Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 93 - Ide

Chapter 93 - Ide

Beberapa hari telah berlalu sejak penyerangan Archangel terjadi. Restorasi kota masih berjalan sedikit. Hanya beberapa bangunan yang telah dibangun kembali karena keterbatasan waktu dan tenaga. Ardent tidak bisa menggunakan sihir untuk perbaikan karena terlalu banyak detail dalam membangun kembali sebuah bangunan. Ia hanya bisa membersihkan seluruh kota dari debu dan puing agar pembangunan berjalan lancar.

Semua prajurit serta petugas yang tersisa tinggal pada tenda sementara di luar, sementara para warga berada di dalam bunker yang cukup nyaman untuk ditinggali. Meski tak bisa melihat langit setiap saat, para warga mensyukuri bagaimana mereka bisa selamat dari serangan Archangel yang terjadi secara tiba-tiba. Mereka juga bersama-sama membangun pemakaman khusus bagi para korban jiwa untuk mengingat insiden tersebut selamanya.

Pada malam yang sunyi, Kumine sedang berada di tenda pribadinya. Sesekali terdengar gemerisik langkah atau pembicaraan orang di luar tenda, tapi ia mengabaikannya. Baginya wajar saja terdengar suara tersebut ketika memiliki tenda di dekat tenda prajurit. Sambil terduduk di kursi, lampu menjadi satu-satunya yang terus ditatap tanpa henti. Kepalanya tak henti memikirkan berbagai hal sejak lama. Tangannya memegang pensil dan kertas, tapi ia hanya membuat coretan acak pada kertas tersebut.

Mulai merasa bosan yang menjenuhkan, ia bersiul menyanyikan lagu kesukaannya untuk membantunya tetap fokus.

"Hmm ... Hmm ... Kira-kira, apa yang bisa kulakukan untuk membantu Army?"

Ia mengingat pertemuan pertamanya dengan Army. Ia tidak tahu bagaimana Army hendak membunuhnya ketika pingsan setelah terkena Ashura War Chariot, jadi ia hanya tahu sifat Army yang lembut.

"Ia adalah orang yang baik dan sangat bisa diandalkan. Kehilangannya berarti kami akan kehilangan sosok yang sangat berharga ..."

Ia menatap kertasnya yang penuh dengan coretan.

"Semua telah melakukan yang mereka bisa untuk membantu, tapi hanya aku yang tak tahu harus berbuat apa ..."

Seluruh anggota Fallen Orions berusaha membantu dengan caranya masing-masing. Dokter Forvixer berhasil membuat Army membaik, meski masih berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kesadarannya masih belum kembali dan tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan sadar dalam waktu dekat. Tofu bahkan telah berpindah ke tubuh Cherry untuk sementara, tak lama setelah anastesi total benar-benar membius Army.

Saki dan Shacchi mencoba mencari informasi dari perpustakaan. Meski belum menemukan apa-apa, mereka masih optimis bahwa akan ada informasi yang ditemukan. Tan mengkontak berbagai mitra dagangnya untuk mencari informasi lebih jauh. Menurutnya, ada sangat informasi yang ada di kepala masing-masing orang. Mereka hanya belum pernah berbicara pada orang tersebut untuk mendapat informasinya.

Shiro dan Akane menggunakan relasi penyihir yang mereka miliki untuk mendapatkan bantuan. Akan tetapi, kebanyakan penyihir tidak mampu untuk menangani kasus tersebut. Hanya beberapa penyihir tingkat tinggi yang mau menerima, tapi mereka pun masih belum bisa membantu. Tidak ada sihir yang dapat membalikkan penuaan.

Army telah memasuki kondisi vegetatif yang tidak diketahui penawarnya. Menyelamatkannya bukan lagi sekedar ego pribadi masing-masing anggota Fallen Orions. Mereka seperti sedang ditantang untuk melakukan inovasi baru yang bisa membuat perubahan dalam beberapa bidang. Tubuh Army merupakan gambaran langsung dari tubuh manusia tua yang berada dalam keadaan kritis. Jika Army bisa mereka tangani, maka mereka akan bisa meningkatkan angka harapan hidup, bahkan menemukan sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia usia lanjut.

