Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 84 - Pagi yang padat

Chapter 84 - Pagi yang padat

Pada pagi yang cerah menjelang siang. Acara penyambutan kedua sedang diadakan di hari libur untuk menyambut para murid baru. Sang mentari dengan sinarnya menerangi seluruh bagian akademi. Murid-murid berdatangan bersama dengan dimulainya sebuah tahun ajaran. Wajah baru yang nampak familiar tapi asing bermunculan. Memori baru tercipta, menimpa segala yang telah berlalu sejak lama. Balon diikat ke berbagai tempat. Papan bertulisan terdapat dimana-mana.

"Ah ... Aku harus mengingat nama mereka lagi ya," ucap Ardent dari atap akademi.

Kekusutan yang ada di kepalanya seketika hilang ketika melihat para murid yang datang dengan semangat. Antusiasme anak muda adalah sesuatu yang sangat berharga bagi mereka yang sudah tua. Saking asiknya memperhatikan para murid, ia sampai tidak mendengar langkah kaki yang berjalan ke arahnya dari belakang.

"Papa!" Panggil Army dengan suara kecil.

Ardent menengok dan melihat Army dengan sweter berwarna kremnya. Ia tidak menyangka akan ditemui pada hari libur.

"Army? Ada apa? Bukankah hari ini kalian libur?"

Army berjalan hingga ke sebelah Ardent. "Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan, sekaligus meminta saran dan bantuan."

"Oh." Ardent menjadi tertarik. Ia berbalik badan sambil bersandar di tembok pembatas atap. "Tidak biasanya kau meminta itu padaku. Ceritakan saja. Mungkin aku bisa bantu."

Army diam selama beberapa saat sambil melihat orang-orang di bawah. Setelah menarik nafas cukup panjang, ia meraih kantung celananya. Ia mengambil kertas yang terlipat lalu menggenggamnya dengan erat.

"Papa, kau tau bagaimana nasib mereka yang menggunakan kekuatan kegelapan secara masif?"

Ardent mengangguk. "Energi kehidupan mereka terserap kan? Iblis membutuhkan itu untuk tetap hidup, jadi inangnya harus memberi mereka energi kehidupan sebagai makanan."

"Lalu, bagaimana jika energi yang terserap itu jumlahnya di atas kewajaran?"

"Hmm ... Energi kehidupan memiliki kaitan dengan penuaan, sehingga mereka menjadi lebih cepat tua?"

Seketika, Ardent tersadar akan sesuatu.

"Ar, jangan bilang-"

Army tersenyum sambil mengangguk. Ia kemudian memberikan kertas yang digenggamnya pada Ardent. Tanpa pikir panjang, Ardent menerima kertas tersebut dan membukanya. Awalnya, ia tidak begitu mengerti tentang isi kertas tersebut, sampai ia membaca biodata seseorang serta fotonya yang sangat ia kenali berada di bagian pojok kiri kertas.

"Army, in-"

Army langsung bertekuk lutut di hadapan Ardent. Tangan kanannya mengepal dan menyentuh lantai, sedangkan tangan kirinya berada di atas lutut kiri. Kepalanya menunduk ke bawah, layaknya seorang ksatria di hadapan Rajanya.

"Papa, terimakasih untuk segalanya. Setelah berkelana sangat jauh, Fallen Orions telah menjadi rumah keduaku. Segala hal yang ada di dalamnya juga telah mengubahku secara tidak sadar. Bertemu dengan berbagai jenis orang, pengalaman yang tak pernah terbayangkan, bahkan sampai menjadi diriku yang sekarang. Terimakasih karena telah menerima dan memberikan kepercayaanmu padaku."

Angin menerpa seraya Ardent membaca kertasnya. Rasa tidak percaya muncul dalam kepala. Tetapi, kabar itu dibawa oleh seseorang yang sangat ia percaya. Kertas yang diberikan Army pada Ardent adalah hasil pemeriksaan tubuhnya. Kertas sama yang ia tunjukkan pada Cherry pagi tadi.

"Ini memang terlalu cepat untuk dibicarakan. Aku juga merasa seperti itu. Akan tetapi, aku tidak tahu apakah besok aku masih ada disini untuk mengatakan hal yang sama. Memberitahu lebih dulu akan lebih baik daripada pergi tanpa berkata apapun. Setidaknya begitulah yang kudengar dari sang Dokter."

Ardent menghela nafas sambil memejamkan matanya. Ia telah memahami apa maksud Army setelah selesai membaca seluruh kertas yang diberikan.

"Angkat kepalamu Army," ucap Ardent sambil tersenyum. "Aku yang berterimakasih karena loyalitasmu tak mengenal batas."

Army secara perlahan berdiri kembali. "Aku senang bisa berguna, Pa."

