Suasana kedai menjadi ramai seperti biasanya. Meski hanya terdapat 4 orang, mereka membangun keceriaan yang cukup besar.
Army duduk di samping Zuuta. "Bagaimana kau bisa kesini, Master?"
"Master?" tanya Fori.
Zuuta tertawa. "Haha. Dulu, aku adalah gurunya Army."
"Ia adalah seorang pengembara, tapi beliau adalah guruku saat kecil," tambah Army.
"Eh?" Shiro terkejut karena Zuuta tidak berbicara apapun tentang itu sebelumnya.
"Yah ... Sudah lama sekali ya," ucap Zuuta sambil melipat kedua tangannya. Ia memejamkan matanya sesaat sambil mengingat masa lalu. "Terakhir kali bertemu, kau masih remaja. Tapi sekarang, kau sudah dewasa."
Ia membuka matanya kembali setelah teringat sesuatu. "Oh iya, bagaimana dengan Cherry? Apakah dia baik-baik saja? Kalau kau disini, kalian pasti berhasil selamat dari insiden itu kan?"
Army mengangguk. "Ya. Ia baik-baik saja. Ia sedang berada di RS untuk menjalani pemeriksaan intensif."
"Begitu ya. Ia pasti sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik seperti ibunya!"
Army tertawa. "Haha. Tentu saja. Ia kan putrinya."
Shiro memangku wajahnya di meja dengan tangan. "Hei, jangan bicara sendiri dong. Lebih baik kalian ceritakan padaku tentang saat-saat itu."
Army menatap langit-langit sambil berpikir. "Hmm ... Agak panjang sih, tapi sepertinya tidak apa. Rikka dan Ashborn juga belum datang."
Setelah Fori membawakan minuman dan duduk di depannya, Army mulai bercerita pada mereka semua.
"Master Zuuta adalah kenalan ayah dan ibu Cherry. Saat itu, aku belum diangkat anak oleh mereka, dan masih berstatus hanya sebagai bodyguard."
Pada saat Army masih kecil, Zuuta datang ke rumah orang tua Cherry untuk memberi selamat karena mereka sebentar lagi akan memiliki anak pertamanya. Mereka mengobrol di ruangan yang berada dekat halaman belakang sambil menikmati secangkir kopi, serta beberapa potong kue yang dibawa oleh Zuuta. Ketika sedang mengobrol, Zuuta melihat Army yang sedang berlatih di halaman belakang sendirian.
"Pak Kirchoff, apakah itu bodyguard yang kau maksud?" tanya Zuuta yang pada saat itu masih muda.
Pak Kirchoff menengok ke arah Army. "Ya. Aku melihatnya di pasar budak. Ia dijual cukup murah untuk menjadi bodyguard, karena masih anak-anak."
Zuuta tertawa. "Hahaha. Kau memang tidak tegaan terhadap anak-anak."
"Mau bagaimana lagi? Seorang anak dijual sebagai bodyguard, siapa yang tega melihatnya? Kebetulan aku juga membutuhkan seorang bodyguard saat ini."
Zuuta meminum kopi yang ada di mejanya. "Benar juga ya ... Berapa umurnya?"
Pak Kirchoff berpikir sebentar. "Ia bilang sendiri sih 7 tahun, tapi aku tak tahu apakah itu benar atau tidak. Sindikat yang menjualnya juga tidak mengetahui hal tersebut."
"Muda sekali," ucap Zuuta. "Tapi sepertinya kau melakukan hal yang memberi kemenangan terhadap kedua pihak."
"Maksudmu?" tanya Pak Kirchoff dengan bingung.
Zuuta memperhatikan Army dengan teliti. "Anak itu berpotensi menjadi hebat, tapi ia juga berpotensi untuk menjadi sebuah bencana."
Ia menatap Pak Kirchoff. "Bagaimana kalau aku menjadi gurunya?"
"Eh?" Pak Kirchoff menjadi lebih bingung. "Kau kan pengembara. Bahkan kau sendiri jarang datang ke kota ini. Bagaimana caramu jadi guru?"
"Tak apa," jawab Zuuta. "Aku akan berhenti mengembara sampai anak itu benar-benar sudah siap dengan dunia."
Pak Kirchoff kembali melihat Army yang sedang fokus berlatih. "Yah ... Kalau kau bersedia, aku tak masalah. Aku juga ingin anak itu tumbuh seperti anak-anak pada umumnya."
Zuuta kemudian memanggil Army. "Oi, bocah! Kemari!"
Army menengok dan langsung menghampiri Zuuta. "Anda memanggil saya, Tuan?"
Zuuta berdiri dan berjalan mendekari Army. "Mulai sekarang, aku akan menjadi gurumu. Bersiaplah untuk menjadi murid pertamaku dan satu-satunya!"
Kembali pada Army yang telah selesai bercerita. Ia menutup cerita tersebut dengan sangat rapi, membuat Shiro dan Fori memahaminya dengan sangat baik.
"Begitulah ceritanya. Setelah itu, Master Zuuta mengajariku berbagai hal seperti memakai tombak, pedang, mengendalikan kekuatan kegelapan, termasuk mengajariku cara mengendalikan emosi."