Kumine berpikir kembali tentang apa yang ia bisa. Beberapa nama orang terlintas lebih banyak dalam benaknya. Ia menjadi pesimis dengan dirinya sendiri karena merasa tidak sebanding dengan mereka yang ada dalam pikirannya.

"Aku tidak seperti mereka. Aku bukanlah orang yang jenius. Sihir yang kubisa juga tidak banyak. Soal relasi bisnis pun tidak sebanding dengan Tan. Yang kubisa hanyalah ..."

Tiba-tiba ia teringat dengan sebuah momen acak yang bahkan tidak pernah ia ingat sebelumnya. Saat itu, ia tidak sengaja bertemu Army dan Shiro yang sedang menunggu pesanan Ardent di toko Tan. Karena barang yang dipesan cukup banyak, mereka jadi punya waktu mengobrol yang cukup banyak. Sambil duduk di sofa tamu, banyak hal mulai dibicarakan. Kemudian sampailah ia pada ingatan dimana sebuah pertanyaan terlontar pada Army.

"Ar, bukan maksudku mengkritisi, tapi kenapa bajumu selalu sama?"

Kumine memperhatikan pakaian Army dari atas ke bawah dengan sangat jeli.

"Tidak jelek sih, dan bahkan harus kuakui desainnya bagus. Akan tetapi sebagai seorang desainer, aku sedikit gatal melihatmu terus memakai pakaian yang sama."

Army dan Shiro kemudian tertawa. Mendengar ucapan tersebut dari Kumine yang memasang ekspresi keheranan adalah hal yang lucu bagi mereka.

"Model ini mirip dengan seragam saat aku menjadi pasukan elit sebuah kerajaan," jawab Army dengan santai. "Saat aku melihatnya di toko pakaian, aku langsung tertarik untuk memberi beberapa pasang sekaligus."

Kumine menopang wajahnya di meja dengan tangan kanan. "Jadi karena nostalgia?"

Army mengangguk. "Ya. Banyak memori penting kualami sambil memakai seragam itu."

Ia tertawa kecil. "Dan juga, pakaian ini nyaman digunakan. Itu saja sudah cukup untukku."

Ingatan itu seakan mengetuk bagian terdalam kepalanya. Pikirannya dan ide-ide seketika muncul dari lubang kekosongan yang sebelumnya memenuhi kepala.

"Tunggu! Justru itu yang bisa kulakukan!"

Ia segera membuka laci mejanya dan mengambil seluruh peralatan menggambar mulai dari berbagai jenis pensil, penghapus, penggaris, tumpukan kertas kosong cadangan, serta berbagai buku tentang pembuatan pakaian yang ia miliki. Ia tersenyum lebar dengan penuh semangat.

"Tidak harus hal yang luar biasa, tapi apapun untuk menunjang kesehariannya setelah ia bangun!"

Keesokan harinya, ia memanggil Ardent beserta 8 anggota lain yaitu, Shiro, Rikka, Ashborn, Saki, Tan, Locked, Vivien, dan Shacchi. Mereka dikumpulkan di depan tendanya dengan wajah penuh kebingungan. Siang hari yang terik menyinari mereka di tengah reruntuhan bangunan di sekitar. Selain itu, dua orang pemuda yang merupakan karyawan Kumine juga ada di sana.

"Jadi, kenapa kita disini Kumine?" tanya Shiro.

"Ho ho ho," Kumine tertawa dengan penuh kebanggaan terhadap dirinya sendiri. "Yang wanita, ikuti aku ke dalam!"

Shacci, Saki, dan Rikka saling menengok. Mereka tidak mengerti apa yang dilakukan oleh Kumine, tapi memutuskan untuk ikut saja ke dalam tenda.

Dua pemuda karyawan Kumine kemudian menunjuk ke arah tenda di sebelah. "Tuan-tuan, mari ke sana."

Setelah semua sampai di dalam tenda, mereka akhirnya tahu apa yang hendak dilakukan oleh Kumine. Dua pemuda tersebut melakukan pengukuran tubuh mereka dengan sangat detail. Mereka bahkan juga menanyakan beberapa pertanyaan yang menyangkut dengan alergi dan sensitifitas kulit. Sangat jelas bahwa Kumine akan membuatkan mereka sebuah pakaian, tapi mereka tidak tahu untuk apa.

