak tadi mengobrol-ngobrol dan bercanda di dalam pos satpam segera keluar untuk membuka pintu gerbang bersama dengan si satpam yang menginterogasi Andre tersebut, sedangkan Andre segera minggir dari hadapan mobilnya Pak Anton. Setelah pintu gerbang dibuka oleh keempat satpam tersebut, Pak Anton masih berdiam diri beberapa menit di dalam mobilnya sambil mengamat-amati Andre. Pak Anton pun teringat tentang Andre yang dulu pernah diperkenalkan Dea saat Andre mengatakan cintanya di malam ulang tahunnya Dea yang ke-23. Tidak beberapa lama kemudian, Pak Anton keluar dari mobilnya, lalu dia menghampiri Andre.

"Hei, kamu!" teriak Pak Anton kepada Andre.

"Iya, pak!" jawab Andre sambil membungkukkan badan dan mengajak Pak Anton bersalaman, tapi Pak Anton diam saja masih menyarungkan kedua tangannya di kedua saku celananya sambil memandang Andre dari bawah ke atas dengan tatapan meremehkan.

"Ada apa, pak?" tanya Andre dengan melembutkan suaranya.

"Sepertinya kamu yang dulu pernah mengatakan cinta kepada Dea kan?" tanya Pak Anton dengan nada cukup tinggi.

"Betul, pak!" jawab Andre. Sebenarnya, Andre ingin mengatakan bahwa dirinya adalah kekasihnya Dea, tapi Andre tidak jadi mengatakannya, karena dia takut kena damprat Pak Anton.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Pak Anton dengan kedua matanya melotot.

"Maaf, pak! Saya ke sini ingin menjenguk Dea, pak! Dea tadi menelpon saya, pak!" jelas Andre dengan tergopoh-gopoh.

"Aku peringatkan kepadamu lagi ya! Jangan coba-coba datang ke sini dan berhubungan dengan Dea lagi! Mengerti?" kata Pak Anton sambil menunjuk-nunjuk Andre.

"Mengerti, pak!" jawab Andre sambil mengangguk dan membungkukkan badannya lagi.

"Sebentar lagi Dea aku pindahin ke luar negeri!" kata Pak Anton lagi.

"Sekarang, kamu pulang saja! Cepat pulang!" usir Pak Anton.

"Baik, pak! Terima kasih!" jawab Andre kepada Pak Anton sambil membungkukkan badannya lagi.

"Assalamu'alaikum!" salam Andre kepada Pak Anton, tapi Pak Anton hanya diam saja tak menjawab salamnya. Keempat satpam yang sejak tadi berdiri bergerombol di samping pintu gerbang yang sudah dibukakan untuk Pak Anton tersebut menjawab salamnya Andre di dalam hati saja.

"Dasar anak angkot! Berani-beraninya mengatakan cinta kepada putriku!" geram Pak Anton sambil melihat Andre pergi. Setelah itu, Pak Anton segera masuk ke dalam mobilnya, lalu mengendarainya masuk menuju ke bagasinya. Pak Anton segera masuk ke kamarnya Dea yang sedang terbaring berselimut di atas kasurnya.

"Sayang, kamu lagi sakit?" tanya Pak Anton yang duduk di samping putri semata wayangnya itu sambil memegang jidatnya untuk mengetahui seberapa panas suhu badan Dea.

"Iya, Pa!" jawab Dea lirih sambil bersin-bersin. Kedua bibir Dea kering, kedua matanya merah, dan panasnya cukup tinggi.

"Aduuuh, panas sekali badanmu, sayang!" kata Pak Anton yang kini sedang memegang salah satu lengan Dea.

"Mama ke mana, sayang?" tanya Pak Anton gelisah.

"Mama sedang pergi arisan dengan teman-temannya, Pa!" jawab Dea lirih sambil duduk di atas kasurnya dan menyandarkan punggungnya di tembok.

"Bik Inah ke mana, sayang?" tanya Pak Anton sambil mengendurkan dasinya.

"Bibik lagi buatin teh manis hangat di dapur, Pa!" jawab Dea sambil bersin-bersin lagi. 

