Chereads / After End / Chapter 2 - Chapter-01 prologue

Chapter 2 - Chapter-01 prologue

Di suatu tempat di #######, seorang Remaja laki-laki dengan rambut cokelat pendek yang sedang berdiri didepan cermin dan wastafel, menyikat giginya dengan cepat sambil melirik jam di dinding. Waktu hampir menujukan pukul tujuh, dan ia tidak mau terlambat sekolah.

Setelah menyikat giginya, Remaja itu langsung berjalan keluar dari kamar mandi dan menurun dari tangga dengan tergesa. Kakinya hampir tersandung di anak tangga terakhir, namun dia dengan cepat menyeimbangkan dirinya.

Ia kemudian pergi ke ruang makan dan pandangannya tertujuk pada secarik kertas ditempel manget berbentuk buah-buahan pada kulkas. kertas tersebut ditulis oleh orang tuanya. 'kami berangkat lebih dulu, sarapan sudah ada dimeja jadi jangan lupa sarapan dulu yah!.' senyum tipis terbentuk di wajah remaja tersebut akan keperhatian orang tuanya.

Ia berjalan mendekati meja makan, melihat sepiring roti panggang dan telur orak raik yang masih hangat. Sambil duduk, ia kemudian mulai menyantap roti itu dengan pelan. Sembari menikmati, pikirannya melayang, membayang apa yang akan terjadi hari ini di sekolah? Tugas mendadak? Ulangan? Atau kejadian tak terduga lainnya.

sesudah sarapan, ia pun berdiri, merapikan piring dan gelas di meja, lalu bergegas ke kamarnya. Di dalam kamar, ia meraih tas sekolahnya yang sudah tertata rapi di atas kursi, memeriksa sebentar isinya sebelum ia balik berjalan keluar rumah.

Dengan tas dipunggungnya, ia melangkah menuju halte bus yang tidak jauh dari rumahnya. Saat tiba di halte, dia bersandar sejenak sambil menunggu. setelah beberapa menit, dari kejauhan terdengar gemuruh bus yang mendekat. Bus tersebut perlahan berhenti didepan halte dengan suara rem yang khas. Pintu bus terbuka dengan derit lembut, dan remaja itu segera naik sembari menyapa sopir bus meski tidak dibalas.

Ia berjalan menyusuri lorong bus yang setengah penuh, memilih tempat duduk terdekat. Sembari duduk, pandangannya tertuju keluar, melihat pemandangan kota yang perlahan bergerak seiring bus melaju.

Bus tersebut akhirnya sampai didepan gerbang sekolah setelah 15 menit perjalanan. Ketika pintu bus terbuka, remaja itu berdiri, dan turun bersamaan murid-murid lain yang mulai berhamburan keluar.

Remaja itu berjalan melewati kerumunan sambil melihat sekiling.gedung-gedung sekolah yang sudah tak asing lagi, teman-teman seangkatannya yang berkumpul di berbagai sudut, serta beberapa guru yang berdiri dipintu masuk, memantau murid-murid yang datang.

Saat ia mendekati aula, matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam acak-acakan yang berjalan santai, tampak sedang fokus dengan handphone ditangannya.

"Hey, Aaron!." Si remaja itu menyapa sambil melambai, langkahnya mempercepat untuk menghampiri temannya.

Aaron menoleh dan tersenyum kecil. "Stephen! Tumben kau cepat datang hari ini."

Stephen mengangkat bahunya sambil tersenyum ringan. "Mau bagaimana lagi? kemarin pas istirahat aku bertemu dengan Pak Guru Gerald. Mungkin karena dia sudah dapat banyak laporan, dia suruh aku datang lebih cepat jika tidak mau kena skorsing yang lebih parah. Jadi ya, aku tidak punya pilihan selain datang lebih awal".

Aaron mengangguk dengan ekspresi pahamnya. "Oh, tidak heran juga mengingat Guru Gerald itu disiplin keras."

Stephen menghela nafas, dia merasa sedikit jengkel. "Iya, jadi Aku nggak mau ambil risiko lagi. Makanya, aku mulai berusaha untuk datang lebih awal sekarang."

Aaron melirik Stephen, ia kemudian tersenyum dengan tatapan godaan. "Berarti... Kau sekarang jadi anak rajin yah? Selalu datang setiap hari."

Stephen tertawa kecil, sembari menyiku Aaron sambil bercanda. "Yah yah, ini juga tidak akan lama. Lagipula kita sedikit lagi udah mau lulus."

Keduanya tertawa bersama sambil memasuki kelas. Pada jam seperti ini masih terbilang sepi, masih banyak kursi yang kosong terutama suasana pagi.