"Kau tau Kumine ingin apa, Tan?" tanya Ardent sambil mengangkat tangannya karena hendak diukur.

Tan menggelengkan kepalanya. "Entah. Ia tidak bilang apa-apa."

Setelah pengukuran yang mendetail itu selesai, seluruh data diberikan pada Kumine. Mereka semua pun kembali berkumpul di luar tenda sambil menunggu Kumine yang masih ada di dalam tenda. Setelah keluar, ia langsung dilempar dengan pertanyaan.

"Ingin membuat pakaian ya? Kenapa tiba-tiba?" tanya Rikka.

Kumine meletakkan satu tangannya di pinggang sambil memasang ekspresi bangga. "Ini adalah proyek yang akan aku kerjakan!"

Ia menunjukan sebuah kertas pada papan yang sedari tadi ia genggam, lalu memperlihatkan ke semua orang gambar yang terdapat pada kertas tersebut.

"Perhatikanlah!"

Gambar tersebut adalah sebuah rancangan pakaian yang hendak dibuat oleh Kumine. Akan tetapi, pakaian tersebut sangat mirip dengan apa yang Army biasa kenakan. Beberapa ukuran tubuh yang ada pada gambar tersebut juga terasa cocok dengan ukuran tubuh Army.

"Kenapa Army ada di sana?" tanya Tan.

"Tentu saja ini adalah desain untuknya!" jawab Kumine dengan ceria.

Ashborn mendekat dan melihat gambar tersebut lebih jelas. "Hoo, kau juga membuatkan pakaian untuknya?"

"Tapi kenapa bentuknya sama dengan pakaiannya saat ini?" tanya Vivien.

Kumine mengangguk-angguk, lalu menjelaskan maksud serta tujuannya. "Karena hanya bisa mendapat ukuran tubuhnya, aku bertanya pada adiknya tentang model apa yang sekiranya Army sukai. Berdasarkan pembicaraan kami, aku mengajukan desain yang sama dengan apa yang ia kenakan saat ini. Pakaian lengan panjang dengan jubah pendek, yang dihiasi dengan ornamen emas di beberapa tempat!"

Ia menunjuk ke arah kepala Army pada gambar. "Aku juga membuatnya penutup mata baru yang lebih keren! Dengan bentuk tanduk kecil di dahi serta motif yang berwarna, bukankah itu akan terlihat semakin cocok?"

Sambil memberi senyuman terbaiknya, ia menatap semua orang. "Bagaimana menurut kalian, apakah bagus?!"

Ardent berpikir sebentar. "Menurutku pakaian yang sering ia kenakan memang sudah bagus, jadi aku tak terpikir model lainnya."

Shiro tertawa kecil. "Haha. Army pernah bilang kalau ia suka desain seperti pakaian Devil's Incarnationnya, jadi mungkin ia benar-benar menyukai model pakaian tersebut."

Rikka mengangguk. "Ya. Pakaian sehari-harinya memang masih senada dengan pakaian Devil's Incarnation, hanya berbeda pada aksesoris berwarna emas."

"Senior tidak mengerti mode pakaian, tapi ia memang suka dengan pakaiannya itu. Kurasa ia akan menyukainya," tambah Saki.

Kumine menulis sesuatu pada kertas tersebut. "Kalau begitu, setuju ya?"

Tan meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. "Tentu saja. Itu sudah keren!"

Locked mengangguk. "Aku sih setuju. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ia dengan model yang lain."

Vivien melipat kedua tangannya sambil memejamkan mata. "Tidak buruk. Lagipula, kita juga tidak bisa bertanya padanya kan? Jadi aku setuju saja."

Diantara semua yang setuju, Shacchi menjadi satu-satunya yang agak heran. "Kenapa tidak menunggu ia sadar lalu ditanya?"

Kumine kembali tersenyum sambil menatap Shacchi. "Karena kita tak tahu kapan ia siuman, maka aku harus mempercepat pembuatannya."

