Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 106 - Kembali

Chapter 106 - Kembali

Kabar bahwa Army telah siuman telah tersebar dengan cepat. Semua orang berusaha menemuinya, tapi Dokter Forvixer selalu membatasi pengunjung yang datang. Di rumah sakit yang masih dalam 3/4 proses restorasi, seseorang berlari dengan cepat masuk ke dalam. Derap langkahnya membuat pengunjung lain menengok, penasaran akan siapa yang sedang tergesa-gesa. Di lobi utama, ia melihat seorang Dokter yang hendak pergi menuju tangga. Tanpa ragu, ia mengejar Dokter tersebut, lalu meraih lengannya.

"Dokter Forvixer! Apakah Army benar-benar telah siuman?" tanya Shiro sambil terengah-engah.

Dokter Forvixer menengok. "Tentu saja. Ia sedang dalam masa pemulihan sekarang."

"Bagus! Kalau begi-"

Dokter Forvixer melebarkan tangannya, menahan Shiro agar tidak berjalan lebih jauh. "Tunggu dulu. Ia memang telah siuman, tapi belum boleh ada yang mengganggunya."

"Ayolah Dokter, aku bahkan belum bertemu dengannya sama sekali sejak kejadian itu!" Shiro merajuk.

Dokter Forvixer menepuk bahunya. "Maaf, tapi ia masih dalam proses pemulihan dan butuh ketenangan. Sejauh ini pun hanya adiknya yang kuizinkan keluar masuk."

Ia membetulkan kacamatanya sambil berjalan pergi. "Selain itu, seseorang akan sulit pulih jika latihannya sering diganggu."

Shiro terus menatap Dokter Forvixer sampai menghilang dari pandangannya. Ia menepuk dahinya sendiri karena hanya bisa mengeluh sambil menghela nafas.

"Hah ... Cepatlah pulih, Army!"

Disaat yang sama, Kumine juga mendengar kabar bahwa Army telah siuman. Ia menjadi sangat terpicu untuk mempercepat pekerjaannya. Beberapa kali ia melewatkan waktu makan. Seringkali makanan yang disediakan untuknya tidak disentuh. Ia juga jarang tidur, tapi entah kenapa wajahnya selalu tetap terlihat segar tanpa memiliki kerutan atau mata panda.

Keadaan itu membuat Fori dan Shougo khawatir, tapi mereka senantiasa menyemangati Kumine pada setiap kesempatan. Saat Kumine tertidur di meja kerjanya, Fori dan Shougo menyelinap masuk untuk memindahkannya ke kasur. Saat ada makanan yang tak dimakan, mereka berdua yang menghabiskannya. Semakin hari mereka berdua semakin kompak dalam membantu Kumine.

Setelah berhari-hari mengejar waktu, garis akhir pertama berhasil Kumine lewati. Wajahnya seakan memancarkan cahaya kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Sesuatu yang hanya bisa dicapai oleh berhasilnya sebuah kerja keras seseorang.

"Baju pertama, telah jadi!"

Ia memandangi pakaian pada manekin di hadapannya tanpa henti. Pakaian hitam dengan beberapa aksesoris berwarna emas yang sangat mirip seperti pakaian Army. Di kepala manekin, terdapat penutup mata hitam yang membuat manekin itu semakin mirip dengannya.

Ia menghela nafas sambil mengusap dahi, menatap kagum terhadap karya besar pertama yang melampaui ekspektasinya sendiri.

"Satu dulu, yang lain bisa menyusul!"

Tak hanya Kumine, Shiro, dan anggota Fallen Orions lain, Ardent pun sedang menyiapkan sesuatu. Ia menghadap Raja Xaniel di ruang tahta, hendak menjabarkan semua rincian persiapan acara yang ingin digelar. Raja Xaniel memerintahkan agar semua orang meninggalkan ruangan, kecuali dirinya yang akan mendengarkan Ardent. Ia tidak menemukan adanya kecacatan dalam semua hal yang dijabarkan oleh Ardent, tapi ada sesuatu yang tampa membuatnya penasaran.

