Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 104 - Falorin, Aku Pulang!

Chapter 104 - Falorin, Aku Pulang!

Beberapa hari yang lambat telah dilalui. Mereka berkeliling area hutan Blocker Wood bersama Tan sambil menikmati sejuknya hutan di pagi hari. Sore harinya, mereka memanen jamur, umbi-umbian, dan berburu bersama Pak Fey. Makan malam yang disiapkan olehnya memiliki cita rasa khas Crysta Horde yang menempel di lidah. Ia telah menunjukan pada mereka bagaimana tenang sekaligus berbobotnya hidup bersama dengan alam. Sebutan sesepuh dan ahlinya ahli yang disematkan padanya memang bukanlah sembarang sebutan.

Segala yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Begitupun dengan waktu penuh ketenangan yang mereka alami. Pesanan Kumine telah selesai sesuai dengan prediksi Pak Fey. Malam itu juga, mereka mempersiapkan diri untuk turun gunung esok harinya. Mereka menikmati makan malam terakhirnya bersama Pak Fey dengan penuh rasa syukur. Semua orang kemudian tidur lebih awal agar bisa lebih siap esok harinya.

Pagi harinya, Tan dikeluarkan dari kandang dalam kondisi primanya. Ia terlihat sangat bersemangat untuk melakukan perjalanan kembali, setelah relaksasi yang berlangsung sama beberapa hari di area puncak gunung.

Kumine mengikat kain Blocker Wood dengan kencang, lalu memasukannya ke dalam tas Tan. Fori dan Shougo memasukan barang-barang mereka ke tas lainnya, lalu naik terlebih dahulu ke atas Tan.

"Fiuh, semuanya sudah kan?" tanya Kumine sambil menatap Fori dan Shougo.

"Sudah," jawab mereka secara bersamaan.

Kumine berbalik badan, lalu menghampiri Pak Fey yang baru saja keluar dari rumahnya. "Tuan Fey, terimakasih banyak atas segalanya."

Pak Fey tertawa sambil berjalan menuju Tan bersama Kumine. "Hohoho, tak masalah. Aku sangat senang mendapat pengunjung seperti kalian."

Ia menatap Fori dan Shougo yang duduk di atas Tan. "Terutama jika mereka sangat antusias dengan segala hal yang aku tunjukan."

Kumine memakai topi bulu tebalnya. "Kalau begitu, sekali lagi kuucapkan terimakasih Pak Fey."

Ia naik ke atas Tan, duduk diantara Shougo dan Fori. "Sekarang kami harus kembali, menjalani perjalanan panjang sekali lagi."

Tan mulai berjalan, menjauh dari rumah Pak Fey.

Kumine melambaikan tangannya sambil menengok ke belakang. "Sampai jumpa lagi Tuan Fey. Suatu saat, aku pasti akan kembali ke sini!"

Fori ikut melambai pada Pak Fey. "Sampai jumpa Tuan! Semoga jamur-jamur itu tumbuh sehat!"

"Pak Fey, terimakasih atas semua ilmunya!" tambah Shougo yang tidak mau kalah.

Pak Fey tersenyum lebar sambil tertawa kecil. Mereka semua sudah berjalan terlalu jauh darinya. Ia sudah tidak berada di usia yang bisa berteriak, jadi ia hanya terus melambaikan tangannya sampai mereka menghilang dari cakrawala. Setelahnya, suasana kembali menjadi sunyi dengan serangga yang bersahutan dari balik pepohonan. Ia berjalan kembali ke dalam rumah, lalu menutup kembali pintunya.

Di ruang kerja, ia kembali menenun kain yang menjadi pekerjaan kesukaannya. "Sungguh anak-anak yang baik ..."

Beberapa minggu setelah Kumine, Fori, dan Shougo menikmati perjalanan pulangnya, ada seseorang yang sedang terpenjara dalam ruangannya sendiri. Jauh di kerajaan Falorin, di sebuah ruang kerja pada kediaman yang megah, ada seseorang yang disibukan dengan tumpukan dokumen di hadapan wajahnya. Ia membaca tiap kata yang tertulis dengan sangat teliti, sampai tiba-tiba sebuah surat dengan logo kerajaan mengalihkan pikirannya.

"Untuk Ardent, dari Raja Xaniel ..."

Seseorang yang terpenjara dalam ruang kerjanya tersebut adalah Ardent. Ia membuka surat dalam genggaman, lalu membacanya.

"Ah, ia menanyakan segala persiapan ..."

Ia melipat kembali kertas surat itu, lalu memasukannya ke dalam amplop lagi.

"Semuanya sudah siap, tapi Kumine masih belum kembali. Selain itu, Army juga masih belum sadarkan diri ..."

Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Posisi duduk diubah menjadi lebih bersandar. Pandangannya naik ke atas, menatap langit-langit yang kosong.

"Fallen Orions untuk kedepannya ya ..."

