Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 85 - Army dan Saki (Lagi)

Chapter 85 - Army dan Saki (Lagi)

Saki turun dari kereta kuda, serta langsung melihat pemandangan sekitar. Wilayah perkotaan yang padat hingga danau raksasa di sebelah kota dapat terlihat dari gunung tempat mereka berada. Kota Heiss adalah bagian dari kerajaan Falorin yang strukturnya dibangun pada sekeliling gunung non-aktif bernama Heissenberg. Ia juga memiliki danau raksasa yang sangat jernih layaknya cermin bernama Ice Mirror. Letaknya Heiss berada sangat jauh dari ibukota, jadi Army dan Saki menggunakan item teleportasi untuk mempercepat perjalanannya. Sebagai satu-satunya kota unik dari 4 kota Falorin, Heiss sering menjadi tujuan wisata, sehingga Heiss memiliki banyak pilihan tempat yang bisa dikunjungi.

"Senior, kita sudah sampai!"

Saki berlari ke pagar pembatas untuk melihat pemandangan dengan lebih jelas. Saat turun dari kereta, Army juga bisa melihat pemandangan yang indah.

"Hati-hati, kita sedang berada di pinggir gunung," ucap Army.

Pepohonan hijau dan struktur bangunan yang disusun rapi pada kota, serta danau jernih di sebelahnya benar-benar membuat setiap orang terkesima. Setelah beberapa saat memandangi, hawa dingin semakin terasa menembus pakaian tebal yang nereka kenakan. Masih tidak diketahui apa penyebab wilayah sekitar kota Heiss menjadi sangat dingin ketika musim dingin. Ada spekulasi yang mengatakan kalau itu akibat adanya reaksi sihir pada gunung non-aktif, letak geografis, dan berbagai hal lainnya. Akan tetapi, perkiraan itu memiliki banyak kecacatan dalam teorinya.

Army berjalan mendekati Saki dan memakaikannya sebuah syal abu-abu dengan garis putih di kedua ujungnya. "Pakailah. Sebentar lagi musim dingin, jadi suhu disini pasti sudah semakin menurun."

Saki terkejut dan memperhatikan syal yang dipakaikan oleh Army. "Eh, lalu untuk se-"

Saat menengok ke arah Army, ia melihat Army tersenyum padanya dengan syal yang mirip di leher.

"Bagaimana? Aku membelinya sebelum berangkat karena yakin Heiss akan mendingin."

Saki mengangguk. "Cocok!"

Army mengeluarkan kamera berukuran sedang dari tasnya. "Saki, lihat kesini!"

Secara refleks, Saki tersenyum ke arah kamera. "Yey!"

Setelah beberapa saat, foto keluar dari bagian bawah kamera. Foto itu menangkap Saki beserta pemandangan di belakangnya yang sangat Indah. Foto itu juga memiliki pewarnaan hangat dengan sedikit warna cokelat muda di tiap sisinya. Saki berlari mendekati Army dan mengambil kameranya. Ia membalik kamera tersebut dan berdiri di samping Army.

"Sekarang senior juga harus ada dalam foto!"

Mereka masih memiliki beberapa waktu sampai pertunjukan dimulai, jadi mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar gunung. Destinasi wisata serta yang ada di gunung Heiss sendiri ada cukup banyak. Pemandian air hangat, kebun binatang hewan endemik, tur keliling gunung yang akan melihat seluruh sisi kota, serta berbagai hal lainnya.

Waktu dihabiskan cukup lama oleh mereka di kebun binatang. Saki terlihat sangat antusias ketika melihat hewan, sehingga Army juga ikut menyukainya. Mereka kemudian masuk ke sebuah bangunan yang ada di kebun binatang untuk melihat hewan-hewan kecil.

Saki berlari hingga ke depan salah satu kandang kaca dan berbalik badan. "Senior, sini!" Ia melambai pada Army sambil menunjuk kandang di depannya.

Army tertawa kecil dan berjalan santai sambil melihat kandang-kandang yang lain. Setelah sampai, ia memperhatikan papan nama yang ada di depan kandang.

"Opistophthalmus Glaciesaxum."

"Kalajengking Es Batu," sahut Saki sambil melihat ke dalam kaca dengan lebih fokus.

Army ikut memperhatikan kandang. "Es Batu? Lucu juga namanya."

Saki mengangguk. "Ya, karena mereka berwarna biru seperti es dan tinggal di bawah batu."

Saat batu yang ada di dalam kandang diperhatikan lebih jelas, mereka bisa melihat sesuatu berwarna biru yang bergerak. Kalajengking berwarna biru seperti es bergerak secara perlahan, keluar dari bawah batu.