Raja Xaniel mengangkat tangan kirinya, memberi tanda bahwa ia mengerti segala hal yang disampaikan.

"Aku paham dengan segala hal yang ingin kau lakukan, terlebih dengan visimu terhadap Fallen Orions nantinya."

Tiba-tiba, nada suaranya berubah seperti orang yang meragukan sesuatu. "Tapi ..."

Ia meraih dagunya, memegangi janggut yang semakin panjang sejak insiden lalu. "Kenapa? Untuk apa kau melakukan ini semua?"

Tanpa ragu, ia menatap Ardent dengan tajam. "Bukankah lebih mudah bagimu untuk menguasai semuanya sendiri?"

Suasana menegang diantara mereka. Pertanyaan yang dilontarkan berisi penuh dengan kecurigaan.

"Wahai Ardent, sang manusia abadi?"

Ardent menyadari bahwa pertanyaan dari Raja Xaniel merupakan sebuah ujian. Jawaban remeh tidak akan bisa meyakinkannya, terutama setelah dia mengungkap jati dirinya yang tidak bisa menua pada Raja Xaniel. Saat ruangan menjadi hening, ia tiba-tiba berlutut.

"Karena keabadian ini, aku mendapat pengalaman serta ilmu yang sangat banyak. Aku dibuat sadar bahwa dunia tidak bisa berperang seperti ini secara terus-menerus, atau kita, para manusia, akan menuju kehancuran dengan cepat akibat perkembangan sihir yang tak terkontrol."

Ia melanjutkan jawabannya dengan bagaimana sebuah dunia ideal yang ia bayangkan. Utopia yang terdiri atas banyak kerajaan, tapi mereka semua tidak berperang satu sama lain. Persaingan tetap ada, tapi semuanya berjalan dan mengarah ke hal baik. Kompetisi sehat dimana semua pihak tidak perlu membunuh satu sama lain. Tak ada lagi orang yang harus khawatir bahwa mereka akan kehilangan segalanya hanya karena egoisme pihak lain. Masa dimana sihir bukan sekedar menjadi senjata yang menakutkan, tapi lebih dominan sebagai penopang kehidupan manusia.

"Akan tetapi, hidup dalam perdamaian juga memiliki tantangannya sendiri yang tidak kalah berbahaya," tambahnya.

"Selain dari sulitnya menjaga perdamaian, sebuah peradaban bisa saja hancur seketika tanpa disadari saat berada di puncaknya. Manusia adalah mahluk yang seringkali lupa. Mereka bisa mencapai kejayaan, lalu lupa dengan apa yang telah dikorbankan. Kelalaian itu bisa menyapu peradaban yang telah dibangun dengan susah payah. Sebagai pemilik kekuatan yang besar, aku tidak bisa menyia-nyiakan apa yang dititipkan oleh tuhan padaku, yaitu kekuatan untuk menjadi penopang sekaligus titik acuan sebuah peradaban."

Ia kemudian menjelaskan alasannya tidak ingin menjadi pemimpin. Keabadian dan kekuatan besar adalah satu-satunya hal yang membedakan dirinya dari manusia biasa. Ia tetap bisa merasa bosan, berpikiran licik, marah, dan mengalami hal-hal negatif lainnya. Memimpin akan memberi beban mental yang sangat berat jika dilakukan dalam waktu yang sangat lama, dan itu berbahaya.

Menurutnya, orang lain dengan ambisi, visi, dan misi lebih jelaslah yang harus menjadi pemimpin. Ia hanya akan memantau dan menjaga perjalanan peradaban manusia yang masa depannya masih abu-abu. Jika terjadi sebuah penyimpangan pada rute yang dilalui, maka ia akan mengembalikan perjalan mereka ke rute yang benar. Ia berharap bahwa keberadaannya bisa mencegah perbedaan interpretasi, alias akar dari sebuah distorsi.

