Di tengah padang rumput terbuka, ada sebuah kereta kuda yang bagian depannya telah hancur. Kusir serta kudanya menghilang, menyisakan dua orang penumpang yang ada di dalam. Kedua orang itu bersiap dengan pedangnya sambil waspada, menunggu serangan selanjutnya yang akan datang.
Putri Veena menguncir rambut pirangnya yang panjang. "Apakah sebaiknya kita keluar? Di dalam terlalu lama tidak aman."
Ardent menarik tangan Putri Veena. "Kau benar. Kita harus keluar!"
Ia membawa Putri Veena ke balik kereta kuda. "Serangan tadi dari seberang. Kita aman disini, jika mereka tidak memiliki orang di sisi lain."
"Mungkinkah ia ada di balik kumpulan batu itu?" tanya Putri Veena.
Ardent melihat tumpukan batu besar yang terletak cukup jauh dari mereka. "Mungkin saja, tapi bisa jadi itu hanya pengalihan."
Ardent melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada musuh di sisi terbuka mereka. "Bisa saja mereka bersembunyi di tebalnya rumput."
"Cukup masuk akal," jawab Putri Veena.
Baru saja Ardent selesai berbicara, ada seseorang yang menerjang mereka dari rerumputan.
Putri Veena berhasil menangkis tebasan belati orang itu dengan pedangnya. "Belakang!"
Ardent langsung menyerang orang itu, tapi serangannya.
"Kau baik-baik saja Putri?" tanya Ardent.
Sang Putri memasang kuda-kuda sambil fokus menatap penyerangnya. "Ya, aku baik-baik saja."
Mereka kembali dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang melompat dari atas kereta di belakang. Ia melompat sambil menjatuhkan beberapa bom yang siap meledak.
"Putri!" Ardent langsung menarik Putri Veena masuk kereta untuk menghindari ledakan.
"Dua orang ..." Ardent menggelengkan kepalanya. Tidak, sepertinya lebih."
Bom meledak mementalkan kereta bersama Ardent dan Putri Veena di dalam. Kereta tersebut rusak parah, tapi mereka yang ada di dalam tidak terluka sama sekali berkat material penyusun kereta yang kuat.
"Putri, aku akan melawan yang membawa bom," ucap Ardent.
Putri Veena mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, aku yang satunya!"
Mereka berdua keluar dari kereta dan berhadapan langsung dengan kedua penyerang. Para penyerang menggunakan zirah ringan dengan tudung dan topeng yang sama. Yang membedakan mereka hanyalah senjatanya. Satu orang menggunakan belati, serta satunya lagi pedang pendek dan bom di tangan kirinya.
Putri Veena menyadari sesuatu saat memperhatikan seragam mereka dengan lebih teliti. "Topeng itu!"
Baru saja mengetahui identitasnya, para penyerang langsung mengambil langkah pertama dengan menyerang secara bersamaan. Tidak ada tempat sembunyi di padang rumput terbuka itu, sehingga pertarungan harus dilakukan dengan berhadapan secara langsung.
Ardent memanfaatkan momen ini melihat kemampuan sebenarnya Putri Veena. Ia bisa melihat bagaimana Putri Veena dengan sangat baik menahan serangan dan menyerang balik. Meski serangannya tidak ada yang kena, Ardent tahu bahwa lawan mereka kali ini bukanlah orang biasa, sehingga sudah sangat bagus bagi Putri Veena untuk bisa bertahan. Sementara Putri Veena sekuat tenaga melawan, Ardent menahan dirinya untuk tidak membunuh si penyerang. Ia menyesuaikan gerakan serta serangannya agar pertarungan mereka terus berjalan karena ia ingin melihat sejauh mana Putri Veena bisa bertahan.
Pertarungan yang cukup imbang terjadi. Penyerang dengan belati itu masih belum bisa menembus pertahanan Putri Veena yang sangat kokoh. Tak hanya berhasil bertahan, seluruh gerakan yang dilakukan oleh Putri Veena terlihat sangat anggun. Gaya bertarungnya tidak hanya mengedepankan efektifitas serangan, tetapi juga memperhatikan estetika gerakannya. Mereka berbalas serangan seakan mereka berdua berdansa karena tempo serangannya yang sama.
Ardent menghindar sambil memperhatikan Putri Veena. "Benar-benar hebat!"
