Pada pagi hari yang cerah, koridor akademi memantulkan suara gemerisik dari tiap kelas. Jam pelajaran berlangsung dengan tertib. Para pengajar menjalankan tugasnya dengan sangat baik, membuat suasana belajar menjadi hangat. Kemudian, terdengar langkah kaki kecil yang melintasi koridor. Wanita berambut perak menengok ke setiap pintu dan jendela kelas yang ia lewati, penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh mereka. Ia tersenyum sembari mengulang ingatan akan masa lalu di kepalanya. Tiap kali ia melintasi lorong-lorong akademi, tak ada yang lebih baik untuk dilakukan selain bernostalgia ke masa lalu.
Sesampainya di ruangan Kepala Sekolah, ia mengetuk pintunya beberapa kali.
"Papa, ini aku."
Ardent menyahut, "Buka."
Rikka masuk dan menutup kembali pintunya. Ia berjalan dan duduk di atas meja Ardent sambil melihatnya menandatangani beberapa dokumen.
"Kumine sudah mau berangkat, mau mengantarnya?" tanya Rikka sambil mengayunkan kaki.
Ardent menengok ke arah Rikka. "Eh, sudah?"
Ia melipat dokumennya dan berdiri. "Ayo kita antar dulu!"
Mereka berdua pergi dari ruangan dengan berjalan cepat, tak mau membuat Kumine menunggu terlalu lama. Langkah mereka terdengar cukup keras hingga memecah keheningan di tiap koridor yang mereka susuri.
Di tengah jalan, Rikka tiba-tiba bertanya, "Jadi, siapa sebenarnya Mika dan Gaby?"
Mikaelli Cassiella dan Gabriella Azrielli, adalah nama baru yang Ardent berikan pada Putri Veena dan Putri Caroline.Rikka ditugaskan untuk memperkenalkan mereka dengan kerajaan Falorin, jadi Ardent tak lagi heran kalau Rikka memiliki beberapa pertanyaan untuknya. Akan tetapi, ia masih menutupi identitas asli mereka berdua dari siapapun.
"Salah dua dari orang-orang hebat yang sedang aku kumpulkan," jawab Ardent dengan mantap tanpa terbata-bata. Jawabannya itu terdengar sangat meyakinkan.
Rikka menatap Ardent. "Ah, Papa ingin Fallen Orions lebih hebat lagi ya, makanya merekrut banyak orang hebat?"
Master Zuuta adalah salah satu nama yang melintas dalam kepala Rikka.
Ardent mengangguk. "Hampir benar. Aku mengumpulkan mereka bukan hanya untuk Fallen Orions, tapi untuk Falorin secara keseluruhan."
"Oh ya? Untuk acara apa?"
"Untuk sebuah rencana jangka panjang yang telah aku diskusikan dengan Raja Xaniel."
Rikka kembali menghadap ke depan. "Eeh, rencana apa?"
Ardent berpikir sebentar, memproses kata-kata yang mudah untuk ia jelaskan pada Rikka.
"Kau tahu, manusia sebenarnya membutuhkan tempat dan sumber daya yang sangat banyak, hanya untuk bertahan hidup."
Rikka menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu. Selama ini sepertinya cukup-cukup saja."
"Selama ini manusia terus berperang satu sama lain, sehingga sumber daya serta lahan yang terbatas ini menjadi cukup. Akan tetapi ..."
Ardent mengingat kembali pertemuannya dengan keempat Dewa beberapa tahun lalu. Saat itu, ia memasuki gereja sendirian, lalu menciptakan sebuah lingkaran sihir aneh di sekeliling ruangan. Setelah beberapa saat, Curie turun bersama Newton, Galilei, dan Watt. Mereka kemudian mendiskusikan beberapa hal bersama Ardent dengan cukup lama.
"Ah, aku mengerti ..." ucap Galilei sambil bersandar di salah satu kursi jemaat. "Manusia memang bisa berkembang dengan sangat cepat, jika mereka semua bersatu tanpa perang. Dunia Toram saja sudah lebih maju dari dunia baru sesaat sebelum Lucius menyerang."
