Chereads / AL HIKAM / Chapter 74 - Nikmat Lahir dan Nikmat Batin Menurut Ilmu Tasawuf

Chapter 74 - Nikmat Lahir dan Nikmat Batin Menurut Ilmu Tasawuf

Pertalian antara lahir dan batin dalam melaksanakan ibadat adalah sangat dikehendaki demi untuk kesempurnaan ibadat itu. 

Dengan demikian kita dapat mengukur bagaimana dan sampai di mana kita telah melaksanakan 'ubudiyah kita kepada Allah s.w.t. 

Untuk menggambarkan lebih lanjut bagaimana kesempurnaan nikmat lahir dan nikmat batin mengenai hubungan kita dengan Allah s.w.t., yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menyimpulkan hal keadaan ini dalam Kalam Hikmahnya yang ke-74, sebagai berikut:

"Manakala Tuhan memberikan rezeki taat kepada anda dan memberikan rezeki berhajat kepada Allah terkaya dari taat, maka ketahuilah bahwasanya Allah sungguh telah menyempurnakan atas anda nikmat-nikmatNya yang lahir dan yang batin."

Pengertian Kalam Hikmah ini penjelasannya sebagai berikut:

I. Ajaran Islam pada hakikatnya menghendaki agar kita melaksanakan perintah Allah s.w.t. lahir dan batin. Lahir maksudnya melaksanakan perintah-perintah itu menurut tuntunan syariat dan menurut gambaran yang dimaksudkan untuk dikerjakan oleh anggota-anggota tubuh lahiriah seperti ibadat sembahyang terlihat pada takbirnya, berdirinya, rukuknya, sujudnya, salamnya, dan yang lain-lain seperti rukun-rukun qauli. Sedangkan ketaatan yang bersifat batin di samping niat di dalam hati pada permulaan mengerjakan perintah Allah atau anjuranNya adalah ikhlas dan bergantung hati dengan penghayatan perasaan yang sempurna dalam batin kita kepada Allah s.w.t. 

Artinya hati kita pada waktu mengerjakan ibadat dan amal itu berniat semata-mata karena Allah, karena perintahNya, karena anjuranNya, bahkan karena kesyukuran kita kepadaNya untuk mengharapkan keridhaanNya, mudah-mudahan kita dapat lebih dekat kepadaNya. Pada waktu itu tidak kelihatan selain Allah, yang terlihat oleh hati kita, perasaan kita, dan keyakinan kita hanyalah kepada Allah s.w.t. Sebab kita tidak beramal karena selain Allah, tetapi adalah karena Allah. Tidak menuntut sesuatu selain Allah, tetapi yang kita maksud dan yang kita tuju adalah Allah s.w.t. Selain Allah hilang dalam penilaian keyakinan, meskipun pada ibadat kita dan pada taat kita. Kita tidak berpegang kepada ibadat dan taat untuk sampai kepada maksud dan tujuan, yakni dekat dengan Allah s.w.t. bukan berarti kita tidak beribadat dan tidak taat, bahkan kebalikannya, kita wajib taat dalam arti yang luas dan kita harus mengerjakan ibadat kita dengan yakin dan sungguh-sungguh, bahkan beribadat yang banyak. Tetapi sekali-kali janganlah berpegang kepada taat dan ibadat, bahkan berpeganglah kepada Allah s.w.t. Sebab Dialah pokok utama atas segala-galanya, baik urusan dunia maupun urusan akhirat.

Jika demikian keadaan beramal kita, maka semua amal yang kita kerjakan adalah ibadat, dan berpahala di sisi Allah s.w.t. Itulah yang dikehendaki dengan nikmat lahir dan nikmat batin. Sebab pengertian nikmat pada hakikatnya ialah "Sesuatu yang menenangkan, menenteramkan atau menghibur dunia kita di samping mendekatkan kita pula kepada Allah s.w.t."

II. Berbicara mengenai bagaimana kita mendapatkan kesempurnaan nikmat lahir dan nikmat batin seperti tersebut di atas, tentu kita dapat memahaminya apabila kita dituntun oleh Allah dan diberikan kurnia olehNya dengan taat kepadaNya dan terkaya dari taat itu sendiri, yakni tidak menggantungkan kepada taat dan atau karena hati dan keimanan kita telah bergantung sedemikian rupa kepada Allah s.w.t.

Tetapi yang menjadi problema bagi kita ialah kita melihat pada umumnya, di mana-mana taat kepada Allah itu seolah-olah sekedar mematuhi perintah-perintahNya secara lahir saja. Yakni jika sembahyang asal sembahyang saja, kurang memperhatikan khusyuk hati pada hakikat yang sedang kita kerjakan. 

Demikian pula pada ibadat-ibadat yang lain. Kenapa demikian? Masalahnya tidak lain ialah kita harus menolak segala sesuatu yang mengganggu hati kita dalam beramal dan beribadat. Kita harus mengetahui sebab-sebab gangguan itu; dan sebab-sebabnya menurut Imam Ghazali dan juga ulama-ulama tasawuf lainnya sebagai berikut: "Adakala dapat dilihat oleh pancaindera atau adakala sebab-sebab itu bersifat batin. Matahatilah yang dapat melihatnya."

Sebab-sebab lahiriah yang dapat dilihat pancaindera di antaranya, pendengaran yang masuk ke dalam telinga boleh mengganggu ketekunan hati dan khusyuknya dalam beramal dan beribadat. Demikian pula penglihatan yang terlihat atau dilihat oleh mata, juga dapat mempengaruhi hati sehingga menimbulkan pada fikiran dan akibatnya mengganggu kepada kemurnian amal ibadat.