"Sejak kapan kamu seperti ini, sayang?" tanya Pak Anton.

"Sejak siang tadi, Pa!" jawab Dea.

"Sekitar pukul 11an, Pa!" sambung Dea. Tidak beberapa lama kemudian, Bik Inah datang membawa segelas teh hangat manis untuk Dea.

"Eh, ada Tuan!" kata Bik Inah sambil berjalan ke meja belajarnya Dea untuk menaruh segelas teh hangat manis.

"Saya baru datang, Bik!" jawab Pak Anton yang masih duduk di samping Dea sambil menoleh ke Bik Inah.

"Tadi gimana ceritanya ini, Bik? Kok bisa Dea sakit begini?" tanya Pak Anton dengan serius kepada Bik Inah.

"Maaf, Tuan! Saya tadi tidak tahu non Dea sakit! Bibik tahunya non Dea sudah terbaring di kasur seperti ini, Tuan! Non Dea manggil-manggil Bibik tadi untuk dibuatkan segelas teh hangat manis, Tuan!" jawab Bik Inah yang berdiri di samping meja belajarnya Dea setelah menaruh segelas teh hangat manis di atasnya.

"Dea, Papa bawa kamu ke rumah sakit sekarang ya sayang! Panas kamu tinggi sekali!" kata Pak Anton sambil memegang jidat Dea lagi sejenak.

"Nggak perlu, Pa!" jawab Dea sambil bersin-bersin lagi tiga kali.

"Dea cuma masuk angin aja kok Pa!" sambung Dea sambil menyeruput teh hangat manisnya, lalu menaruhnya lagi di tempatnya semula di atas meja belajarnya tadi.

"Panas kamu tinggi sekali, Dea!" kata Pak Anton kepada Dea.

"Iya, non! Daripada nanti semakin parah loh, non!" sahut Bik Inah.

"Dea cuma masuk angin aja kok, Bik!" jawab Dea yang sudah agak mendingan sedikit daripada sebelum menyeruput teh hangat manisnya barusan.

"Tadi Dea terlalu lama berenang, terus Dea minum banyak es sirup! Ditambah lagi tadi malam Dea begadang ngerjain tugas, Pa!" jelas Dea yang kembali bersin lagi, tapi hanya sekali.

"Bik, tolong belikan obat flu dan penurun demam di toko depan rumah itu Bik!" perintah Pak Anton kepada Bik Inah sambil memberikan uang kepadanya sebesar Rp. 50 ribu.

"Baik, Tuan!" jawab Bik Inah sambil mengambil uang yang diberikan oleh Pak Anton, lalu Bik Inah berjalan keluar dari kamarnya Dea menuju ke toko seperti yang telah dikatakan Pak Anton tadi.

"Dea, tadi ada temenmu ke sini mau menjengukmu!" kata Pak Anton sambil merapikan selimut Dea yang sedikit melorot.

"Berapa anak, Pa?" tanya Dea sambil meminum seteguk teh hangat manisnya lagi, lalu mengembalikannya ke tempatnya seperti semula.

"Satu anak!" jawab Pak Anton sedikit ketus.

"Siapa namanya, Pa?" tanya Dea yang sudah sedikit berkeringat akibat pengaruh dari teh hangat manis yang diteguknya cukup banyak tadi.

"Papa tidak tanya namanya, sayang!" jawab Pak Anton dengan memberengut.

"Tadi di mana, Pa?" tanya Dea dengan serius yang mulai curiga bahwa temannya yang mau menjenguknya itu adalah Andre.

"Di depan pintu gerbang!" jawab Pak Anton sambil menoleh ke kanan dan kiri berpaling dari menatap kedua mata Dea.

"Di depan pintu gerbang, Pa?" tanya Dea yang semakin kuat kecurigaannya.

"Iya!" jawab Pak Anton sambil berdiri dan kini menatap kedua mata Dea dengan tajam.

"Cowok apa cewek, Pa?" tanya Dea sambil duduk bersila di atas kasurnya yang seharga Rp. 5 juta.

