Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 81 - Kunjungan ke Dokter

Chapter 81 - Kunjungan ke Dokter

Tubuh Army dipindai melalui sebuah mesin yang mengharuskan ia tiduran di dalamnya. Mesin tersebut memeriksa seluruh tubuhnya, bahkan hingga ke organ tubuh yang paling sulit dijangkau. Army yang berada di dalam hanya bisa mendengar suara mesin yang menderu selama pemindaian di lakukan. Tak berapa lama kemudian, pemindaian akhirnya selesai. Mesin mengeluarkannya, lalu dimatikan oleh sang Dokter. Army kembali ke ruang periksa dan menunggu disana selagi Dokter beserta asistennya menganalisis hasil pemindaian. Ia merebahkan dirinya di kasur pasien sambil menatap langit-langit, menikmati suasana yang sunyi dan dingin ruangan tersebut.

Setelah beberapa saat, Army mendengar suara orang berbicara di balik pintu. Sang Dokter bersama asistennya kemudian masuk membawa kertas hasil pemindaian.

"Army ..." Dokter itu mengambil kursi dan duduk di samping Army.

"Ya, Dokter Forvixer?" Army bangun dan duduk di kasurnya.

Dokter Forvixer memberikan hasil pemindaian sebelumnya. "Tidak ada yang mengkhawatirkan. Tubuhmu baik-baik saja."

"Yah ..." Ia menyadari kesalahan dalam kata-katanya. "Sebenarnya sih kondisimu tidak bisa dibilang baik-baik saja."

Army tertawa kecil sambil melihat hasil pemindaian. Ia tidak perlu membuka penutup mata untuk membacanya. "Ahaha ... Setidaknya kondisinya tidak memburuk dengan lebih cepat."

Dokter Forvixer menghela nafas. "Hah ... Tetap saja, melihat pria 26 tahun dengan organ tubuh berusia sekitar 80an tahun tidaklah normal."

Hasil pemindaian yang menunjukkan kalau seluruh organ tubuh Army menua dengan sangat cepat. Histori kunjungannya juga menunjukkan kalau sering waktu, percepatan penuaannya juga semakin cepat. Army terlihat sehat dan bugar dari luar, tapi sebenarnya seluruh organ tubuhnya sudah setara dengan orang tua renta. Hal itu menyebabkan ketidakseimbangan antara kekuatan yang ia miliki dengan apa yang tubuhnya sanggup lakukan. Itulah penyebab ia menjadi sekarat saat Devil's Incarnation selesai, padahal efek aslinya tidak seburuk itu.

Sang Dokter melepas kacamata dan menaruhnya di kantung dadanya. "Aku seakan melihat seseorang meninggal secara perlahan selama 3 tahun ini ..."

"Maaf Dokter. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih padamu yang telah membantuku selama ini." Army menatap asisten sang Dokter dan tersenyum. "Anda juga, Suster Airi."

Suster Airi tersenyum balik. "Sama-sama, Tuan Army."

Sang Dokter bersandar di kursinya. "Aku hanya melakukan tanggung jawabku sebagai dokter. Aku juga hanya bisa memberimu vitamin dan semacamnya untuk menjaga kesehatanmu. Penuaan itu tak bisa kuhentikan."

Army kembali menatap kertas hasil pemindaian. "Itu sudah lebih dari cukup. Aku bisa bertahan lebih lama berkatnya. Satu hari untuk hidup sudah sangat berharga bagiku."

"Kau sudah memberitahu seseorang tentang kondisimu itu?" tanya Suster Airi.

Army menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku tidak mau ada orang yang khawatir, bahkan sampai sedih karena kondisiku. Terutama adikku, Cherry."

Sang Dokter menghela nafas. "Hah ... Ada sesuatu yang salah dari pikiranmu itu, Army."

Army menjadi bingung dan bertanya, "Salah?"

Dokter Forvixer mengangguk. "Ya. Kau seharusnya bukan mengkhawatirkan itu, karena ada sesuatu yang jauh lebih penting."

"Apa itu?" tanya Army kembali.

