Malam yang dingin menyelimuti suasana jam dua belas saat itu. Samar-samar terlihat seorang pengendara motor di depan Daus. Hanya cahaya lampu motor yang menyorok ke arah jalanan kosong. Kanan kiri hanya semak belukar yang seakan siap menerkam mereka di dalam kegelapan. Udara dingin kembali membalas napas mereka yang sedikit lega, dengan adanya pengendara motor lain di belakang mereka, pengendara motor itu melaju tepat didepan kendaraan Daus. "Untung ada orang, berarti gak nyasar. " batinnya.
Bulan seakan ikut mengerti, membelai awan-awan dan memintanya segera tidur. Kegelapan masih menemani perjalanan mereka yang diiringi lagu happy day di telinga Fatimah. Untuk mengurangi rasa takut dan gemetar pada tubuhnya. "Bang, pengendara itu kok tiba-tiba berhenti ya? " ucap Fatimah.
"Mungkin motornya mogok, " jawab Daus.
Namun ketika Daus menghentikan motornya,
"Bang kenapa motornya?" tanya Daus.
pengendara motor berjaket itu masih diam, tak bergerak dan tanpa suara. Fatimah pun ikut bertanya, "Mau kemana Mas? Udah sering lewat sini ya? "
Pria itu masih terdiam, Daus pun berinisiatif memegang bahunya. Hembusan angin malam menyelimuti tangannya. Namun tiba-tiba tubuh pria itu bergetar hebat. Seketika itu Daus dan Fatimah kaget. Motor mereka melesat tak tentu arah...
Mereka sudah mendapati diri mereka dikejar oleh sosok psngendara motor itu, "Gila, gila, gila! " ucap Daus. Fatimah pun tak henti-hentinya membaca doa. Ia tau ketika tubuh itu bergetar, seketika helm terlepas dan terlempar, mereka mendapati leher seorang pria yang sudah putus kepalanya.
"Aduh, kepalanya Bang! " rintih Fatimah.
Pengendara motor itu masih mengejar Fatimah dan suaminya. Tiba-tiba saja motor mereka hilang kendali dan nyaris menabrak sebuah pohon. Mereka selamat! Ketika dirasa pengendara motor itu sudah jauh Daus memperlambat laju motornya. ia masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. "Bang, abang gak apa-apa? " tanya Fatimah.
"Iya, Abang gak apa-apa. "
Daus menoleh jauh menerawang kegelapan dibelakang sana. Tidak ada sosok apapun, ia pun bernapas lega. Tapi ketika mereka melihat kebawah ban sepeda motor.
Sepenggal kepala itu masih ada di sana. Hanya kepala seorang pria yang menatap mereka dengan tatapan melotot tajam. Teriakan keras keluar dari mulut mereka. Kegelapan itu kini menyisakan potongan badan di setiap jalan.
****
Jauh di jendela rumah sakit, terlihat seorang wanita remaja dengan rambut pendek lurusnya sedang menatap keluar jendela. Ia tak tahu apa yang terjadi, pada dirinya. Kini ia terbangun dan hidup seperti lilin yang akan mati tertiup angin.
tumor terus mengerogoti tubuhnya yang kurus. Terdengar suara pintu diketuk beberapa kali. Seorang ibu kost muncul dihadapannya. "Bu Retno? " ucapnya.
Bu Retno pun tersenyum, "Sudah makan Nak? " tanyanya.
wanita itu menggeleng pelan, ia hanya tersenyum menatap Bu Retno. Ia adalah ibu kostnya dulu selagi sekolah menengah pertama. Orang-orang sering menganggap Bu Retno sebagai ibu kandung mereka, selain baik beliau juga ramah.
Bahkan ditengah deritanya saat ini hanya Bu Retno yang mengerti dirinya. "Dimakan dulu buburnya, " ucap Bu Retno sembari menyodorkan semangkuk bubur dan segelas air putih.
"Terima kasih Bu, " ucap Cantika, gadis muda yang tengah duduk di ranjang rumah sakit.
Cantika Wulandari, nama yang diberikan orang tua cantika terakhir kali. Kini ia hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibunya. Hanya Bu Retno yang dia anggap seperti ibu kandungnya sendiri.
****
"Aku gak mau tau, pokoknya kau bunuh anak indigo itu! " ucap seorang wanita menuding seorang anak yang tanpa dosa itu.
"Maafkan aku Bu! " ucap Cantika terisak, "Cantika tidak gila! " ia berusaha mengenggam tangan ibunya.
