Jamur yang dibudidaya oleh Pak Fey memiliki ukuran tidak terlalu besar, tapi memiliki diameter batang yang cukup lebar. Kepalanya yang menyerupai topi memiliki diameter yang juga lebar dengan warna coklat tua pekat. Dari warnanya, mereka tidak terlihat seperti jamur beracun yang biasa cerah dan menarik perhatian. Warna mereka tidak menggugah mata dan warnanya lebih seperti kamuflase. Mereka tumbuh subur pada batang-batang kayu Blocker Wood seakam Blocker Wood merupakan rumah yang paling nyaman.
Pak Fey mengambil alat-alatnya dari balik pintu. Ia mulai mengajari Fori dan Shougo tehnik membudidayakan jamur. Balok-balok yang dibawa disusun secara rapi pada rak yang masih kosong. Setelahnya, balok baru itu disemprot dengan cairan khusus yang penuh dengan nutrisi.
"Nah, kalau sudah disemprot, mereka jadi punya makanan yang banyak," ucap Pak Fey.
Shougo memperhatikan alat penyemprot yang ia pegang, lalu mulai menyemprotkannya. "Jadi nutrisi kayu saja tidak cukup ya?"
Fori menyahut sambil menyemprotkan cairan khusus di rak bagian lain, "Tentu saja. Ini seperti pupuk yang mempercepat laju pertumbuhan serta menyehatkan tanaman."
Pak Fey mengangguk-angguk. "Betul sekali. Dengan ini, jamur yang tumbuh akan lebih enak."
Setelah semua batang baru selesai disemprot, Pak Fey mengambil alat-alat lainya dari balik pintu. Ia mengeluarkan gunting sedang, lalu memberikannya pada Fori dan Shougo.
"Selanjutnya, akan kuperlihatkan cara memanen yang mudah ..."
Pak Fey meraih batang dengan jamur yang banyak dan besar. Dengan mudah, ia menggunting batang jamur dari batan kayu yang telah lapuk. Jamur-jamur tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam keranjang, lalu batangnya diletakan ke dalam tempat penyimpanan khusus.
Ia menunjukan keranjang jamur pada Fori dan Shougo. "Jamurnya kita bawa, lalu kayunya kita simpan lagi untuk menjadi pupuk."
Karena Pak Fey sudah menjelaskan caranya, Fori dan Shougo bisa langsung mempraktekannya dengan mudah. Mereka memanen jamur dari batang-batang yang telah tua, karena hanya disitulah jamur besar dan sudah matang tumbuh.
"Yosh, ini yang terakhir," ucap Shougo sambil meletakan jamur di keranjang yang sudah setengah penuh.
Fori membuka tempat penyimpanan khusus, lalu menaruh semua balok lapuk di dalam. "Apakah tidak teralu banyak, Tuan?"
Pak Fey mengambil keranjang tersebut, lalu mengangkatnya. "Hohoho, tenang saja. Tidak akan ada yang terbuang."
Pemanenan selesai. Mereka keluar bersama-sama setelah merapihkan kembali semua alat yang digunakan. Saat akan menutup pintu, Pak Fey mejentikan jarinya.
"Lihatlah ini," ucapnya.
Tiba-tiba, seluruh jamur yang ada di dalam ruangan melepas sporanya secara bersamaan. Spora itu membentuk gumpalan dan melayang seperti asap tebal yang memenuhi ruangan. Mereka mengalir ke tiap sudut dengan bantuan sihir angin yang digunakan oleh Pak Fey. Alirannya mengalir dengan sangat harmonis mengitari ruangan beberapa kali. Terkadang mereka terbagi menjadi dua sisi yang kemudian berbenturan, terkadang mereka berjalan bersama-sama seperti ombak lautan. Semua itu dilakukan untuk menyebarkan spora ke batang yang masih baru agar ada jamur yang nantinya tumbuh di sana.
"Sekarang, semuanya akan bisa tumbuh kembali," ucap Pak Fey sambil menutup pintu.
Disaat yang bersamaa, Kumine baru saja turun ke lantai satu untuk memeriksa Fori dan Shougo. Akan tetapi, ia justru mendapati seisi rumah sangat sunyi dengan ruang kerja yang kosong.
Ia menengok ke kiri dan kanan sambil berkeliling ruang kerja. "Eh? Semuanya kemana?"
