Pada tahun 785 M, terjadi perang antara dua klan besar, yaitu Klan Shimazu dan Klan Yamato, di benua yang disebut "Kamakura". Kedua klan ini berusaha untuk menguasai benua tersebut dan perang ini dikenal sebagai "Perang Kamakura". Diperkirakan korban jiwa dalam perang ini mencapai 40,000 pasukan. Namun, sebelum konflik dimulai, tepatnya pada tahun 780 M, seorang samurai yang melayani Klan Shimazu mencoba untuk menghentikan perang tersebut, sayangnya upayanya tidak berhasil.
Pada tahun 785 M, di Provinsi Fukushima.
Suara teriakan bergema di tengah hujan badai yang dahsyat. Kedua klan ini terus saling membunuh tanpa henti. Namun, di tengah kekacauan tersebut, terdapat seorang samurai yang menunduk dan terdiam. Di tengah hujan yang terus turun, samurai itu merenungkan upayanya yang tak berhasil untuk menghentikan pertumpahan darah ini. Hatinya dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah. Ia tahu bahwa banyak nyawa yang melayang sia-sia dalam konflik ini, dan perang semakin dalam menelan benua Kamakura.
Di saat hening melanda, penuh dengan rasa putus asa, tiba-tiba terdengar gemuruh langkah berlari yang mendekat dengan kecepatan kilat. Sorakan menggema, seiring dengan hembusan angin, dan tebasan pedang berbahaya menuju kepala sang samurai. Dengan gerakan yang lincah, samurai tersebut dengan cekatan menghindari serangan mematikan itu, bangkit dari keheningan, dan dengan cepat melangkah mundur. Mata memandang tajam, mempersiapkan diri untuk duel hidup dan mati.
Dengan gerakan cepat, katana terhunus dari sarungnya, siap untuk merasuki irama pertempuran. Dalam kuda-kuda yang kuat, dia meluncurkan serangan. Sang samurai berani maju, senjatanya memotong angin dalam gerakan horizontal yang tak terduga, namun serangannya tertahan oleh tameng pelindung lawannya. Tanpa ragu, sang samurai mundur sejenak, memperkirakan langkah selanjutnya.
Namun sang samurai yang terkena serangan tak terpukul diam. Dengan pergerakan tubuh yang lincah, ia maju dengan sedikit miring, tangannya seolah meraih tanah. Kini trik kuno itu terungkap. Hujan yang deras telah merubah medan menjadi lumpur lembut, dan dengan cepat tanah terlempar ke arah sang samurai. Dalam keadaan becek, samurai itu kesulitan menghindar, dan serangan tanah itu mengenai separuh wajahnya. Namun dia tak menyerah, masih bertahan dengan kuda-kuda yang kokoh.
Namun musuhnya takkan menyia-nyiakan peluang. Dengan keberanian, serangan dilancarkan ke arah titik buta sang samurai. Dalam sekejap, pedang terayun, namun naluri alaminya dan keberuntungan membimbingnya. Serangan berbahaya itu berhasil dihadang, dan tanpa ragu sang samurai segera melancarkan balasan. Dengan tebasan yang cepat, kekuatannya membelah angin dan hujan dengan kecepatan yang tak terhentikan. Tiada yang mampu meredamnya dengan mudah. Menciptakan simfoni keberanian di tengah badai hujan dan darah.
Sekali serangan, sekali tebasan! Dengan hantaman yang kuat, kepala lawan terlepas dari tubuhnya dan terpental sejauh beberapa meter. Tubuh yang terpisah itu mengakibatkan semburat darah segar memercik ke sekitarnya, menghiasi sekitar dengan darah mengerikan.
Di kesunyian yang menyelimuti, tiada sukacita atas kemenangan yang diraih. Samurai itu malah tenggelam dalam gelombang stres dan kegilaan. Raungan keputusasaan terdengar di setiap penjuru, darah menjalar tak terkendali, dengan potongan tubuh tercerai berai. Semua itu hanya semakin menjeratnya dalam belenggu penderitaan yang tak terperi.
Dalam kehampaan, suara lirih terucap, "Aku gagal... Aku gagal... Aku, Inochi Kaito. Telah menyia-nyiakan segalanya..."
Samurai itu perlahan menggenggam erat wakizashi miliknya, tubuhnya merunduk tanpa harapan.
Kaito bergumam dengan lirih, "Tolong... Maafkan aku. Aku telah mengecewakan, sahabatku. Bukan aku yang layak disebut samurai. Aku hanyalah pungguk yang tak berdaya, hancur tak bersisa... Yabureta Mono."