Ardent telah sampai kembali ke rumahnya setelah satu minggu perjalanan. Ia terlihat sibuk mencari sesuatu di dalam gudang kediamannya. Satu-persatu tempat di periksa, isi lemari dikeluarkan, dan beberapa peti dibuka olehnya. Saat mencari di tumpukan buku dalam lemari, ia melihat buku hitam tebal yang ada di sana.
"Ah, ketemu!"
Ia mengambil buku itu, lalu memasukannya ke dalam tas sihir. Ia kemudian pergi ke istana kerajaan dan disambut dengan baik oleh para penghuninya. Pintu ruang tahta dibuka, menampilkan sosok dirinya yang kembali tanpa luka pada semua orang di dalam.
Ardent berjalan mendekat, lalu bertekuk lutut di hadapan sang Raja. "Pemimpin tertinggi Fallen Orions, Ardent, telah kembali dari misinya, Yang Mulia."
"Angkat kepalamu Ardent," ucap sang Raja. "Dan ceritakan padaku apa saja yang terjadi di sana."
Ardent berdiri tegak dan menceritakan semua yang terjadi selama ia pergi bersama Fori. Ia juga memberitahu kalau ada misi dadakan yang baru ia beri pada salah satu party, dan mempertahankan kekuatan keputusan tersebut dengan alasan yang kuat.
Sang Raja mengangguk setuju. "Aku mengerti. Syukurlah tidak ada yang terluka, terutama dari kalian, Fallen Orions."
"Terimakasih, Yang Mulia."
Sang Raja melipat kedua tangannya dan berpirikir. "Tetapi, sepertinya kita juga harus menghancurkan 5 kerajaan lain."
Sang Raja menatap langit dari jendela ruang tahta. "Kita harus segera menghancurkan semua musuh, atau kita yang akan dihancurkan oleh mereka nantinya."
"Saya setuju paduka," jawab Ardent. "Awalnya saya hanya terbawa emosi pada warga Saint Athaelai, tetapi setelah saya pikirkan lebih jauh, memang jalan inilah yang harusnya kita lakukan."
Sang Raja menatap Ardent dan mengangguk. "Ya. Jika suatu pihak pernah menjadi musuh, akan selalu ada kemungkinan untuk kembali menjadi musuh, meski kita telah berdamai. Dendam akan selalu ada bagi mereka yang kalah, jadi sebaiknya pihak yang kalah dihabisi tanpa sisa."
Ardent meletakkan tangan kanan di dadanya. "Untuk itu, aku menyarankan kedua anggotaku yang sangat bisa diandalkan dalam hal itu."
Sang Raja menggelengkan kepalanya. Ardent sedikit terkejut karena ia tidak menyangka bahwa saran baiknya ditolak mentah-mentah.
"Kekuatan tempur mereka sudah habis, jadi mereka berdua pasti sudah cu-"
Belum selesai Ardent berbicara, sang Raja mengangkat tangan kanannya, menandakan kalau ia tak butuh penjelasan. Ardent kembali terkejut dan terpaksa diam.
Sang Raja tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Biarkan saja mereka istirahat setelah pulang. Mereka pasti sangat lelah. Serahkan ini pada prajurit kita."
Ardent, Raja, dan para Jendral berkumpul sampai sore untuk membahas strategi genosida yang akan dilakukan. Rapat itu berjalan cukup lama karena dibahas juga aliansi yang mereka bangun dengan kerajaan lain. Beberapa kerajaan sudah membawa pesan positif, sisanya masih berpikir atau menunggu suratnya sampai. Sebelum rapat berakhir, Ardent mengangkat tangannya dalam sesi pertanyaan.
"Yang Mulia, apakah aku memiliki wewenang untuk membantu bidang keagamaan?"
"Kenapa kau ingin melakukannya?" tanya sang Raja.
"Aku melihat perkembangan agama di kerajaan kita terus meningkat beberapa tahun terakhir. Tentu saja terimakasih atas kebijakan anda, yang memasukan perkembangan agama ke dalam prioritas."
