Malam pukul 08.38
Di jalanan yang sepi, Fatimah dan suaminya, berangkat untuk pulang menjenguk ibu mertuanya, juga keponakan lainnya. Sudah lama tidak pergi kesana, begitulah batinnya.
Ketika melintasi jalan lurus yang melewati tumbuhan pohon karet dan sawah, hanya ditemani suara motor dan cahaya kendaraan. Ia pun memeluk erat suaminya untuk menepis dinginnya udara.
Namun tiba-tiba ....
"NGEOONG!!"
Suara seekor kucing yang berteriak melengking sangat keras. Tak jauh dari beberapa meter, motor yang dinaiki suami Fatimah pun, berhenti. Ia menengok kebelakang untuk memastikan.
"Apa kita menabrak kucing Bang?" tanya Fatimah.
Ia pun terkejut dan merinding di kegelapan atas apa yang dia lihat. Kucing yang tak jauh dari berhentinya kendaraan. Tengah berdiri di jalanan itu tanpa kepala.
Kucing itu pun berjalan mendekat perlahan mendatangi Fatimah.
"Ini tak seperti yang aku pikirkan, aku benar-benar takut," ucap Fatimah sembari memeluk erat suaminya.
"Sudahlah, ini bukan salahmu, kita juga tidak sengaja menabraknya," ucap suami Fatimah yang sering dia panggil juga Bang Daus.
Fatimah menatap kucing berwarna hitam kecoklatan itu dengan raut wajah sedih dan bersalah. Darah dan bulunya benar-benar menyatu pada kegelapan jalanan. Beberapa kali Fatimah berusaha menahan rasa takut dan ngeri yang merasuk di dalam benaknya. "Itu tadi pasti halusinasi ku saja," batinnya.
"Kita pinggirkan saja di tepi jalan, di hutan yang sepi seperti ini harusnya tidak ada kucing."
"Iya, tapi kok aneh ya Bang?" Fatimah sedikit ngeri membayangkan segala sesuatu di luar pikirannya.
"Mungkin cuma kebetulan aja ...." ucapnya sembari menghela napas. Ia mencoba untuk tetap berpikir positif.
Bang Daus pun mengecup dahi Fatimah dengan penuh kasih sayang. Fatimah pun akhirnya sedikit lega. Ia mulai melanjutkan perjalanan bersama suaminya dengan mengendarai sepeda motor.
Motor yang dinaikinya merupakan hasil kerja keras suaminya. Meski baru lunas kredit mereka mencoba membangun keluarga yang baik. Motor berwarna kuning itu pun kembali melesat, menerangi jalan-jalan yang gelap.
Di kiri-kanan semua dipenuhi dengan pepohonan karet dan sawah. Perkampungan itu masih terlihat jauh, terkadang hawa dingin begitu menusuk tubuh Fatimah yang sudah dari awal diselimuti jaket tebal.
Sayangnya, hawa dingin masih kalah kuat.
Tak jauh dari mereka melintas, ada sebuah jembatan yang harus dilewati. Bang Daus pun perlahan-lahan menjalankan sepeda motornya, Fatimah yang menahan rasa takut mencoba memeluk erat.
"Jangan khawatir bentar lagi sampai," ucap Bang Daus sembari fokus melewati jembatan.
"Gimana aku gak takut Bang, kalau jalan pintasnya serem kayak gini!" batin Fatimah.
Jembatan itupun bergoyang ke kanan dan ke kiri. Seakan angin meniup mereka di malam itu, tepat di bawah jembatan terdapat sungai yang mengalir deras, tak tahu apa batu-batu di bawah sana adalah kumpulan batu, atau justru lebih menyerupai mayat-mayat manusia yang bergelimpangan. Sekilas terlihat bayangan hitam bergerak tak jauh dari sana, apakah itu tupai? Bukan....
Warna air yang menghitam tak tampak di malam hari. Kejernihan air pun rasanya tak di dapatkan, keindahan kampung halaman hilang dalam satu momen itu.
Fatimah menjerit kecil, membuat Daus berkali-kali mencoba tenang. Jujur ini juga merupakan pertama kali ia melewati jalan pintas ini.
Daus ingat bahwa teman kampungnya pernah bilang, "Jalan pintas di kampung sebelah lebih baik jangan dilewati malam hari."
"Loh emangnya kenapa? Bukannya bagus kalau ada jalan pintas?"
"Ya soalnya ada rumor, kalau di jalan itu banyak terjadi kasus kematian tidak masuk akal!"
"Ah kamu ini ada-ada aja, mana ada jaman sekarang yang begituan ...."
Kenangan itu terlintas dalam benaknya. Tapi apa boleh buat, waktu yang terbatas diikuti dengan adanya perbaikan jalan saat itu, membuatnya tak punya pilihan lain untuk melintasi jalan ini. Sejak kecil, Daus pun sudah sering mendengar berbagai cerita seram di dalamnya.
