Chereads / Fallen Orions Tales / Chapter 79 - Pecahnya Aliansi

Chapter 79 - Pecahnya Aliansi

Pada tengah malam yang cerah dan berbintang, sebuah gumpalan kabut padat raksasa terbang melintasi padang rumput. Meski udara saat itu dingin, rasa hangat bisa dirasakan oleh siapapun yang menyentuh kabut tersebut. Ia bisa mendinginkan atau menghangatkan diri, tergantung bagaimana sang pemakai mengaturnya. Di atasnya, terdapat orang-orang yang sedang tidur dengan pulas, kecuali 3 orang yang masih menatapi bintang-bintang di langit.

"Shiro, Fori," panggil Army. "Terimakasih untuk tidak membicarakan apapun, sekaligus bersikap biasa di depan mereka."

Shiro menepuk bahu Army. "Aku paham bagaimana rasanya harus tetap terlihat keren. Kakak Army, sang Leader party, harus selalu menjadi contoh yang solid!"

"Yah, bukan itu sih alasanku ..."

Fori mengangguk. "Tak masalah Tuan. Aku akan selalu mengikut perintah!"

"Terimakasih, Fori."

"Meski begitu ..." Shiro memperhatikan Army dari atas hingga ke bawah. "Aku tak percaya kau bisa sembuh sepenuhnya, padahal kau terlihat seperti orang sekarat pagi tadi."

Army tertawa kecil. "Haha, tidak sepenuhnya juga. Aku yakin masih ada beberapa kerusakan di bagian dalam."

"Tuan harus segera ke dokter!" sahut Fori.

Army mengangguk. "Ya. Itulah yang akan aku lakukan pertama kali setelah kembali."

Shiro mengeluarkan beberapa pil obat penghilang rasa sakit. "Kau masih butuh?"

Army menggelengkan kepalanya. "Tidak. Sejauh ini aku belum merasa sakit lagi. Jika butuh, akan kuminta nanti padamu."

Shiro memasukan kembali obat tersebut ke dalam tasnya. "Baiklah. Jangan menahan diri untuk memintanya."

"Tentu saja."

Sementara itu di sisi lain, jauh dari posisi mereka saat ini. Ada beberapa orang yang memakai jubah dan mahkota yang sedang berkumpul di sebuah ruangan. Wajah mereka terlihat cemas dan berkeringat. Tatapan mereka juga tidak menandakan kalau mereka akan membicarakan sesuatu yang baik.

"Kalian sudah tahu bahwa Saint Athaelai telah musnah?" tanya salah seorang berjubah biru.

Orang berjubah merah melipat tangannya di meja. "Ya. Kabarnya, mereka dihancurkan oleh 2 orang saja."

Orang dengan jubah hitam menengok. "Kabar itu tidak dilebih-lebihkan?"

Orang berjubah merah menghela nafas. "Hah ... Sayangnya tidak. Dua orang tersebut adalah salah satu anggota tertinggi Fallen Orions. Pasukan mereka juga sedang menuju kemari. Satu-persatu dari kita pasti akan diratakan dengan tanah."

"Sudah kubilang ini adalah ide bodoh!" ucap seorang wanita yang mengenakan jubah hijau. "Ayahku malah setuju dengan rencana kalian. Giliran sekarang sedang terdesak, ia malah jatuh sakit dan menyerahkan semua padaku!"

"Tenanglah Putri Veena," balas orang berjubah hitam. "Kau marah disini tidak akan merubah apapun."

"Oh diamlah Tuan Parayudha. Kerajaan Savarthamu pun sebentar lagi akan rata dengan tanah!"

Orang berjubah merah tiba-tiba menggebrak meja. "Diam!"

"Kita sedang berada di situasi genting. Bukan saatnya bagi kita untuk berdebat!"

Putri Veena menunduk pada orang itu. "Maaf Tuan Nezar. Tak akan kuulangi."

Orang berjubah biru menatap Raja Nezar. "Tak perlu menggebrak meja, Tuan Nezar."

Ruangan itu diisi oleh keenam perwakilan dari 6 aliansi kerajaan yang menyerang Falorin. Karena Saint Athaelai telah dihancurkan, hanya tersisa 5 dari mereka. Putri Veena dari Brandsdatter, Sultan Fatih dari Afdhal, Raja Parayudha dari Savartha, Raja Nezar dari Nebu, dan Sultan Sherkhan dari Gevherhan.

Raja Nezar menengok ke arahnya. "Maaf Sultan Fatih. Aku hanya kesal melihat orang yang memperdebatkan hal konyol."