Sang Raja mengangguk, menerima pujian dari Ardent. Kemudian, Ardent pun melanjutkan kata-katanya.
"Agama bisa menjadi obat yang menentang masyarakat, tetapi agama juga bisa menjadi racun yang menghancurkannya. Aku takut bahwa suatu saat nanti, ajaran yang selama ini baik akan mulai menyimpang karena kepentingan seseorang. Jika kita tidak menyadarinya dari awal, maka akan sulit menanganinya. Jadi, aku berpikir untuk mencegah terjadinya penyimpangan tersebut."
Seisi ruangan langsung terkejut mendengar ucapan Ardent. Mereka semua menjadi penasaran dengan cara yang akan Ardent gunakan dalam menjalankannya.
"Mencegah terjadinya penyimpangan?" tanya sang Raja. "Apakah kau benar-benar bisa melakukannya? Jika iya, aku akan memberimu wewenang itu, asal kau tetap menjaga ajaran agama itu tetap baik."
"Aku tidak bisa yakin seratus persen, tapi aku yakin bahwa ini akan kuat untuk menjadi pondasinya. Selain itu, rencana ini adalah rencana untuk masa depan. Hasilnya baru akan terlihat setelah beberapa puluh tahun kedepan. Bukan untuk kita, tapi untuk anak dan cucu kita."
Seisi ruangan semakin tertarik dengan ucapan Ardent. Selama ini rencananya belum ada yang gagal, sehingga semua orang mendukung rencananya tersebut.
"Untuk memperkuat keyakinan kalian, aku juga membawa ini."
Ardent membuka tas sihir dan mengeluarkan sebuah buku kuno tebal dari sana.
Salah satu Jendral mengenali sampul buku tersebut beserta nama penulisnya. "B-buku itu ..."
Sampul buku itu terbuat dari kulit monster berwarna gelap yang dijahit dengan tangan. Pada tengah sampulnya, terdapat lapisan kulit cerah berbentuk persegi panjang yang bertuliskan "Tuhan dan Hambanya". Pada bagian kanan bawah, terdapat nama penulis serta tanda tangannya. Tulisan itu menuliskan nama Athaelai Angelstrand dengan sangat indah.
Ardent mengangguk. "Ini adalah buku tentang sebuah ajaran yang unik, namun sangat menarik. Buku asli yang ditulis langsung oleh Saint Athaelai hingga akhir hidupnya. Seseorang yang ajarannya membuat sebuah kota kumuh, berubah menjadi kerajaan megah dan makmur. Sekarang kerajaannya sudah rata dengan tanah, tapi kita tidak akan membicarakan itu."
Sang Raja melipat tangannya di meja. "Baiklah. Akan kuberi wewenang untukmu. Aku berharap banyak padamu kalau begitu, Ardent."
Ardent memasukan kembali bukunya ke dalam tas sihir dan menunduk pada sang Raja. "Terimakasih banyak, Yang Mulia Xaniel."
Rapat akhirnya ditutup. Semua rencana segera disebar pada para pasukan. Mereka langsung senang ketika mengetahui bahwa pasukan musuh telah berhasil dihancurkan di tengah jalan. Sore itu juga mereka mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan tersebut. Karena Army dan partynya belum pulang, mereka menyimpan beberapa bahan untuk perayaan kedua kalinya saat mereka sudah pulang.
Karena sudah memiliki wewenang, Ardent langsung menjalankan rencananya. Ia pergi ke wilayah pinggir kota yang areanya di lewati oleh sungai. Hari sudah semakin sore, sehingga tidak ada banyak aktifitas orang di luar rumah, tetapi tidak dengan satu bangunan yang dilihat oleh Ardent dari jauh. Terdapat banyak anak-anak yang sedang bermain penuh canda tawa di sana. Mereka melempar bola, melompati karet, memanjat pohon, bermain ayunan, dan berbagai permainan lainnya. Ada juga seorang wanita muda dengan pakaian biarawati duduk diantara anak-anak itu sambil tersenyum dengan lebar.
Setelah cukup dekat, Ardent memanggil wanita itu dengan lembut. "Suster Ai."