"Ah, senior! Dia muncul!"

Army terkesima dengan warna kalajengking tersebut yang sangat mencolok. "Wah iya. Sayang sekali hewan seindah ini memiliki racun mematikan."

"Ahaha, senior benar. Toksinnya bisa membekukan darah manusia dalam sekejap."

Army kemudian mundur beberapa langkah. "Saki, hadap sini!"

Saat menengok, Saki melihat Army yang telah menyiapkan kameranya. Ia kembali tersenyum sambil berpose dengan kedua jarinya. Army kemudian mengambil foto Saki bersama dengan kalajengking biru yang sangat jelas di sebelahnya.

Setelah selesai, Army memperhatikan hasil fotonya dengan serius. "Hmm ... Agak janggal melihatmu begitu antusias dengan hewan mematikan. Banyak yang menyebutmu lucu dan imut, tapi kau justru suka dengan hewan-hewan yang seperti ini."

Saki tertawa. Ia menyadari hal yang bertentangan dengan penampilannya itu. "Ahaha. Habisnya, mereka keren sih."

"Tak bisa dipungkiri. Mereka memang sangat keren," balas Army.

Saki kemudian berlari lagi ke kandang yang lain. Ia kembali berbalik badan dan melambai pada Army dengan antusiasme yang tinggi. "Senior, ini Lipan Es Bening Raksasa!"

Army hanya tersenyum dan berjalan ke arahnya sambil terus memegang kamera. Setiap waktu yang dihabiskan terasa sangat menyenangkan baginya. Tak terasa mereka telah berkeliling kebun binatang cukup lama sampai waktu pertunjukan hampir tiba. Mereka segera menuruni gunung dengan kereta kuda yang melewati jalur lain. Kali ini, mereka bisa melihat lebatnya hutan Freezing Trees yang berada tepat di sebelah kota, hutan yang menjadi salah satu sumber pendapatan kota karena sumber daya alamnya yang melimpah.

Pertunjukan diadakan di tenda sangat besar yang didirikan pada sebuah lapangan. Tidak hanya satu, ada beberapa tenda lain yang bisa dikunjungi oleh semua orang. Segala sesuatu yang ada disana adalah berbagai hal dari seluruh penjuru dunia. Hewan dan benda unik yang sebelumnya tidak pernah dilihat, bahkan hasil arkeologi berupa fosil dan artefak juga ada di sana. Para pengunjung yang telah memperlihatkan tiketnya diberi sebuah gelang dan dipersilakan untuk bebas berkeliling di area lapangan hingga waktu pertunjukan utamanya tiba.

Army dan Saki kembali memotret berbagai kenangan yang bisa mereka temukan, karena pertunjukan tersebut belum tentu datang setahun sekali. Suara bel kemudian berbunyi, menandakan bahwa pertunjukan utama akan segera dimulai. Mereka berdua segera masuk ke tenda utama dan duduk pada tempat duduknya yang bersebelahan. Isi pertunjukan adalah penampilan dari hewan, peralatan, hingga berbagai benda yang sebelumnya mereka pernah lihat di luar. Atraksi menegangkan dan unik bisa mereka saksikan. Hewan-hewan dengan bentuk tidak lazim dengan kemampuan sihir menjadi favorit dari penonton disana. Penampilan alat sihir unik juga disambut dengan tidak kalah meriah. Penampilan tersebut menjadi seperti pertunjukan sulap yang kelasnya jauh lebih tinggi.

"Senior!" Saki menunjuk ke arah ular yang sedang dipamerkan. "Ular itu tidak ada di depan loh!"

Sang pawang bermain dengan ular hijau tersebut dan menampilkan beberapa atraksi berbahaya.

Army memperhatikan ular tersebut dan mencoba mengingat kembali kandang reptil yang pernah ia datangi. "Hmm ... Sepertinya begitu. Mungkin mereka sengaja tidak meletakkan semuanya di depan, supaya pertunjukan menjadi lebih meriah."

Saki memangku wajahnya di atas lutut. "Suatu hari, aku ingin kita bisa berkelana ke seluruh penjuru dunia, lalu melihat segala isinya yang luar biasa!"

Army tersenyum melihat Saki. "Sepertinya menarik. Aku juga ingin melihat seisi dunia bersamamu, Saki."

Pertunjukan ditutup dengan penampilan sihir ilusi yang cerah dan berbinar-binar. Pelangi, gelembung, serta alunan musik yang indah terdengar di seluruh tenda. Setelah semuanya berhenti, para penonton memberik tepuk tangan yang meriah sebelum keluar secara bergantian.

"Kau lapar?" tanya Army.

"Lumayan. Senior mau makan apa?" tanya Saki balik.