Berbeda dengan Cherry, reaksi Ardent jauh lebih tenang. Ribuan tahun hidup membuatnya telah terbiasa dengan kematian seseorang dan kehilangan. Meski begitu, bukan berarti ia tidak merasakan apapun setelah mendengarkan Army. Seluruh anggota Fallen Orions sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Keluarga yang baru ia miliki setelah ribuan tahun berkelana seorang diri dan tak pernah membuka hati. Rasa sakit menusuknya cukup dalam, tapi ia berusaha untuk tetap teguh di hadapan Army. Menjadi yang terkuat telah memaksanya untuk selalu terlihat kuat dimanapun dan kapanpun.

"Aku juga senang bisa memiliki anak sehebat dirimu, Army."

Mereka berdua melihat keceriaan yang sedang berlangsung pada pesta di bawah. Di bawah sana benar-benar terasa suasana yang berkebalikan dengan kabar yang dibawa oleh Army.

"Jadi ..." Ardent menatap Army. "Kau hanya memiliki waktu 6 tahun lagi?"

"Tidak," jawab Army. " Itu adalah waktu maksimalnya. Jantungku bisa saja berhenti besok, nanti malam, satu jam lagi, atau sekarang."

"Begitu ya ..."

Ardent terlihat sedikit murung. Senyuman pada wajahnya memudar seiring waktu. Hal itu juga disadari oleh Army.

"Maaf Ar, aku tak tahu harus berkata apa. Kabar ini terlalu mendadak."

Army tertawa kecil. Ia tahu bahwa respon Ardent akan seperti itu. "Haha, tak masalah. Aku mengerti. Tetapi, lebih baik begini kan?"

Army menatap ke atas, melihat birunya langit yang berada jauh di sana. "Jika suatu saat aku pergi, tidak ada lagi yang terkejut."

Ardent melirik Army. "Kau mau aku menemukan sihir yang bisa menunda kematian?"

Ardent berpikir sesaat. Ia mengakses perpustakaan sihir yang ada di dalam kepalanya. "Sudah kuduga. Aku belum pernah menciptakannya."

Army tertawa. Hal itu membuat Ardent heran.

"Ada apa?" Ardent memiringkan kepalanya sambil melihat Army. "Sesuatu lucu terjadi?"

"Bukan apa-apa. Papa berkata begitu seakan itu adalah hal mudah."

"Ah, tidak." Army menggelengkan kepalanya. "Papa memang bisa melakukannya dengan mudah. Tetapi ..."

Ia menatap Ardent sambil tersenyum. "Aku sudah tidak perlu hidup lagi."

Ardent terkejut. Ia merasa bahwa Army yang berbicara dengannya saat ini bukan Army yang sama. Seseorang yang biasanya selalu optimis dan berpikir positif tiba-tiba menjadi pesimis.

"Hah? Maksudmu?"

Army kembali menatap kebawah dan menarik nafasnya. "Cherry sudah semakin dewasa. Ia sudah bisa menjaga dirinya sendiri. Aku juga merasa kalau hampir semua hal sudah kuajarkan padanya. Sebentar lagi pun ia akan memiliki keluarganya sendiri. Peranku sebagai Kakak sudah hampir selesai."

Ia menatap langit dan bertanya, "Jika seseorang sudah kehilangan tujuan hidup, apakah ia masih bisa bahagia di sisa hidupnya?"

Ardent terdiam mendengar pertanyaan Army. Ia ingin menjawab, tapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia seperti mengetahui apa yang berada jauh di dalam hati Army, tapi ia tidak bisa menjelaskan apa hal tersebut. Rasa mengganjal itu kemudian ia tahan sambil berjalan mendekat ke Army.

"Aku mengerti. Aku juga paham rasanya tidak memiliki tujuan hidup. Setidaknya aku yang paling mungkin tahu akan rasa itu."

"Untuk bantuannya, aku minta tolong Papa untuk menjadi wali Cherry saat aku tidak ada. Tentunya hanya sampai ia memiliki keluarga."

Army berpikir sebentar sebelum melanjutkan kata-katanya. "Selain itu, aku ingin Papa mengatur semacam pertemuan. Aku berniat memberitahu semuanya secara bersamaan. Agak canggung kalau mengatakannya secara pribadi, jadi mengadakan pengumuman sepertinya lebih baik untukku."

Ardent tersenyum. Ia telah salah mengira bahwa Army akan meminta sesuatu yang sangat luar biasa hingga menemuinya. "Bahkan jika kau meminta keabadian, aku akan berusaha mewujudkannya."

"Terimakasih, Papa."

Waktu terus berjalan hingga waktu semakin siang. Setelah beberapa lama mengobrol lebih jauh, Army berpamitan pada Ardent. Ia kembali berterimakasih padanya dan berjanji untuk memberitahu yang lain soal kondisinya, tapi ia masih butuh waktu untuk menyusun kata-kata.

"Baiklah Pa, aku pergi dulu."