Namun itu tak membuatnya takut! Dia akan melindungi istri yang sangat dia cintai, apapun yang terjadi.
Dia menghela napas lega setelah melewati jembatan goyang itu. Beruntung jembatan tua itu masih sangat kuat menahan laju kendaraan mereka. Ia pun berusaha untuk tenang dan berencana untuk istirahat sebentar sebelum sampai ke perkampungan.
"Yaudah kita berhenti aja dulu, kebetulan ada warung di depan sana."
Daus pun menghentikan laju kendaraannya dan turun dari motor. Begitu pula dengan Fatimah, di tempat yang sunyi seperti ini rasanya sangat tak masuk akal, ada warung kecil sesudah melintasi jembatan. Namun bagi suaminya itu merupakan hal normal, apalagi perkampungan sudah sangat dekat.
Mereka melangkah mendekati warung depan dengan cahaya lampu yang redup. Berkali-kali Daus memanggil, namun tak terdengar jawaban dari si pemilik warung.
"Apakah tidak ada orang? Pergi ke mana dia?" pikirnya.
"Gimana Bang?" tanya Fatimah, "ada gak? Aku udah pingin cepet pulang nih ...."
"Sabar ya, kita minum teh atau kopi hangat dulu, mesin motor kita udah panas banget, takutnya mogok," jelas Daus pada istrinya. "Kita istirahat aja, sini kamu duduk disini ...."
Daus mempersilakan istrinya duduk di warung itu sembari menunggu pemilik warung. "Ini mah lama banget!" ucap Fatimah jengkel.
"Ya sabar atuh, masa kamu gak makan dulu, nanti kalau kita sakit disana, takutnya malah repotin Ibu."
Fatimah pun mengangguk setuju.
"Bang emang sebelumnya sudah pernah lewat sini?" tanya Fatimah penasaran.
"Ya sudah dong, toh ini cuma satu jalur aja, kalau bercabang mah, Abang lupa he,he,he...."
"Dasar Abang!" ucap Fatimah sembari mencubit lengan Daus.
Di tengah keramaian dan kesunyian malam itu, terdengar seorang nenek-nenek berjalan ke arah warung. Ia membawa beberapa rantang kosong ditangannya.
Mereka pun segera menghentikan candaan malam itu, dan bermaksud mengutarakan niat mereka.
"Maaf Nek, ini kami mau numpang istirahat sembari pesan teh hangat aja dua," ucap Daus kepada Nenek itu.
Terlihat wajah yang keriput itu bergerak membentuk senyuman. "Iya, gak apa Nak, pasti sudah lama nunggu ya? Nenek panasin air dulu ya...." suaranya begitu lirih dan parau.
Mungkin juga ia tengah sakit, di tengah kesunyian itu juga, Fatimah membuka layar handphone nya. Di terkejut ketika mendapatkan pesan dari sahabatnya. Sebelum membalas, sinyal mereka telah hilang.
"Apa yang ditulis?" Fatimah perlahan mengklik aplikasi pesan. Hanya ada pesan dengan kalimat kosong.
"Ah mungkin dia gabut aja," gumam Fatimah.
Daus pun mendekati dapur dan meninggalkan sejenak istrinya yang tengah sibuk menatap layar handphone. Sesekali dia berusaha untuk meredakan sunyi di malam itu.
"Nek, rumahnya di mana?"
"Rumah Nenek, disini saja ko," balasnya dengan pelan.
"Oh, Nenek gak takut tinggal di sini? Ini jujur saya aja sampai merinding loh," jelas Daus sembari tertawa kecil.
Nenek itupun tak berkata apa-apa lagi, ia pun menyeduhkan teh itu dan meletakkannya di atas meja, "Terimakasih banyak Nek," ucap Fatimah.
"Maaf Nek saya repotin," ucap Daus yang hanya dibalas senyum olehnya.
Iapun berjalan masuk ke warung dan hanya duduk termenung. Daus yang merasa canggung kepada Nenek itupun hanya bisa kembali duduk di samping Fatimah yang sudah meminum teh hangat diatas meja tua.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Fatimah.
"Iya gak apa-apa, abis ini kita lanjut perjalanan lagi."
Daus pun segera mengambil gelas berisi teh hangat itu dan langsung meminumnya. Ia tak mau berlama-lama lagi untuk melanjutkan perjalanan. Apalagi ini sudah hampir tengah malam. Keluarga di rumah pasti sudah sangat khawatir dan menantikan kedatangan mereka.
"Hati-hati ya Nak, jangan lupa baca doa kalau mau pulang ...." ucap Nenek itu tiba-tiba sebelum kami berangkat pergi.
"Iya Nek, terima kasih banyak." Fatimah pun segera menaiki motor yang sudah dikendarai oleh Daus.
Dari jauh di kegelapan malam, samar-samar Fatimah melihat bayangan mahluk besar tak jauh dari warung itu. Iapun berusaha untuk berpikir positif, mungkin malam ini ia hanya kurang istirahat.