Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 87 - Pertempuran Brandsdatter (2)

Chapter 87 - Pertempuran Brandsdatter (2)

Bentrokan terjadi antara pasukan kavaleri berat pimpinan Mayor Koujima dengan para Budak dan Archaic. Semua saling beradu satu sama lain untuk membuktikan siapa yang berkuasa. Baja membelah baja, sihir menembus sihir, hingga monster mencakar monster. Tak ada satupun yang menyerah begitu saja tanpa perlawanan sengit.

Pasukan Jenderal Nathan yang sebelumnya berpencar kini telah berputar kembali. Mereka berkumpul lagi dan mengepung lawannya dari arah belakang. Kini, para Budak dan Archaic harus menahan serangan yang datang dari 2 arah secara bersamaan.

Perisai dengan lambang kebanggaan Archaic tembus tertusuk pedang, prajurit Falorin berjatuhan dari tunggangannya, dan para Budak berusaha mempertahankan formasi dari kepungan yang mereka hadapi. Para prajurit Falorin yang kehilangan tunggangannya tak langsung menjadi tidak berguna. Mereka menarik pedang dan kembali menyerang sebagai infantri. Setiap prajurit Falorin bisa berkuda, menembak, serta menguasai tehnik berpedang tanpa peduli apa peran mereka saat perang dimulai. Fleksibilitas tiap individunya membuat Falorin selalu bisa mengungguli semua lawan di setiap peperangan.

Pemimpin pasukan Budak dan Archaic menyadari bahwa mereka ada di ambang kekalahan, tapi mereka tetap berusaha melawan sekuat mungkin. Satu-persatu prajurit mereka terbunuh dengan sangat cepat. Mereka bisa merasa bahwa pasukan Falorin memiliki niat untuk melakukan pembantaian. Mayat bergelimpangan dimana-mana hingga mempersulit gerak tiap pasukan yang ada. Mental pasukan yang terkepung sudah mencapai batasnya. Mereka tahu bahwa mereka akan mati dalam waktu dekat. Bendera kebangaan serta zirah yang mereka pakai tak ada artinya lagi, bahkan dewa yang menjadi tempat berdoa tak bisa datang untuk menyelamatkan.

Mayor Tian sedang berdiri dari balik bukit menyaksikan para kavaleri dengan sihir untuk melihat jauh.

"Pemenang sudah ditentukan!"

Ia mengubah arah pandangannya ke kota yang masih terus dibombardir oleh artileri dan pasukan jarak jauh. Ia mencoba menganalisis situasi untuk mengambil keputusan terbaik.

"Pasukan kami tersembunyi di pepohonan. Akan sulit bagi mereka untuk menyerang balik. Selain itu, pertahan mereka juga sudah menurun drastis."

Sambil terus menatap kota, ia membuat gestur dengan tangan untuk memanggil bawahan yang ada di markas belakangnya.

"Siap, Mayor!" ucap bawahannya yang berlari menghampiri.

"Segera siapkan seluruh peluru anti-barrier pada artiler, serta siapkan juga si 'penjebol'."

Ia melepas sihir pengelihatan jarak jauhnya. "Pengeboman terakhir akan segera dijalankan!"

Setelah terlibat dalam pertempuran selama beberapa jam, pasukan kavaleri Falorin mengangkat pedang sambil berseru bersama-sama, menandakan keberhasilan mereka dalam menumpas habis lawannya. Tak ada lagi yang tersisa dari para Budak ataupun Archaic kecuali tubuh mereka yang tidak bernyawa.

Jenderal Nathan segera memacu tunggangannya menuju ke arah kota. Ia mengacungkan pedangnya sambil berseru, "MENUJU KOTA!!!"

Seruan tersebut diikuti oleh Mayor Koujima beserta seluruh pasukan kavaleri berat.

"MENUJU KOTA!"

"KOTA!"

Mereka mengambil barisan paling depan dan bergerak secepat mungkin. Setelah formasi kavaleri berat terbentuk, seluruh pasukan kavaleri ringan mengikuti di belakangnya. Mereka sama-sama mengarah pada ibukota Brandsdatter untuk mengakhiri pertempuran.

Menyadari banyaknya pasukan kavaleri yang bergerak kembali ke arah kota, pasukan di tembok tahu bahwa para Budak dan Archaic sudah dikalahkan. Mereka langsung bersiap menahan serangan tersebut dengan menyediakan lebih banyak peluru anti-personil, serta memperkuat barrier dengan sihir yang lebih banyak.

