Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 83 - Keterbukaan

Chapter 83 - Keterbukaan

Cherry sedang berjalan santai di pinggiran kota. Tak diketahui ia berada dimana. Segalanya begitu asing, bahkan untuknya sendiri. Rambut putihnya begitu mudah tertiup angin, seakan rambut itu tidak memiliki berat. Cahaya matahari mencoba menyinari wajahnya yang tidak berekspresi, tapi topi bundar hitam dengan garis putih melingkar menghalanginya. Mata merah menyala dari balik bayangan yang menutupi wajahnya. Dengan memakai tuksedo serba hitam, ia menyusuri jalanan sambil mengantongi sebilah pisau yang siap digunakan untuk melawan jika ada yang menyerang.

Saat mendapati tikungan di depan, ia mendengar suara seseorang berlari menuju ke arahnya. Ia memantapkan kuda-kuda dan bersiap untuk menusuk siapapun yang hendak lewat. Akan tetapi, ia sangat terkejut ketika seseorang itu akhirnya muncul di depannya.

"Hah?!"

Sosok wanita dengan tubuh tinggi dan anggun lewat di depannya. Wanita itu menggunakan baju resepsionis guild dan dua gelang hitam yang mencolok di kedua tangannya. Dengan sekuat tenaga, Cherry menahan tangan agar tidak menyerangnya.

"Ups!" Wanita itu ikut menahan tangan Cherry yang hampir mengenainya.

Cherry hendak terjatuh karena kehilangan koordinasi antara kaki dan tangannya, tapi wanita itu langsung meraih tangan serta menahan punggungnya.

"Hampir saja!"

Wanita itu langsung menarik tubuh Cherry dan membuatnya kembali berdiri. Wajahnya terlihat berkeringat saat ia menyekanya.

"Maaf yah," ucap wanita itu. "Aku berlari tanpa pikir panjang. Aku tahu kamu pasti terkejut jika mendengar orang lari ke arahmu, terutama di jalanan yang rawan kejahatan ini."

Cherry menatapnya dengan datar. "Hati-hati."

Wanita itu mengangguk. "Tentu saja aku akan berhati-hati, tapi kau baik-baik saja kan?"

Cherry melihat sekitar tubuhnya. "Tidak ada luka, jadi tak apa."

Tiba-tiba, wanita itu mengeluarkan kipas berwarna hijau. "Kalau begitu, biar aku melakukan ini untuk membalasmu!"

Ia mengipaskan Cherry, menambah mananya. Setelah itu, ia merapalkan Mana Regen sekali dan Chakra beberapa kali.

Cherry terkejut dengan apa dilakukan oleh wanita itu. "Ini, apa?"

"Haha. Ini adalah skill Dancer yang kugabung dengan beberapa skill support lain untuk mengisi mana mu."

Cherry kembali melihat seluruh tubuhnya. Ia benar-benar merasa bahwa mana di tubuhnya terisi hingga penuh. "Kakak support?"

Wanita itu kembali tertawa. "Bukan. Aku adalah tank."

Cherry menjadi bingung. "Tank?" Yang ia tahu, tank hanya menggunakan skill yang berfokus pada aggro dan pertahanan.

Wanita itu mengedipkan satu mata sambil mengangkat telunjuk kanannya. "Tentu saja. Menjadi tank sekaligus support adalah hal yang memberikan pengalaman terbaik!"

Tiba-tiba, Cherry terbangun dari tidurnya. Mata putih polosnya menatap langit-langit yang gelap. Kamarnya tidak begitu gelap, melainkan sedikit terang akibat cahaya matahari yang masuk dari jendela. Suara burung berkicau saling bersahutan dari pohon yang ada di depan kamar. Ia langsung duduk di kasur dan memproses apa yang sedang terjadi.

"Mimpi itu lagi ya ..."

Kepalanya terasa sedikit sakit saat bangun, tapi hal itu perlahan membaik. Setelah sakit kepalanya hilang, ia turun dan merapihkan kasurnya.

"Mimpi itu yang terasa sangat nyata, seperti itu adalah aku di dunia paralel."

Setelah selesai, ia berjalan ke luar kamar.

"Tentu saja aku benci dunia itu. Dunia tanpa Kakak, bukanlah sesuatu yang aku sukai ..."