"Tanpa perang, berarti laju pertumbuhan penduduk akan naik secara signifikan," sahut Watt sambil menengok ke arah Newton. "Benar begitu kan?"
Newton balik menatap Watt dan mengangguk. "Lalu sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia juga ikut naik."
Curie memangku wajahnya di mimbar gereja. "Luas lahan pertanian dan peternakan harus seimbang dengan lahan yang bisa dihuni manusia. Jika jumlah manusia terlalu banyak, maka pemenuhan itu jadi mustahil ..."
Ardent mengangguk. "Ya. Saat lahan yang tersisa tidak mampu menopang kebutuhan, terjadilah ketidakseimbangan."
Watt berjalan menghampiri Ardent dan duduk di sebelahnya. "Tapi bukannya itu akan selalu terjadi? Kau sekalipun pasti tidak akan bisa menyelamatkan semua orang."
Ardent kembali mengangguk sambil menatap Watt. "Itu benar, karena itulah aku berkonsultasi dengan kalian. Tidak harus sempurna, menurunkan ketimpangannya saja sudah cukup."
"Peradaban tanpa perang ya ..." Curie mencoba membayangkan apa yang sebelumnya Ardent jelaskan pada mereka. "Dunia baru memang lebih luas daripada dunia Toram, tapi tetap saja terbatas. Keterbatasan lahan kemudian bisa menimbulkan peperangan lainnya ..."
Ardent menghela nafasnya dengan cukup panjang, hingga para dewa ikut iba dengan kebuntuan yang ia alami.
"Hah ... Itulah yang membuatku pusing belakangan ini."
Ia tersenyum kecil sambil menggaruk kepalanya. "Memang sih, itu akan terjadi ratusan tahun lagi, tapi ratusan tahun itu kan tidak terasa bagi kita."
Newton mengangguk setuju. "Dan jika kita terus membiarkannya, maka peradaban manusia nantinya akan mengalami keterpurukan."
Galilei ikut menghela nafasnya. "Hah ... Sayang sekali kekuatan kami terkuras sangat banyak untuk mempertahankan dunia baru."
Ingatan itu seketika terhenti, membuat Ardent kembali fokus pada koridor tempat ia berjalan. Ia kemudian tertawa kecil, lalu menatap Rikka sambil tersenyum.
"Tetapi, itu untuk cerita lain waktu!"
Rikka langsung mengerutkan dahinya, tidak terima dengan jawaban yang menggantung dari Ardent. Akan tetapi, ia percaya bahwa rencana yang telah disusun oleh Ardent adalah rencana yang baik.
Ia tersenyum sambil memejamkan matanya. "Baiklah, terserah Papa saja."
Di gerbang utama kota, mereka bertemu dengan Kumine dan Fori yang sedang mengaitkan sadel pada monster menyerupai kuda. Mereka mengikat beberapa tas kosong disana, sementara tas yang memiliki isi diletakan di atas kabut terbang buatan Ardent.
"Kenapa membawa monster tunggangan juga?" tanya Ardent sambil berjalan mendekat.
"Untuk berjalan-jalan di sekitar kota," jawab Kumine. "Akan sulit jika harus mengeluarkan dan menghilangkan kabut terus."
Ia menengok ke arah Ardent sambil menepuk kedua tangannya untuk membersihkan debu. "Kami hanya akan menggunakan kabut dalam perjalanan panjang, bukan keseharian saat di dalam kota."
Ardent mengangguk-angguk karena mengerti alasan Kumine. "Masuk akal. Lebih mudah untuk keliling kota dengan monster tunggangan. Tetapi ..."
Ardent berjalan lebih dekat ke monster kuda tersebut, memperhatikannya dengan seksama.
"Monster ini sepertinya bibit unggulan. Ia lebih mirip tunggangan militer, bukan sipil," ucap Ardent.
Kumine ikut mendekati monster itu dan mengelus dahinya. "Tentu saja. Tan adalah monster khusus dari Tan!"
Ardent menoleh. "Hah?" Ia dibuat bingung dengan ucapan Kumine.
Kumine mengangguk. "Yap, namanya adalah Tan, dan ia diberikan oleh Tan padaku."
Fori yang telah selesai menyusun tas di atas kabut segera turun dan menghampiri mereka. "Nona Kumine, tasnya sudah aman!"