"Cowok!" jawab Pak Anton sambil menyeret kursi belajarnya Dea, lalu mendudukinya menghadap Dea.

"Dia dulu pernah mengatakan cinta kepadamu di malam pesta ulang tahunmu!" kata Pak Anton.

"Papa minta jangan pernah berhubungan dengan cowok itu lagi!" sambung Pak Anton setelah terjadi hening sejenak.

"Tapi Pa, ..... !" jawab Dea yang omongannya belum selesai, karena Pak Anton memotongnya.

"Tidak ada tapi-tapi!" kata Pak Anton dengan cepat dan marah.

"Papa tidak ingin kamu berpacaran dengan gembel!" sambung Pak Anton sambil berdiri.

"Dia itu ..... !" jawab Dea yang omongannya kembali belum selesai, karena Pak Anton memotongnya lagi.

"Papa besok akan urus berkas-berkas kepindahanmu di kampusmu!" kata Pak Anton.

"Sekarang beristirahatlah!" kata Pak Anton lagi sambil berjalan keluar dari kamarnya Dea menuju ke kamarnya sendiri untuk ganti baju. Kini, kedua mata Dea mulai berkaca-kaca. Tidak beberapa lama kemudian, meneteslah air mata yang keluar dari kedua mata indahnya ke kedua pipinya. Lima menit kemudian, Bik Inah masuk ke kamar Dea membawakan obat untuknya yang tadi dibelinya di sebuah toko kelontong di depan rumah.

"Ini non obatnya!" kata Bik Inah yang sudah di dekat Dea, tapi Dea hanya diam saja dengan pandangan kosong ke depan sambil terisak-isak.

"Non Dea kenapa kok menangis?" tanya Bik Inah yang sangat terkejut.

"Tidak apa-apa kok Bik!" jawab Dea sambil mengusap-usap air matanya yang menetes di kedua pipinya dengan jari-jari lentiknya.

"Kalau ada apa-apa, bilang aja ke Bibik, non!" kata Bik Inah sambil menempatkan pantatnya di samping Dea.

"Bibik nanti akan sampaikan ke Papa!" sambung Bik Inah.

"Sudah aku bilang, Dea tidak apa-apa kok Bik!" jawab Dea dengan murung.

"Lalu kenapa non Dea menangis?" tanya Bik Inah sambil mengusap air mata Dea dengan jari-jarinya yang sudah berkeriput itu.

"Dea cuma ingin menangis aja kok Bik!" jawab Dea.

"Ingin menangis untuk apa non?" tanya Bik Inah sambil tersenyum kepada Dea yang sudah dianggapnya sebagai cucunya sendiri itu.

"Tidak untuk apa-apa kok Bik! Dea cuma ingin menangis aja!" jawab Dea yang masih terisak-isak.

"Kalau begitu, diminum dulu obatnya ini non! Terus istirahat ya non!" pesan Bik Inah sambil mengelupas satu obat flu dan penurun demam dari pembungkusnya, lalu memberikannya kepada Dea. Dea hanya mengangguk-angguk saja sambil mengambil obat yang diberikan oleh Bik Inah.

"Oh iya, non Dea sudah makan siang apa belum?" tanya Bik Inah.

"Belum Bik!" jawab Dea.

"Kalau begitu, Bibik ambilkan di dapur ya non!" kata Bik Inah.

"Jangan diminum dulu obatnya non! Soalnya non Dea belum makan siang!" ingat Bik Inah sambil menyingkirkan rambut Dea yang sedang menutupi mata kirinya.

"Iya, Bik!" jawab Dea sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Non Dea mau makan apa?" tanya Bik Inah sambil berdiri, lalu menaruh obat tadi di atas meja belajarnya Dea di dekat segelas teh hangat manis.

"Makan seperti sarapan tadi aja, Bik!" jawab Dea yang sudah tidak bersemangat.

"Non Dea tadi sarapan apa aja?" tanya Bik Inah yang masih berdiri di samping Dea.

"Nasi putih ama telur dadar! Kuahnya sop, Bik!" jawab Dea sambil berbaring lagi dengan menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

"Tunggu ya non! Bibik akan ambilkan!" kata Bik Inah. Setelah itu, Bik Inah berjalan keluar dari kamarnya Dea.