Aiaran Wilhelmina, atau biasa dipanggil Suster Ai adalah seorang biarawati yang bertugas merawat anak-anak panti asuhan. Bangunan yang sedang Ardent datangi adalah panti asuhan kota, tempat bagi anak-anak terlantar yang berasal darimanapun.
Anak-anak yang melihat kedatangan Ardent langsung berlari mengerubunginya.
"Papa Ardent!"
"Papa!"
"Lama tak terlihat, Pa!"
"Papa baru pulang dari misi ya?"
"Apakah misinya sukses?"
Berbagai pertanyaan dilontarkan secara bersamaan oleh mereka, membuat Ardent kebingungan menjawab.
"Ahaha, ya. Aku baru saja pulang dari misi panjang, dan itu sukses besar!"
Terdengar suara lembut Suster Aiaran dari belakang anak-anak. "Kalian mainnya sudah dulu ya. Papa Ardent datang, berarti ada sesuatu yang penting."
Suster Aiaran kemudian menggiring anak-anak untuk masuk ke dalam. "Baik-baik di dalam ya! Aku akan berbicara dengan Papa Ardent di depan sebentar."
"Baik Suster!" jawab anak-anak secara bersamaan.
Setelah itu, Suster Aiaran menawarkan Ardent untuk duduk di sampingnya. "Jadi, ada apa Papa Ardent?"
Ardent membuka tas sihirnya. "Suster Ai, aku ingin kau mempelajari ini."
Awalnya Suster Aiaran hanya bingung, tapi ia langsung terkejut ketika melihat buku Tuhan dan Hambanya yang dikeluarkan oleh Ardent.
"B-buku itu ... Apakah itu asli?"
Ardent mengangguk. "Ya, ini asli."
Ia memberikannya pada Suster Aiaran. "Aku ingin kau memahami isi buku ini. Jika ada pertanyaan, tanyakan saja padaku. Aku akan kesini setiap hari kalau sempat untuk membahas buku itu bersamamu. Kuharap kau mau menerimanya."
Suster Aiaran menerima buku itu dan membuka halamannya. Ia seakan tak percaya bahwa buku yang didepannya adalah buku yang ditulis langsung oleh Saint Athaelai, seseorang paling berpengaruh dalam sejarah teologi atau ilmu agama.
"Aku akan menerimanya. Terimakasih Papa Ardent!"
Suster Aiaran terlihat sangat senang. Ia memeluk dan menggenggam erat buku tersebut.
Ardent tersenyum. "Terimakasih. Selamat mempelajari buku itu. Aku berharap banyak padamu, Suster Ai."
"Tapi kenapa aku?" tanya Suster Aiaran.
"Karena kau yang selama ini bekerja di panti asuhan."
Ardent melipat kedua tangannya. "Aku butuh banyak bantuan untuk menyebarkan ajaran tersebut. Setelah kau memahami keseluruhan isi buku dan telah kuberi izin, maka kau akan mengajarkannya pada anak-anak panti. Mereka adalah anak-anak cerdas, jadi aku yakin kalau mereka akan bisa memahaminya juga."
Suster Aiaran mengangguk. "Aku setuju. Anak-anak adalah pembelajar yang baik, jika pembimbingnya juga baik."
"Setelah itu, mereka akan kuberikan misi untuk mengajar ajaran tersebut ke lebih banyak orang lagi. Murid mereka pun juga akan menyebarkan ajaran itu lagi, dan begitu seterusnya. Kelak ajaran itu akan berkembang secara eksponensial seiring berjalannya waktu."
"Wah ..." Suster Aiaran terkesima dengan ucapan Ardent. "Aku tak pernah menyangka kalau Papa adalah orang yang religius."
Ardent terseyum. "Agama itu sangatlah indah, dan begitulah seharusnya. Akan tetapi, agama bisa menjadi sesuatu yang merusak, apabila perkembangannya tidak diawasi."
Ia menatap Suster Aiaran. "Oleh karena itu, akulah yang akan menjadi pengawasnya. Selama aku masih ada, perkembangan ajaran itu akan terus berada di jalan yang benar."