Aaron dan Stephen berjalan ke tempat duduk mereka, bercerita satu sama lain sampai jam sekolah berbunyi.

Selama jam pelajaran berlangsung, Stephen duduk di kursinya mulai merasakan gelisah. Tangannya tak henti-hentinya mengetuk meja sementara pandangan sesekali melirik ke luar jendela. Ada perasaan yang mengganggunya, seperti firasat buruk yang tak bisa ia abaikan. Nalurinya seakan berteriak bahwa sesuatu akan terjadi dan itu bukanlah hal yang baik. Stephen pernah mengalami hal serupa sebelumnya, dan perasaan itu sering kali menyelamatkannya dari bahaya. Namun, kali ini ia tidak tahu pasti kenapa nalurinya menyuruhnya untuk sangat hati hati dan waspada dengan sekitarnya.

Setelah jam pertama sampai ke tiga berakhir, lonceng istirahat berbunyi. Stephen segera berdiri dari kursinya, keluar dari kelas dengan langkah hati-hati. Sesaat sampai di kantin, ia melihat antrean panjang di depan stan makanan. Ia mencoba menghela nafas untuk menenangkan dirinya.

Pikirannya masih dihantui oleh perasaan tidak tenang, ia berusaha untuk bersikap normal. Setelah beberapa menit, giliran Stephen untuk mengambil makanannya. Setelah mengambil makanannya, ia berbalik untuk mencari sosok Aaron di tengah kerumunan siswa yang sedang makan siang.

Akhirnya, matanya menangkap Aaron yang sedang duduk sendirian di sudut kantin, sibuk membuka bekal makanaannya.

Stephen berjalan menghampirinya, meletakkan nampan makanannya di meja, dan duduk di seberang Aaron. "Rasa gelisah ku tidak kunjung pergi dari kemarin," ucap Stephen sambil melihat ke Aaron sebelum menyantap makanannya.

Aaron menghela napas pelan, menyandarkan punggungnya ke kursi, "Lagi? Kayaknya akhir-akhir ini kau selalu gelisah dah. Palingan nanti kek biasanya, nggak bakal terjadi apa-apa. Kau cuman overthinking."

"Benar sih, tapi...." Stephen mengigit bibir bawahnya, merasa sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Udahlah," potong Aaron, sambil makan makanannya dengan santai. "Lebih baik kau makan saja daripada repot-repot pusingin hal yang cuman angin lewat. Kadang perasaan kayak gitu nggak berarti apa-apa, loh."

Mendengar itu, stephen hanya mengangguk perlahan, meski di dalam dirinya masih ada gejolak yang tidak bisa ia abaikan.

Jam istirahat berlalu dengan lambat, dan Stephen berusaha fokus pada pelajaran di sisa hari. Tapi rasa gelisah itu tak kunjung hilang. Akhirnya, lonceng pulang berbunyi, membebaskan para siswa dari rutinitas sekolah. Saat Aaron dan Stephen berjalan keluar dari kelas, suasana sore mulai terasa di udara. Tapi stephen masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Dah," ucap Aaron, melambaikan tangan saat mereka berpisah di gerbang sekolah. "Jangan terlalu dipikirkan, ya. Sampai besok."

Stephen tersenyum tipis, meski hanya membalas lambaian Aaron .

Stephen berjalan kaki menuju rumahnya dengan langkah lambat, pikirannya masih dipenuhi gelisah sejak pagi. Karena tidak adanya bus pada jam sore itu, ia tak punya pilihan selain berjalan. Ia terus memikirkan apa yang harus ia waspadai.

Tiba di sebuah persimpangan, langkah stephen lembat, namun ia tidak memperhatikan lalu lintas di sekitar. Pandangannya terfokus pada aspal didepannya dengan pikirannya yang melayang.

Suara klakson mobil dari arah kirinya yang nyaring mendadak menghentakkan kesadarannya dan dengan refleks, entah bagaimana ia berhasil menghindar mobil tersebut. Tetapi kesalahannya yaitu mengambil langkah mundur sambil lupa dia masih ditengah jalan. Dalam sekejap, mobil dari jalur lain menghantam tubuhnya dengan keras. Tubuh Stephen terlempar jauh, udara seakan terhenti sesaat.

Sambil terbaring di jalan, Stephen merasakan darah mengalir dari luka-luka di tubuhnya. Dia sama sekali tidak mengerakkan kakinya, bahkan dia merasakan rasa sakit yang luar biasa di tangannya seolah tangannya ditusuk dan dirobek sesuatu. Pemandangannya mulai memudar sembari mendengar orang-orang yang berlarian menghampirinya. Terdengar suara panik yang meneriaki bantuan, beberapa orang mulai lutut di sampingnya, mencoba memberikan pertolongan sambil menelpon ambulans.

