Suara tepukan tangan serta ucapan dari para petugas kereta perlahan menghilang seiring Kumine, Fori, Shougo, dan Tan berjalan keluar stasiun. Untuk kesekian kalinya, mereka terdampar selama beberapa saat di bagian administrasi. Sistem administrasi Babur ternyata berjalan dengan cukup cepat. Karena mereka bertiga sebelumnya datang dari Gozen, para petugas tidak perlu memeriksa para penumpang dengan detail.
Tak bosan mereka menapakan kaki di tempat baru dengan budaya yang jauh berbeda dari apa yang ada di Falorin. Suara kendaraan bermotor terdengar di sepanjang jalan. Mesin berlalu lalang menggantikan kuda yang bahkan tak terlihat keberadaannya. Akan sulit dipercaya bahwa ada perbedaan sejauh itu dalam benua yang sama.
"Mirip seperti Gozen ya?" tanya Shougo.
Fori mengangguk setuju sambil menggenggam tali pemandu Tan agar tidak berjalan terlalu jauh. "Wajar saja sih. Mereka kan berteman dekat."
Kumine langsung berjalan di depan mereka. "Ayo. Perjalanan kita masih belum selesai."
Sebelum sampai di Babur, Kumine telah bertanya-tanya pada para petugas mengenai situasi di Babur. Beberapa informasi hal seperti transportasi, administrasi, serta mata uang, telah ia pastikan agar tidak ada kesalahan yang terjadi nantinya. Karena Babur merupakan kerajaan yang terkenal dengan dunia kelautannya, Kumine juga tidak lupa bertanya mengenai hal itu secara lebih jauh.
Menurut para petugas yang ditanya, salah satu jalur yang mudah menuju ibukota Babur adalah dengan kapal penumpang yang tersedia di dermaga. Meski beberapa kota kerajaan Babur terdapat di benua utama, penduduk kota Babur tersebar ke berbagai pulau kecil yang berada cukup jauh dari benua utamanya. Itu adalah cara Babur melindungi dirinya dari serangan yang mungkin saja datang. Dengan keunggulan mereka dalam bidang perairan, mereka menjadi sangat diuntungkan jika menempatkan pusat pemerintahan di seberang benua.
Melihat Tan yang ukurannya cukup besarnya, Kumine sadar bahwa tidak mungkin membawa Tan dengan kendaraan umum. Mereka bertiga akhirnya menaiki Tan untuk pergi menuju pelabuhan. Bersama-sama mereka menikmati pemandangan kota yang sibuk dengan orang yang berjalan dimana-mana.
Shougo duduk di paling depan sambil memperhatikan Tan dari atas. "Apakah ia tidak menakuti orang lain?"
Dari belakangnya, Kumine menarik tali pengikat agar Shougo tidak kehilangan keseimbangan. "Apa maksudmu? Tan ini tampan kok."
Fori yang duduk di paling belakang tertawa. "Haha. Tubuhnya memang besar dan mengintimidasi, tapi semua orang pasti terkagum ketika melihatnya."
Tan yang mendengar pembicaraan mereka hanya menggerakan kepalanya sambil mendengus dengan bahagia. Ia bisa merasakan bagaimana dirinya disayang oleh orang-orang disekitarnya.
Shougo melihat bagaimana perkembangan teknologi di Gozen dan Babur sangat berpengaruh dalam kualitas kehidupan seluruh masyarakatnya. Ia hampir tidak menemukan sampah berserakan, atau orang-orang miskin yang kerap tinggal di antara gang kecil. Semua anak seumurannya terlihat bermain dan tertawa tanpa perlu berpikir apa yang harus dilakukan untuk mendapat makanan. Pengelihatannya itu membuahkan satu pertanyaan yang terlintas dalam kepalanya.
"Jika teknologi bisa sehebat ini dalam menciptakan kebahagiaan, kenapa kerajaan lain tidak mengikuti jalan yang sama?"
Pertanyaan berat keluar dari tubuh ringan seorang anak kecil yang statusnya masih sebagai sandera.
"Karena manusia terus hidup dalam ancaman besar," jawab Kumine.
Shougo memutar kepalanya, melihat Kumine yang berada persis di belakang. "Ancaman apa?"
Kumine menjentikkan jari, memunculkan api kecil dari ujung jari telunjuknya. "Sihir. Sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Penyebab dari banyaknya mimpi buruk yang dialami oleh manusia."
Ia mematikan api tersebut dan kembali berbicara.
"Sihir adalah manifestasi dari imajinasi seseorang. Apapun yang dapat manusia bayangkan, selama kekuatan sihirnya mencukupi, maka realitas baru bisa ia ciptakan."