Suster Aiaran merasa tersentuh dengan kesungguhan Ardent. Ia menutup mata sambil merapatkan kedua tangannya dan berkata, "Semoga Papa selalu diberikan kesehatan. Aku akan menerima ini, dan menjalaninya dengan semua kemampuanku."
Dua minggu kemudian, di benua seberang, pada tengah malam yang sunyi dan dingin. Ada sekelompok orang yang sedang merencanakan sesuatu. Mereka berkumpul di depan pintu masuk penjara bawah tanah. Terdapat beberapa penjaga yang telah mati di sekeliling mereka. Tubuh-tubuh itu dikumpulkan ke tempat yang tidak terlalu terlihat.
"Ash, kau sudah siap?" tanya Shiro.
Ashborn mengangguk. "Kapanpun Army berkata!"
Army menatap Fori di sebelahnya. "G-Out?"
Fori mengeluarkan pisaunya. "Siap!"
Rikka berjalan ke depan mereka semua, lalu merendahkan posisi tubuhnya. "Mulai aba-aba!"
Setelah kubah Paradiso diaktifkan, Army mulai menghitung mundur.
"3 ... 2 ... 1!"
Ashborn menjebol pintu penjara dengan sihirnya. Karena G-Out dan kubah Paradiso aktif, tidak ada suara yang terdengar. Para penjaga tidak tahu bahwa mereka sedang diserbu. Mereka semua dihabisi dengan cepat tanpa bisa memanggil bantuan. Army dan yang lainnya terlebih dahulu menyisir semua area untuk membunuh setiap penjaga yang ada.
"Shiro, Fori, kalian ke kiri!" ucap Army sambil berlari dengan yang lain di lorong.
Shiro mengangguk. "Tentu saja!"
Army menunjuk ke kanan. "Rikka, Ash, kalian ke kanan."
"Dimengerti," jawab Rikka.
Setelah beberapa saat berlari, mereka sampai di persimpangan.
"Berpencar. Kita akan bertemu lagi di ujung!" ucap Army.
Mereka langsung berpencar ke kiri, tengah, dan kanan, menghabisi semua penjaga yang ada di tiap jalan. Mereka menghabisi semua penjaga agar tidak ada orang yang mengetahui kalau sedang terjadi sesuatu disana. Mereka juga sudah tau dimana letak orang yang hendak diselamatkan, jadi para penjaga itu tidak ada gunanya sama sekali untuk mereka.
Setelah berpisah cukup lama, mereka akhirnya berkumpul kembali di persimpangan yang lain. Mereka kembali berlari dalam formasi dan lanjut mencari ruang tahanan.
"Kosong semua, tidak ada tahanan lain," ucap Shiro sambil berlari.
"Berarti sesuai kata Fori," jawab Rikka. "Penjara ini khusus untuk mereka."
Army menengok ke arah Fori. "Dimana sanderanya?"
"Belok kanan di depan!"
Setelah mendapati lorong yang bercabang lagi, Fori langsung berbelok diikuti oleh yang lain. Mereka terus berlari hingga mencapai tempat paling ujung dari penjara. Dua penjaga yang sedang berpatroli terjekut ketika melihat mereka.
"Penyu-"
Sebelum ia berteriak dan menyerang, Fori dengan Mach+ memotong kedua tangan dan kakinya. Army langsung melempar sabit Soul Hunter dan membelah kepalanya. Penjaga yang satu lagi dibakar hidup-hidup hingga menjadi abu oleh Ashborn. Meski para penjaga bukan orang yang lemah, mereka tidak sebanding dengan Army dan yang lainnya.
Army kemudian berjalan menuju 4 sel yang menyimpan para sandera. "Mari periksa apakah mereka di ..."
Saat melihat ke salah satu sel, Army terkejut sekaligus bingung.
"Cherry???"
Di balik sel, terlihat Cherry yang duduk di atas kasur penjara.
Cherry balik menatap Army dengan keheranan. "Kakak???"