"Mumpung disini, sebaiknya kita coba makanan khasnya saja. Bagaimana?"

Mereka kemudian pergi ke salah satu rumah makan yang cukup dikenal di sana. Menu makanan Heiss memiliki tekstur yang sangat lembut dan disajikan sebagai makanan hangat. Kebanyakan rasanya juga gurih dan pedas, tapi mereka tetap memiliki beberapa pilihan makanan manis, terutama hidangan penutupnya.

Setelah selesai makan, mereka membawa sekantung camilan hangat. Hari terus berjalan, tapi sore belum tiba. Masih ada cukup waktu untuk istirahat sebelum pulang. Mereka kemudian pergi ke taman kota dan duduk di seberang lahan bunga yang bermekaran. Semerbak bunga dihembuskan oleh angin dingin yang menandakan datangnya musim dingin sebentar lagi, sekaligus menjadi tanda bagi bunga tersebut bahwa sebentar lagi mereka harus "tidur" untuk sementara waktu.

Di tengah keheningan antara mereka, Army tiba-tiba berkata, "Terimakasih, Saki."

Saki yang kaget lanjut memakan camilannya. "Ah-eh ... Tak masalah senior. Aku juga merasa senang hari ini bisa pergi bersamamu lagi."

Army menengok ke arahnya. "Pekerjaanmu juga berat ya?"

"Yah, mungkin bukan berat di fisik. Menerjemahkan bahasa asing lebih menguras pikiran. Setelah sekian lama, kami hanya bisa menerka beberapa kata saja."

Army membayangkan Saki dan timnya yang sedang berdiskusi. "Hmm ... Dapat kubayangkan bagaimana pusingnya."

"Ah, senior sendiri juga mendapat tugas sulit kan? Kudengar senior bersama senior Shiro meratakan Saint Athaelai dan Ousbundle berdua saja!"

Army tertawa kecil. Ia mengingat kembali apa yang terjadi di kedua pembantaian tersebut. "Ahaha ... Kurasa itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan. Kami hanya membersihkan mereka yang tak bisa melawan. "

Saki menelan makanannya. "Benar juga. Untungnya, kabar tentang Cherry dan yang lain tidak sampai ke Akane duluan. Jika ia tahu lebih dulu, pasti penelitannya bisa terganggu karena memikirkannya teman-temannya."

"Kami pun tidak diberitahu bawah Cherry ada disana sebelumnya," ucap Army.

Obrolan mereka dilanjutkan dengan membahas kesibukannya masing-masing beberapa saat ke belakang. Mereka berdua sama-sama disibukan dengan misi yang tak kunjung berhenti belakangan ini, tapi perasaan mereka akan selalu tertuju satu sama lain tanpa ada yang bisa menghalangi. Tak bertemu selama beberapa lama bukanlah sesuatu yang berarti, karena tahu bahwa mereka saling menyimpan sesuatu dalam hati.

"Senior, kau ta-"

"Saki," ucap Army memotong perkataan Saki.

"Ya? Ada apa?"

"Terimakasih lagi atas hari ini."

"Eeh? Tadi senior kan sudah mengucapkannya." Saki menjadi bingung dengan Army yang mengucapkan terimakasih dua kali.

"Aku juga meminta maaf padamu."

Saki semakin bingung. "Soal apa?"

"Untuk semuanya, dan untuk apa yang akan datang."

"Maksud senior?"

"Kurasa waktuku tak banyak lagi, Saki."

"Waktu? Tak banyak?"

Army memberikan kertas yang terlipat pada Saki. Sambil Saki membaca, Army menjelaskan apa yang ia ingin Saki ketahui.

"Seperti yang kau tau, iblis memakan energi kehidupan untuk tetap hidup. Karena tidak ada kontrak apapun, energi kehidupanku terserap dengan sangat banyak setiap harinya. Hasilnya, organ tubuhku menjadi jauh lebih tua daripada umurku seharusnya. Jika seseorang terus menua, kau tau apa yang akan menanti orang itu kan, Saki?"

Army melipat kedua tangannya di atas lutut. "Maaf Saki, aku tidak bisa membalas perasaanmu lebih lama. Maaf karena tak bisa menemanimu untuk selamanya. Maaf karena aku akan meninggalkan sebuah memori yang tidak menyenangkan, dan maaf ka-"

"Senior," ucap Saki memotong pembicaraannya.

Tiba-tiba, Saki bersandar di bahu Army. "Jangan meminta maaf. Ini bukan salah siapapun."

Ia memejamkan matanya. "Lagipula, aku sudah tau bahwa ini akan terjadi. Senior tahu kalau aku mengetahui banyak hal bukan? Konsekuensi pengguna kekuatan kegelapan abnormal sepertimu juga sudah aku cari tahu sejak lama."

