Ardent bersama Party Army telah pulang ke dunia baru. Semua orang menyambut kepulangannya. Setelah sekian lama, ia akhirnya bertemu kembali dengan Curie. Mereka mengobrol beberapa hal bersama dengan para dewa lainnya. Ardent juga mengambil alih kembali akademi serta langsung diangkat menjadi kepala operasi penyelamatan yang baru. Dengan kembalinya Ardent, semua orang menjadi lebih optimis dalam misi penyelamatan ini. Mereka semua bergerak lebih cepat dan menyelamatkan lebih banyak orang daripada sebelumnya. Hanya dalam beberapa hari, anggota Fallen Orions seperti Tan, Vivien, Locked, Need, Eevnyxz, Shacchi, dan Ashborn sudah ditemukan. Sama seperti Army dan yang lainnya, mereka langsung ditugaskan untuk menjelajah segera setelah bangun. Tugas-tugas yang memerlukan perjalanan jauh atau beresiko tinggi akan terus diberikan pada anggota Fallen Orions.
Malam hari, di kediaman Akane. Shiro sedang berjalan di koridor menuju perpustakaan keluarga. Ia berdiri di depan pintu dan mengetuknya. "Akane, kau di dalam?"
"Ya, aku di dalam," jawab Akane
Shiro membuka pintu dan melihat Akane yang sedang fokus membaca beberapa buku aneh. Buku tersebut adalah buku yang berada di bangunan yang pertama kali mereka masuki, tempat dimana Army dan Shiro ditemukan.
Shiro duduk di sebelah Akane. "Buku apa itu?" Ia kebingungan dengan simbol dan bahasa aneh yang terdapat dalam buku tersebut.
Akane membalik lembaran bukunya. "Mereka adalah buku dari dunia Toram."
Shiro mengambil salah satu buku dan mencoba membacanya. "Wow ... Kau mengerti isinya?"
Akane menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku hanya menafsirkan beberapa gambar yang ada disini." Ia menunjukkan sebuah gambar monster aneh yang berada di buku pada Shiro. "Seperti ini. Mungkin saja tulisan dibawah adalah namanya."
"Eh ... Kupikir kau sudah bisa. Kau kan hebat."
"Ini lain lagi."
"Baiklah. Semangat menafsirkannya ya. Aku kesini untuk mengabarkan kalau besok aku mendapat tugas lagi."
Shiro mengingat-ingat kembali perintah Ardent padanya. "Hmm, kalau tidak salah perkiraan perjalanannya adalah 3 hari."
Shiro meletakkan kembali buku yang ia pegang. "Sampai jumpa lagi ya!"
Shiro hendak berbalik badan. Ia tersenyum pada Akane. "Jangan tidur terlalu malam ya-"
Tiba-tiba, Akane menarik tangan Shiro. "Tunggu. Kau juga belum mengantuk kan?"
"Eh, ada apa?"
Shiro menjadi sedikit khawatir. Ia berpikir bahwa Akane menemukan sesuatu yang sangat penting di dunia Toram yang belum bisa ia bicarakan pada siapapun. Shiro duduk di samping Akane kembali, menunggu Akane berbicara.
"Jadi, apa-"
Akane menyenderkan kepalanya di bahu Shiro dan memejamkan matanya. "Biarkan begini."
Shiro langsung menyadari bahwa sesuatu yang Akane inginkan adalah waktu bersamanya. Ia baru ingat bahwa belakangan ini mereka berdua sama sekali tak memiliki waktu untuk dihabiskan berdua. Mereka sama-sama sibuk akibat tugas yang tak ada hentinya.
"Jadi ini hal pentingnya?" tanya Shiro.
"Jika ini tak penting bagimu, kau boleh pergi."
"Maaf-maaf, aku hanya bercanda. Sejak kapan kau jadi terang-terangan seperti ini?"
Akane membuka matanya kembali dan menatap langit-langit. "Entah, mungkin sejak kau menghilang. Sejak saat itu, aku jadi ingin mengurungmu di rumah agar tidak menghilang lagi."
"Mengerikan ..." Shiro menatap Akane dengan ketakutan.
Akane tersenyum. "Bercanda. Aku tidak akan mengekangmu, Shiro."
"Oh ya? Kenapa begitu?"
Akane kembali memejamkan matanya. "Karena aku percaya padamu."
Akane menguap sambil menutup mulutnya. Ia sudah mulai mengantuk dan lelah setelah bertugas seharian.
"Kau mengantuk?" tanya Shiro.
"Sepertinya begitu ..." Akane mengusap air matanya yang keluar akibat menguap.
"Bisa ke kamar sendiri atau mau ku gendong sampai ke kamar?"
Akane meletakkan penanda dan menutup buku yang sebelumnya baca. "Kau sudah tau jawabannya kan?"
