Akane berjalan diatas lautan malam yang tenang. Bintang dan bulan di atasnya memantulkan cahaya pada tempat ia berpijak.
"Akane ..." Terdengar suara kakek Akane yang memanggil namanya.
Tiba-tiba lingkungan sekitar berubah menjadi kediamannya, tepatnya di dalam ruang kerja sang kakek. Ia melihat dirinya yang masih kecil sedang berada di dalam pangkuan kakeknya.
"Kakek, kakek! Berikan aku cerita lagi!" Akane kecil terlihat sangat antusias. Ia membuka buku yang ada di depannya pada halaman acak.
Kakeknya tertawa dan membukakan sebuah halaman. "Hohoho, kau pernah mendengar ini?"
Akane kecil menggelengkan kepalanya. "Tidak."
Lingkungan sekitar kembali berubah. Sekeliling Akane menjadi hitam seperti di dalam void. Kemudian, terdengar kembali suara kakeknya yang menggema.
"Ini adalah kisah 200 tahun lalu, tentang revolusi sihir saintifik dan konsekuensinya ..."
Suara tersebut dilanjutkan dengan suara tawa Akane kecil yang perlahan semakin jauh dan menghilang.
Akane merasakan tangannya di tarik. Ia perlahan bergerak maju mengikuti tarikan tangan tersebut. Saat ia berkedip, sekitarnya berubah lagi. Cherry terlihat menarik tangannya, bersama dengan Akane dan Reina yang berjalan di sampingnya. Di depan mereka, terlihat Saki yang berbalik badan dan menyapa mereka.
"Kalian siap untuk perjalanan ini?"
Tiba-tiba terdengar ledakan yang sangat besar di belakang. Ia menengok, dan sekitarnya berubah menjadi medan pertempuran dengan banyak mayat berserakan. Suara desingan peluru dan ledakan sihir terdengar dimana-mana, bersama dengan suara teriakan wanita dan anak kecil yang saling bersahutan. Burung pemakan bangkai mulai menghinggapi mayat di tempat yang sudah ditinggalkan.
Dari belakangnya, Shiro melintas seakan Akane tak berada disana. Shiro melepas kancing kerahnya. "Manusia, memang pantas mati!"
Regretless Shiro langsung aktif, mengeluarkan aura ungu gelap di sekitar tubuhnya dan mengangkat rambutnya.
"Tunggu."
Suara Army terdengar dari belakang. Ia berjalan menghampiri Shiro dan menepuk bahunya. Shiro mengangguk seakan mengerti apa yang Army maksud.
"Ehem." Army membuka penutup matanya. "Divine Comedy - Paradiso ..."
Bersamaan dengan itu, Akane mendengar suara tetesan air. Lingkungan sekitarnya berubah menjadi ruang kerja Ardent. Ia melihat dirinya yang lain sedang berdiri di depan meja dan Ardent yang sedang menatap keluar jendela.
Ardent membalikkan badannya. "Lakukanlah, aku akan mendukungmu. Aku perca-"
Suara berisik seperti radio rusak menutupi kelanjutan ucapan Ardent. Wajah Ardent juga terdistorsi secara perlahan sesaat setelah suara radio itu muncul. Setelah suara tersebut berhenti, wajah Ardent tertutup oleh coretan tinta hitam yang sangat tebal. "Akan selalu terjadi pertumpahan darah, karena itulah sifat asli manusia."
Setelah Ardent selesai berbicara, tubuh Akane seakan diputar balik menembus lantai. Ia kembali berada di dalam void, tapi kali ini ada beberapa layar yang muncul disana. Layar tersebut berbaria dan bergerak perlahan, menunjukkan gambar saat ia membawa beberapa buku pada Saki, saat ia berkenalan dengan banyak orang, menaiki sebuah kapal bersama Saki dan Slow Kill Party, hingga saat ia memeluk Shiro. Layar-layar tersebut kemudian bergerak semakin cepat, sampai ia tak bisa lagi melihat satupun gambar disana. Layar itu terus bergerak sampai sebuah cermin muncul di hadapannya. Cermin tersebut memantulkan seluruh tubuhnya, dengan wajah yang tercoret oleh tinta seperti wajah Ardent.
Pantulan Akane di dalam cermin bergerak mendekatinya seakan hendak keluar dari cermin. "Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."
Sebelum Akane berbicara, suara tetesan air terdengar lagi. Ia kembali pindah ke ruang kerja kakeknya dengan pemandangan yang sama, yaitu Akane Kecil yang sedang duduk di pangkuan kakeknya. Ia mengingat jelas apa yang kakeknya katakan selanjutnya.
"Itulah yang biasanya terjadi setelah revolusi."
Kemudian, air membanjiri seluruh ruangan sampai penuh. Akane yang tenggelam perlahan naik keatas secara sendirinya. Ia mengapung di atas laut malam dan terombang-ambing oleh ombak. Di sekitarnya terlihat banyak puing-puing kapal yang mengapung.
Ia menatap bintang-bintang yang ada di langit dan bertanya, "Apa benar inilah akhirnya?"
Saat memejamkan mata, ia mendengar suara jentikan jari di depan wajahnya.
"Akane!" Cherry menjentikkan jarinya beberapa kali.
Saat membuka matanya lagi, ia berada di dunia Toram bersama dengan Cherry, Kurosaki, Reina, dan Saki yang sedang duduk sambil makan.
Kurosaki terlihat bingung. "Tidak biasanya kau termenung seperti itu."
"Kau sakit?" tanya Reina.
Akane menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku hanya memikirkan sesuatu terlalu dalam."
Sambil merapihkan alat makannya, Saki bertanya, "Memikirkan apa Kak?"
"Sebuah revolusi."
.
.
.
.
.
.
Volume selanjutnya : Revolusi dan Konsekuensinya