Beberapa hari telah berlalu sejak Zuuta datang. Semua berjalan seperti biasa bagi Army dan partynya. Minggu tenang mereka jalani semaksimal mungkin. Mengerjakan tugas seadanya sambil beristirahat yang banyak. Zuuta telah semakin berbaur dengan anggota Fallen Orions yang lain. Semua orang sekarang sudah tahu bagaimana masa lalu Army dan gurunya, Zuuta. Mereka yang sebelumnya dijaga secara intensif di rumah sakit juga telah dipulangkan setelah hasil tes tidak menujukkan hal buruk. Mereka juga menjalani terapi trauma sebelum benar-benar diperbolehkan pulang. Menjadi sandera bukanlah pengalaman menyenangkan.

Pasukan Falorin diperintahkan Ardent untuk berbelok menuju kerajaan Brandsdatter. Mereka tidak diberi tahu apa alasannya, tapi Jendral Nathan sang pemimpin pasukan terus menyemangati dan membuat mereka tidak banyak bertanya. Loyalitas pada Raja Xaniel dan Ardent sudah sangat tinggi, sampai pada titik dimana mereka tidak akan bertanya soal tugas yang diberikan. Hal ini tentu saja dilakukan Ardent untuk mempercepat penjemputan Putri Veena dan Caroline. Ardent juga sudah diizinkan oleh Raja Xaniel untuk memberi perintah tersebut.

Di ruang tamu, Army sedang duduk di kotatsu sambil meminum teh. Terdapat segelas susu di depannya yang ia sediakan untuk Cherry. Ia juga terlihat sangat rapi. Bukan dengan pakaian ketika bertugas, tapi dengan sweter dan celana bahan yang biasa ia gunakan ketika akan pergi jalan-jalan.

"Pagi Cherry. Tidurmu nyenyak?" sapa Army.

Sambil meregangkan tubuhnya, Cherry menjawab, "Tentu saja. Kakak sendiri?"

"Lumayan. Kau bangun agak siang hari ini, apakah tidak ada janji dengan Wei?"

Cherry berjalan menuju kotatsu dan duduk di hadapan Army. "Begitulah. Kami ingin beristirahat lebih lama."

Ia memperhatikan pakaian Army dari atas ke bawah. "Kakak sendiri sudah rapi, apakah ada janji?"

Army mengangguk. "Ya, tapi siang nanti. Aku hanya tidak suka bersiap ketika waktunya sudah dekat, jadi dari pagi aku sudah siap."

Cherry tertawa kecil saat ia meminum susu. "Haha. Begitulah Kakak."

Setelah Cherry menghabiskan susunya, Army tiba-tiba menatap Cherry dan bertanya, "Apakah kau senang bersama Wei?"

"Eh?" Cherry menjadi bingung. "Kenapa tiba-tiba?"

Army tertawa. "Haha. Tak ada apa-apa. Aku hanya penasaran."

Cherry berpikir sebentar, mengingat beberapa hal tentang Wei. "Yah, kalau ditanya spontan begini sih aku sulit menjawabnya ..."

Ia menopang wajahnya di meja dengan tangan kiri. "Yang pasti, Wei adalah orang yang asik untuk diajak berbicara. Energinya cukup banyak, jadi ia selalu bisa mengikutiku yang super aktif."

"Selain itu?" tanya Army.

Cherry tersenyum sendiri ketika mengingat beberapa momen bersama Wei. "Ia adalah pria yang bisa diandalkan."

"Begitu ya ..." Army tersenyum "Jadi kau bahagia dengannya?"

Cherry mengangguk dengan antusias. "Tentu saja!"

"Baiklah. Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu Kakak khawatirkan."

Cherry memiringkan kepalanya. Ia teringat dengan sesuatu ketika mendengar ucapan Army. "Kakak seperti seorang ayah yang putrinya akan menikah."

Army tertawa lepas. "Hahahaha. Kurasa juga begitu. Aku menggantikan posisi ayah disini."

Cherry ikut tertawa. "Ya. Jika ayah ada, kurasa ia juga akan menanyakan hal yang sama."

Suasana menjadi hening selama beberapa saat setelah mereka berbicara hal tersebut.

Tiba-tiba, Cherry menepuk tangannya. "Yap, kita hentikan jika ada Kakak disini, aku tidak butuh yang lainnya lagi!"