"Tentu saja." Shiro langsung menggendong Akane di depannya seperti tuan putri.
Saat berjalan di koridor, Akane berbicara dengan Shiro. "Kau tahu Shiro, aku mulai terpikirkan sesuatu."
Shiro menjawab sambil fokus melihat arahnya berjalan. "Apa itu?"
"Aku berpikir, apakah teknologi dari dunia Toram ada yang bisa kita pakai."
Akane melipat tangannya. "Mereka memiliki banyak barang-barang aneh yang kita tidak pahami. Suatu saat nanti, saat kita sudah bisa memahami seluruh bahasanya, apakah kita bisa mereplikasi teknologinya juga?"
Shiro berpikir sebentar. "Kurasa hal itu mungkin saja, selama kita terus mempelajarinya."
Akane mengangguk. "Ya, aku juga yakin. Aku membayangkan terjadinya revolusi besar-besaran, setelah bahasa tersebut diterjemahkan."
"Itukah cita-citamu?"
"Mungkin bukan, hanya salah satu tujuan yang inginku capai."
"Hanya? Menciptakan sebuah revolusi itu bukan hal kecil loh."
Akane tersenyum. "Hal besar yang kuinginkan adalah terus bersamamu."
Shiro tertawa. "Hahaha, itu sih bukan hal besar. Tanpa kau inginkan aku juga selalu bersamamu."
Akane memalingkan pandangannya. "Katakan itu lagi setelah kau berhenti berada di dalam posisi yang berbahaya setiap bertugas."
"Hehe," Shiro tertawa kecil. Ia tau bahwa ia selalu mendapatkan tugas yang beresiko tinggi. Akan tetapi, ia juga tahu bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar dengan kekuatan yang ia miliki.
"Kau sendiri, apa cita-citamu? Sepertinya kau belum pernah membicarakanya." tanya Akane.
"Melihatmu mewujudkan cita-citamu," jawab Shiro sambil tersenyum.
Akane balik tersenyum sambil tertawa kecil. "Dasar penggoda."
Mereka akhirnya sampai di depan kamar Akane. Shiro membuka pintunya dan meletakkan Akane di kasur. Saat diletakkan di kasur, Akane menarik kerah baju Shiro dengan cepat dan membuatnya tertahan.
"Eh?" Shiro kebingungan dengan apa yang dilakukan Akane.
Tiba-tiba, Akane mencium pipi Shiro.Ia melepaskan genggamannya yang menahan kerah Shiro dan merebahkan dirinya di kasur.
Dengan wajah mengantuk dan senyuman manisnya, Akane berkata, "Sampai jumpa beberapa hari lagi, Shiro ..."
Ia berbalik posisi membelakangi Shiro dan memejamkan matanya, meninggalkan Shiro yang terkejut bukan main.
"Y-ya, sampai jumpa beberapa hari lagi!" Shiro segera keluar dari kamar.
Di depan kamar Akane, Shiro bersandar sambil memegang pipi kirinya. Ia tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. "A-akane? Kau kerasukan apa?"
Ia merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. "Ini... Gawat ..."
Shiro mendadak kehilangan segala kemampuan berpikirnya akibat terkejut. Ia baru bisa kembali berjalan setelah beberapa saat terdiam di depan kamar Akane.
Sementara itu di dalam kamar. Akane menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan menutupi wajahnya dengan guling. Ia meremas guling tersebut dengan sangat kuat. "Aaa ... Aku memang bodoh ..."
Ia membalikkan posisi tidurnya. "Kalau begini hanya aku sendiri yang malu ..."
Akane telah memaksakan dirinya untuk melakukan hal tersebut, dan kini ia menjadi kesulitan untuk tidur.
Keesokan paginya, Shiro menemui Ardent sebelum ia berangkat bertugas.
"Halo ..." Shiro masuk tanpa mengetuk pintu ruangan Ardent.
Ardent menengok kearah Shiro yang masuk tanpa memberitahu. "Shiro? Ada apa?"
Ardent meletakkan dokumen yang sedang ia baca. "Tidak biasanya kau kesini sendiri."
Shiro tertawa kecil dan berdiri di depan meja Ardent. "Haha, kurasa itu benar. Aku kesini karena ada sesuatu yang menurutku penting."
Ardent melipat tangannya, tertarik dengan ucapan Shiro. "Oh? Ceritakan padaku."
"Kau sudah hidup bersama para iblis cukup lama kan? Apakah kau paham bahasa mereka?"
Ardent menggelengkan kepalanya. "Sayang sekali, aku tidak mengetahui sama sekali bahasa mereka. Hanya pemimpin mereka yang pernah berbicara denganku, dan itupun menggunakan bahasa manusia biasa."
Shiro menghela nafas. "Hah ... Begitu ya ..."
