Setelah 3 hari perjalanan yang melelahkan, Kumine dan Fori akhirnya tiba di Strena, salah satu kota Union, atau kota independen yang tidak tergabung dalam kerajaan. Mereka kerap disebut sebagai kota bawang karena tidak pernah ikut campur atau berpihak pada siapapun. Kota Union bebas melakukan interaksi dengan sesamanya, atau dengan kerajaan.
Meski hanya terdiri dari satu kota, mereka membuat aliansi sesama kota Union sebagai perlindungan diri. Jika salah satu anggota diserang, maka mereka akan melakukan embargo serta blokade jalur perdagangan kerajaan tersebut. Letak mereka yang menyebar di berbagai arah membuat blokade menjadi sangat efektif. Pasukan yang mereka miliki juga tidak bisa diremehkan jumlahnya karena merupakan gabungan dari tiap kota. Mereka bisa dengan mudah mengurung lawannya hingga mati kelaparan.
Kota Union merupakan surga para petualang karena mereka sama-sama tidak terikat dengan apapun. Meski terkesan bebas, tapi mereka melakukan pemeriksaan ketat bagi siapapun yang datang ke kota tersebut, seperti yang dialami Kumine dan Fori. Mereka terdampar di pos administrasi selama beberapa jam, hingga akhirnya diberi izin untuk memasuki Strena.
Pada siang hari yang cerah, Fori menengok ke segala arah, melihat sususan serta bentuk bangunan yang berbeda dari Falorin. Jalan setapak yang terbuat dari batu menambah nilai keindahan kota tersebut. Beberapa kendaraan lalu lalang, sehingga Fori harus menjaga Tan agar tidak terlalu ke tengah saat berjalan.
"Jadi ini, Kota Strena!" ucap Fori dengan berbinar-binar.
Kumine mengangguk. "Ya, ternyata Strena tidak jauh berbeda dengan Falorin."
Selain susunan serta bentuk bangunan yang berbeda, suasana Kota Strena mirip dengan ibukota Falorin. Penduduk yang terlihat normal, fasilitas umum standar, serta patroli yang melintas di beberapa tempat. Hal itu biasa bagi Kumine yang sering berpindah-pindah, tapi Fori tidak sepertinya. Misi intelejen tidak pernah memberikan waktu untuk menikmati kunjungannya, sehingga ia hanya fokus terhadap misi setiap bertugas keluar kota.
"Fori, bagaimana kalau hari ini kita istirahat di Strena saja?" tanya Kumine sambil berjalan.
Fori berpikir sesaat sambil melihat Tan yang berjalan di sebelahnya. "Aku sih terserah Nona saja, tapi sepertinya Tan sudah bekerja keras 3 hari ini."
Meski terlihat gagah, Tan sebenarnya sudah mulai lelah. Tanda-tanda lelah itu hanya bisa dilihat jika memperhatikannya lebih seksama.
"Itu dia yang mengkhawatirkan," jawab Kumine. "Meski diperkuat dengan beberapa sihir, tetap saja Tan pasti merasa lelah."
Ia menatap ke salah satu papan nama penginapan yang berada di pinggir jalan. "Mari cari yang ada kandangnya."
Setelah bertanya kepada orang sekitar, mereka akhirnya menemukan penginapan yang memiliki kandang. Pemilik penginapan tersebut segera memperkenalkan Tan pada peliharaan tamu lainnya yang berupa kuda biasa. Tan ternyata sangat bersahabat dengan mereka dan berinteraksi layaknya kuda biasa.
Setelah Tan dimasukan ke kandang, Kumine mengelus kepalanya. "Sampai besok Tan, kami tidak akan lama kok."
Fori ikut mengelus kepala Tan karena gemas dengan sikap Tan yang menurut pada Kumine. "Kamu istirahat saja ya, serahkan saja urusan belanja pada kami!"
Setelah beradaptasi dengan biliknya, Tan langsung merebahkan diri dan tidur seketika. Ia jelas sangat lelah setelah perjalanan panjang yang mereka lalui. Kandang yang nyaman merupakan tempat istirahat terbaik baginya.
Fori dan Kumine kembali ke lobi utama penginapan untuk melanjutkan penyewaan kamar mereka.
Kumine mengeluarkan dompetnya dari kantung. "2 kamar untuk 1 malam, serta makan malamnya."
Resepsionis itu menulis nama mereka sambil tersenyum. "Baiklah, Nona!"