Kekosongan pada langit-langit perlahan berubah menjadi ingatan yang telah berlalu beberapa tahun lalu. Ia mengingat kembali pertemuannya dengan para dewa di gereja.

"Tidak cukupnya sumber daya dalam pemenuhan kebutuhan seluruh manusia memang sangat mungkin terjadi, tapi darimana asal pemikiran serta penelitian tersebut, Ardent?" tanya Curie.

"Dahulu, di dunia Toram, aku pernah menjadi anggota tim peneliti. Kami pernah meneliti hal ini, tapi tentu saja tak pernah ada tindakan serius yang diambil setelahnya."

Ia setengah melebarkan kedua tangannya di depan dada. "Yah, mau bagaimana lagi. Di Toram pun perang antar manusia masih umum, jadi hal seperti ini diacuhkan."

"Dan kau baru terpikir kembali akan ini setelah menetapkan sebuah tujuan?" tanya Newton.

Ardent mengangguk. "Ya. Karena aku ingin membawa peradaban manusia menuju titik perdamaian, maka masalah seperti ini harus dicari lebih dulu solusinya."

Galilei telihat menggaruk kepalanya karena sedikit bingung. "Kalau begitu, kenapa bukan kau sendiri saja yang menjadi rajanya?"

Ardent menggelengkan kepalanya. "Tidak boleh ada sebuah rezim yang berkuasa. Harus ada keseimbangan kekuatan antara penguasa dan rakyat yang dikuasainya. Jika aku menjadi pemimpin, maka sudah pasti aku akan menjadi penguasa tunggal dan menciptakan sebuah rezim."

Ia melipat kedua tangannya sambil bersandar di kursi. "Aku sadar kalau tidak mungkin aku sanggup memimpin sesuatu selain Fallen Orions dalam jangka waktu yang sangat lama. Mau bagaimanapun, sifatku tetaplah seperti manusia biasa, sehingga ambisiku untuk memimpin bisa memudar secara perlahan. Oleh karena itu, orang lain yang harus menjadi pemimpin secara bergantian. Seperti Raja yang mewariskan tahta pada putranya."

Watt mengangguk, memahami apa maksud Ardent. "Begitu ya ... Sebagai manusia, kau pasti akan mencapai titik jenuh suatu saat nanti. Jika seorang pemimpin mencapai titik jenuh, maka performanya akan menurun dengan sangat drastis."

Saat sedang berbicara, Newton menyadari kalau Curie terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Curie, kau menemukan sesuatu?"

Curie menatap Newton sambil mengangguk. "Aku terpikir, bagaimana jika kita melepas kunci dunia saja?"

Ia mengangkat telunjuk kanannya. "Kita memisah dunia baru dengan dunia Toram, lalu menguncinya dengan erat. Sekarang dunia Toram sudah kosong kan? Kita tidak perlu lagi menguncinya."

Galilei tersentak dengan ucapan Curie. "Benar juga!"

Ia melipat tangannya sambil berpikir. "Tak masalah jika hanya kunci yang dilepas, karena masih ada dinding pemisah yang memisahkan kedua dunia ..."

"Dan melepas kunci berarti kekuatan kita bisa sedikit kembali," tambah Watt. "Dengan begitu, kita bisa melakukan sesuatu, seperti menyuburkan tanah, menyehatkan hewan ternak, bahkan sampai mempercepat masa panen."

"Benarkah?" tanya Ardent dengan sangat antusias. "Itu sangat bagus!"

"Tapi ada sebuah masalah," jawab Curie. "Karena berhubungan langsung dengan dunia Toram, kunci itu terkontaminasi dengan polusinya."

Curie memunculkan 8 cermin besar di depan Ardent. Tiap cermin memperlihatkan tempat yang berbeda, seperti lautan, hutan lebat, gurun pasir, air terjun, dan yang lainnya.

Saat memperhatikannya dengan lebih jelas, Ardent tiba-tiba tersentak. "I-itu kan!"

Curie mengangguk. "Benar sekali. Mereka semua mewujud menjadi sebuah monster dengan ukuran yang sangat-sangat besar. Kehadirannya memang tidak mengganggu, tapi untuk melepas kunci dunia, mereka perlu dikalahkan ..."

"Bahkan dengan kekuatanmu sekarang, sepertinya mustahil mengalahkannya sendirian," ucap Newton.

Ingatan tersebut memudar, mengembalikan Ardent pada kesadaran penuhnya dalam ruang kerja. Tetapi, ia masih terus memandangi kekosongan langit-langit di atasnya.

"Fallen Orions, Falorin, semuanya ... Aku butuh segalanya."

Lengan kirinya diangkat hingga menutupi mata. Ia menarik nafas panjang, lalu menghelanya dengan cukup keras.

"Seluruh bakat, seluruh kekuatan, seluruh kejeniusan, seluruh garis keturunan. Aku akan mengumpulkan mereka dari seluruh penjuru dunia ..."