"Begitulah. Sama seperti Kumine, aku tidak mengingat kejadian apapun saat otakku tercuci."
"Ah iya, Kumine juga mirip sepertimu."
Ardent memangku wajahnya di meja "Memangnya ada apa sampai harus memahami bahasa mereka?"
"Begini, semalam aku memperhatikan Akane membaca berbagai macam buku. Ia berbicara soal mempelajadi dunia mereka, dan menciptakan teknologi baru berdasarkan apa yang dipelajari. Singkatnya, kita bisa saja menciptakan perubahan yang signifikan jika mempelajari mereka."
Ardent terkejut. Ia tidak menduga bahwa Shiro lah yang akan membawakan ide tersbeut padanya. "Kau benar!"
Ia segera berdiri dan mengambil salah satu bukunya. "Kau ingat revolusi sihir saintifik kan?"
Shiro mengangguk. "Dimana sihir bisa bekerja bersama dengan sains?"
"Ya, itu! Hasilnya adalah berbagai alat yang sangat berguna dalam keseharian manusia. Mungkin jika kita memahami bahasa mereka, kita benar-benar bisa menciptakan revolusi baru yang jauh lebih hebat!"
Ardent memegang kedua bahu Shiro. "Terimakasih, Shiro!"
Shiro tertawa sambil mengangkat kedua tangannya. "Ahaha, kau harusnya berterimakasih pada Akane. Aku hanya menyampaikan idenya padamu secara langsung."
Ardent melepas pegangannya. "Kandidat murid terbaik memang sangat menjanjikan!"
Ia berjalan menuju jendela di belakang kursinya sambil menatap jendela di luar. "Semuanya butuh proses, dan aku yakin prosesnya akan cukup lama jika ditunggu. Tetapi, aku yakin ide Akane bukanlah khayalan belaka."
"Seberapa yakin papa dengan ide tersebut?"
Ardent duduk di kursinya dan tersenyum lebar. "Seratus persen."
Shiro kemudian berpamitan pada Ardent untuk pergi bertugas. Sementara itu, Slow Kill Party bersama dengan Saki juga sedang bersiap-siap untuk melakukan tugas penjelajah mereka.
Akane melamun diatas tembok gerbang utama. "Revolusi ya ..."
Ia tertawa dengan imajinasinya yang ia rasa terlalu jauh untuk digapai. "... Kurasa terlalu berat untukku melakukannya."
Tiba-tiba, seseorang bersandar pada tembok di sebelahnya. Orang itu adalah Kirito yang muncul dari sebuah bayangan. Secara refleks, Akane mundur dan mengeluarkan tongkat sihirnya. Akan tetapi, Kirito tidak melakukan gerakan apapun sehingga Akane ikut menahan serangannya.
Kirito membuka tudungnya, memperlihatkan wajahnya yang berambut hitam pendek. "Menurutku, itu bisa kau lakukan ..."
Kirito tidak terlihat agresif seperti sebelumnya. Penampilannya juga agal berubah, membuat Akane semakin tidak yakin apakah ia kawan atau lawan. Cara berbicaranya juga sangat santai, seperti ia sedang berbicara dengan seorang teman.
Akane tetap menodongkan tongkat sihir dengan energi yang sudah mengalir. "Jelaskan atau kuhabiskan?"
Kirito mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan bahwa ia tak bersenjata. "Aku bilang, kau bisa melakukan hal itu."
"Hal apa?"
"Revolusi."
"Jangan bercanda." Akane mengalirkan lebih banyak sihir pada tongkatnya.
"Aku serius. Meski lama, kalian pasti akan bisa melakukannya ..." Kirito masuk ke dalam bayangan secara perlahan. "... Aku yakin, sebentar lagi kau dan beberapa orang lain akan dipanggil olehnya."
Kirito menghilang total kedalam bayangan. Akane memberhentikan aliran energi sihir dan menghilangkan kembali tongkatnya. "Apa sih maunya?"
Tiba-tiba, terdengar suara Cherry yang memanggil. "Akaneee!"
Akane menengok ke belakang. Terlihat Cherry, Kurosaki, Reina, dan Saki yang berjalan ke arahnya. Ia segera berjalan balik menghampiri mereka.
"Apa yang terjadi Akane? Aku melihat sayapmu tadi keluar?" tanya Cherry.
"Heh." Akane tersenyum kecil. "Hanya kedatangan orang aneh."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ucap Kurosaki.
Reina mengangguk. "Ya, sebentar lagi giliran kita."
Cherry menunjuk ke arah tangga turun. "Mari kita selamatkan yang lain lagi!"
Mereka berempat menjawab dengan serentak sambil mengangkat tangannya. "Ayo!"
.
.
.
.
.
Volume 1 Fallen Orions Tales, tamat