Chereads / Samurai Of Shimazu / Chapter 2 - Semuanya Terulang [2]

Chapter 2 - Semuanya Terulang [2]

Tahun 775 M.

Dengan nafas tersengal-sengal, Kaito terbangun, wajahnya mencerminkan kekagetan yang tak terhingga. "Apa itu? Huft... Huft... Apakah itu hanya mimpi? Jika memang itu mimpi, ini adalah mimpi yang paling mengerikan yang pernah aku alami."

Tiba-tiba, panggilan dari seseorang memecah keheningan. Suara itu berasal dari sahabatnya, Fuun Takeda. "Hei, Kaito! Apa yang terjadi? Kau terlihat pucat sekali. Apakah kau bermimpi tentang NTR atau apa? Hahaha."

Dengan suara yang bergetar, Kaito membalas dengan nada gemetar, "Aku bahkan belum punya teman wanita, apalagi kekasih. Bodoh!"

Takeda merespons dengan santai, tetapi ekspresinya memperlihatkan ketidakpedulian, "Relaks bro, kalau kita menang dalam perang, reputasi kita pasti akan melesat. Urusan dengan wanita gampang. Siapa tahu kita naik pangkat atau bahkan diangkat menjadi pelayan kesayangan Daimyo kita."

Tiba-tiba, bayangan mimpi mengerikan kembali melanda Kaito, dan wajahnya terpancar kecemasan. "Perang? Takeda, kapan perang akan meletus?"

Takeda terkejut, agak bingung dengan reaksi Kaito. Ia menjawab dengan sedikit serius, "Aku tidak tahu. Lagipula, belum tentu kita akan terlibat dalam perang."

Namun Kaito tidak dapat melepaskan kekhawatirannya. "Takeda, terhadap klan mana kita memiliki perselisihan?"

Takeda semakin bingung oleh pertanyaan Kaito, "Apa kau demam? Atau kau mabuk? Sudah jelas kita memiliki perselisihan dengan Klan Yamoto."

Ketika kata-kata Takeda mencapai telinganya, sensasi dingin merambat di seluruh tubuh Kaito, dan jantungnya berdegup tak terkendali. "(Tenang, Kaito. Itu pasti hanya mimpi. Mengapa tiba-tiba aku mengajukan pertanyaan ini? Aku sudah seharusnya tahu bahwa kita memiliki konflik dengan Klan Yamoto.)"

Takeda nyaris ingin menepuk pundak Kaito untuk menenangkannya, tetapi sebelum tangannya menyentuh, Kaito tiba-tiba teringat dari mimpi mengerikannya, dia jadi teringat tebasan dari lawannya yang ada di dalam mimpi. Dengan refleks, ia menyingkirkan tangan Takeda. Takeda terkejut oleh tanggapan tersebut, "Kau kenapa?! Kenapa kau terlihat cemas dan panik? Kau takut perang? Apa masalahmu?"

Kata-kata Takeda menusuk Kaito, memicu api kemarahan dalam dirinya. "Apa yang kau tahu, bodoh!"

Takeda merasa kesal oleh balasan tajam itu, "Kau ini apa sih? Kau bajingan! Kau tak jelas! Apa masalahmu, pengecut! Kau punya masalah apa?"

Mendengar kata-kata Takeda, Kaito mendadak meluapkan emosi. "Cukup!" kata Kaito dengan keras. "Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan!"

Takeda merasa kesal atas reaksi Kaito. Ia meninggalkan Kaito dengan ekspresi marah dan langkah yang cepat, meninggalkan Kaito sendirian dalam keramaian emosi yang bergolak.

Dalam kebingungannya, Kaito berusaha menenangkan gelisah yang merayap di dalam hatinya. Dengan tatapan tulus, ia membiarkan air sungai menjadi cermin yang membawanya berkontemplasi, "(Aku perlu mereda. Mungkin ini hanya skenario dalam tidur. Tapi, entah kalau bukan sekadar mimpi. Dan jika ini adalah pertanda? Tetapi, apa yang bisa aku perbuat? Sebatas samurai tataran rendah aku ini)." Rasanya seperti beban berat yang menekan, menghadapinya dengan rasa takut yang memuncak. Akhirnya, ia memutuskan untuk istirahat, mendekap pohon di tepi sungai, berusaha mencerna kejadian misterius ini. Saat ia terpesona oleh lingkungan pepohonan, waktu pun melaju tanpa pengertian. Sinar senja memberi nuansa hangat yang lembut, ditiup angin sepoi-sepoi yang seolah meniupkan kantuk padanya.

Namun, Kaito tidak membiarkan dirinya terlalu larut dalam kenyamanan. "Aku tak bisa tidur di sini. Apa jadinya jika dikira sebagai Ronin?" gumamnya dalam usaha mengingatkan dirinya sendiri. Meski mengantuk merayap, tekadnya tetap kuat. Kaito bangkit, merentangkan tubuhnya, memutuskan bahwa pulang adalah satu-satunya pilihan yang tepat.

Namun, kenyataan hidup Kaito tidak seperti samurai kebanyakan. Ia tidak menetap di Buke Yashiki, tempat berkumpulnya para samurai. Buke Yashiki adalah tempat mewah berhiaskan kemegahan, namun Kaito memilih jalan yang berbeda. Di sini, ia memiliki gubuk kecil yang dibangun dengan tangannya sendiri. Tempat yang sederhana, namun ia menyebutnya rumah. Pilihan ini sungguh mengejutkan jika mengingat keluarganya, Inochi, adalah garis samurai yang sangat dihormati. Ayah, kakek, hingga kakek buyutnya, semua menorehkan jejak sebagai pejuang samurai yang gagah berani. Meskipun begitu, Kaito menolak warisan mereka, karena ia punya janji pribadi untuk mengukir jejaknya sendiri. Keputusan ini, lahir dari konflik yang menghantuinya dengan keluarganya.