"Para pemimpin tidak akan berani melakukan kejahatan atau berpaling dari kebenaran karena keberadaanku. Untuk mencapai titik itu, aku harus memulai sebuah perjalanan panjang ini dengan langkah kecil seperti sekarang."

Setelah diam beberapa saat, ia menarik nafas yang cukup panjang. "Akan tetapi ..."

Ia mengangkat kepalanya, lalu menatap balik Raja Xaniel. "... Jika kau menanyakan alasan yang lebih personal, maka jawabanku adalah karena aku ingin tetap menjadi manusia."

Dengan tulus, ia tersenyum. "Kau tidak akan merasa menjadi manusia jika hanya diam dan mengabaikan nasib manusia lain, kan?"

Seketika, jawaban Ardent membuat Raja Xaniel tertawa. Ia tertawa sekaligus tersentuh karena tidak menyangka dengan jawaban terakhir yang diberikan oleh Ardent.

Setelah berhenti tertawa, ia mengusap air matanya. "Hahaha, jawaban yang sangat tak terduga, Ardent."

"Terimakasih, Raja."

Raja Xaniel kembali memegang janggutnya. "Tak ada lagi yang kuragukan. Lakukanlah segala hal yang kau inginkan, selama itu demi umat manusia. Jika itu adalah dirimu, mungkin saja utopia akan benar-benar tercipta."

Ardent kembali menunduk, senang mengetahui bahwa Raja Xaniel puas atas jawabannya. "Tentu saja. Aku akan selalu memprioritaskan moral dan kemanusiaan di atas segalanya."

Beberapa hari telah berlalu semenjak Army siuman. Dokter Forvixer yang rutin memeriksa kondisinya terlihat lebih lega. Di tempat latihan pasien, Army berjalan mengitari ruangan sambil diawasi oleh Cherry dan Dokter Forvixer. Sesekali ia berlari mempercepat langkahnya. Sesekali juga ia melakukan gerakan seperti push up, sit up, dan melakukan yoga.

"Bagaimana kondisi Kakak, Dokter?" tanya Cherry.

Sang Dokter membuka catatan medis di tangannya sambil terus memperhatikan Army. "Selain yang sudah kita tahu, tanda-tanda vitalnya membaik. Seluruh ototnya bekerja dengan sempurna. Ia tidak merasa sakit, bahkan nafsu makannya cukup tinggi. Tidak ada kerusakan apapun juga pada otaknya."

Ia menutup kembali buku itu bersamaan dengan memunculkan senyum di wajahnya. "Bisa dibilang, kondisinya sudah sangat baik setelah koma beberapa lama."

Cherry mengambil catatan yang diberikan oleh sang Dokter, lalu membaca perkembangan Army selama beberapa hari pemulihan.

"Kakak sudah bisa berlari dan mengangkat beban. Menurut Dokter, apakah Kakak sudah bisa ikut acara yang dibicarakan oleh Papa Ardent?"

Dokter Forvixer berpikir sesaat. "Hmm ... Jika acaranya seperti itu, kurasa belum. Ia mungkin saja bisa, tapi itu terlalu beresiko."

Ia menengok, menatap Cherry. "Kita tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan saat acaranya berlangsung kan?"

Cherry menutup kembali catatan tersebut dan memberikannya kembali pada sang Dokter. "Benar juga. Kita harus menunggu Kakak sampai kembali ke kondisi primanya."

"Syukurlah ..." ucap Cherry sambil melihat Army yang berlari. "Semua telah kembali seperti semula."

