Chapter 2 - CSM 2

CSM 2

"Karina, kita jadian, ya," pinta William.

Karina tertegun tak mempercayai pendengarannya. Bibir merah itu terperangah tak mampu berkata-kata. Untuk pertama kali dalam dua puluh lima tahun kehidupannya, dia mendapatkan perlakuan yang baginya terbilang romantis nan istimewa dari seorang laki-laki selain daddy-nya.

Sikap romantis serta perhatian-perhatian kecil yang selama ini selalu diberikan William padanya memang mampu membuat hari-hari Karina yang awalnya kelabu itu berubah menjadi lebih berwarna. Belum lagi ketika dia menyadari bahwa dirinya memang membutuhkan sosok lembut dan penyayang seperti William Ferdinand, mengingat kondisinya yang tidak pernah baik-baik saja.

Karina merasa sangat beruntung telah mengenal serta menjadi satu-satunya wanita yang mampu menggoyahkan hati seorang William Ferdinand. Dia tentu cukup bersyukur untuk semua itu. Akan tetapi ... keraguan lagi-lagi membelenggu hatinya.

"Will .... Jujur, ini memang pertama kalinya aku diperlakukan begitu istimewa oleh seseorang. Selain ayahku, tentu saja. Dan kamu juga satu-satunya lelaki yang mampu membuat aku merasa sangat spesial. Tapi, Will ...."

Karina meraup udara dengan serakah, keraguan membuat tenggorokannya terasa tercekat. Dia tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Pandangan Karina beralih pada sebuket bunga yang kini tengah terulur padanya. Dia terus menimbang antara harus menerima atau menolaknya. Dia memang haus akan pengertian dan juga kasih sayang, tetapi dia juga tidak yakin jika keputusan yang diambilnya akan menjadi benar.

William menyipitkan mata. Dia dapat melihat dengan jelas keraguan itu dari mata sayu Karina.

"Apakah kalimat seperti itu yang akhirnya kamu ucapkan untuk membalas orang sepertiku, Karina?" sindirnya tak suka. "Lelaki biasa ini hanya ingin mengungkapkan perasaannya padamu, Tuan Putri," ungkapnya, menjadi lebih lembut dan juga puitis.

William kini mendekat tanpa keraguan. Dia mencoba memangkas jarak di antara mereka. Tangannya meraih jemari lembut Karina lalu meletakkan sebuket bunga tersebut dalam genggaman wanita itu.

"Kau tahu, Karina? Getaran di dalam dada ini tak akan pernah bisa untuk berbohong."

Ditempelkannya jemari tangan Karina yang lain pada dada bidangnya.

"Detaknya pun tak akan mungkin dapat untuk dimanipulasi. Karena ... ungkapan ini tulus dari dalam sanubariku. Aku mencintaimu, Karina. Sungguh." Akunya dengan tulus.

Karina mendongak, dia terperangah. Netra hitamnya menatap sepasang netra biru William dengan berkaca-kaca. Dalam haru, dia mencoba menyelami sepasang netra teduh itu untuk mencari kebohongan dari sana. Akan tetapi, yang dapat dia lihat hanyalah kehangatan dan ketulusan. Dia melihat di dalam sana ada begitu banyak cinta untuknya. Sesuatu yang selama ini selalu dia impikan, sesuatu yang selama ini hampir tak pernah dapat untuk dia miliki. Dia beruntung akhirnya bertemu dengan William yang dengan sukarela memberikan itu semua untuknya.

'Ini terlihat sangat sempurna bukan? Ini sama persis seperti apa yang selama ini selalu kuinginkan. Namun ....' Karina mendesah, perasaannya terasa berat.

"Will. Kamu nggak akan pernah ngerti. Aku bukanlah wanita yang pantas untuk kamu cintai. Aku, keadaanku ...."

Karina menggigit bibir bawahnya, mencoba menarik genggaman tangan William. Namun, William justru menggenggam jemarinya semakin erat.

William tak tahu apa yang membuat wanita di depannya itu terlihat begitu khawatir. Lebih tepatnya, apa pun itu, dia sebenarnya tak mau tahu. Dia hanya tahu bahwa dia mencintai Karina, bahwa dia ingin bersamanya dan juga menghabiskan sisa hidup mereka bersama-sama.

Dia tahu tindakannya itu sangatlah impulsif. Namun, sejauh ini hanya Karina-lah satu-satunya wanita yang mampu merobohkan pertahanan dirinya, selama dua puluh empat tahun hidupnya.

Pemuda itu menarik tubuh Karina, membawanya ke dalam pelukannya yang hangat. Dia bisa merasakan detak jantung yang sama, sama berdebar dengan kencang seperti yang dirasakannya. Hal itu sudah cukup membuat William yakin bahwa Karina juga memiliki perasaan yang serupa, perasaan yang bernama cinta.

"Percayalah pada setiap detak jantung kita yang selalu berdebar seirama ini, Karina. Semua ini bersumber dari ketulusan hati yang kita miliki."

William merenggangkan dekapannya, menatap meyakinkan sepasang netra yang selama ini selalu dirindukannya tersebut.

"Kamu harus tahu tentang setiap siksa merindu yang selama ini harus kutanggung, di saat kita tak mampu untuk bertemu," bisiknya lembut, membuat tubuh Karina meremang.

"Itu menyakitkan, Karina," keluh William.

"Will, aku--"

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana," potong William lagi.

"Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada," lanjutnya, menirukan sepenggal puisi indah milik almarhumah penulis terkenal 'Sapardi Djoko Damono'.

"Will--" Karina menitikkan bulir air mata.

"Aku belajar banyak dari puisi itu, Karina. Dan akhirnya aku paham tentang apa arti mencintaimu dengan sederhana. Tidak peduli apa pun dan kapanpun itu, aku berjanji akan menerimamu apa adanya, Karina. Dan kuharap kamu juga memiliki keinginan yang serupa," harapnya.

Andai William tahu jika kata-katanya itu suatu hari akan menjadi sebuah boomerang yang menghancurkan kehidupannya dan juga kehidupan sekitarnya, dia pasti akan memilih untuk berpikir berulang kali sebelum berjanji.

Untuk kesungguhan William, Karina hanya mampu termangu. Air bening itu kini luruh semakin deras dari pelupuk matanya. Dia menatap haru pada sepasang manik mata biru yang membuat hatinya semakin jungkir balik tak menentu.

Ada banyak sekali keraguan yang berkecamuk dalam pikiran Karina. Dia tahu dia tak pantas, dia tahu tak seharusnya melibatkan pemuda dengan pemikiran sederhana seperti William dalam kehidupannya yang begitu rumit. Meski begitu, dia juga tak bisa memungkiri jika dirinya telah mendamba setiap sentuhan lembut serta kehangatan sikapnya.

Dia menginginkan pemuda yang saat ini tengah melingkarkan tangan kekar di pinggangnya itu, meski sadar itu sebenarnya sangat egois. Dia mendamba semua sikap serta kelembutan hati yang selama ini William miliki, sesuatu yang sebelumnya tak pernah bisa dia dapatkan, dan hanya untuk dirinya sendiri.

William melepas dekapannya dari pinggang Karina. Telapak besar itu terulur dan dengan lembut mengusap tumpahan air mata yang baginya sangat berharga.

Dia menatap wanitanya dengan penuh cinta lalu menempelkan keningnya pada kening Karina.

William memejamkan mata, bibir tipisnya kembali mengajukan tanya," jadi, Karina Larasati. Maukah kamu menerimaku dan menjadi bagian terpenting dari hidupku?"