Setelah membayar, mereka berdua langsung pergi mencari kebutuhan sehari-hari di pasar. Meski hari sudah semakin siang, tapi pasar masih ramai dengan bahan makanan yang masih segar.
"Ada yang ingin kau makan Fori?" tanya Kumine sambil memperhatikan berbagai jenis bahan makanan yang tersedia. "Kalau ada ambil saja ya, tapi jangan terlalu banyak agar tidak terlalu berat."
Fori berpikir sesaat. "Hmm, sepertinya aku ikut selera Nona saja."
"Baiklah. Aku ..."
Tiba-tiba, ada seorang bocah laki-laki yang menghampiri mereka dari depan.
Dengan senyum lebarnya, bocah itu berkata," "Nona sekalian, kalian pasti pendatang ya? Butuh pemandu?"
Penampilannya agak kumuh dengan baju dan celananya yang terdapat beberapa noda. Kumine dan Fori tahu bahwa anak-anak seperti itu adalah hal yang umum di setiap kota. Mereka yang tidak diinginkan oleh masyarakat bergerak dimana-mana untuk mencari uang sebisanya.
Kumine menghentikan langkahnya dan menatap anak tersebut. "Benar sekali. Kamu mau jadi pemandu?"
Bocah itu mengangguk. "Tentu saja, aku sudah mengenal kota ini seperti telapak tanganku sendiri!"
Kumine menyetujui tawaran bocah tersebut sambil tetap waspada. Ia tahu bahwa kejahatan sering terjadi dengan modus yang sama, tapi hati nurani memaksanya untuk mengikuti Bocah itu.
Mereka berkeliling mulai dari area paling ujung dari pasar. Mereka kemudian mengunjungi beberapa lokasi spesial kota Strena seperti gereja yang sangat besar, sungai kota yang sangat jernih, hingga deretan bangunan besar yang menjadi area pusat pemerintahan kota.
Bocah itu ternyata sangat hebat dalam memandu perjalanan. Setiap tempat yang ditunjukan olehnys menjadi lebih menarik. Perjalanan itu sampai membuat Kumine dan Fori lupa membeli bahan makanan.
Bocah itu kemudian menunjukan sebuah patung besar yang ada tak jauh dari akademi. Patung itu terbuat dari batu sihir khusus yang dipahat menyerupai pahlawan kota Strena. Sosoknya berdiri tegap dengan tangan yang siap menarik pedang dari sarungnya. Terpampang papan nama serta sejarah singkat dari siapa dan apa yang ia lakukan di masa lalu.
"Dan yang terakhir, patung pahlawan kota Strena!"
Kumine bertepuk tangan sambil menatap patung itu. "Luar biasa. Aku tak menyangka kalau kau adalah pemandu yang sangat hebat!"
Fori kemudian mendekati Kumine dan berbisik, "Nona, kurasa tidak ada salahnya memberi ia sedikit lebih banyak."
"Tentu saja," balas Kumine berbisik.
Ia berjalan mendekati bocah itu sambil mengeluarkan uang dari dompetnya. "Kami akan lanjut pergi berbelanja, jadi te-"
Tiba-tiba, ada sesuatu yang meledak di depannya. Sesuatu itu mengeluarkan tabir asap yang memenuhi pandangan serta membuat sesak.
"A-asap?!" Kumine segera bergerak mundur.
Belum selesai terkejutnya, ia merasakan bahwa dompet yang ia pegang ditarik oleh seseorang dengan sangat cepat.
Dengan padangan terbatas, Fori meraih lengan Kumine dari belakang. "Nona! Kau baik-baik saja?!"
Secepat mungkin ia membawa Kumine keluar dari tabir asap yang tebal tersebut. Mereka berdua merasakan sesuatu seperti bergerak di dalam sistem pernafasannya akibat asap tersebut, membuat batuk yang cukup berat.
"Ughhhh ..." Kumine memegangi lehernya. "Sepertinya bukan racun, tapi tetap saja tidak nyaman ..."
Ia menengok ke sekeliling. "Bocah itu, kemana?"
Fori melihat dua orang patroli yang berlari ke arah mereka. "Nona, sepertinya bocah itu adalah pelakunya. Biar aku yang mengejar!"
Ia langsung berlari mengejar bocah itu berdasarkan jejak dan prediksi yang ia buat, sementara Kumine mendapatkan pertolongan pertama dari patroli untuk meringankan nafasnya.
Fori terus berlari hingga ke area yang dipenuhi oleh gang kecil bercabang. "Sial, bocah itu benar-benar cepat!"