Penyerang yang berhadapan dengan Ardent menjadi kesal karena ia merasa tidak ditanggapi dengan serius.
"Perhatikanlah lawanmu!"
Ardent menatapnya dengan sinis sambil membalas dengan tebasan pedang yang pelan. Ia tidak berbicara apapun, tapi justru hal itu membuat penyerangnya semakin marah.
"Tcih. Kau akan mati karena terlalu meremehkan lawamu!"
Ia mempercepat gerakannya dan menyerang Ardent bergantian dengan pedang kecil dan bomnya yang tidak habis-habis. Serangannya begitu cepat, bahkan sampai membuat Ardent cukup pusing melihat gerakannya. Setelah beberapa serangan dengan pedang, ia melempar bom dan mundur, sebelum maju kembali setelah bomnya meledak. Hal itu cukup merepotkan untuk di lawan. Ardent menghindari ledakan dengan menjauh dari area ledakan, serta menangkis proyektil ledakan dengan pedangnya.
Si penyerang menjadi percaya diri karena Ardent hanya berfokus pada pertahanan, tidak lagi menyerang balik seperti sebelumnya.
"Ada apa? Kau sudah kesulitan?"
Ia menerjang, lalu melompat ke atas ketika serangannya ditangkis Ardent. Ia kembali menjatuhkan dirinya dengan cepat ke arah Ardent dengan keras, hingga tanah yang terkena serangannya menjadi retak. Beruntung Ardent masih bisa menghindari serangan tersebut.
"Kurasa gosip yang terkuat tentangmu hanyalah omong kosong!"
Ia melempar bom ke arah Ardent. "Multiplication!"
Bom yang ia lempar bertanbah menjadi banyak dalam waktu singkat.
Si penyerang tertawa. "Haha, bahkan kau sudah kesulitan de-"
Tiba-tiba, Ardent sudah berada di belakang penyerang itu. "Aku tak suka berbicara saat bertarung."
"Cepat sekali!" Si penyerang terkejut.
Ia berusaha menghindar, tapi ternyata kaki dan tangannya sudah diikat oleh sihir. Kemudian, seluruh tubuhnya terkunci secara total. Ia tidak bisa bergerak sama sekali, bahkan untuk berbicara ia tidak bisa. Belum sempat merasa takut oleh kondisinya yang terkunci, bom yang dilempar meledak dan melepaskan berbagai proyektil yang mengenai dirinya sendiri. Ardent berlindung menggunakan tubuhnya sebagai perisai, sehingga penyerang itu mati terkena proyektil bomnya sendiri.
"Bicara tidak akan membawamu kemana-mana."
Putri Veena dan penyerang satu lagi ikut terkejut. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba saja Ardent sudah berada du depan jasad penyerang yang berhadapan dengannya. Pertarungan mereka sempat terhenti sesaat, tapi kemudian mereka melanjutkannya lagi.
Ardent menengok ke arah hamparan padang pasir yang luas. "Jadi, dimana yang ketiga?"
Ia berpikir sebentar, mencoba mengingat kembali laser pertama yang menyerang. "Mereka berdua tidak ada yang bisa menggunakan sihir se-"
Belum selesai Ardent berpikir, ia melihat ada serangan laser sihir yang menuju ke arahnya.
"Detonation!"
Sambil menghindar, ia meledakkan area yang terdapat tumpukan batu, tempat yang diduga menjadi persembunyian penyerang ketiga karena serangan tersebut berasal dari sana.
"Sekarang sepertinya su-"
Muncul berbagai serangan laser sihir dari berbagai arah secara bersamaan menuju ke arahnya. Tidak seperti sebelumnya, laser yang datang kali ini jauh lebih cepat dan kuat. Ardent yang tidak mungkin menghindar langsung mengaktifkan barrier di sekeliling tubuhnya.
Setelah serangan laser selesai, ia tersenyum karena menyadari sesuatu. "Begitu ya ... Ia tidak berada di salah satu tempat yang menjadi asal laser."
Ia mengangkat tangan kiri hingga setinggi bahunya. "Ia menggunakan sesuatu sebagai perantara sihir. Mereka memang telah menunggu kami untuk lewat sini. Meski begitu, ia pasti tidak berada jauh."
Sekali lagi, ia menatap hamparan padang rumput yang luas. "Hanya ada satu cara yang efektif untuk melawannya."