"Tolong ditutup pintunya ya Bik!" pesan Dea kepada Bik Inah.

"Baik, non!" jawab Bik Inah sambil menoleh ke belakang ke Dea, lalu Bik Inah lanjut berjalan lagi. Ketika sampai di bibir pintu, Bik Inah menutup pintu kamarnya Dea yang terbuat dari kayu jati yang berpernis dan bercat warna coklat itu. Bik Inah sebenarnya mau mengatakan ke Pak Anton bahwa Dea tadi menangis, tapi Bik Inah memberikan sepiring nasi putih dan seiris telur dadar dengan kuah sop secukupnya ke Dea terlebih dahulu, baru kemudian Bik Inah mengatakannya ke Pak Anton bahwa Dea tadi menangis. Sepuluh menit kemudian, Dea sudah selesai makan siang, lalu Dea meminum obat yang dibeli Bik Inah di toko kelontong depan rumah dan Dea pun tertidur akibat efek dari obat yang diminumnya tersebut. Setelah itu, Bik Inah menghampiri Pak Anton yang sekarang berada di teras samping sedang santai sambil merokok dan melihat ikan-ikan koinya yang mulai tumbuh besar di kolam serta sesekali memberikan pakannya.

"Maaf, Tuan! Bik Inah mau ngomong!" kata Bik Inah kepada Pak Anton yang sedang memberi pakan ikan-ikan koinya di kolam.

"Eh, Bik Inah!" jawab Pak Anton sambil menoleh ke Bik Inah yang ada di sampingnya.

"Ada apa, Bik?" tanya Pak Anton sambil lanjut memberikan pakan ke ikan-ikan koinya. Tampaknya, Pak Anton tidak mendengar perkataan Bik Inah tadi.

"Tuan, Bibik mau ngomong ke Tuan! Ini penting, Tuan!" kata Bik Inah dengan serius kepada Pak Anton.

"Ngomong aja, Bik! Kan tinggal ngomong!" jawab Pak Anton sambil melemparkan pakan ikan-ikan koinya ke tengah kolam tanpa menoleh ke Bik Inah.

"Tadi non Dea nangis di kamarnya, Tuan!" jawab Bik Inah yang sejak tadi tidak melihat ke ikan-ikan koi di kolam yang sedang saling berebutan memakan pakan yang dilemparkan oleh Pak Anton, tapi Bik Inah melihat ke wajah Pak Anton yang bibirnya sedang menjepit sebatang rokok kretek yang tinggal separuh.

"Biarin aja Bik Dea nangis!" jawab Pak Anton dengan cueknya sambil mengepulkan asap dua kali dari sebatang rokok kreteknya, lalu menjepitnya dengan jari telunjuk dan tengah kanannya sambil melihat ke ikan-ikan koinya yang sudah tidak berebutan memakan pakan lagi.

"Tuan kok begitu sih??!" tanya Bik Inah dengan sewot.

"Dea kan anak tunggal Tuan!" kata Bik Inah yang sekarang melihat ke ikan-ikan koi yang kini sedang saling berkejaran di dasar kolam.

"Tuan sudah tidak sayang lagi ama Dea ya Tuan?" tanya Bik Inah sambil kembali memandang wajah Pak Anton dengan sewot lagi.

"Sayang dong, Bik!" jawab Pak Anton yang kembali melemparkan pakan ke tengah kolam.

"Kalau sayang, kenapa Tuan membiarkan saja Dea nangis tadi?" tanya Bik Inah dengan mendongkol.

"Masalahnya, Dea nangis karena pacar barunya, Bik!" jawab Pak Anton setelah mengepulkan asap dari rokok kretek yang barusan dihisapnya, lalu membuangnya ke sampingnya. Kemudian, sebatang rokok kretek tersebut diinjak-injaknya dengan sendalnya hingga apinya padam.

"Emangnya kenapa dengan pacar barunya Dea, Tuan?" tanya Bik Inah sangat ingin tahu.