Setelah Army telah dipastikan pulih sepenuhnya oleh Dokter Forvixer, Ardent segera mengumpulkan seluruh petinggi anggota Fallen Orions, yaitu kesebelas orang yang memiliki kursi di markas rahasia. Disana, ia mengumumkan tanggal pasti dari sebuah acara yang akan diselenggarakan oleh Raja Xaniel sambil memberikan detail yang terperinci akan acara tersebut. Semua orang diberikan kertas berisi rangkaian acara yang akan berlangsung dari siang sampai malam.

"Begitulah kira-kira agendanya nanti," ucap Ardent sambil menghilangkan sihir proyeksi yang digunakan sebagai presentasi.

Shiro mengangkat tangannya. "Bukankah membasmi monster itu sudah menjadi kewajiban kami? Kenapa mesti ada acara ini?"

Ia melipat tangannya di meja. "Maksudku, mengapa merayakan sesuatu yang sudah jelas akan kita lakukan?"

Ardent memunculkan 8 cermin yang menampilkan pemandangan dari 8 tempat yang berbeda. "Lawan kalian nanti bukanlah sesuatu yang biasanya."

Shiro melihat beberapa daerah berupa samudra, jurang, pegunungan, dan gurun pasir. Saat memperhatikan cermin tersebut lebih jelas, ia menyadari sesuatu.

Ia terkejut bukan main. "Itu monster?!"

Ardent mengangguk. "Dan menurut para dewa, bahkan kekuatanku tak sanggup untuk melawan mereka sendirian."

Setelah semua orang telah kembali fokus padanya, ia melanjutkan pembicaraan. "Acara ini berfungsi untuk mendeklarasikan fungsi Fallen Orions kedepannya. Bukan hanya sekedar guild petualang, tapi lebih besar dari itu."

Ia menunjuk ke salah satu cermin. "Dan ini adalah salah satu hal yang harus diselesaikan oleh Fallen Orions. Tentu saja kita akan menerima bantuan dari pihak lain, tapi strategi serta kekuatan utamanya harus dari kita."

Ardent berjalan ke kiri dan kanan, mengitari cermin tersebut. "Aku ingin tugas-tugas berat seperti ini harus ditangani oleh Fallen Orions."

Ashborn bersandar dengan lengan di belakang kepalanya. "Kelihatannya kita akan repot nantinya ..."

Shacchi menyeringai. "Heeeh ... Sepertinya kita perlu banyak bantuan untuk hal ini."

Ia menatap orang-orang di sekeliling. "Kita bersebelas, 12 dengan Papa, bisa-bisa hancur dengan mudah."

"Tentu saja," jawab Ardent. "Makanya aku mengumpul berbagai orang berbakat seperti Master Zuuta, Gaby, dan Mika. Kedepannya, kita harus mendatangkan lebih banyak orang seperti mereka lagi."

Locked menepuk, lalu mengepalkan kedua tangannya. "Jadi, kapan kita akan membasmi mereka? Berapa orang yang harus kita kumpulkan?"

Ardent kembali duduk ke kursinya. "Kita perlu membangun kekuatan yang sangat-sangat besar, jadi waktunya tidak akan bisa ditentukan sebelum dekat."

Rikka menopang kepalanya di meja, memperlihatkan ekspresi bosan karena tak kunjung mendapat jawaban yang ia butuhkan.

"Lalu untuk apa acara ini diadakan kalau puncaknya masih lama?" tanyanya.

"Untuk memperkenalkan Fallen Orions ke masyarakat yang lebih luas," jawab Ardent. "Kita akan meyakinkan orang-orang hebat untuk bergabung dengan aksi nyata kalian."

"Oh, jadi ini seperti langkah promosi?" tanya Vivien.

Ardent mengangguk. "Betul. Nanti kalian juga harus menjadi mentor dan mendidik anggota lain untuk berkembang."

"Ah ... Seperti itu ya," ucap Tan sambil melipat tangannya

"Dengan besarnya nama Fallen Orions, maka akan makin banyak orang yang tertarik untuk bergabung. Setelahnya, kita membimbing mereka agar menjadi semakin hebat lagi, sehingga kita memiliki lebih banyak kekuatan untuk menghadapi monster tadi."