Saat tangannya dilepas, matanya kembali terbuka dengan tatapan penuh ambisi yang berapi-api.

"Di dunia yang 'ditinggalkan' oleh para dewa ini, 'kan kubangun kekuatan untuk menghidupkan mereka kembali!"

Tiba-tiba, ia mendengar langkah kaki yang bergerak dengan cepat dari koridor kediamannya. Beberapa detik kemudian, pintu ruang kerjanya terbuka dengan sangat keras.

"Halo Papa! Aku pulang!"

Kumine datang bersama Fori dan Shougo menggunakan G-Out.

"Kumine? Fori? Apa yang kau bawa? Lalu siapa ..."

Kumine berjalan cepat menuju sofa di ruang kerja, lalu meletakan sebuah peti di sana. Ia menunduk dan segera berpamitan.

"Itu batunya ya Pa! Sekarang aku undur diri, karena proyek akan segera kulanjutkan!"

Kumine, Fori, dan Shougo berlari lagi, meninggalkan Ardent sendirian bersama peti batu sihir yang ada di sofa. Ardent masih terkejut dengan kepulangan Kumine yang sangat mendadak, tapi ia paham kenapa Kumine sangat terburu-buru. Ia hanya tertawa dan berdiri dari kursinya untuk membuka peti yang diberikan oleh Kumine.

Dengan berhati-hati, ia membuka peti yang berisi batu sihir tersebut. "Selamat datang kembali, Kumine!"

Di saat yang bersamaan, ada sebuah pertemuan sedang berlangsung. Pertemuan itu terjadi pada sebuah kekosongan yang tak terbatas. Bukan alam nyata, dan bukan alam mimpi. Bukan alam kehidupan, bukan juga alam kematian. Tempat itu adalah ruang hampa tanpa ujung, alias void.

Sebuah api unggun menyala di tengahnya. Api itu menyinari wajah-wajah dari mereka yang duduk mengitarinya. Humanoid, bertanduk, sayap kelelawar, lalat raksasa, kaki keledai, kepala kambing, kulit pucat, wajah rusak, tubuh bungkuk, terompet, panah, pedang. Tak ada satupun yang terlihat seperti mahluk hidup normal, kecuali satu.

Sebuah suara serak dan berat terdengar dengan sangat keras. "Kakak, apakah Kakak akan memanggil kami lagi seperti dulu?"

Suara berat dan dalam dari pemegang terompet menjawab, "Jangan bodoh Bifrons. Dulu saja energi kehidupan Kakak terkuras dengan sangat banyak karena itu."

Suara yang agak terdistorsi kemudian menyahut. "Crocell benar. Jika itu terjadi lagi, mungkin Kakak akan mati setelah selesai memanggil kita ..."

Terdengar suara berat yang lembut kali ini ikut bergabung. "Hahahaha. Beel, Bifrons tentu ingin seperti Baphomet yang berada di tubuh Kakak, jadi biarkan saja dia berangan-angan."

Dengusan kambing kemudian terdengar. "Yah, yang dipanggil pertama ke tubuhnya kan aku ..."

Suara lengkingan menyusul tak kalah kerasnya. "Hahahaha. Jika bisa, mungkin Bael, Astaroth, Moloch dan Gremory sudah ikut masuk ke dalam tubuh Kakak!"

Tiba-tiba, suara berat dan lembut yang menyesatkan membalas, "Ayolah Valac, kita semua pasti sudah masuk jika memang bisa dan tidak mengurangi usia Kakak."

Salah satu dari mereka terdengar menghela nafasnya. "Hah ... Seandainya bisa begitu ..."

Sesaat, suasana di void menjadi hening, sampai ada satu suara pria normal yang terdengar.

"Memang sudah lama sekali sejak kita bertemu di dunia luar. Mungkin suatu saat nanti, jika aku benar-benar membutuhkan bantuan, kalian akan kupanggil kembali."

Suara menggema membalas, "Sebaiknya jangan. Kakak benar-benar bisa mati kalau memanggil kami lagi."

Pria itu tertawa. "Hahaha, tenang saja. Jika itu terjadi, maka aku pasti sedang berada di situasi dimana banyak orang akan mati, termasuk diriku. Memanggil kalian kelak akan membunuhku, tapi lebih baik jika hanya aku yang mati sebagai gantinya."

Suara menggema itu terdiam untuk sesaat. "Yah, sepertinya kalau kondisi seperti itu memang mau tidak mau."

Pria itu mengangguk. "Ya. Dan aku ingin kalian menemui adik kesayanganku, lalu berbincang beberapa hal dengannya sebelum kembali pergi."

"Oh, gadis dengan rambut pirang itu?" tanya suara yang menggema.

Pria itu tersenyum dan mengangguk. "Betul Dantalion. Adik sekaligus keluargaku satu-satunya, Cherry."