"Saya tidak suka, Bik!" jawab Pak Anton sambil memutar badan, lalu berjalan ke arah sebuah kursi di teras untuk didudukinya. Pak Anton merasa sudah cukup memberikan pakan ke ikan-ikan koinya tadi di waktu sore ini. Kemudian, Pak Anton mengambil sebatang rokok kretek dari dalam bungkusnya yang ditaruhnya tadi di samping sebuah vas bunga di atas meja. Setelah itu, Pak Anton menyulutnya dengan sebuah pemantik yang selalu dibawanya ke mana-mana dan menyeruput secangkir kopi susu agak manis buatannya sendiri di dapur tadi ketika Bik Inah mempersiapkan makan untuk Dea. Ketika Pak Anton menuju ke kursi tersebut, Bik Inah mengikutinya dari belakang, lalu Bik Inah duduk di kursi sebelahnya. 

"Tidak suka kenapa, Tuan?" desak Bik Inah sambil memandang Pak Anton yang sedang menikmati rokok kreteknya.

"Pokoknya saya tidak suka, Bik!" jawab Pak Anton sambil menyentil-nyentil batang rokok kreteknya ke asbak untuk membuang abunya.

"Dia itu anak orang nggak .....!" sambung Pak Anton, tapi omongannya terpotong, karena Pak Anton batuk-batuk akibat terserdak asap rokok dari rokok kreteknya yang barusan dihisapnya dalam-dalam. Bik Inah segera berdiri, lalu berjalan mendekati Pak Anton untuk memijat tengkuknya agar batuknya tidak tersendat-sendat.

"Tuan jangan terlalu banyak merokok! Bisa terkena sakit jantung nanti!" pesan Bik Inah kepada Pak Anton sambil memijat-mijat tengkuknya Pak Anton beberapa kali dengan kedua tangannya. Batuk Pak Anton kini pun lancar.

"Iya, Bik! Ini saya sudah mulai mengurangi rokok!" jawab Pak Anton yang sudah tidak batuk lagi.

"Kenapa dengan pacar barunya Dea, Tuan?" desak Bik Inah lagi yang masih berdiri di samping Pak Anton untuk bersiap-siap memijat tengkuknya lagi kalau dia batuk lagi.

"Pokoknya saya tidak suka, Bik!" jawab Pak Anton sambil mematikan rokok kreteknya di asbak, lalu beranjak dari kursinya.

"Sekarang, saya mau mandi dulu, Bik! Maaf, saya tidak mau mengatakan yang sebenarnya, Bik!" kata Pak Anton.

"Bik Inah jangan ikut campur ya soal Dea dengan pacar barunya!" kata Pak Anton lagi dengan marah, lalu Pak Anton masuk ke dalam menuju ke kamar mandi. Bik Inah hanya terdiam saja. Tiga hari kemudian sekitar pukul 8 pagi WIB, Pak Anton berangkat ke kampusnya Dea untuk mengurus kepindahan putrinya yang paling cantik di Fakultas Sastra itu ke Oxford, Inggris. Sesekali Dea menelpon Andre secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh Papa dan Mamanya yang sama-sama tidak menyetujui hubungannya dengan Andre. Pada hari itu juga, pengurusan berkas-berkas kepindahan Dea harus selesai atas permintaan Pak Anton sendiri meski Pak Anton harus rela menunggu tandatangan dan stempel dari rektornya sekitar tiga jam lebih. Rencananya, besok atau lusa Pak Anton dan istrinya menemani Dea ke Oxford. Dea sempat sesenggukan, karena teringat dengan Andre. Baginya, Andre, selain ganteng, adalah sosok seorang lelaki yang ramah, lembut hatinya, baik, pintar, dan pengertian kepada Dea. Meski berat hati melepas kepergian kekasihnya untuk pindah kuliah ke Oxford, Inggris, Andre berusaha mengikhlaskannya. Andre semakin termotivasi untuk belajar lebih giat lagi untuk mengejar impiannya bersama dengan seorang perempuan bermata bidadari pujaan hatinya itu di Oxford. Ini merupakan berkat motivasi-motivasi yang diberikan oleh Roy sahabat karibnya.