Ketika pasukan Falorin semakin dekat dengan kota, mereka kembali beradu tembak dengan para penjaga yang ada di atas tembok. Jika sebelumnya Jenderal Nathan akan membawa pasukannya untuk memutar balik, kali ini ia terus membawa mereka maju menuju gerbang kota.

Mengetahui pasukan Jenderal Nathan semakin dekat, Mayor Tian langsung mengangkat tangan kanannya. Setelah beberapa saat, ia menurunkan tangannya ke arah kota.

"TEMBAK!"

Secara berurutan, pelurut anti-barrier ditembakan ke arah kota. Barrier kota langsung hancur kembali setelah terkena banyak serangan peluru tersebut. Peluru yang ditembakan kali ini jauh lebih banyak daripada sebelumnya karena artileri baru telah dipasang. Intensifnya hujan peluru membuat mereka sama sekali tidak bisa mengaktifkan barrier untuk melindungi kota.

Mayor Tian kemudian berganti mengangkat tangan kirinya. Setelah beberapa saat, ia menurunkan tangan dan mengarahkannya tepat ke gerbang kota.

"TEMBAK!"

Melalui artileri khusus yang berukuran lebih besar, peluru eksplosif tanpa proyektil dilepaskan. Peluru itu melesat dengan sangat cepat di atas pasukan Falorin dan mendarat di gerbang. Gerbang kota langsung hancur total dalam satu ledakan besar, bahkan beberapa meter tembok di sekelilingnya juga ikut hancur oleh ledakan tersebut.

Setelah debu berhenti menutupi pandangannya, Jenderal Nathan dan Mayor Koujima melihat barisan pasukan infantri dengan perisai yang besar. Pasukan tersebut adalah Medeciar, para elit infantri yang berasal dari Nebu. Mereka berdiri dengan kokoh layaknya tembok yang hendak menahan tsunami. Dengan tombak yang mengarah ke depan, mereka membangun dinding tajam yang siap menusuk musuh-musuhnya.

Meski memiliki nama yang dekat dengan obat-obatan, Medeciar adalah pasukan infantri spesialis pertahanan. Nama Medeciar diberikan karena pada awalnya mereka memang hanya sekedar unit medis dalam pertempuran. Seiring berjalannya waktu, unit tersebut berkembang hingga menjadi pasukan elit yang bisa maju di garis depan dan menjadi pasukan medis secara bersamaan.

Saat melewati gerbang kota, Jenderal Nathan sekali lagi berteriak.

"HANCURKAN!!!"

Seketika, bentrokan kembali terjadi di dalam kota. Para pasukan Medeciar pada awalnya sanggup menahan serangan Falorin meski secara mental dan jumlah sudah rata oleh tanah. Beberapa unit kavaleri Falorin mulai mengganti objektifnya dengan memanjat tembok kota. Mereka membersihkan seluruh tembok dari pasukan Nisari yang bingung karena targetnya sudah menyebar dimana-mana. Tembakan beruntun dari pasukan jarak jauh dihentikan karena ada banyak pasukan sendiri pada tembok. Mereka kemudian turun dari bukit dan bergerak ikut memasuki kota. Tembakan artileri kembali diatur ulang agar tidak melukai pasukan sendiri yang ada di dalam kota.

Seisi istana mulai panik ketika tahu bahwa kota berhasil dijebol. Mereka semua langsung membangun pertahanan terakhir di istana sambil mempersiapkan jalan kabur bagi para keluarga kerajaan. Mereka tahu bahwa Falorin tidak akan membiarkan ada yang selamat, tapi mereka tetap berusaha untuk menyelamatkan diri.

Putri Veena dengan zirah lengkap serta pedang miliknya berlari cepat di koridor Meski rambut indah nan mencoloknya tertutup oleh helm, aura kebangsawanannya masih bisa terasa dengan jelas. Ia sangat tergesa-gesa sambil menengok ke tiap persimpangan yang ia lewati. Suasana istana yang sepi menambah kesan mencekam yang sangat dalam baginya.

Saat sampai di depan perpustakaan, ia segera membuka pintunya dengan cepat. "CAROL!"

Seorang gadis dengan rambut pirang yang pendek muncul dari balik rak buku. Tangan kanannya memegang lentera, sementara tangan kirinya memeluk sebuah buku. Mata birunya memantulkan minimnya cahaya perpustakaan dengan sangat indah. Tinggi gadis tersebut terpaut jauh dari Veena, tapi ciri khas kebangsawanan mereka sama persis. Sosoknya seakan menjadi mahluk halus penunggu perpustakaan.