"Baiklah, saatnya berangkat!"
Setelah memastikan kembali kondisi Tan beserta seluruh barang bawaan, Fori dan Kumine naik ke atas kabut.
"Cepat pulang ya, kalian!" ucap Rikka sambil menggenggam tangan Kumine yang sudah naik kabut.
Kumine balas menggenggam lengan Rikka dan tersenyum. "Tentu saja. Aku akan kembali membawa yang terbaik!"
Ardent mundur beberapa langkah, lalu melambai pada mereka. "Fori, Kumine, jaga diri ya. Perjalanan kalian cukup jauh."
Kabut yang dinaiki mulai berjalan secara perlahan, diikuti oleh Tan yang mendengus di belakang.
Fori memutar posisi duduknya dan balik melambai ke Ardent. "Papa, jaga Tuan Army selama kami pergi ya!"
Rikka melepas genggamannya agar tidak menghambat laju kabut, lalu ikut melambai pada mereka. "Semoga beruntung!"
Fori mengaktifkan G-Out pada jalanan depannya. Mereka berdua beserta Tan langsung melesat dengan cepat dari kota. Pada awalnya, Tan agak kesulitan karena tidak terbiasa untuk berlari di dalam G-Out, tapi ia mulai bisa beradaptasi dalam lintasan setelah beberapa saat.
Sambil menatap Tan yang sedang berlari di samping, Fori bertanya, "Nona Kumine, apa tujuan pertama kita?"
Kumine mengeluarkan peta dari kantung baju. "Kau tau yang namanya kota Bawang?"
Mendengar nama yang tak asing, Fori langsung menengok ke arah peta. "Kota Union? Bawang itu sebutan iseng untuk mereka kan?"
Kumine mengangguk. "Ya, karena nama mereka Union, dan tidak ikut perang apapun seperti anak bawang."
Ia menunjuk ke salah satu lingkaran kecil pada peta. "Mereka adalah kota yang tidak bergabung dalam kerajaan manapun. Kota independen yang tidak berpihak."
"Lalu, apa yang kita lakukan di sana?" tanya Fori kembali.
Kumine tersenyum lebar sambil menatap jalanan di depan mereka. "Mengisi persediaan dan mencari informasi!"
Sementara itu di gerbang kota, Ardent dan Rikka terus menyaksikan mereka yang pergi sampai hilang dari cakrawala. Tatapan penuh harapan serta senyuman terukir pada wajah mereka, mengetahui bahwa suasana bahagia telah kembali tercipta di kota yang baru saja hancur lebur.
Rikka menatap Ardent yang ada di sebelah kirinya. "Jadi, siapa yang akan menjadi pemimpin party? Kami sebagai party utama harus terus menjalani misi kan?"
Ardent balik menatapnya. "Bisa kau urus sementara?"
Rikka melipat kedua tangannya sambil berpikir. Ia membayangkan beberapa anggota partynya yang saat ini sedang aktif.
"Shiro sebenarnya cocok, tapi ia kurang bisa menyusun rencana taktis tanpa kepala yang bagus. Waktu reaksi party mungkin akan berkurang secara drastis jika ia yang memimpin."
Bayangannya berubah ke anggota party lainnya.
"Ashborn apalagi. Ia terlalu santai. Tak bisa kubayangkan kalau ia yang memimpin. Selain itu, ia juga merupakan petugas kerajaan. Menjadikannya pemimpin akan membuat kedua tugasnya tidak maksimal."
Anggota terakhir kemudian terlintas di dalam kepalanya.
"Saki masih terlalu muda. Ia memang hebat, tapi pengalamannya dalam memimpin masih terlalu sedikit. Party utama adalah tim yang krusial, sehingga harus memiliki pemimpin berintegrasi tinggi."
Ia menepuk kedua tangannya di depan dan berbalik badan. "Baiklah, akan kucoba."
Sebelum berjalan, ia kembali menatap Ardent. "Aku mungkin tidak sekompeten Army, jadi jangan salahkan aku ya!"
Ardent tertawa kecil dan ikut berjalan di belakangnya. "Mohon bantuannya, Party Leader!"