Tapi bagi Stephen, dunia semakin menjauh disaat dia seperti terjatuh dalam jurang gelap dan dingin. matanya mulai tertutup dengan pikiran yang mungkin adalah pemikiran terakhirnya. "Inikah....akhir?."

-------------------------------------------------------------------------------

Tetapi tiba tiba rasa sakit itu hilang membuatnya terbangun membuka matanya dengan napas yang terengah-engah.

perlahan, ia bangkit dari lantai yang tidak ia kenal beserta sekilingnya. Ia mengamati sekilingnya dan tempat ini terbilang kosong. tidak ada langit, tumbuhan, maupun makhluk hidup selain Dia. Hanya kesunyian yang ada disini.

Dia pun mencoba berjalan tanpa tujuan sambil berteriak segala kata dari tolong dan memanggil seseorang namun tidak aja jawaban maupun gema saking luasnya tempat ini, dia mulai merasakan gelisah yang berlebihan entah karena tempat ini atau kenyataan dia baru saja mati.

"Apa yang kau lakukan disini, Stephen?."

Mendengar suara yang menanyakannya dari belakang membuatnya berbalik seketika.

"siapa itu!?" Serunya dengan suara yang bergetar serta jantungnya berdebar kencang.

di hadapannya ada seorang laki-laki berambut hitam panjang dengan mata emasnya yang menyala dan tajam dan wajahnya memberikan Stephen perasaan yang aneh disebabkan laki-laki yang didepannya memiliki kemiripan dengannya, tetapi memberikan aura yang tua dan asing seperti melihat dirinya dicermin yang terdistorsi.

Stephen terdiam sejenak, kaget beserta rasa takut yang terpadu. Kepalanya sama sekali tidak bisa berpikir dan melihat laki-laki ini seperti melihat bayangannya yang tidak pernah ia kenal.

"Namaku? Aku memiliki banyak nama," laki-laki itu tersenyum tipis. "Tapi tidak mungkin aku akan menyebutkan semuanya. Kau bisa memanggilku sebagai... Watcher".

"Watcher?" Stephen mengulanginya.

"Yah, seperti namaku," watcher melanjutkan dengan tenang. "Aku disini untuk memperhatikan Web Universe beserta Connector." Ucap Watcher.

"Web Universe? Connector?." Stephen merasa semakin bingung.

Watcher tersenyum lagi, kali ini memberikan perasaan yang misterius. "Kau akan segera mengerti tapi yah harus kau tau, kematianmu hanya bagian kecil dari suatu hal yang sangat lah besar."

"baru tempat ini... Apa?." Stephen berkata sambil melihat sekeliling, matanya menyisir setiap sudut seolah olah itu ada. " Kalau diliat ini bukanlah surga dan jelas bukan neraka." Tambahannya, tempat ini terlalu sunyi serta kosong untuk dapat disebut surga.

Watcher mengangguk perlahan, seolah mengerti kebingungan stephen. "tempat ini bukan bagian dari Web Universe maupun connector," watcher berhenti sejenak seperti mencari kata yang tepat. " kau bisa menyebut tempat ini sebagai... Void, belum ada nama yang benar-benar cocok untuk tempat ini."

Stephen merasa dingin yang perlahan merayap di punggungnya, dari beberapa novel ataupun game yang dia main. Void adalah tempat yang kosong dimana semua hal itu tidak ada disini.

"Benar," watcher tiba tiba menjawab, seakan dia tahu apa yang Stephen pikirkan. "Disini adalah segala Ketidaan berada. Waktu, ruang, makhluk hidup, molekul maupun atom itu sama sekali tidak eksis disini."

Stephen menelan ludahnya, tidak adanya waktu, ruang dan lain lain membuatnya semakin kebingungan. Tempat ini seperti mimpi buruk yang ia mau bangun tapi disaat yang sama itu tidak bisa. "Jadi... Kita berada diluar dari semua yang ada?." Suaranya terasa agak lemah, hampir tidak percaya dengan tempat ini.

Watcher menatapnya tanpa ekspresi. "Benar, tempat ini melampaui pemahaman manusia, tidak ada aturan disini, tidak ada batasan, hanya ada kau. Hanyut ditengah lautan kosong yang luas. Stephen, inilah kehampaan yang mutlak."

Mendengar itu membuatnya bergidik, tapi dia bingung. Lantas mengapa dia ada disini? Jika dia sudah mati, dia harusnya berada di surga maupun neraka, jika konsep itu ada. Jadi mengapa dia berada di tempat ini, Void. Dari semua tempat?.