Saat serangan laser berikutnya mulai menyerang lagi, ia menjentikkan jarinya. "Terbakarlah ..."
Seketika, seluruh padang rumput yang sangat luas itu terbakar oleh badai api yang sangat panas. Ardent langsung melindungi dirinya dan Putri Veena dengan barrier di seluruh tubuh mereka, tetapi panas dari badai itu masih bisa terasa. Hanya ada warna merah pekat di sekeliling mereka. Putri Veena yang melihat pemandangan tersebut sampai terdiam tak berkata-kata. Baru pertama kali ia melihat orang yang bisa merapalkan sihir tingkat tinggi tanpa rapalan yang panjang dan rumit.
Api terpantul dengan jelas di mata Putri Veena. Ia melihat badai api tersebut dengan penuh kekaguman. "Jadi ini kekuatan sebenarnya Tuan Ardent ..."
Setelah badai berhenti, terlihat seluruh area padang rumput yang mengering. Tumbuhan mati tak bersisa, hingga tanah yang ada menjadi retak karena kering. Tak ada jejak sama sekali dari para penyerang. Tubuh serta pakaian mereka lenyap terbakar oleh badai api. Meski begitu, Ardent dan Putri Veena tetap waspada selama beberapa saat, sampai akhirnya mereka yakin bahwa situasi sudah aman karena tidak ada lagi serangan yang menuju ke arah mereka.
"Sihir apa itu?" tanya Putri Veena sambil terus menatap hamparan tanah yang gersang. "Aku tidak pernah tahu ada yang seperti itu sebelumnya."
Ardent hanya tersenyum. "Setelah hidup cukup lama, kamu akan tau bahwa adalah manifestasi dari imajinasi, bukan sesuatu yang terpaku pada sebuah aturan duniawi."
Putri Veena tidak begitu mengerti apa maksud Ardent, tapi ia tidak menanyakan hal itu lebih jauh karena tahu bahwa saat ini bukan saat yang tepat untuk membahas hal itu.
Ia terduduk di tanah setelah memasukan kembali pedangnya ke dalam sarung. Rasa lelah mulai terasa setelah adrenalinnya turun. "Sudah aman ya?"
Ardent menaruh kembali pedangnya di punggung. "Sepertinya begitu. Entah mereka mundur atau memang sudah habis."
"Mereka adalah unit khusus dari Savartha."
Ardent tertarik ketika mendengar ucapan Putri Veena. "Kau mengetahui tentang mereka?"
Putri Veena mengangguk. "Sedikit. Setahuku, mereka adalah unit yang berisi 10 prajurit elit."
"10?" Ardent berpikir sebentar. "Berdasarkan perhitunganku, mereka tadi hanya 3."
"Mungkin mereka hanya mengirimkan 3. Biasanya sih mereka selalu mengirim unit itu secara penuh. Tetapi, aku juga tidak terlalu tahu banyak tentang mereka. Mau bagaimanapun, mereka adalah unit khusus yang informasinya dirahasiakan."
"Dapat dimengerti," ucap Ardent. "Antara mereka hanya mengirim 3, mengirim lebih dari 3 tapi sisanya tersapu badai sebelum beraksi, mundur setelah melihat situasi di luar kendali, atau mereka memang hanya tersisa 3."
Ardent menatap Putri Veena. "Kenapa mereka mengerang?"
Putri Veena mengangguk. "Mungkin karena Raaj Parayudha sakit hati dengan ucapanku. Aku juga tidak tahu. Tetapi, sepertinya memikirkan itu tidak penting sekarang."
Ardent mengangguk. "Ya, karena ada yang lebih penting dari itu."
Ia menunjuk hamparan padang rumput yang mengering dan berkata, "Kembalilah ..."
Padang rumput yang mengering secara perlahan kembali seperti semula, bahkan menjadi lebih indah dengan rumput yang berbunga. Wangi bunga dan rumput segar yang tumbuh tertiup oleh angin hingga terbawa menuju mereka. Aroma yang menenangkan dan angin sepoi-sepoi menciptakan suasana tenang setelah pertarungan yang terjadi sebelumnya. Setelah beberapa saat menikmati suasana tenang, Putri Veena kembali teringat dengan nasib apa yang menantinya kelak. Ia tersadar kembali bahwa ia sedang berada di perjalanan pulang dan menunggu kehancuran datang ke kerajaannya.