Ia kemudian berlari menghampiri Putri Veena dengan ekspresi panik karena ia juga sudah mengetahui apa yang terjadi.

"Kakak!"

Putri Veena menggandeng tangan adiknya dan membawanya keluar dari perpustakaan.

"Cepat! Ibu dan yang lainnya telah menunggu!"

Caroline menengok ke sekeliling. "Bagaimana dengan Ayah?"

"Tcih." Putri Veena memicingkan matanya. "Ia juga sudah dibawa meski merepotkan semua orang."

Mereka terus berlari sambil melihat ke luar jendela. Cahaya bulan membantu mereka menyaksikan bagaimana para Mediciar mulai tumbang secara perlahan. Tak ada banyak waktu lagi yang tersisa. Mereka berdua bahkan tidak yakin bahwa rencana pelarian akan berhasil. Meski sama-sama panik dan takut, Putri Veena masih memikirkan sesuatu yang disembunyikan dari adiknya.

"Tuan Ardent, apakah benar-benar akan datang?!"

Tiba-tiba, seseorang memanggil saat ia melintasi persimpangan koridor. Sebelum ia bisa menarik pedangnya, orang itu menahan pedang tersebut dengan tangan kirinya agar tidak keluar dari sarung.

Ardent tersenyum. "Ini aku, Putri."

"Tuan Ardent, kau benar-benar datang!"

"Tentu saja. Aku tak pernah mengingkari janjiku."

Mendengar nama Ardent, Putri Caroline langsung mundur dan memeluk kakaknya dari belakang. Ia tahu bahwa Ardent adalah senjata berjalan milik Falorin.

"K-kakak, a-apa maksudnya ini?" Ucapannya terbata-bata karena terkejut.

Putri Veena menengok. "Ah, ini. Tuan Ardent datang untuk menjemput kita."

"K-kita?"

Ardent menekuk lututnya di hadapan Putri Caroline sambil menjulurkan tangan padanya.

"Putri Caroline, aku datang kesini untuk menjemput kalian. Aku akan membawa dan memastikan kalian bisa pergi dari sini dengan selamat."

Putri Caroline belum bisa memberi respon apa-apa. Ia hanya terdiam di belakang kakaknya. Melihat adiknya kebingungan, Putri Veena berbalik badan dan memegang kedua pipi adiknya.

"Carol, ini mungkin terdengar aneh, tapi percayalah dengan Tuan Ardent. Ia akan mengantar kita dengan selamat!"

Putri Caroline melirik Ardent. "K-kita saja?"

Ardent yang ditatap hanya balik tersenyum.

Putri Veena menatap adiknya dengan sangat serius. "Kakak mohon kali ini saja, dengarkan Kakak."

Putri Caroline balik menatap sambil mengangguk. Ia bersedia mendengar penjelasan Kakaknya meski ragu.

Putri Veena kemudian mulai berbicara. "Kakak diberikan kesempatan oleh Tuan Ardent untuk ikut bersamanya. Tidak hanya itu, ia juga tertarik dengan kemampuanmu sehingga kamu juga ingin diajak olehnya."

Ia menggenggam kedua bahu Putri Caroline. "Semua penghuni istana yang pergi tidak akan bisa selamat. Pasukan Falorin pasti telah menempatkan beberapa unit 'pembersih' di beberapa titik untuk memburu mereka. Jadi, Kakak mohon untuk menerima tawaran Tuan Ardent dan ikut bersama Kakak ..."

Putri Caroline diam sesaat, lalu bertanya, "Tertarik denganku?"

Putri Veena mengangguk. "Ya. Kemampuan akademismu telah diakui olehnya."

"Hanya kita berdua saja?" Putri Caroline menundukan pandangannya. Ia merasa sedih ketika tahu bahwa semua orang yang berusaha pergi pasti akan mati.

Putri Veena mengangguk. "Ya. Hanya kita berdua saja."

"Ayah dan Ibu tidak boleh ikut?"

Putri Veena menggelengkan kepalanya. "Tidak."

Dengan tatapan seriusnya lagi, ia berkata, "Carol, aku tau kamu menyayangi Ayah dan Ibu, tapi Kakak mohon, percayalah pada Kakak kali ini.