Army cukup terkejut dengan respon tersebut. Ia tidak menyangka kalau Saki telah mengetahui hal tersebut, tapi tidak berbicara apapun padanya.

Saki kembali membuka matanya. "Selama bersama senior, aku telah menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. Oleh karena itu, aku selalu ingin menjadi seseorang yang bisa membahagiakanmu di waktumu yang singkat ini.

Saki tertawa kecil. "Haha, meski begitu ... Aku tidak menyangka bahwa waktu kita hanya sesedikit ini."

"Saki ..." Army masih tidak menyangka respon yang tenang tersebut. "Meski begitu, aku sering membayangkan apa yang mungkin terjadi bila aku pergi. Fallen Orions, Papa, Shiro, Cherry, dan dirimu."

Tangan Army mengepal secara tidak sadar seraya ia membayangkan hal yang ia ucapkan sendiri. "Membayangkan bagaimana nanti kau aka-"

"Senior, yang ada di masa depan biarlah masa depan." Saki meraih tangan Army dan menggenggam tangan kanannya. "Itu bisa menunggu. Kita tidak boleh membiarkan saat ini sia-sia berlalu."

Ia tersenyum sambil menatap Army. "Jadi, mari jalani saja apa yang saat ini sedang berjalan.

Army terdiam sesaat. Setelah beberapa saat, ia tiba-tiba tertawa kecil. "Haha. Kau benar. Terimakasih, Saki."

"Kau sudah mengatakan 'terimakasih' terlalu banyak hari ini, senior."

Waktu terus berjalan hingga sore hari akhirnya tiba. Lampu taman dan jalanan mulai dinyalakan. Setelah melihat matahari tenggelam bersama, mereka langsung pulang menuju ibukota. Army mengantar Saki pulang sampai ke rumah Bibinya. Karena acara sudah selesai, Army langsung pulang setelah mengantar. Ia berpamitan dengan Paman dan Bibi Saki, lalu berpamitan dengan Saki di depan pintu.

"Senior, sampaikan salamku pada Kak Cherry ya!" ucap Saki di depan pintu.

Army melambai sambil berjalan pergi. "Baiklah. Sampaikan juga salamku pada Kurosaki."

Saki terus berdiri di pintu dan melambai pada Army sampai tidak terlihat lagi. Setelahnya, ia menutup pintu dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari itu adalah hari yang menyenangkan, tapi sekaligus melelahkan baginya. Setelah memakai piyama, ia segera melompat ke kasur sambil menatap langit-langit kamar. Ia tiba-tiba teringat tentang obrolannya bersama Akane beberapa hari lalu.

Mereka berdua sedang berjalan di koridor sambil membawa tumpukan buku, dan sedang mengarah menuju perpustakaan istana.

"Saki, berapa lama kau sudah kenal Kakaknya Cherry?" tanya Akane.

"Hmm ... Sepertinya 5 tahun."

"Kalian juga sudah sangat dekat kan? Kenapa masih memanggilnya dengan 'Senior'?"

Saki tertawa. "Haha. Kebiasaan itu susah hilang."

"Yah, kurasa aku tidak bisa banyak bicara soal itu." Akane mengingat saat-saat ia pertama kali bertemu Shiro. "Sejak awal, aku sudah memanggil Shiro dengan namanya."

"Eh? Kenapa begitu? Bukankah Senior Shiro jelas-jelas terlihat lebih tua?"

"Dia itu tidak terlihat dewasa sama sekali," jawab Akane. "Selain itu, aku dan sifat congkak ku bahkan memanggilnya dengan 'bocah' pada awalnya."

Saki tersenyum karena sudah memahami sifat Akane yang seperti itu. "Sudah bisa ditebak dari Kak Akane."

Setelah diam selama beberapa saat, Akane kembali berbicara. "Nah, Saki. Kurasa kamu juga harus membiasakan diri agar tidak terlalu formal dengannya. Mungkin kau masih bisa dengan Cherry yang bahkan lebih muda darimu, tapi kau tidak akan tetap berada di posisi ini untuk selamanya kan?"

Akane menatap Saki. "Maksudku, ia tidak selamanya hanya menjadi sekedar senior bagimu kan?"

Kembali pada Saki yang sedang menatap langit-langit kamar. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum bergumam sendiri.

"Senior akan selalu menjadi senior ku, karena kami tidak akan ..."

Ia berusaha tersenyum. "Kerja Bagus, Saki. Senior tidak akan tahu harus berbuat apa."

Ia menutup matanya dengan lengan kiri. "Jika ia melihat seseorang menangis di depannya."