"Ah, jadi ia yang membuatmu tidak bisa marah," ucap Shiro.
Zuuta tertawa. "Haha. Jika tidak begitu, ia bisa menjadi bencana ketika marah."
"Ya ya. Kekuatan Tuan Army sangatlah kuat!" sahut Fori. "Ia bahkan bisa menghancurkan kota sendirian jika marah!"
"Oh, kau sudah melihat kekuatan aslinya?" tanya Zuuta dengan semangat. "Aku sendiri bahkan belum pernah."
Fori mengangguk dengan semangat juga. "Ya! Pada misi sebelumnya, ia dan Tuan Shiro mengamuk dan meratakan 5 kota dengan tanah!"
Zuuta tertawa lagi dengan lebih keras. "Hahaha, benarkah itu?"
Fori semakin berbinar-binar. "Itu benar! Aku ikut bersama mereka selama hal itu terjadi!"
"Ahaha, anu ..." Army tertawa dengan gugup. "Sepertinya itu bukan hal yang boleh diceritakan dengan semangat seperti itu."
"Haha, biarkan saja. Fori sedang bersemangat," sahut Shiro.
"Oh iya," Army menengok ke arah Zuuta. "Kenapa Master ke sini?"
Zuuta menatap langit-langit sambil berpikir. "Seseorang membawa kabar bahwa Ardent mencariku, ketika aku berada di kerajaan Babur."
Ia tersenyum. "Tapi yah, kurasa ada baiknya memenuhi pangillan tersebut." Ia meminum minumannya dan tertawa kecil. "Aku jadi bisa bertemu denganmu setelah bertahun-tahun pencarian."
"Bertahun-tahun?" tanya Army dengan bingung. "Aku suda menetap disini selama beberapa tahun sih."
"Aku pernah kesini sebelumnya, tapi saat itu kau belum disini, jadi aku terus mencari kalian di tempat lain."
Army berpikir sebentar. Ia merasa ada yang sedikit janggal. "Bagaimana Master bisa yakin kalau aku masih hidup?"
"Ah, soal itu. Aku bertemu dengan si kapten elit penjaga saat mengembara. Ia menceritakan semua yang terjadi di kerajaan. Termasuk tentang bocah keras kepala yang tidak mau diajak pergi bersama, dan malah memilih untuk kembali mencari adiknya."
Army tertawa sambil mengingat perdebatannya bersama sang Kapten. Ia pada saat itu diajak untuk pergi bersama sisa penjaga elit lain setelah sang Raja terbunuh. Tetapi, ia menolak dan bersikeras untuk kembali ke kota yang sudah diserbu oleh para monster. Awalnya sang Kapten menahan Army, tapi kemudian ia membiarkannya pergi karena Army yang hanya memikirkan Cherry dalam kepalanya tidak mungkin bisa dihentikan. Ia juga yakin bahwa Army akan selamat, jadi ia tidak menyesali keputusan tersebut.
"Haha, bagaimana kabar Kapten sekarang?" tanya Army.
Zuuta menaikan kedua bahunya, menandakan kalau ia tidak tahu. "Entahlah. Aku belum bertemu lagi dengannya. Sejak saat itu, aku terus mencarimu kesana kemari."
"Untuk apa?" tanya Army lagi.
"Kau saat itu adalah bocah dengan kekuatan yang berbahaya, tentu saja aku khawatir akan hal itu."
"Bagaimana kau bisa tahu kalau Army itu berbahaya?" tanya Shiro.
Zuuta menjentikkan jarinya. "Hanya insting!"
Tiba-tiba, pintu kedai kembali terbuka dengan lebar. Cahaya matahari dari luar langsung masuk menyinari mereka dari pintu yang dibuka penuh.
"Pagi semuanya!" ucap Rikka dengan semangat.
Ashborn terlihat berada di sebelahnya dan ikut menyapa. "Yo, sudah siap untuk bekerja?"
Rikka kemudian menyadari adanya orang asing di kedai. "Walah, siapakah pria?"
"Oh, perkenalkan," ucap Army sambil berdiri. "Beliau adalah guruku, Master Zuuta."
"Guru?!" ucap Rikka dan Ashborn secara bersamaan.
Rikka segera berlari menghampiri. "Ceritakan dong, ceritakan!"
Ashborn ikut berjalan dengan santai di belakangnya. "Kukira kau selalu berlatih sendiri Ar, tapi ternyata kau juga memiliki seorang guru."
Army tertawa. "Haha. Kebanyakan memang sendiri, tapi Master Zuuta adalah orang yang membantuku membangun pondasi diri."
Army dan Zuuta kemudian menceritakan kembali apa yang telah mereka ceritakan sebelumnya. Kini, semuanya telah mengenal Master Zuuta, sekaligus apa alasannya berada di sana. Ia tidak bergabung dengan Fallen Orions, tapi ia diberikan izin untuk menjadi "Separuh Anggota" oleh Ardent. Ia bisa menjalani misi dan sebagainya, tapi ia tidak bisa membawa nama Fallen Orions dalam seluruh kegiatannya.