Putri Veena menyentuh bunga yang tumbuh di sebelah kananya. "Mereka tumbuh dengan sempurna ..."
Ia menatap bunga lain yang ada di sebelah kirinya. "Bunga itu memang sangat indah ya ..."
Ardent menengok ke arah sang Putri tanpa berkata-kata karena ia bingung dengan maksud ucapannya.
"Mereka adalah mahluk yang sangat cantik. Mereka mengingatkanku pada mereka yang selalu berkata, bahwa aku adalah orang yang sangat cantik. Semua pujian yang kuterima itu membuatku merasa sama seperti bunga. Mereka hanya melakukan yang biasa dilakukan, tapi semua orang memujinya ..."
Ia memetik bunga itu dan tersenyum. "Tetapi, semakin indah sebuah bunga, biasanya ia tidak akan bisa bertahan lama ..."
Ia menatap Ardent dengan tatapan yang berisi berbagai macam emosi. "Tuan Ardent, mungkin pertanyaan ini aneh, tapi apakah aku sama dengan bunga? Indah, serta tak akan hidup untuk waktu yang lama."
Senyuman lebar terukir pada wajahnya. Kali ini, ia tidak mengeluarkan air mata sama sekali. Ia telah bisa menerima takdir buruk yang mengarah padanya.
"Ah ..." Ardent menghela nafas. "Aku lupa kalau belum memberitahunya padamu."
"Eh? Memberitahu?" Putri Veena menjadi bingung.
Ardent menatapnya dengan serius. "Putri, aku dan Raja Xaniel menawarkan kerja sama hanya padamu dan adikmu, Putri Caroline."
Putri Veena menjadi semakin bingung. Ucapan Ardent sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Raja Xaniel. "A-aku tidak mengerti ..."
"Sebelum menyambutmu, kami berbicara 4 mata. Raja Xaniel menyetujui permintaanku untuk melepaskanmu dengan satu syarat, yaitu aku akan mengawasi seluruh gerak-gerikmu."
"T-tapi ... Raja Xaniel tidak berbicara tentang itu sama sekali ..."
Ardent menunduk. "Maaf Putri, tapi Raja Xaniel sengaja tidak berbicara tentang itu. Kami berusaha mencegah orang lain mengetahui rencana yang sedang kami bangun."
"Rencana?"
"Yah, aku tidak bisa membicarakannya itu sekarang, tapi ini benar-benar telah disetujui oleh Raja Xaniel."
"Hanya aku dan Carol?"
Ardent mengangguk. "Ya. Keluarga kerajaan lain tidak termasuk. Tetapi, kalian juga harus merubah sedikit penampilan nantinya. Jangan khawatir, kalian akan tetap cantik sebagaimana kalian sekarang. Aku akan mengenalkan kalian pada desainer pakaian terbaik yang kukenal, serta seseorang yang sangat suka dengan tata rias."
Disaat ia telah menerima takdir, harapan kembali muncul di depannya. Air mata kembali mengalir, tapi yang mengalir kali ini bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata yang terisi penuh dengan harapan.
"Ahh ... Tidak ada harapan untuk ayah dan para pelayan setiaku ya?"
Ardent menggelengkan kepalanya. "Tidak. Hanya kalian yang aku cari."
"Tapi kenapa hanya kami?"
"Karena kalian berdua adalah orang yang memiliki potensi," jawab Ardent.
Putri Veena memiringkan kepalanya karena bingung. "Bukankah ada lebih banyak orang yang hebat daripada kami?"
"Putri Veena, kau adalah orang yang hebat. Kau mungkin sudah mulai menyadarinya sekarang, tapi kamu bisa berkembang jauh melebihi ekspektasimu."
"Lalu, bagaimana dengan Carol?"
"Ia memang tidak kuat sepertimu, tapi Putri Caroline memiliki bakat pada bidang ilmu pengetahuan. Aku telah mendengar informasi itu dari berbagai pihak yang dapat dipercaya. Selain itu, kalian adalah saudari yang sangat dekat. Jadi, aku yakin bahwa Putri Caroline memiliki pemikiran yang sama denganmu."