Senyuman tersebut sangat murni, memperlihatkan wajah seseorang yang memiliki niat tulus serta mencintai pekerjaannya.

"Selain itu, bukan kejutan namanya kalau bertanya secara langsung!"

Mereka semua kemudian disuruh pulang oleh Kumine karena ia ingin melanjutkan proyeknya. Ia kembali ke tenda dan mengeluarkan buku catatan baru yang masih kosong. Setelah memberi judul yang bertuliskan "Bahan-bahan", ia membuka halaman pertama buku tersebut.

Berbagai bahan mentah mulai ia tulis hingga memenuhi satu halaman. Setelahnya, ia menempel gambar desain pakaian Army di halaman selanjutnya. Kemudian, buku itu ditutup kembali dan dibiarkan tergeletak di meja. Laci mejanya kembali di buka, memperlihatkan peta yang berada di paling atas. Ia mengambil peta tersebut dan melebarkannya di meja.

"Setahuku, Falorin tidak memiliki bahan-bahan yang aku butuhkan."

Ia menyilang beberapa wilayah kota serta kerajaan yang tertera di dalam peta.

"Para aliansi penentang Falorin sudah pasti tidak bisa kudatangi. Cukup disayangkan, karena beberapa barang yang kucari ada di sana."

Melirik ke arah lain, terdapat beberapa nama kota serta kerajaan yang menarik perhatiannya.

"Satu-satunya cara adalah dengan pergi ke mereka yang menjadi kawan."

Beberapa kota serta wilayah kerajaan kemudian dilingkari. Peta tersebut diangkat, lalu diperhatikan kembali dengan sangat detail. Terlihat gambaran dari berbagai kerajaan serta kota yang membentang dari ujung ke ujung benua.

"Ini akan menjadi perjalanan yang cukup melelahkan!"

Peta tersebut dilipat kembali dan diletakkan di atas buku catatan barunya. Kedua barang itu kemudian dimasukkan ke dalam tas bersama beberapa barang lainnya. Ia bercermin dan sedikit merapikan kembali rambutnya. Tenda pun dibuka, memperlihatkan langit oranye yang menandakan bahwa sore hari sudah datang. Tanpa peduli dengan waktu, ia mengambil langkah seribu sambil memegangi tas yang penuh dengan barang-barang berharganya.

Di akademi, para murid yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler masih berkeliaran. Meski kondisi kota belum pulih, pendidikan tetap berjalan seperti biasa. Kumine melihat kegiatan mereka sambil terus berjalan di koridor. Ia menjadi teringat pada saat ia masih menjadi murid di sana. Tan dan Rikka selalu berlatih dengan giat bersamanya, berusaha untuk mendapatkan nilai yang bagus. Mereka bertiga memiliki ambisinya masing-masing yang sampai saat ini masih terikat di hati.

Setelah sampai di ruangan kepala sekolah, Kumine mengetuk pintu beberapa kali. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara Ardent yang menyahut.

"Silahkan masuk."

Pintu pun dibuka secara perlahan.

"Kumine, ada apa?" tanya Ardent sambil menulis beberapa dokumen.

Kumine mengambil kotak kecil dari dalam tas dan meletakannya di depan Ardent. "Papa, aku butuh bantuanmu."

Ardent mengambil kotak tersebut dan membukanya. Terlihat sebuah batu hijau berbentuk persegi di dalam. Ukurannya tidak besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Warnanya tidak mengkilap, melainkan cukup dalam. Batu itu seakan menyerap apapun yang ada di sekitar, termasuk pandangan orang yang melihatnya.

Ardent mengambil batu tersebut dan memeriksanya. "Bantuan apa?"

Kumine menutup kembali tasnya. "Aku butuh sihir Papa yang sangat kuat untuk mengisi batu tersebut. Aku sudah siapkan bayarannya."

Ardent langsung bisa mengetahui akan kemana arah pembicaraan mereka. "Ah, untuk pakaian itu ya?"

Kumine mengangguk. "Ya. Aku akan memperkuat pakaian tersebut dengan sihir, jadi aku butuh sesuatu yang bisa menyimpan energi dengan sangat banyak."

"Dan kamu ingin aku yang mengisi sihirnya?" tanya Ardent.