"Jika kau tidak memberitahu, mereka pasti biasa saja. Tetapi, saat kau telah tiada, mereka akan benar-benar menyesal karena tidak pernah menyadari kondisimu sebelumnya. Meski itu bukan salah mereka, tapi kehilangan seseorang karena hal itu adalah hal yang jauh lebih menyakitkan, dibandingkan tahu kondisinya sejak awal."

Sang Dokter menatap Army dengan sangat serius. "Mereka mungkin akan sangat terguncang saat kau memberitahunya. Tetapi, mereka akan bisa menerima kepergianmu setelahnya."

Army tersentuh oleh ucapan sang Dokter dan mulai memahami maksudnya. "Begitu ya ..."

Dokter Forvixer mengangguk. "Ya. Mereka juga akan lebih menikmati waktu terakhirnya bersamamu. Saat kau pergi nanti, tak akan ada penyesalan pada diri mereka. Semuanya akan puas melakukan sesuatu untukmu disaat-saat terakhir."

Army terdiam dan merenungi ucapan sang Dokter.

Suster Airi berbisik. "Dokter, kurasa itu terlalu berlebihan ..."

"Tidak kok," sahut Army sambil tersenyum. "Aku mulai memahami apa yang Dokter Forvixer maksud, dan aku rasa itu memang benar."

"Percayalah, Army," ucap sang Dokter. "Penyesalan akibat tak bisa membantu orang yang disayang itu, sangatlah menyakitkan ..."

Army menatapnya. "Kenapa kau bisa tahu sebanyak itu, Dokter?"

Dokter Forvixer menjawab, "Aku menjadi dokter karena aku tidak mau ada lebih banyak orang yang merasakan betapa sakitnya kehilangan seseorang."

Ia mulai mengingat masa lalunya, ketika ia masih kecil. "Kakakku dulunya adalah wanita yang sangat sehat, sampai tiba-tiba ia jatuh sakit dan meninggal mendadak. Tak ada satupun orang yang memberitahuku tentang penyakit yang kakak idap. Aku hanya bisa menyesal karena tidak bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama, pada saat-saat terakhirnya."

Ia tersenyum kecil pada Army. "Bukankah aku adalah gambaran yang cocok untukmu?"

Seketika, Army seakan tersentuh hatinya. Dokter Forvixer adalah contoh terbaik baginya untuk memperkirakan apa yang akan terjadi pada Cherry. Ia mungkin akan sangat sedih jika Army memberitahu kondisinya, tapi kesedihan itu hanya bertahan sementara, sedangkan penyesalan akan terus menghantui selamanya.

"Kematianku akan terjadi dalam waktu dekat, dan hal itu tidak bisa dihindari," ucap Army sambil menunduk. "Oleh karena itu, aku harus membuat semua orang di sekitar siap akan hal itu, jika tak mau meninggalkan luka ketika aku pergi. Bukan begitu, Dokter?"

Dokter Forvixer mengangguk lagi. "Ya, benar."

Setelah menerima beberapa vitamin dan obat-obatan, Army berpamitan pada Dokter Forvixer dan Suster Airi.

"Semoga kau bisa bertahan lebih lama, Army!" ucap sang Dokter sambil bersalaman dengan Army di depan pintu.

"Jangan terlalu dipikirkan ya, nikmati saja hidupmu Tuan Army!" tambah Suster Airi dengan senyumnya yang sangat bersemangat.

Army mengangguk. "Ya. Mungkin agak sulit untuk menyusun kata-katanya, tapi aku akan berusaha menjelaskannya pada mereka. Terimakasih, Dokter, Suster!"

Dokter Forvixer dan Suster Airi melambai pada Army, lalu Army melambai balik pada mereka sambil berjalan menjauh, sampai mereka menghilang dari pandangan di gelap dan dinginnya malam. Ia berjalan sambil terus memikirkan apa yang akan ia katakan, pada siapa saja, dan bagaimana ia akan mengatakannya. Ia tahu bahwa setiap orang membutuhkan pendekatan yang berbeda, sehingga ia harus menyusun kata-katanya dengan sangat baik.

"Meski begitu ..." Army menatap langit malam yang penuh dengan bintang. "Tetap sulit rasanya, mengetahui bahwa aku akan lebih dulu pergi daripada mereka."

Tiba-tiba, Tofu muncul di hadapannya. "Maaf Army. Ini semua karena ada aku di dalam tubuhmu ..."