Ardent berjalan mendekati Putri Veena. "Kalian akan meninggalkan keluarga serta kerajaan. Kalian akan meninggalkan tahta, sekaligus pergi meninggalkan rakyat kalian disaat-saat terakhir mereka. Itu akan sangat menyakitkan, terutama bagi seorang Putri seperti kalian. Tetapi ..."
Ia mengulurkan tangan pada Putri Veena yang terduduk di tanah. "... Aku membutuhkan kalian berdua di sisiku. Maukah kalian menerima ajakanku? Meski ajakan ini terdengar sedikit kejam. Aku tidak akan membiarkan bunga yang indah gugur dengan cepat di depan mataku."
Meninggalkan kerajaan beserta rakyatnya adalah sebuah hal memalukan bagi keluarga kerajaan. Akan tetapi, Putri Veena tidak memiliki bagus apapun, hanya mati bersama kerajaannya, atau mendapat kesempatan kedua untuk menjalani kehidupan baru bersama adiknya, Caroline. Ia sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Ia juga sudah kehilangan harapan pada ayahnya yang hanya bisa berbaring akibat sakit. Sedangkan sang ibu, ia telah pergi beberapa tahun lalu.
Sambil mengusap air mata, Putri Veena meraih tangan Ardent dan tersenyum. "Tentu saja itu akan sangat menyakitkan bagi kami. Tetapi, jika itu berarti Carol bisa selamat, maka aku tidak akan meminta lebih."
Mereka berdua kemudian melanjutkan perjalanan dengan kabut padat andalan Ardent sebagai transportasi. Sepanjang jalan, Ardent memberitahu bahwa nanti mereka akan membuat sedikit drama. Ia akan berpura-pura membunuh Putri Veena dan Putri Carol dengan membakarnya hingga hangus tak bersisa, padahal aslinya ia membawa mereka pergi. Ia juga mengingatkan Putri Veena bahwa ia masih memiliki waktu untuk melakukan "perpisahan" dengan kerajaannya. Jalan yang mereka ambil akan sulit, serta mustahil untuk bisa bertemu dengan apa yang pernah menjadi bagian dari Brandsdatter. Mereka harus memanfaatkan waktu itu untuk melakukan persiapan fisik serta mental sampai saatnya tiba.
Sekitar satu minggu setelahnya, party Army dan yang lainnya telah tiba di Falorin pada sore hari. Army dan partynya bersama Fori langsung melaporkan segala hal yang terjadi pada Ardent. Kebetulan, saat itu Aredent juga baru pulang dari mengantar Putri Veena. Seluruh orang yang sebelumnya menjadi sandera langsung dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan intensif, agar tidak ada hal buruk yang berpotensi terjadi pada mereka di lain hari. Semuanya berjalan normal, sampai malam hari akhirnya tiba.
Pada tengah malam di hari yang sama, disaat semua orang telah tidur dengan lelap, ada seseorang bertudung yang berjalan sendirian. Ia terus berjalan dengan cepat menyusuri dinginnya malam, hingga sampai ke sebuah bangunan yang memiliki plang "Klinik 24 jam" di depannya. Ia kemudian membuka pintu klinik, membunyikan lonceng tamunya.
"Oh, tamu!"
Wanita dengan pakaian suster rumah sakit segera berjalan menghampiri orang tersebut. "Ah, anda! Lama tidak berjumpa!"
"Terimakasih telah mengingatku," balas orang bertudung.
"Bagaimana bisa aku lupa dengan pasien yang rutin datang," jawab Suster sambil tersenyum.
Orang bertudung tertawa kecil sambil berjalan ke tempat duduk. "Haha, benar juga."
Sang Suster membuka pintu klinik, lalu memutar tulisan "BUKA" di depan pintu menjadi "TUTUP".
"Langsung masuk saja Tuan," ucap Suster sambil menuntun jalan padanya. "Dokter akan segera datang sebentar lagi."
Setelahnya, orang itu menunggu di ruang periksa. Ia kembali melihat pemandangan ruangan yang tidak asing baginya. Hanya sebentar menunggu, pintu ruangan terbuka, memperlihatkan seorang dokter yang masuk dengan peralatan lengkapnya. Sang Dokter kemudian duduk berhadapan dengan orang itu sambil memeriksa cacatan kesehatan di tangannya.
"Sudah lama kau tidak kemari, Army."
Army membuka tudungnya dan menggaruk kepalanya. "Ahaha, belakangan ini aku mendapat tugas di tempat yang jauh ..."