Dengan senyum manisnya, Cherry berusaha membuat suasana kembali normal. "Meski belakangan ini aku sering pergi bersama Wei, tapi Kakak akan selalu menjadi nomor satu untukku!"

Army tersenyum kembali. "Haha, kau tak boleh begitu dong. Pasangan itu harus dinomor satukan."

"Nah kan, menjadi seperti ayah yang akan ditinggal putrinya lagi," balas Cherry. "Kakak bilang begitu, padahal Kakak tak ingin aku pergi kan?"

Cherry mentertawakan sikap Kakaknya yang menurutnya sangat lucu karena tiba-tiba menjadi seperti seorang ayah.

Army menatap Cherry. "Tentu saja, tapi aku tau diri bahwa waktuku tak banyak. Aku beruntung kau telah menemukan seseorang yang cocok dengamu, Cherry."

Cherry seketika terdiam dan heran. Ia bingung, terkejut, sekaligus merasa tidak nyaman dengan ucapan yang baru saja didengar.

"Maksud Kakak?"

Army mengeluarkan selembar kertas, yang merupakan kertas hasil pemindaian terakhir mesin Dokter Forvixer.

"Maaf, tapi aku merasa bahwa kamu harus mengetahuinya."

Cherry mulai membaca dengan seksama apa yang ada dalam kertas tersebut. Semakin jauh dibaca, tangannya semakin gemetaran. Emosi mulai bercampur aduk dalam kepala, hingga puncaknya ketika ia membaca tulisan terakhir yang ada di kertas tersebut.

"Jika kondisi tetap sama, maka perkiraan masa hidup tersisa 3-6 tahun ..."

Cherry yang membacanya semakin tidak bisa berkata-kata. Perasaan senang dan gembira yang sebelumnya menghiasi ruangan seketika berubah menjadi hening kembali. Banyaknya emosi yang dirasakan oleh Cherry seakan mengisi ruangan hingga ke atapnya.

Karena Cherry tidak berbicara sama sekali, Army akhirnya menjelaskan apa yang terjadi padanya.

"Cherry, Tofu membuatku kehilangan sangat banyak energi kehidupan. Aku terlihat normal dari luar, padahal organ dalamku setara dengan kakek-kakek. Aku memang masih bisa melakukan segalanya seperti biasa, tapi semua aktifitas itu sebenarnya membebani tubuhku. Aku bisa bertahan dengan baik berkat suplemen dan obat yang diberikan oleh Dokter."

"K-kakak bercanda kan ..." Cherry semakin kebingungan. Ia tidak tahu harus bereaksi apa. Terlalu banyak informasi yang masuk ke dalam kepalanya.

Army menggelengkan kepalanya. "Aku berharap begitu, tapi semua yang menjadi inang utama Tofu memiliki kasus yang sama. Mereka semua meninggal di usia 30an, bahkan banyak yang kurang."

Ia meletakkan kertas tersebut di meja dan menunduk. "Darimana kakak bisa yakin?"

"Dari Tofu sendiri."

Cherry menutupi wajahnya sambil menunduk. Ia berusaha menahan air mata, tapi itu adalah hal yang mustahil. Air mata mengalir sambil ia membayangkan bagaimana seorang Kakak yang selama ini menemani, akan pergi dalam yang dekat ini. Suasana canggung yang aneh menghiasi ruangan tersebut.

"K-Kakak pasti bohong kan ..."

"Cherry, suatu saat aku memang benar-benar akan pergi, bahkan tanpa Tofu yang mempercepatnya."

Cherry menjawab sambil menangis. "Tapi ... Jika begitu, Kakak masih memiliki lebih banyak waktu lagi ..."

Army menarik nafas dan menghembuskannya, bersiap untuk melanjutkan kata-katanya. "Cherry, jangan pernah menyalahkan Tofu ya. Ia memang mengurangi masa hidupku, tapi berkat ia jugalah aku bisa bertemu dirimu, ayah, ibu, dan semua orang luar biasa yang pernah kita temui."

Ia meraih kepala Cherry dan mengelusnya dari seberang kotatsu yang baginya berukuran kecil. "Tolong jaga Tofu jika aku nanti tiada. Temani dia berbicara, dan berpetualanglah bersamanya. Karena tidak dari kecil menjadi inangnya, maka kamu tidak akan mendapat efek yang sama seperti Kakak. Kamu bisa hidup seperti orang lain biasanya."