Ardent menjentikkan jarinya. "Betul sekali Tan! Kita akan lebih dulu fokus mencetak banyak orang-orang hebat dengan memperbesar Fallen Orions."

"Berarti benar-benar masih lama ya tujuan utamanya?" tanya Saki.

Ardent melipat tangannya sambil bersandar. "Yah, karena sebenarnya itu bukan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah memperbesar Fallen Orions dan menciptakan kehidupan yang aman. Ada sesuatu yang membuat kita harus melawan monster tadi, tapi itu akan kujelaskan lain waktu."

Ardent memangku wajahnya di meja. "Dibandingkan dengan para monster, hal yang lebih mengerikan adalah apa yang menanti kita saat menjelajahi dunia di luar sana ..."

Ia membayangkan dirinya berdiri di pantai, menyaksikan luasnya lautan tiada akhir yang hanya diibatasi oleh cakrawala. Burung-burung berterbangan di sekitar serta angin kencang menerpa jubahnya. Ekspresinya tercampur dengan segala macam emosi. Keingintahuan, keserakahan, ketakutan, serta keberanian bercampur menjadi satu. Pupil matanya membesar seraya matahari tenggelam di hadapannya. Ia tahu bahwa dunia baru jauh lebih luas dari dunia Toram. Jantungnya berdebar cepat saat membayangkan apa yang ada diseberang lautan.

Ribuan tahun hidupnya dihabiskan olehnya dalam benua utama. Tak pernah terlintas bahwa ia akan memiliki keinginan untuk menjelajah. Dunia baru dengan penghuninya baru yang tak pernah ia ketahui. Ketidaktahuan adalah salah satu sumber ketakutan utama yang dimiliki oleh manusia. Entah sejak kapan sebuah pertanyaan mulai muncul dalam kepalanya. Pertanyaan akibat rasa takut yang suka menyentil pada waktu senggangnya.

"Apakah aku yang terkuat? Atau aku hanyalah manusia terkuat?"

Keraguan perlahan menggerogoti dirinya saat itu, tapi hal itu tak berlangsung lama. Kini, tak ada lagi yang menggangu pikirannya. Tekadnya sudah bulat. Rangka sudah disusun. Rencana sudah dieksekusi. Sisanya tinggal waktu yang menyiapkan.

Di hadapannya sekarang, ada 11 orang yang telah memilih jalan hidup mereka, yaitu mengikuti kemanapun ia melangkah. Menjadi yang terkuat atau tidak bukanlah hal penting lagi. Yang terpenting adalah bagaimana ia bisa merasa puas akan hidupnya. Menikmati waktu bersama seluruh "anak-anaknya" sambil membangun utopia yang selalu ia bayangkan.

Tiba-tiba, Eevnyxz menyeletuk, membuat fokus Ardent kembali ke dalam ruang rapat.

"Bisa-bisa kita keburu tua sebelum menghadapi monster itu."

Need tertawa kecil. "Ahaha, kurasa Eev benar."

"Mungkin saja begitu," jawab Ardent. "Intinya adalah kita fokus saja dulu mengembangkan Fallen Orions. Lagipula, ada yang lebih penting untuk dikhawatirkan kondisinya kan?"

Saat Ardent menatap ke satu arah, semua orang di ruangan juga menatap ke arah yang sama. Mereka menatap ke satu orang yang sama. Seseorang dengan rambut putih yang pakaiannya selalu sama. Pakaian hitam dengan aksesoris emas, serta matanya selalu tertutupi oleh kain hitam.

"Eh, kenapa?" tanya Army yang kebingungan karena ditatap oleh semua orang.

Ardent kembali tertawa. "Kau siap untuk acara besok, Army?"

Army mengangguk meski masih sedikit ragu. "Eh ... Tentu saja aku siap!"