Abigail membuka mulutnya dan mengambil gigitan roti panggang. Dia tidak ingat dia pernah memberinya makan, bahkan saat dia sedang sakit.
Dia tidak yakin apakah dia benar-benar menyukainya atau hanya untuk mempertahankan dia bersamanya.
Matanya bersinar dengan perhatian dan kasih sayang, yang dia tahu tidak palsu. Tetapi dia tidak dalam keadaan untuk sepenuhnya mempercayai dia. Oleh karena itu, dia kesulitan mempercayai apa yang dia lihat.
Pertarungan batinnya membuatnya sangat emosional, dan emosinya mengalir keluar dalam bentuk air mata.
Tenggorokannya sangat kencang sehingga sakit saat menelan.
"Air mata ini..." Dia menghapus air matanya. "Mereka membuatku cemas. Jangan meneteskan mereka saat aku bersamamu."
Abigail berpaling, senyum sinis di bibirnya. "Apakah itu berarti saya bisa menangis saat Anda tidak ada di sekitar?"
"Ini bukan maksud saya. Anda tahu itu."