Cherry mencoba mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti. "Apa artinya aku hidup tanpa Kakak? Aku sudah kehilangan Ayah dan Ibu. Sebentar lagi Kakak juga akan pergi meninggalkanku sendiri ..."

"Cherry. Tugasku, Ayah, dan Ibu, adalah untuk menjagamu dan memberikanmu hidup yang layak. Jadi kumohon, tetaplah menjadi Cherry yang biasanya ya. Jangan sia-siakan hidupmu yang berharga. Bahkan bagiku, jiwa ini tidak sebanding dengan mengetahui bahwa kamu akan hidup bahagia."

"Mana mungkin aku bisa bahagia ... Kakak adalah satu-satunya orang yang selalu bersamaku."

Army tersenyum. "Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Meski aku pergi, masih ada teman-teman yang membutuhkanmu. Jangan pernah kecewakan mereka. Mereka juga adalah orang yang siap menjagamu, sama sepertiku. Aku bukan satu-satunya orang yang ingin melihatmu bahagia selalu. Cherry, kau dikelilingi oleh banyak orang yang menyayangimu. Jadi, teruslah hidup dan berbahagialah seterusnya."

"Kakak ..."

Cherry kehabisan kata-kata. Semua yang Army katakakan adalah benar, tapi entah mengapa dadanya masih terasa ditusuk oleh ribuan jarum secara bersamaan. Ia merasa sesak dan kebingungan. Ia seperti tenggelam di sebuah lautan yang dingin dan gelap. Akan tetapi, setiap ucapan Army secara perlahan menenangkannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan segalanya seperti semula. Takdir yang berada di depan mata Kakaknya tidak akan bisa diubah. Ia hanya bisa menerimanya dan bersiap untuk hari dimana hal itu akhirnya terjadi. Hari dimana ia akan berkata selamat tinggal pada Kakak yang paling ia sayangi.

Untuk kesekian kalinya, Army tersenyum meski Cherry masih terus menunduk dan tidak melihatnya.

"Lagipula, aku masih disini. Estimasinya 3-6 tahun kan? Kita masih punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama. Maaf untuk permintaan egoisku tentang menjaga Tofu, tapi itu adalah hal yang akan sangat bermanfaat kedepannya."

Cherry perlahan mengangkat kepalanya dan menatap Army. Ia masih menangis, tapi ia lebih bisa mengontrol air matanya sekarang. Ia menjawab sambil mencoba menahan kembali tangisannya.

"Kakak tidak pernah egois. Permintaan itu pasti baik untukku juga, bukan untuk Tofu, apalagi Kakak sendiri."

Army senang melihat Cherry yang tak lagi menangis seperti tadi. Ia kemudian melepas tangannya dari kepala Cherry.

"Tentu saja. Tofu adalah sahabat yang paling bisa kau percaya. Selain itu, ia memiliki pengalaman yang sangat banyak tentang dunia ini. Kamu bisa menanyakan segala hal padanya, dan ia pasti akan menjawabnya!"

Cherry tersenyum kecil. "Meski tahu bahwa waktu Kakak sedikit, tapi Kakak masih saja memikirkan segalanya untukku."

"Tentu saja. Kamu adalah keluargaku satu-satunya, Cherry."

Cherry mengusap air mata sambil tersenyum kecil. "Boleh aku memelukmu Kak?"

Army mengangguk sambil melebarkan tangannya. "Tentu saja."

Cherry segera melompati kotatsu dan memeluk Army di seberangnya dengan sangat erat. "Kakak!"

Saat menangkap pelukan tersebut, Army seketika teringat dengan berbagai hal yang telah mereka lalui bersama. Ketika Cherry baru lahir, belajar berjalan, bisa berbicara, tertarik dengan latihan kerasnya, hingga saat mereka bertahan hidup berdua mengembara dari kota ke kota. Semua telah terjadi begitu cepat bagi Army. Waktu yang ia jalani penuh dengan senyum manis Cherry dan kehangatannya.

Army balas memeluk Cherry sambil mengelus kepalanya lagi. "Kau memang benar-benar adik kesayanganku, Cherry ..."