Ia memunculkan angin, tanah, dan air di atas telunjuknya.
"Dahulu, sihir adalah sesuatu yang sangat dasar. Fungsinya pun hanya untuk membantu kehidupan sehari-hari."
Ketiga elemen yang muncul bergabung menjadi satu, menciptakan sebuah amalgamasi tak karuan.
"Akan tetapi, hal yang sebelumnya sangat dasar itu mengalami perkembangan yang sangat drastis. Pada akhirnya, sihir berubah menjadi sebuah senjata yang mematikan."
Tatapan Kumine berubah menjadi semakin serius selama perlahan.
"Manusia adalah mahluk yang sejatinya penuh dengan keserakahan. Mereka akan terus berperang satu sama lain untuk memperebutkan harta berupa sumber daya, tanah, bahkan nyawa manusia lainnya. Dengan adanya sihir, keserakahan itu menjadi semakin liar."
Ia menatap barisan orang-orang yang berjalan di seberang. "Sebagai kelompok masyarakat yang tidak bisa sihir, kerajaan pinggiran mengembangkan teknologi mereka dengan sangat masif untuk pertahanan diri. Tetapi ..."
Wajahnya berpaling, menatap kembali jalanan yang ada di depan.
"Tak peduli sehebat apa teknologi yang dikembangkan, sihir lemah pun bisa memporak-porandakan mereka. Itulah kenapa hampir semua kerajaan lebih berfokus pada penelitian sihir daripada sains. Semua ini tidak ada artinya jika kau akan berakhir menjadi debu."
Shougo memahami apa yang dimaksud oleh Kumine. Manusia bukannya tidak mau mempermudah hidupnya, tapi kehidupanlah yang memaksa mereka untuk meninggalkan kemudahan itu. Mereka yang menyerukan perdamaian hanyalah orang yang belum memiliki kuasa. Jika seseorang telah merasa dirinya memiliki kuasa, maka ia pun pasti akan meninggalkan jalan perdamaian yang sebelumnya digaungkan dengan sangat keras.
Shougo menunduk, merefleksikan segala hal yang diucapkan oleh Kumine pada dirinya sendiri. "Begitu ya ..."
Kumine mengangguk. "Begitulah. Kehidupan memang tidak sempurna."
Tak lama kemudian, mereka akhirnya sampai di pelabuhan. Segala hal yang ada di sana memiliki ukuran yang sangat besar. Bahkan kapal yang diketahui oleh mereka tidak ada apa-apa jika ukurannya dibandingkan dengan kapal yang saat ini ada di dermaga. Berbagai peti besi dengan ukuran yang sangat besar menumpuk di sepanjang jalan. Mesin-mesin raksasa dengan sibuknya mengangkut peti besi tersebut ke atas kapal.
Sambil menaiki Tan, mereka pergi ke loket untuk membeli tiket perjalanan yang memiliki fasilitas kandang hewan peliharaan. Agak sulit bagi orang baru untuk terbiasa dengan segala hal yang ada di pelabuhan, sehingga Kumine harus turun dari Tan untuk bertanya pada para petugas yang ada di sana. Ada terlalu banyak penanda yang harus diperhatikan untuk memastikan kalau mereka berada di arah yamg tepat.
Shougo melihat badan kapal yang terdapat angka. "Yang ini 003. Berarti dua kapal di depan adalah kapal kita."
Kumine melihat jauh ke depan. "Aku bisa melihat angka 5. Mungkin itu benar kapal kita."
Sesampainya di kapal, mereka langsung menempatkan Tan di bagian hewan peliharaan, lalu naik ke bagian penumpang di atas. Saat jam keberangkatan tiba, jalan naik kapal ditutup. Jangkar di tarik, lalu kapal mulai bergerak secara perlahan. Suara menggema terdengar dari cerobong kapal yang mengeluarkan asap tebal.
Kumine, Fori, dan Shougo pergi ke atas, menyaksikan bagaimana tingginya posisi mereka di atas permukaan laut. Kapal-kapal di dermaga pun perlahan mengecil hingga menghilang dari cakrawala seiring waktu. Lautan biru memenuhi pandangan, seakan seluruh dunia ditutupi olehnya. Ikan-ikan berlompatan seperti memanggil dan memberikan bukti atas keberadaannya.
Sambil berpegangan erat pada pembatas, Shougo melihat deburan ombak yang menabrak bagian samping kapal.
"Apakah hal-hal hebat seperti ini hanya ada di kerajaan pinggiran?" tanyanya di sela kebosanan.