"Tentu saja," jawab Kumine. "Hanya Papa yang sanggup untuk memberikan sihir dengan sangat banyak."

Ardent kembali memeriksa batu tersebut dan menyadari sesuatu. "Batu ini kualitasnya sangat tinggi. Apa nanti akan dibagi menjadi 10?"

Kumine menggelengkan kepalanya. "Tidak. Satu batu untuk satu pakaian. Yang Papa pegang itu akan menjadi milik Army."

Ardent terkejut sampai hampir menjatuhkan batunya. "Hah?! Batu seperti ini sangat langka dan sangat mahal loh!"

Kumine mengangguk. "Karena itulah, masing-masing pakaian harus mendapat 1, bukan sekedar potongannya."

"Aku mengerti soal itu sih, tap-"

Kumine memotong ucapan Ardent dengan menepuk kedua tangannya.

"Papa, aku ingin membuat mahakarya, jadi kualitas harus teratas. Selain itu ..."

Kumine mendekatkan wajahnya ke Ardent dengan gestur berbisik. "... Urusan batu ini sudah kuserahkan pada Tan. Ia pasti bisa mendapatkan mereka dengan harga terbaik!"

Ucapan tersebut membuat Ardent tertawa. Jika Tan sudah berurusan dengan batu tersebut, maka ia tidak perlu khawatir bahwa Kumine akan menjebol semua uang tabungannya.

"Ah iya Pa." Kumine mengeluarkan peta dari tasnya. "Aku juga akan melakukan sebuah perjalanan, jadi aku tidak akan kembali dalam waktu dekat."

Ardent melihat berbagai tanda yang terletak cukup jauh dari Falorin. "Kenapa tidak menyerahkan ini pada Tan juga?"

"Agar aku bisa memastikan kualitasnya sendiri. Tak boleh ada hal sekecil apapun yang terlewat dalam proyek ini."

Ardent akhirnya memahami tujuan Kumine. Demi mendapatkan bahan terbaik, pembuatnya harus turun sendiri dan memeriksa bahan-bahan tersebut. Karya seni hanya akan bisa tercipta jika karya tersebut sesuai dengan maksud penciptanya.

"Kapan kau akan berangkat?" tanya Ardent setelah selesai melihat peta.

Kumine melipat kembali petanya. "Mungkin besok. Inginnya sih secepatnya."

Ardent bepikir sebentar. "Menggunakan apa?"

Kumine memasukan peta ke dalam tas dan berpikir sebentar. "Kemungkinan besar kereta kuda pribadi. Aku akan menyewanya nanti."

Ardent tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Ah, bagaimana jika aku mengisi semua batu tersebut secara gratis, tapi kau harus membawa Fori ikut bersamamu?"

Ia tersenyum sambil menatap Kumine. "Selain mempercepat perjalanan, Fori juga bisa menjagamu loh."

"Eh? Apakah tidak apa-apa?" tanya Kumine yang terkejut.

Ardent mengangguk. "Tentu saja. Ia pasti senang jika bisa ikut denganmu."

"Bukannya ia memiliki banyak tugas di sini?"

Ardent menggelengkan kepalanya. "Memang, tapi kondisi saat ini tidak memungkinkan kita melakukan operasi intelijen. Ia tidak akan mendapat misi yang jelas, setidaknya sampai kota nanti selesai dibangun."

Kumine berpikir kembali. Ia tidak menemukan kerugian dari membawa Fori bersamanya. Ia memang butuh penjaga, sekaligus teman untuk mengisi perjalanan yang membosankan. Kemampuan Fori pun sangat berguna untuk bergerak dengan cepat dari kota ke kota.

Kumine kemudian menjulurkan tangannya untuk berjabat pada Ardent. "Kalau begitu, apakah kita sepakat, Papa?"

Sebelum menerima jabat tangan tersebut, Ardent bertanya kembali. "Aku akan melakukan pengisian sihir pada batu secara gratis, dengan syarat bahwa kau akan membawa Fori ikut bersamamu?"

Kumine mengangguk. "Ya, aku setuju."

Ardent berdiri dan menerima jabat tangan tersebut. "Semangat untuk perjalananmu besok, Kumine!"