"Ya. Sampai nanti Ar."

Di tengah jalan, Army tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menjentikkan jari tanpa menengok. "Ah, Papa."

"Aku memang tidak setuju soal memperlambat kematian atau keabadian, tapi mungkin akan menarik jika aku dibangkitkan kembali 1200 tahun mendatang."

Kata-kata itu meninggalkan rasa kaget yang membuat Ardent kembali terdiam. Terlalu banyak kejutan dari ucapan yang Army lontarkan padanya dalam pertemuan singkat itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Army berjalan menuruni tangga dan pergi meninggalkan Ardent di atap sendirian. Setelah rasa kagetnya memudar, Ardent menyeringai dengan lebar.

"Akan kupegang ucapanmu itu, Army!"

Dengan pikiran yang masih terus menyusun kalimat, Army berjalan menyusuri kerumunan. Ia mengingat kembali beberapa kata yang ia ucapkan pada Ardent sebelumnya. Ia tau bahwa ia secara sadar telah mengatakan hal yang bertentangan.

"Setelah Cherry dewasa, aku tidak mempunyai tujuan lagi ..."

Ia melirik ke arah anak-anak yang sedang bermain di seberang jalan. "Pembohong. Tentu saja tujuan hidupku akan selalu ada. Selama Ardent masih hidup, maka selama itu pula aku bisa menjadi pedangnya."

Bagi Army, bisa melayani orang hebat seperti Ardent adalah sebuah kehormatan. Sifatnya sejak kecil sudah terbentuk untuk sangat setia pada atasannya. Jika ia telah berjalan di belakang seseorang, maka ia akan terus berjalan kemanapun bersamanya, sambil mengeluarkan segala yang ia bisa.

"Aku sudah tidak perlu hidup lagi. Apa yang sebenarnya aku coba katakan?"

Ia merasa janggal dengan dirinya sendiri. Sesuatu seakan menghalangi untuk mengutarakan isi hati yang sebenarnya. Perasaannya terus berubah memikirkan benar dan salah. Kepalanya berusaha mencari jalan dari sebuah labirin perasaan yang hampir tidak memilik jawaban.

Ia menghela nafas dan kembali berjalan. "Manusia memang rumit."

Tofu mendadak muncul di hadapannya. "Army. Kau sedang gelisah?"

"Sepertinya begitu, tapi aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku merasa seperti tertahan oleh sesuatu ketika berbicara dengan Papa."

"Hmm hmm, kurasa aku mengerti bagaimana perasaanmu sekarang," ucap Tofu.

Army berjalan sambil menunduk. "Sesaat aku merasa lelah, tapi sedetik kemudian aku bersemangat kembali. Aku ingin mati, tapi aku tak ingin pergi. Entah apa yang terjadi di dalam kepalaku saat ini."

Army mulai merasakan sesuatu yang sangat kuat dalam hatinya. Ia berusaha menahan perasaan tersebut sebisanya. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan kembali menjadi dirinya yang biasa.

"Ah sudahlah. Kenapa aku ini?" Ia tersenyum kecil. "Pikiran seperti itu seharusnya dibuang jauh-jauh. Itulah ajaran master Zuuta."

Kontrol diri yang Zuuta ajarkan pada Army telah bisa diterapkan dengan sempurna. Zuuta adalah pengembara yang memiliki cara berpikir agak unik. Ia tidak suka memikirkan hal yang membebani kepalanya. Ia hanya berpikir bagaimana caranya menjadi senang dan puas, sehingga seluruh pikiran negatif yang ada langsung tersapu bersih. Jika ada sebuah masalah, ia akan menyelesaikannya dengan cara yang paling mudah dengan hasil yang maksimal. Pada akhirnya, jalan pikiran yang unik itu telah terwariskan pada Army, sehinga Army menjadi mirip seperti dirinya.

Saat menatap ke arah depan, mata Army tertuju ke satu titik. Jaket berwarna biru muda serta kaus putih, ditambah dengan rok cokelat muda sebagai bawahan. Tas kecil yang dipangku terlihat sangat imut. Kakinya berayun dengan lambat, seakan sedang menunggu kedatangan seseorang. Rambut putihnya yang dikuncir ke belakang tertiup oleh angin. Berbeda dengan rambut perak Rikka yang mengkilat, rambutnya seakan menyerap cahaya yang datang, membuatnya terlihat sangat lembut bahkan dari kejauhan. Matanya yang merah berkilauan seperti batu permata. Sosoknya menjadi sangat mencolok dengan duduk di pinggir jalan sendirian. Saat menengok, pandangannya langsung tertuju pada Army.

Ia kemudian berdiri dan melambaikan tangan. "Senior!"

Dari jauh, Army melambai balik. "Ya. Tidak seharusnya aku memikirkan itu, karena ada sesuatu yang lebih penting sekarang."