Suasana kedai menjadi semakin ramai dan hidup. Mereka berbicara sambil mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan keberhasilan rentetan misi panjangnya. Party Army beserta Fori telah mendapat istirahat yang cocok. Mereka bersenang-senang di dalam kedai dan menikmati waktu luangnya sebelum nanti kembali bekerja.
Saat pembicaraan mulai mereda, mereka memutuskan untuk mulai melihat pekerjaan yang tersedia. Pilihannya tidak terlalu banyak, tapi pekerjaan tetaplah sesuatu yang wajib dikerjakan.
Zuuta mengambil salah satu kertas pada buletin. "Aku akan ambil yang ini."
Army mengambil kertas lainnya. "Kalau begitu, kami yang ini."
Zuuta berjalan duluan meninggalkan kedai untuk mengerjakan pekerjaannya, sementara Army dan partynya mendiskusikan rencana mereka lebih dulu. Misi yang dimiliki oleh party penuh tentu saja berbeda tingkat kesulitannya dengan misi yang dimiliki oleh party satu orang, sehingga mereka harus menyusun strategi terlebih dahulu.
Setelah sepakat dengan strategi yang disusun, mereka langsung bersiap dengan memastikan bahwa senjata yang dibawa berada dalam kondisi prima.
"Yosh, semua sudah," ucap Rikka sambil memutar-mutar senapannya.
Shiro meletakkan tombaknya di punggung. "Punyaku juga aman. Aku suda memeriksanya pagi tadi."
Army berjalan ke luar lebih dulu dan membuka pintu kedai. "Aku juga. Selain itu, aku akan menggunakan sabit Soul-"
Tiba-tiba, ia menabrak seseorang yang ingin masuk, bersamaan dengan ia yang akan keluar.
"Aduh!" Saki yang terkejut langsung membenarkan topinya.
"Saki? Lama tak melihatmu. Ada apa?" Army cukup heran dengan keberadaan Saki di sana.
"Ah, senior! Aku juga sudah lama tak melihatmu." Ia mencari sesuatu di dalam kantongnya. "Ketika tau kalian telah kembali, aku langsung kesini di sela-sela istirahat."
Army memiringkan kepalanya, mencoba menerka apa yang dicari oleh Saki. "Apakah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?"
Saki mengangguk sambil terus mencari. "Ya. Karena itulah aku kemari."
Army berpikir, membayangkan apa yang Saki bawa secara mendadak pada mereka. "Apakah dari Papa? Kalau begitu, Rikka pasti kesal karena langsung diberi tugas lagi."
Saki menggelengkan kepalanya. "Tidak, bukan. Ini adalah ..."
Ia akhirnya menemukan sesuatu yang dicari. "Ah, ini dia!"
Ia menunduk dan memberikan sesuatu tersebut ke Army. "Maukah senior pergi bersamaku saat libur nanti?"
Seisi kedai terkejut, terutama Rikka yang tidak menahan ekspresinya. Tidak ada yang menyangka bahwa Saki akan seberani itu.
"Ini tidak banyak, tapi aku tahu kalau senior lelah menjalani misi yang sangat panjang. Jadi, aku berharap kalau ini bisa membantu senior melepas penat."
Sesuatu yang dikeluarkan oleh Saki adalah tiket untuk menonton pertunjukan yang sebentar lagi akan diadakan di kota sebelah. Pertunjukan tersebut diisi oleh berbagai macam hiburan, termasuk hiburan yang berasal dari berbagai macam penjuru dunia karena yang mengadakannya adalah para petualang.
Dengan senang hati, Army tersenyum sambil mengambil selembar tiketnya. "Tentu saja. Malah seharusnya aku yang mengajakmu ke sana!"
Saki kembali mengangkat tubuhnya dan menatap Army dengan tegap. "Terimakasih senior!"
Ia langsung berlari pergi. "Aku harus segera kembali ke pekerjaan sekarang juga!"
Saat sudah sedikit jauh, ia menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Dengan senyumannya, ia melambai ke arah Army sambil berkata, "Sampai jumpa di hari libur, senior!"
Ia tidak mau memperlihatkan wajahnya yang memerah pada Army, jadi ia berlari menjauh dulu sebelum mengatakan sampai jumpa. Rasa bahagia memenuhi seluruh hatinya. Ia kembali bersemangat dan tak sabar menunggu hari libur tiba.
Setelah beberapa saat, ia kembali berlari hingga menghilang dari pandangan. Army menatap tiket yang diberikan selama beberapa saat, lalu menaruhnya ke dalam kantung baju. Saat menengok ke belakang, ia melihat seluruh partynya, Fori, dan Zuuta yang tersenyum sambil tertawa sendiri.
"Kenapa?" tanya Army sambil berpura-pura tidak tahu.
Rikka tak bisa lagi menahan tawanya. "Hahaha, tak ada apa-apa."
Ia mengangkat perisai dan menaruhnya di punggu. "Sekarang saatnya berangkat!"