"Lepaskan ibu! Kau anak terkutuk," umpatnya, "anak pembawa sial! "
Cantika terdorong menjauh. Ayahnya hanya terdiam tanpa suara dan aroma tubuh yang dikelilingi aroma alkohol yang sangat menyengat.
"Itukan anakmu! Dia jadi begini itu gara-gara kamu gak becus jadi seorang ibu! " ucap Ayah Cantika dengan terus menyalahkan ibunya.
Cantika yang menangis membayangkan indahnya berkeluarga, kini harus pupus. Kenapa orang tuanya sangat membencinya?
"Sudahlah Cantika, kamu tidak perlu sedih... " telinga Cantika mendengar bunyi yang begitu lembut dalam batinnya.
BRAK!
Ayahnya yang membanting meja membuatnya patah menjadi dua. Cermin yang berserakan telah melukai Cantika dengan usapan perihnya sakit, begitulah yang dirasakan.
"Dia cuma anak buangan!" maki ayahnya.
"Ini semua salah mu Pak! kamu yang memungut anak ini! " rintih ibu Cantika.
"Seandainya kau tidak menolong wanita terkutuk itu! Kita tidak akan kena sial Pak! " tambahnya.
Darah Cantika mengalir deras, tanpa sadar ia telah menyayat tangannya sendiri. Sakit dan perih itulah yang dia pikirkan. Setiap hari ia berusaha untuk mendapatkan ketenangan, namun hanya percekcokan yang dia dapatkan.
"Ibu berhentilah berdebat.... " gumamnya.
"BERHENTILAH!!"
Samar ingatan Cantika kembali pada masa kecilnya. Ia tak begitu ingat apa yang terjadi, namun yang ia tahu mereka bukanlah orang tua kandungnya.
Darah itu menetes lagi ke lantai, menyisakan bercak merah di bajunya. Mekar seperti bunga mawar, pekat dan gelap seperti lampu kamarnya yang redup. Hanya berbekal lilin ia menghembuskan napas, mahluk berupa arwah seorang pria datang padanya.
Dengan gerakan patah-patah dari tragedi kecelakaan kereta api, semakin mendekat padanya. Cantika sedikit mundur.... Ia sendiri pun tak percaya apa yang dia lihat. Kemampuan supranatural yang dia miliki adalah bawaannya dari lahir. Sehingga akan sangat menganggu di masa saat ia sekolah dasar. Kematian mendekat padanya.
"AAAAAA!!!" teriakan histeris berkerumun di rumah sakit, sesosok mayat dengan beberapa potongan tubuh tampak berceceran. beberapa orang berjalan mundur menjauhi mayat itu.
"Apa yang terjadi? " tanya Bu Retno yang keluar dengan tergopoh-gopoh.
"Ada mayat di rumah sakit! " ucap salah satu dari mereka.
"Mayat mutilasi yang tidak tahu dari mana asalnya, " ucap mereka.
Malam di rumah sakit itu hanya diseliputi cahaya lilin. Mereka mengalami listrik mati yang cukup lama. Suasana yang mencekam itu datang seiring berjalannya waktu. Bu Retno menghela napas panjang.
"Kejadian ini semestinya tidak terjadi lagi, " ucapnya.
"Emang ada kejadian apa lagi selain ini? " tanya Hayan yang ikut menyaksikan kejadian itu.
Namun Bu Retno tetap diam, tanpa suara dan hanya menggelengkan kepala. Dia seakan tahu rahasia di balik semua itu. tapi sekali lagi, Bu Retno hanya menatap Hayan dengan serius, lalu bergantian menatap orang-orang sekitar. Pihak rumah sakit pun akhirnya datang untuk menenangkan suasana. Bu Retno tanpa menjawab pertanyaan itu kembali masuk ke ruangan kamar Cantika.
di depan nya sudah tampak sesosok bayangan pria berjalan mendekatinya.
"Cantika? " panggil Bu Retno.
tak ada jawaban. Bu Retno pun menutup pintu dan berjalan pergi meninggalkan rasa takut yang masih menggebu di dalam hatinya. Ketika ia menengok ke belakang, bayangan pria itu masih membututinya.
****
Pesan penulis : Maaf atas keterlambatan update untuk bab 4 retakan di jalur undangan, dikarenakan penulis sedang mengalami kerusakan HP. Oleh karenanya penulis harus menulis kembali dari awal. Mohon dukungan dan komentar terbaiknya. Terimakasih ☺