Sultan Fatih menatap orang dengan jubah kuning. "Bagaimana menurutmu, Sultan Sherkan?"

Sultan Sherkan berpikir sebentar. "Kurasa kita hanya bisa berharap yang terbaik, sambil memberi perlawanan terakhir. Kita telah memulainya, dan kita akan menuai apa yang kita tabur. Bersiaplah menghadapi pembantaian sepihak di tiap wilayah kalian."

Seisi ruangan menjadi hening. Para Raja telah menyadari kesalahan mereka yang mendeklarasikan perang pada kerajaan Falorin, kerajaan tempat Ardent berada yang dipimpin oleh Raja Xaniel. Mereka semua telah kehilangan lebih dari setengah total pasukannya. Moral pasukan yang tersisa juga menurun sangat drastis. Mereka yakin bahwa satu serangan dari Falorin akan bisa menghancurkan pertahanan mereka, apalagi jika Fallen Orions sampai turun tangan. Kekuatan Ardent dan guild Fallen Orions kini bukan sekedar gosip belaka bagi mereka yang telah merasakan langsung dampaknya.

"Bagaimana dengan senjata utama Saint Athaelai?" tanya Raja Parayudha.

Sultan Sherkan menggelengkan kepalanya. "Entahlah. Tak terdengar kabarnya."

"Sudahlah, aku tak peduli lagi!" ucap Putri Veena. Ia berdiri dan meninggalkan ruangan.

"Kau mau kemana, Putri?" tanya Sultan Fatih.

"Mencoba peruntungan dengan berdiplomasi bersama mereka."

Seisi ruangan terkejut mendengar hal itu.

Putri Veena lanjut berjalan. "Aku tahu bahwa ini mustahil, tapi setidaknya ini layak dicoba. Lebih baik berusaha daripada menunggu untuk dihancurkan satu-persatu!"

Satu minggu setelahnya, Ardent dan Raja Xaniel dikejutkan dengan kabar datangnya Putri Veena. Kereta kuda kerajaan yang mengibarkan bendera kerajaan Brandsdatter memasuki ibukota dan bergerak menuju istana. Pertemuan mendadak pun langsung diadakan di ruangan khusus. Ardent dan Raja Xaniel menemui sang Putri di dalam ruangan dengan penjagaan ketat. Mereka menyuguhkan teh dan beberapa kue padanya untuk menurunkan ketegangan yang ada.

Putri Veena adalah gadis yang sangat menawan, sekaligus memiliki kemampuan bertarung yang hebat. Penampilannya sangat menggambarkan seorang Putri kerajaan dengan mahkota kecil di atas kepalanya, perhiasan yang berkilauan, rambut yang sehalus sutra, gaun yang mewah, serta tutur kata yang sangat indah. Jika belum melihatnya beraksi secara langsung, orang akan sulit percaya bahwa ia bisa memimpin pasukan kerajaannya sendiri.

"Jadi, ada apa kemari tuan Putri?" tanya Ardent.

Putri Veena mencicipi teh yang disajikan. "Aku punya permintaan untuk Yang Mulia Raja Xaniel."

"Apa itu?" tanya Raja Xaniel.

Putri Veena menundukkan kepalanya. "Aku memohon pengampunan dari Yang Mulia. Kumohon untuk tidak melakukan serangan pada kerajaan Brandsdatter."

Raja Xaniel dan Ardent saling bertatapan. Mereka mengetahui bahwa Putri Veena datang untuk membahas itu, karena mereka telah berdiskusi sesaat sebelum menemuinya.

Sang Raja sedikit mengangkat tangan kanannya. "Maaf, tapi kami tidak bisa melakukannya."

Sang Putri langsung menjadi panik. Ia menatap Raja Xaniel dengan sangat serius. "Kalau begitu, setidaknya keluargaku saja!"

Raja Xaniel menggelengkan kepalanya. "Kami tidak bisa memilih-milih target, apalagi keluarga kerajaan lah yang memulai perang lebih dulu."

Ardent melipat tangannya. "Sudah banyak korban berjatuhan. Sudah terlambat bagi kita berdamai."

"T-tapi ..." Putri Veena tidak menyerah. "Jika menerima penyerahan kami, kalian akan mendapat keuntungan yang banyak!"

"Kami tidak membutuhkan itu," jawab Raja Xaniel.

"Kami memiliki banyak wilayah tambang dan sumber daya alam lainnya. Dengan sukarela, kami akan mengirimkan banyak bagian untuk kalian!"