Melihat jejak yang berbelok pada gang di depan, ia langsung mengikuti jejak itu. "Tidak disangka kalau ia ternyata adalah penc-"
Saat berbelok, tiba-tiba ada sebuah serangan kejutan yang datang padanya.
"Sial, aku lengah!"
Fori ditendang oleh seseorang dengan cukup kuat. Ia terpental ke percabangan gang lainnya dan menghantam beberapa tong sampah, membuat isinya berceceran.
"Bocah itu, kuat juga ..."
Sadar dengan situasi yang terjadi, Fori menghela nafasnya untuk menenangkan diri.
"G-Out ..."
Lintasan G-Out langsung tersusun ke arah orang yang menendangnya. Hanya dalam sepersekian detik menggunakan Mach+, si Bocah sudah berada dalam cengkramannya. Pisau diletakan tepat di leher, menahan pergerakannya seketika. Tatapan Fori berubah menjadi tajam.
Pisau semakin didekatkan hingga menyayat sedikit lehernya, menciptakan luka yang mengeluarkan darah.
"Kembalikan, atau kepalamu kukembalikan ke tanah."
Bocah itu langsung gemetaran dan berkeringat sangat banyak. Ia telah salah dalam memilih target hingga membuat nyawanya terancam. Mulutnya menjadi gagap. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar selain racauan tidak jelas. Tangan dan kakinya menjadi lemas luar biasa. Ia menjatuhkan dompet Kumine tanpa sadar.
"Baiklah, sekarang apa yang harus aku lakukan padamu?"
Kembali pada Kumine yang sudah merasa baikan. Ia ditemani kedua petugas patroli itu mengikuti arah yang dilalui oleh Fori sebelumnya.
"Nona, kau benar sudah baik-baik saja?" tanya salah satu orang petugas sambil berjalan.
Kumine mengangguk sambil tersenyum, memperlihatkan bahwa ia sudah baik-baik saja. "Masih sedikit sesak, tapi itu pasti akan hilang nanti."
"Maaf atas kejadian hari ini Nona," ucap petugas satu lagi. "Kejahatan seperti ini seharusnya menurun di kota kami."
Kumine tertawa kecil. Ia tidak menyalahkan pihak keamanan kota sama sekali. "Haha, tak apa. Kalian sudah melakukan yang terbaik, tapi kejahatan seperti ini memang tidak akan hilang sepenuhnya."
Saat berbincang, mereka tiba-tiba melihat Fori yang keluar dari gang kecil sambil menyeret seorang Bocah dengan tangan kanannya.
"Nona, sebaiknya kita apakan pelakunya?"
Fori melempar bocah tersebur tepat ke hadapan Kumine. Darah masih keluar dari lehernya karena luka sayatan yang diciptakan Fori cukup dalam. Kedua petugas yang menemani merasa kasihan, tapi bocah itu adalah penjahat yang harus ditertibkan. Mereka hanya bisa memeriksa kondisi bocah itu yang terkapar lemas. Mulutnya masih meracau tidak jelas. Ia seperti orang yang hampir kehilangan kesadaran.
Fori menghampiri Kumine dan melaporkan apa yang terjadi, termasuk bagaimana ia ditendang hingga terpental cukup jauh olehnya. Ia juga mengaku bahwa ia menyerang beberapa titik tubuh si bocah, memberi efek lumpuh sementara.
Mendengar cerita dari Fori, Kumine hanya tertawa. "Hahaha, kerja bagus Fori."
Ia berjalan mendekati bocah itu yang sedang diperiksa keadaanya oleh petugas. "Kau memang tidak mengenal ampun, meski pelakunya hanya seorang anak kecil."
Fori menunduk, menerima kata-kata yang dianggapnya sebagai pujian. "Profesionalitas adalah hal yang kujunjung tinggi, Nona."
Setelah tahu bahwa Bocah itu baik-baik saja, salah satu petugas berdiri dan menggendongnya. "Nona, mohon ikuti kami untuk membuat laporan kejadian ini."
"Anda mungkin akan mendapat kompensasi yang sepadan," tambah petugas lainnya.
"Ah, mengenai itu ..." Kumine menepuk kedua tangannya. "Apakah boleh aku membawanya? Aku juga tidak akan membuat laporan akan hal ini."
Kedua petugas saling menatap, seakan menanyakan pertanyaan yang sama.
"Kami sih tidak masalah," ucap salah satu petugas.
"Tapi apakah anda yakin dengan pilihan itu?" tanya petugas lainnya.
Sambil tersenyum licik, Kumine menjawab, "Tentu saja!"