Ia menggenggam tangan adiknya dengan erat. "Percayalah bahwa Kakak juga sangat menyayangimu, sehingga pilihan Kakak ini adalah pilihan yang benar juga bagimu."

Putri Caroline kembali menatap Ardent. Dari tatapannya, ia seakan bertanya secara langsung apakah Ayah dan Ibunya benar-benar tidak boleh ikut. Ardent mengetahui isi hatinya tersebut dan menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa dan tidak mau membawa lebih banyak orang selain mereka berdua.

Putri Caroline menarik nafas dan menghembuskannya kembali. Ia menguatkan hatinya lalu menjawab dengan lantang, "Baiklah. Aku akan ikut dengan Kakak!"

Ardent sangat senang ketika melihat Caroline kembali membara. Ia menjentikan jari dan memunculkan gumpalan kabut yang biasa dijadikannya sebagai alat transportasi.

"Kalau begitu, kita harus pergi sekarang juga," ucap Ardent.

Putri Veena naik bersamaan dengan Putri Caroline.

"Bagaimana dengan Ibu?" tanya Putri Veena. "Ia pasti akan bingung karena kami tidak ada."

"Sebelum kesini, aku memalsukan suaramu dan meminta mereka untuk pergi duluan."

Ardent memunculkan sihir suara yang terdengar sangat mirip dengan suara Putri Veena ketika berbicara.

"Ibu, aku akan menyusul kalian bersama Carol. Kalian duluan saja!!

"Mirip kan?" tanya Ardent.

Mereka terbang di sepanjang koridor menggunakan kabut tersebut. Mereka juga bisa melihat kondisi pasukan Mediciar yang semakin tidak baik. Beberapa barisan infantri telah berhasil dijebol. Pasukan Nisari juga tidak terlihat lagi di tembok kota. Kerajaan Brandsdatter telah menjadi awal dari jatuhnya 6 aliansi kerajaan yang mencoba melawan Falorin.

Disaat yang bersamaan, di luar tembok kota bagian belakang. Terdapat sekelompok orang berseragam serba putih yang sedang berkumpul. Mereka berdiri di sekeliling mayat yang mengenakan pakaian mewah serta perhiasan yang cukup banyak.

"Kapten Raidil, apa yang selanjutnya kita lakukan?" tanya seorang wanita dengan rambut panjang.

Raidil mengayunkan pedang pendeknya ke bawah untuk membersihkan darah yang menempel. "Sudah pasti bahwa mereka semua adalah penghuni istana?"

"Ya. Aku telah memastikannya," jawab wanita rambut pendek sambil memeriksa mayat yang ada di sekitarnya.

Dua orang pria kemudian menghampiri Raidil dan memberikan secarik kertas.

"Ini datanya."

"Semua sudah ada disini, kecuali dua Putri kerajaan."

Raidil membaca kertas tersebut dengan seksama. "Hmm hmm ... Kerja bagus. Kita tinggal menunggu kota dibakar habis saja."

Ia melipat dan memasukan kertasnya ke dalam kantong baju. "Setelah itu, kita lanjutkan kampanye militer ini secepat-cepatnya. Masih ada 4 kerajaan serta kota-kotanya yang menunggu untuk dihancurkan."

"Eh? Tidak apa membiarkan dua Putri itu selamat?" tanya salah satu pria.

Raidil mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Entahlah. Jika sesuatu berhasil luput dari kita, pasti sesuatu yang mengerikan melindunginya."

Wanita berambut pendek berdiri sambil memikirkan sesuatu. "Seluruh area dalam radius 1 kilometer telah disisir sebelumnya, tapi kita tak menemukan apapun selama penyisiran. Ia pasti bukan orang biasa."

Raidil mengangguk. "Benar kan? lebih baik kita tutupi saja agar tidak terjadi keributan. Biar aku yang berbicara langsung pada Raja soal ini."

Semua tim Raidil memahami maksudnya yang tidak ingin mencaritahu lebih jauh. Jika tim intelijen terbaik Falorin saja tidak bisa mengantisipasinya, berarti sesuatu yang melindungi kedua Putri itu berada jauh lebih tinggi di atas mereka. Berbicara langsung dengan Raja akan lebih baik dibanding membuat laporan, karena laporan bisa dibaca oleh siapapun, sehingga bisa membuat banyak orang khawatir.

Raidil menengok ke arah dua pria yang membawa kertas. "Laporkan saja bahwa mereka telah dibasmi. Jika suatu saat ini menjadi masalah, aku siap menanggung konsekuensinya."