"Baru... Kenapa aku ada disini?." Ucap Stephen, menanyakan watcher tentang keberadaannya sekarang disini.

"Mengapa? Sebenarnya, aku juga tidak tahu bagaimana kau bisa mau berada disini," watcher menjawab sambil mengangkat bahunya. "Seperti yang kau bilang, jiwa yang sudah mati seharusnya berada di surga maupun neraka dari dunia masing-masing. Itulah jalur alami kematian untuk semua jiwa dimanapun. Tetapi entah apa yang membuatmu keluar dari jalurmu dan berakhir disini seperti yang lain sebelum dirimu."

"Tunggu.... Yang lain?." Stephen bertanya dengan rasa penasaran yang baru setelah tau bukan dia saja yang berada di situasi ini.

Watcher tersenyum tipis. "Ya, kau bukanlah kasus yang terbilang sangat spesial. Ada beberapa jiwa yang keluar dari jalur mereka dan berakhir disini."

Stephen menatapnya dengan bingung, "jadi.... Dimana mereka sekarang?."

Watcher menghela nafasnya, "itulah kenapa aku ingin menemukanmu. Aku disini memberikanmu kesempatan yang sama. Seperti mereka yang sebelum dirimu, kau akan mendapatkan dua pilihan yaitu, untuk hidup lagi tetapi didunia lain, bukan dunia yang kau kenal."

"Dunia lain?" Stephen tertegun, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya.

Watcher mengangguk pelan, "benar, dan untuk informasi. Web universe itu sama dengan dunia lain, jika didunia mu dikenal dengan dunia lain maka diluar sini dikenal dengan Web universe."

Stephen merasakan perasaan yang lega, tetapi dia kemudian teringat, bagaimana dengan orang tuanya? Begaimana dengan reaksi mereka setelah tahu anaknya baru saja mati? Dia sedikit takut akan hal itu dan merasakan perasaan putus asa.

Pundaknya terasa lebih berat dari sebelumnya, apakah mereka bisa menerima kematiannya? Pemikiran tersebut kemudian berputar-putar di benaknya yang tentu di perhatikan watcher. "Aku tahu kau akan merasakan putus asa dan khawatir tapi kau hanya bisa maju disini."

Mendengar itu, stephen menatap watcher untuk sejenak, mencari penghiburan di tatapan yang tidak ada emosi. Namun, dia kembali menatap tanah dan membayangkan ekspresi orangtuanya. "Apakah.... aku bisa memilih dimana aku akan direinkarnasikan?."

"Tentu saja tidak." Jawab watcher dengan sedikit tegas. "Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau akan direinkarnasikan didunia yang kau tidak kenal sama sekali. Keputusan ini tidak ada di kendalimu. Kau hanya bisa berdoa untuk tidak berada didunia yang terlalu kacau."

Stephen menghela nafas dengan pengertian.

"Kenapa? Khawatir karena bukan kau yang memutuskannya?" Watcher bertanya sambil menyeringai tipis. "Jangan khawatir kami tidak akan mengirimmu kedunia yang merepotkan."

"Kau yakin?." Stephen bertanya dengan penuh keraguan.

Watcher mengangkat bahunya dengan tenang. "Tidak."

Mendengar itu Stephen menjadi agak khawatir.

"Kalau begitu aku tidak sendirian disana kan?."

"Tentu," jawab Watcher dengan santai. "ada banyak orang yang mati dengan kondisi sepertimu dan sekarang mereka sudah ada di dunia-dunia baru itu, entah masih hidup atau mati lagi."

setelah mengatakan itu, dia melangkah maju, dan dengan lembut, Watcher memegang dahi Stephen. "tidak bagus untuk jiwamu berlama-lama disini," ucapnya sambil menatap mata Stephen. "jadi, aku harus mengirimkan mu kedunia baru segera."

Mendengar itu membuat Stephen sedikit cemas, ada banyak hal yang ia harus tanyakan. "T-tunggu dulu, aku masih punya banyak pertanya-."

Watcher memotongnya sambil bersenyum tipis. "aku tau, tapi lupakan itu dulu. Lagipula, kita akan bertemu lagi. Percayalah, ini bukanlah pertemuan terakhir kita."

Begitu kata kata itu terucap, tiba-tiba dunia disekitar Stephen menjadi gelap. Suara watcher perlahan menghilang, dan perasaan jatuh tanpa arah melingkupinya. Untuk sesaat, Stephen merasakan sesuatu yang sangat besar dan itu hampir menarik dirinya tetapi entah bagaimana perasaan itu menghilangkan sekejap.