Army tertawa di bawah terangnya lampu jalan. "Haha. Bicara apa kamu."

"Aku menyerap energi kehidupan yang sangat banyak, jauh lebih banyak daripada iblis lainnya. Ditambah tidak adanya kontrak di antara kita, energi kehidupan yang terserap menjadi semakin banyak."

Army kembali tertawa dan tersenyum. "Jika tanpamu, aku tidak akan bisa bertemu Cherry. Aku juga tidak bisa bertemu dengan berbagai teman hebat yang kumiliki sekarang."

Ia melirik Tofu yang terbang di sebelah kanannya. "Karenamu, aku bisa merasakan sesuatu yang namanya kebahagiaan. Jadi, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri."

Tofu menghadap Army. "Sungguh, kau selalu membuatku terkagum. Aku bangga bisa melayani orang sepertimu, Army."

"Terimakasih Tofu. Kelak kau akan terus hidup bersama orang-orang yang jauh lebih hebat. Aku yakin akan hal itu."

"Apakah akan ada yang bisa bertahan lama bersamaku? Rasanya menyedihkan ketika aku ingin mengenal manusia, tapi aku malah jadi penyebab kematiannya."

Angin malam yang dingin meniup wajah Army. Ia menghembuskan nafas dan menciptakan uap yang keluar dari mulutnya akibat dinginnya suhu. Ia kemudian tersenyum lagi. "Jangan khawatir. Aku sudah memikirkan segalanya untukmu dan Cherry. Jika semuanya berjalan dengan lancar, aku yakin kalian akan baik-baik saja, bahkan setelah aku tiada."

Mereka terus berjalan sampai ke rumah sambil membicarakan banyak hal. Army membuka kunci pintu dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia langsung memakai piyama dan merebahkan dirinya di kasur. Cherry masih berada dalam pengawasan intensif di rumah sakit, sehingga ia hanya sendirian di rumah. Suasana sunyi membuatnya kesepian. Biasanya selalu ada Cherry di kamar sebelah yang berbicara banyak hal padanya sebelum tidur. Ia sangat tidak terbiasa dengan suasana yang sepi di rumah, hingga membuatnya sulit tidur. Karena tak bisa tidur, ia bangun dari kasur dan menyalakan kembali lampu kamarnya. Ia juga mengambil sebuah buku kosong beserta pena dari laci.

Ia duduk dan meletakkan buku tersebut di meja. "Tofu, kemarilah."

Tofu muncul. "Ada apa malam-malam begini?"

Army menumpuk beberapa buku lain di depannya. "Coba diam disitu. Aku ingin menggambarmu."

"Menggambar?"

Army mengangguk sambil mulai menggambar Tofu pada sampul buku kosong yang ia bawa. "Yap. Aku akan menggambarmu di depan."

"Oh, kau mau menulis sebuah buku? Tapi kenapa aku yang dijadikan sampulnya?"

"Karena buku ini berisi tentangmu."

"Tentangku?" Tofu melirik gambarnya pada sampul buku.

Gambar tersebut dibuat dengan sangat simpel, sehingga memberi kesan yang imut. Kotak bersayap dengan mata satu yang tersenyum, itulah Tofu yang digambar oleh Army. Ia kemudian melihat Army yang menuliskan judul di bawah gambar Tofu. Army menuliskan "Tofu!" dengan cukup besar, lalu menuliskan "Semua yang harus diketahui tentang kekuatan kegelapannya." dengan tulisan yang lebih kecil di bagian bawa sampul.

"Apa saja yang akan kau tulis di sana?" tanya Tofu.

Army membuka halaman pertama. "Tentu saja segala hal tentangmu. Mulai dari siapa kau sebenarnya, hingga bagaimana rincian kekuatan yang kau miliki."

"Wah ..." Tofu tertarik dengan pendahuluan yang ditulis oleh Army.

"Aku belum memiliki daftar isi yang lengkapnya," ucap Army. "Jadi, aku hanya akan mengisi bagian awalnya lebih dulu saja."

"Apa yang akan ditaruh pada bagian awal?" tanya Tofu.

Army membuka lagi halaman selanjutnya dan menggambar sesuatu. "Tentu saja tentang siapa itu kamu."