Akan tetapi, kesunyian itu langsung terpecah. Ia bisa mendengar ada suara langkah kaki yanh berasal dari pintu depan. Saat berjalan mendekati sumber suara, ia melihat wajah gembira dari Fori dan Shougo bersamaan dengan terbukanya pintu. Mereka berdua tersenyum pada Kumine, sambil memperlihatkan keranjang jamur yang dibawa di atas kepala Shougo.
"Nona, makan malam kita!" ucap mereka berdua secara bersamaan.
Sebelum kembali bekerja, Pak Fey memberikan daftar bumbu yang dibutuhkan untuk memarinasi jamur karena Kumine menawarkan diri untuk mengurus sisanya.
Kumine memindahkan semua jamur ke tempat yang lain, lalu merendamnya dengan air bersih. "Banyak sekali yang kalian ambil."
Fori berdiri di sebelah kirinya sambil memperhatikan jamur yang sedang dicuci. "Katanya sih segitu sudah pas."
"Ya. Katanya tidak akan ada yang terbuang," tambah Shougo yang berdiri di sebelah kanannya.
Kumine melirik mereka berdua, lalu membuang air cucian jamur. "Baiklah. Kita serahkan saja urusan memasak nanti pada Pak Fey."
Ia meletakan jamur yang telah bersih di meja, lalu menuang semua bumbu marinasi. "Bagaimanapun, aku tetap penasaran jamur ini akan menjadi hidangan apa nantinya."
Waktu malam hampir tiba. Pak Fey menghentikan pekerjaan menenunnya untuk beristirahat dengan memasak makan malam untuk semua orang. Kumine, Fori, dan Shougo diminta untuk menunggu di kamar selagi ia mempersiapkan makanan. Segala macam bumbu dapur ia jajarkan di meja, alat-alat masak ia keluarkan dari lemari, dan kompor mulai ia nyalakan. Ia melihat jamur yang telah dimarinasi dengan senyuman. Ia yakin bahwa makan malam nanti akan spektakuler.
"Aku akan memanggil kalian jika telah jadi!" ucapnya dengan tulus.
Waktu terus berjalan semakin malam. Saat untuk makan malam kini telah tiba. Perut beberapa orang yang sedang berada di kamar atas mulai terasa kosong. Sebelum rasa lapar semakin memuncak, mereka mendengar suara panggilan yang sangat memicu nafsu makan.
"Semuanya, makan malam telah jadi!"
Kumine, Fori, dan Shougo langsung turun bersama-sama menuju ruang makan. Di sana, terlihat piring, alat makan, serta panci tempat hidangan utama telah berada di atas meja. Jamur panggang dengan bumbu spesial buatan Pak Fey menjadi santapan mereka malam itu. Aroma seperti daging panggang terhirup melalui hidung yang sensitif, membuat rasa lapar menjadi semakin terasa. Penampilan jamur yang telah menjadi beberapa potongan itu pun sangat menggugah selera.
Tidak seperti di Falorin, makanan pokok kerajaan Crysta Horde merupakan berbagai jenis umbi-umbian, sehingga piring mereka semua telah terisi lebih dahulu oleh beberapa jenis umbi yang telah dipotong.
Pak Fey menjadi yang pertama menuangkan jamur ke dalam piringya. Setelah itu, ia meraih mangkuk kecil yang menjadi tempat saus, lalu menuangkan saus juga ke dalam piring.
"Selamat makan!"
Dengan suapan pertama, ia menciptakan ekspresi yang penuh kenikmatan. Ia seperti meyakinkan semuanya bahwa makan malam itu benar-benar enak dan aman untuk mereka makan.
Makan malam berlangsung dengan hangat. Beberapa obrolan ringan mengisi malam mereka yang menyenangkan. Kumine menanyakan proses penenunan kain, lalu Pak Fey menjawab bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Ia juga mengatakan bahwa Kumine bisa menambah permintaannya jika merasa pesanannya saat ini terlalu sedikit. Menurutnya, tidak terlalu baik jika memesan sesuatu dalam jumlah yang pas. Jika ada kesalahan sedikit, maka Kumine harus kembali lagi ke sana hanya untuk memperbaikinya.