"Tidak juga," jawab Fori sambil memangku wajahnya di pagar pembatas. "Para kerajaan pinggiran memang hebat, tapi belum pernah aku lihat yang sehebat di sini."
"Mungkin karena posisi kerajaan mereka," sahut Kumine.
Shougo menengok ke arah Kumine. "Posisi? Kenapa begitu?"
Kumine mengangkat jari telunjuk kanannya sambil menatap Shougo. "Kau tau, Gozen, Babur, dan Crysta Horde itu berada di 'belakang' Falorin."
"Lalu kenapa?" tanya Shougo kembali.
"Jika ingin melakukan sesuatu terhadap mereka, kerajaan tersebut harus melintasi Falorin. Menjalankan kampanye militer skala besar dengan melintasi Falorin adalah hal yang berbahaya. Tidak ada yang mau membangunkan monster yang sedang tertidur."
Kumine memangku wajahnya dengan kedua tangan sambil menatap lautan di depannya. "Falorin memang tidak sering berperang, tapi tetap saja lebih baik tidak mengirimkan militer meski hanya untuk melintas. Selain itu, Falorin juga menjalin hubungan baik dengan ketiganya. Menyerang teman Falorin pun adalah hal yang bodoh untuk dilakukan."
Ia tersenyum sambil menatap Fori dan Shougo. "Karena tidak memiliki ancaman, mereka jadi hidup dengan lebih damai. Hidup damai berarti mereka bisa lebih fokus pada pengembangan kualitas hidup."
Pandangannya berubah, mengarah pada cerobong asap kapal yang mengeluarkan asap pekat. "Lalu salah satu hasilnya adalah apa yang saat ini kita naiki."
Mendengar jawaban Kumine, Fori menjadi terpikir akan sesuatu. "Benar juga. Jika tidak harus berperang, mereka bisa menggunakan sumber daya ke hal lainnya yang lebih berguna."
Shougo menatap mereka berdua satu-persatu. "Singkatnya, karena hidup damai?",
Kumine menjentikkan jarinya. "Seratus untukmu."
Shougo tiba-tiba melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. "Nona, lihat itu!"
Ia menunjuk ke suatu arah. Di arah yang ia tunjuk, terdapat sebuah bangunan berbentuk hampir persegi berdiri kokoh di atas lautan.
"Wah, sepertinya bangunan itu besar sekali ..." ucap Fori.
"Ah, itu pengeboran minyak lepas pantai atau oil rig," jawab Kumine. "Mereka menambang minyak bumi dengan mengebor dari laut."
Shougo menatap Kumine selama mendengar penjelasannya tentang oil rig. Setelah selesai, ia kembali melihat oil rig raksasa itu. Ia masih terkagum dengan bagaimana caranya manusia bisa membuat bangunan megah yang berdiri dengan kuat di atas dahsyatnya ombak lautan.
"Kemampuan manusia tanpa sihir saja sudah seperti ini, bagaimana jika sihir juga ikut campur dengannya?" tanya Shougo dengan penuh antusiasme.
Kumine tertawa kecil sambil ikut menatap ke arah oil rig. "Entahlah. Semoga kita masih ada sampai saat itu terjadi."
Setelah 4 jam perjalanan, mereka bisa melihat sebuah pulau besar jauh di seberang. Sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah pulau yang dijadikan Babur sebagai ibukota. Setelah kapal sampai di dermaga, seluruh penumpang sudah siap untuk turun dengan barang bawaannya. Pintu masuk kapal mulai turun, memperlihatkan bagaimana pemandangan ibukota yang tak kalah sibuk dari kota pada benua utama. Petugas kapal menjadi yang pertama turun, lalu memberi aba-aba pada para penumpang untuk turun bergiliran.
"Semuanya, mohon untuk tidak berdesak-desakan!"
Tidak hanya mengatur arus keluar, mereka juga memberi ucapan pada penumpang.
"Terimakasih telah menaiki kapal. Semoga perjalanan kalian selanjutnya dipermudah!"
Kumine, Fori, dan Shougo yang sedang duduk di atas Tan mulai turun secara perlahan. Setelah benar-benar turun, mereka bisa melihat secara penuh bagaimana luasnya pulau tersebut. Perbukitan hijau yang ada jauh di depan bisa terlihat cukup jelas. Di bawahnya, terdapat istana besar serta beberapa bangunan lainnya yang menjadi area pusat pemerintahan.
Kumine melebarkan kedua tangannya dan berkata, "Semua, selamat datang di pulau Assiyah kerajaan Babur!"