"Apa bedanya dengan kami meruntuhkan kalian dan mengambil alihnya sendiri?" tanya Ardent. "Kami tidak mau mengambil resiko dengan berdamai oleh mereka yang pernah menjadi musuh."

"T-tapi-"

"Cukup," ucap Raja Xaniel. Ia menatap Putri Alexandria dengan serius. "Putri, kami memberimu dua pilihan sekarang. Mati berjuang bersama prajurit di kerajaanmu, atau mati disini sekarang juga."

Seketika, mental Putri Alexandria hancur. Harapannya akan masa depan keluarga dan kerajaannya sirna setelah mendapat ultimatum dari Raja Xaniel.

"K-kenapa kalian sejahat itu ..." Putri Alexandria menangis di hadapan Ardent dan Raja Xaniel.

Raja Xaniel memejamkan matanya dan berkata, "Kami tidak mau suatu saat nanti rakyat Brandsdatter membuat kerusuhan, karena kami telah menghilangkan banyak nyawa prajuritnya. Anak-anak yang kehilangan ayah dan istri yang kehilangan suaminya, merupakan orang yang kemungkinan besar menyimpan dendam."

"Tidak mungkin! Kami ti-"

Raja Xaniel mengangkat sedikit tangan kanannya, menghentikan Putri Veena yang akan berbicara. "Selain itu, kami juga tidak membutuhkan apa-apa dari kalian. Aliansi yang kami buat sudah sangat menguntungkan, bahkan untuk rencana kami sampai ratusan kedepan. Kami tidak perlu berdamai dengan musuh."

"Bagaimana jika aliansimu berkhianat? Teman sekalipun pasti bisa menjadi musuh!"

Raja Xaniel melipat tangannya di meja, lalu menatap Putri Veena dengan tatapan yang sangat mengancam. "Dan kalian tidak? Bahkan jika mereka benar-benar berkhianat, aku juga akan menghancurkan mereka, sebagaimana aku menghancurkan kalian."

Meski jarang bertempur, Raja Xaniel adalah orang terkuat di kerajaan kedua setelah Ardent. Kesibukan mengurus kerajaan membuat ia jarang terlihat menggunakan kekuatannya. Jika ia sudah mulai serius, semua orang pasti akan merasa terintimidasi olehnya. Falorin tetap menjadi ancaman bagi kerajaan lain tanpa Fallen Orions, selama ia yang menjadi rajanya.

Putri Veena terdiam. Ia sadar bahwa segala hal yang ia ucapkan tak akan berdampak apapun pada keputusan Raja Xaniel.

Raja Xaniel berdiri. "Pertemuan ini berakhir. Aku akan menganggap kau ingin mati di kerajaanmu sendiri."

Ia berjalan keluar ruangan. "Ardent, antar Putri hingga sampai ke kerajaannya dan pastikan keselamatannya."

Tersisa Ardent dan Putri Veena yang menangis di ruangan tersebut. Melihat Putri yang terus menangis, Ardent tak memiliki pilihan selain menunggunya. Ia tidak mungkin membawa seorang Putri keluar ruangan dalam kondisi seperti itu.

"Katakan kalau sudah siap." Ardent mengambil sepiring kue dan sendok. "Aku akan menunggu."

Tak berapa lama kemudian, air mata Putri Veena berhenti mengalir. Ia telah menguatkan dirinya dan menerima takdir yang akan datang. Ia berdiri dan menatap Ardent dengan tatapan ksatrianya yang penuh keyakinan.

"Aku sudah siap."

Ardent tersenyum. Ia menyukai sifat Putri Veena. "Kalau begitu, mari."

Belum ada kendaraan bermesin khusus yang bisa berjalan di berbagai medan, sehingga penggunaan kereta kuda masih digunakan secara luas. Beberapa kerajaan sudah mengembangkan kendaraannya sendiri, tapi semuanya masih baru mencapai tahap prototipe. Selain itu, kereta kuda khusus yang Putri Veena bawa tidak ditarik oleh kuda biasa. Kuda yang ia gunakan adalah monster dengan wujud mirip kuda dengan daya tahan dan kecepatan yang lebih tinggi. Ditambah dengan kusir yang merupakan penyihir ahli, kuda tersebut dapat bergerak lebih cepat. Beberapa sihir akan dirapalkan pada kuda sebelum berangkat dan sihir itu akan aktif selama perjalanan.