Kumine berterimakasih atas saran Pak Fey, tapi ia menjawab dengan penuh percaya diri bahwa dirinya sanggup menyelesaikan proyek itu sendirian tanpa adanya kesalahan. Kepercayaan diri itu membuat Pak Fey tertawa dan kembali bersemangat. Ia tidak ingin kalah dengan semangat Kumine yang sedang membara, jadi ia menghabiskan makan malamnya dengan cepat.
Pak Fey berdiri, lalu mencuci piring yang ia gunakan untuk makan. "Semuanya, aku akan kembali menenun. Silahkan saja dihabiskan semua makanannya."
Ia menatap ke arah kulkas di sebelah. "Tapi jika memang ada sisa, taruh saja di situ."
Fori mengacungkan jempolnya sambil menarik suapan ke dalam mulut. "Baiklah Tuan!"
"Dimengerti!" tambah Shougo dengan makanan yang masih ia kunyah.
Malam terus berjalan. Pak Fey masih disibukan dengan pekerjaan yang sepenuh hati ia lakukan. Saat Fori dan Shougo mengintip, mereka bisa mendengar Pak Fey bersenandung sambil menenun. Mereka berdua kemudian menghampiri dan senantiasa menemani Pak Fey mengobrol, bernyanyi bersama, hingga mendengar cerita akan masa lalu darinya.
Setelah waktu semakin malam, mereka memeriksa kembali Tan di kandangnya. Tan terlihat sudah tidur dengan makanan yang hampir tak tersisa. Tak ingin mengganggu istirahatnya Tan, mereka segera kembali lagi ke rumah. Rasa lelah serta kantuk mulai bisa mereka rasakan sepanjang perjalanan kembali. Angin sepoi-sepoi dari hutan yang gelap dan dingin juga menambah beban pada mata mereka, hingga membuat rasa ingin menguap tak bisa ditahan lagi.
Di rumah, mereka langsung membersihkan diri dan berpamitan pada Pak Fey untuk tidur. Pak Fey berterimakasih karena telah ditemani, lalu mengucapkan selamat malam pada mereka. Sesampainya di atas dengan wajah yang sudah mengantuk, Shougo membuka pintu kamar.
"Sudah mengantuk?" sambut Kumine yang sedang membaca di kasur sambil mengenakan kacamata.
Shougo menggelar kain tebal pada lantai. "Ya. Sepertinya sudah cukup aktifitas kami hari ini ..."
Fori mengangkat selimut, lalu merebahkan dirinya di kasur sambil memakai kembali selimutnya. "Apakah Nona tidak mengantuk?"
Kumine tertawa kecil. "Sedikit, tapi aku masih penasaran dengan novel ini."
Fori melihat buku di tangan Kumine. "Baiklah. Kami akan tidur lebih dulu."
Ia memejamkan mata, lalu menyesuaikan kembali selimutnya. "Selamat malam, Nona."
"Selamat malam juga, Nona Kumine," sahut Shougo yang tidur di bawah.
Senyum lebar terukir kembali pada wajah Kumine. "Selamat malam. Tidur nyenyak ya, kalian."
Ia menatap jendela yang gordennya separuh terbuka, memandangi langit sambil menghembuskan nafasnya secara perlahan. Bintang-bintang di langit memicu munculnya ingatan akan teman yang menunggunya di Falorin. Entah bagaimana, bintang yang berjajar di langit seakan bergerak membentuk wajah semua orang yang dikenal. Mereka tersenyum sambil melambai padanya. Mulut mereka bergerak, seakan hendak mengatakan sesuatu yang penting, tapi suara yang bisa ia dengar hanyalah suara serangga yang bersahutan di luar.
Semua penampilan itu hanya terjadi dalam pikirannya, tapi itu merupakan bukti bahwa ia merasakan sesuatu yang namanya rindu. Ia mulai rindu akan sesuatu yang sudah lama tak ia dapatkan. Ia rindu akan tempat yang biasa ia panggil sebagai rumah. Bukan sekadar bangunan yang menjadi tempa tinggal, bukan sekadar lahan luas untuk beristirahat, tapi sebuah tempat dimana ada orang-orang yang menunggunya. Tempat dimana kehangatan, kebersamaan, dan kebahagian bersatu-padu dalam sebuah harmoni layaknya sebuah simfoni.
Ia tersenyum kembali sambil menatap langit malam yang damai. "Sepertinya beberapa hari ini akan damai sampai pulang nanti ..."