Ia terlihat menggambarkan tubuh laki-laki yang sedang duduk. Setelahnya, ia menggambar bagian kepalanya dengan kepala kambing. Meski konsepnya aneh, tapi gaya penggambarannya sama seperti gambar Tofu pada sampul, sehingga gambar yang dihasilkan menjadi lucu.

"Itu, aku?" tanya Tofu.

Army mengangguk. "Tak salah kan?"

Tofu adalah iblis yang telah ada sejak dunia baru selesai dibuat oleh para dewa. Ia bukanlah iblis yang diciptakan melalui ritual pemanggilan. Karena itu, ia tidak ikut mati ketika inangnya mati. Hal ini membuat Tofu berganti-ganti inang sepanjang hidupnya. Ia menempel ke mereka yang melakukan ritual, lalu secara tidak sengaja memanggilnya daripada menciptakan iblis baru.

Wujud kotak bersayap Tofu yang memiliki mata bukanlah wujud aslinya. Sebagai iblis kuno yang telah hidup ribuan tahun, ia memiliki wujud iblis yang sangat menyeramkan. Oleh karena itu, ia membuat sebuah perwujudan baru yang ia munculkan ketika ingin berkomunikasi dengan inangnya. Perwujudan itu sengaja ia buat menjadi kecil, simpel, dan lucu, agar manusia yang berbicara dengannya merasa nyaman. Meski begitu, suaranya tak pernah ia rubah sama sekali, sehingga suara yang keluar dari wujud kotak itu adalah suara aslinya.

"Yah ... Aku tak mengira bahwa wujud asliku akan seimut itu dalam gambar."

Army tertawa. "Ahaha, benar juga. Kau memiliki wujud yang menyeramkan jika aku ingat kembali."

"Tapi kau tidak takut saat pertama kali melihatku," balas Tofu.

"Itu karena aku baru saja melihat hal yang lebih mengerikan sebelumnya. Jika mengingatnya sekarang, maka aku bisa merasakan betapa seramnya wujudmu itu."

"Jika kau berkata begitu, aku jadi semakin yakin untuk selalu memakai wujud ini selamanya ..."

"Kalau begitu ..." Army tersenyum sambil menatap Tofu. "Tolong ceritakan lagi segala hal tentang dirimu, agar tidak ada detail yang kulewatkan."

Malam Army dihabiskan dengan menulis buku selama beberapa jam. Setelah merasa cukup mengantuk, ia menutup buku tersebut dan mengembalikan buku serta penanya ke dalam laci.

Ia mematikan lampu dan berkata, "Selamat malam, Tofu."

Keesokan paginya, ia datang seperti biasa ke kedai serikat untuk melakukan absensi dan memeriksa tugasnya hari itu. Ia datang agak siang akibat begadang menulis buku. Tidak ada tugas khusus karena partynya sedang diistirahatkan, tapi akan tetap ada tugas untuk mereka. Saat hendak membuka pintu kedai, ia merasa gugup. Ia masih memikirkan bagaimana caranya bercerita pada teman-temannya.

"Penyesalan akibat tak bisa membantu orang yang disayang itu, sangatlah menyakitkan ..."

Ucapan Dokter Forvixer kembali melintas dalam pikirannya. Ia memantapkan hatinya sebelum mengambil langkah berikutnya.

"Army, kau bisa ..."

Ia membuka pintu dan masuk secara perlahan.

"Pagi semu-"

Belum selesai menyapa, ia sudah dikejutkan dengan seorang laki-laki yang sedang berbicara dengan Shiro dan Fori. Orang itu memakai pakaian kepala pelayan berwarna merah tua, lengkap dengan beberapa perhiasan di leher dan pergelangan tangannya. Orang itu juga terlihat membawa tombak sebagai senjatanya.

"Oh, Army!" panggil Shiro. "Kau datang disaat yang tepat. Ada seseorang yang mencarimu!"

Orang itu memutar tubuhnya, menengok ke arah Army. "Yo, Army. Lama tidak berjumpa! Bagaimana kabarmu?"

Army terkejut bukan main setelah yakin bahwa orang itu adalah orang yang sama dengan apa yang kira. Penampilan, suara, serta postur tubuhnya benar-benar sama dengan orang yang ia kenal.

"Master Zuuta?!"