Beberapa lama di perjalanan, Ardent dan Putri Veena tidak berbicara satu sama lain. Ardent tidak memiliki hal apapun untuk dibicarakan, sedangkan Putri Veena sedang memiliki terlalu banyak pikiran. Selain itu, ia juga merasa canggung berada satu kereta bersama Ardent di hadapannya. Sang ketua Fallen Orions yang sangat berbahaya, sampai-sampai kekuatan aslinya masih dipertanyakan.

Tak tahan dengan suasana canggung, Putri Veena menghela nafasnya secara tidak sadar. Hal itu menarik perhatian Ardent dan membuatnya bertanya.

"Ada apa Putri?"

"Ah, maaf tuan Ardent. Aku hanya tidak menyangka kalau akan berada di dalam kereta berdua denganmu."

Ardent menundukkan kepalanya. "Maaf karena aku yang harus mengawalmu Putri. Tetapi, ini adalah perintah langsung dari Raja Xaniel yang tidak bisa kutolak."

"Aku juga paham akan hal itu, tapi tetap saja ..."

Ardent tahu bahwa keberadaannya disana adalah penyebab sang Putri tidak merasa nyaman.

"Maaf lagi karena telah membuatmu tidak nyaman Putri."

Putri Veena agak heran dengan sikap Ardent. Dalam bayangannya, Ardent adalah monster yang akan membumi hanguskan kerajaan Brandsdatter dengan mudah. Akan tetapi, Ardent yang ada di depannya saat ini adalah orang yang sangat sopan dan peduli terhadap orang lain.

"Ah, ini bukan salahmu Tuan Ardent. Hanya saja, ada sesuatu yang salah pada diriku hari ini ..."

Ia menatap ke luar jendela. "Ya, hari ini segalanya adalah salah."

"Maksudmu?" tanya Ardent.

Putri Veena menatap Ardent. "5 tahun lalu, Raja Harald, alias ayahku memutuskan kalau Brandsdatter akan bergabung dengan 6 kerajaan. Aku berusaha menghentikannya dengan berbagai cara, tapi semua itu sia-sia."

Ia menggenggam kedua tangannya dengan sangat erat, seakan menyesali sesuatu yang terjadi di masa lalu.

"Tidak ada yang mendengarkan Putri yang masih dianggap anak-anak. Meski sudah sangat berprestasi, mereka menganggapku tidak tahu apa-apa. Aku baru dipandang oleh mereka baru-baru ini saja, setelah seluruh ekspedisi yang kulakukan berakhir sukses. Akibatnya, semua jendral, bangsawan, dan pejabat pada saat itu setuju dengan jalan yang ayahku pilih."

Tiba-tiba, air mata kembali mengalir pada matanya. "Jika waktu bisa diulang, aku akan kembali ke jauh sebelum ini semua terjadi. Aku akan berusaha lebih keras sejak kecil, lalu mendapat pengakuan dari mereka semua. Mendapat dukungan para bangsawan dan pejabat, hingga dipercaya oleh ayah. Kemudian, saat kejadian ini tiba lagi, aku akan bisa menghentikan ayahku dengan kepercayaan yang kumiliki."

Ia mengusap air mata sambil pandangannya tertuju pada Ardent. "Tapi itu tidak mungkin kan? Tidak ada yang bisa memutarbalikkan waktu. Ayahku yang bodoh sudah menetapkan keputusannya ..."

Ardent balik menatap Putri Veena. Ia dapat merasakan keputusasaan yang mendalam dari tiap kata yang dikeluarkan oleh Putri Veena.

"Putri Vee-"

Tiba-tiba, sebuah serangan laser yang cukup besar menuju ke arah mereka dengan cepat. Kusir yang mengendarai kuda langsung berputar, tapi sayangnya ia dan kudanya tetap terkena serangan tersebut. Berkat respon cepat darinya, Ardent dan Putri Veena tetap selamat di dalam kereta.

"Apa yang terjadi?!" Putri Veena terkejut. Ia membuka tempat penyimpanan rahasia di dalam kereta, lalu mengambil sebuah pedang. Pedang tersebut adalah pedang kesayangan yang dibuat khusus untuknya oleh penempa paling hebat di Brandsdatter.

Ardent melihat ke luar jendela sambil menahan Putri Veena agar tidak sembarangan keluar. "Serangan kejutan. Sihirnya juga merupakan tingkat menengah ke atas. Mereka sepertinya profesional."

Ia menatap Putri Veena. "Apakah Putri sedang diincar seseorang?"

Putri Veena menggenggam pedangnya dengan sangat erat. "Mungkin kita berdua yang diincar!"