Yang demikian baru sebagian contoh gangguan-gangguan lahiriah yang dapat membawa kekeruhan dalam hati kita. Untuk itu, tentulah kita akan mencari ubatnya supaya gangguan yang demikian dapat diatasi dan hilang.

Mengenai sebagian ubat-ubatnya, Imam Ghazali dalam Kitabnya Ihya' Ulumuddin juz pertama, hal 164-165 berpendapat: "Supaya kita dalam beribadat, seperti sembahyang, memejamkan mata, jika membuka mata itu mengganggu hati pada khusyuk sembahyang. Atau kita sembahyang di tempat yang gelap di mana dengannya kita tidak melihat sesuatu yang mengganggu hati. Atau kita sembahyang di mana tidak ada di hadapan kita sesuatu yang mengganggu hati dalam mengerjakannya, bahkan kalau boleh kita sembahyang dekat dengan dinding, sehingga penglihatan kita tidak banyak melihat segala sesuatu. Demikianlah seterusnya, seperti di tempat itu jangan ada gambar-gambar, lukisan-lukisan, meskipun pada tikar sembahyang kita sendiri. Jadi jika tempat sembahyang kita kecil, sekedar muat buat sembahyang saja dan gelap pula, adalah lebih mengumpulkan dan menyatukan arah perhatian dalam ibadat kepada apa yang sedang kita kerjakan. Tetapi jika tidak demikian, misalnya kita sembahyang di masjid yang luas, sebaiknya mata kita hanya tertuju kepada tempat sujud saja. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan kalau boleh jangan sampai kita tahu siapa orang yang di kanan-kiri kita. Justeru itulah Ibnu Umar r.a. apabila bersembahyang, di tempat sembahyangnya tidak ada Al-Quran maupun pedang, bahkan kalau ada tulisan di tempat sembahyang semuanya dipindahkan dan beliau menghapus tulisan itu."

Inilah sebab-sebab lahiriah sebagai contoh seperti yang digambarkan oleh beliau.

Jika sebab-sebab lahiriah di atas yang mengganggu kekhusyukan hati sudah tidak ada lagi, tetapi hati kita masih belum berarah juga pada arah yang satu, yaitu kepada Allah s.w.t., maka tentu ada gangguan-gangguan yang berasal dari sebab-sebab yang tidak terlihat oleh pancaindera, sebab-sebab itu tersimpan di dalam hati. 

Sebab-sebab yang tersembunyi di dalam hati ini lebih sulit daripada sebab-sebab lahiriah. Bagaimanakah gambarannya? Imam Ghazali juga telah menggambarkan, bahwa ha! itu disebabkan banyak cabang pada keduniaan yang telah tumbuh dalam hati seseorang. Cabang-cabang yang berpaut dengan keduniaan, yang beraneka ragam itu bukan satu. Itulah yang mempengaruhi sehingga hati kita terbang dari satu sudut kepada sudut yang lain dan dari satu arah kepada arah yang lain. Meskipun mata dipejamkan, tetapi masalahnya bukan kepada penglihatan mata, masalahnya adalah cabangcabang dunia yang telah mengikat hati manusia. Apa yang telah masuk dalam hati sebelum mengerjakan ibadat akan mengganggu hati, dan tidak ada lain jalan bagi kita selain menolak semuanya itu dari hati kita dengan paksaan dan dengan kekerasan agar hati kita sejalan dengan sembahyang; lidah mengucapkan, hati memahami dan merasakan, sedangkan anggota tubuh mengikuti dengan perbuatan yang tekun beserta penghayatan yang serius dan sempurna. 

Justeru itulah, jika ibadat itu sembahyang hendaklah kita bersiapsiap sebelum sembahyang dengan ingatan-ingatan dan perasaan yang membuahkan bahwa kita akan berhadapan dengan Allah s.w.t. Akan berdialog dengan Tuhan, akan menyembahNya dengan lahir dan batin. Maka kosongkanlah hati kita sebelum sembahyang dari halhal yang dapat mengganggu hati kita dalam mengerjakannya. Inilah yang menyebabkan Rasulullah s.a.w. dalam Hadis riwayat Ibnu Abbas menyebutkan bahwa sebelum turnn wahyu yang mengharamkan mas, beliau telah memakai cincin mas di tangannya. Beliau berkhutbah memakai cincin tersebut dan juga membawa cincin tersebut dalam sembahyang, tetapi akhirnya beliau lemparkan cincin mas itu dan beliau berkata: "Cincin ini menggangguku, karena aku melihat kepadanya dan membawa penglihatan pula kepada kamu sekalian."

Dalam Hadis yang lain, yakni riwayat Ibnu Nadhar dengan segala sanad-sanad yang sahih, bahwa Rasulullah s.a. w. menyuruh kepada salah seorang sahabatnya menggantikan tali sandalnya dengan tali yang baru. Setelah diganti rnpanya Rasulullah memperhatikan tali sandalnya yang baru itu dalam sembahyang. Setelah sembahyang beliau perintahkan supaya tali sandal yang barn itu dibuka dan dikembalikan lagi sandal itu kepada tali yang lama.

Ini menunjukkan pada kita, demikianlah Rasulullah s.a.w. bertindak pada kepentingan diri sendiri demi untuk mengarahkan hati dengan pengarahan yang penuh dan sempurna kepada ibadat yang dikerjakan karena Allah s.w.t.

III. Apabila telah kita fahami bagaimana tinggi nilainya nikmat lahir dan batin dalam mengerjakan taat kepada Allah s.w.t. maka yang demikian itulah yang berbekas pada amal dan pada ibadat yang dikerjakan. Akibatnya tidak ada bosan, tidak ada capek dan letih, apabila hati kita dihadapkan kepada taat. 

Itulah sebabnya kita melihat dalam sejarah para aulia, seperti sejarah Ali Zainul 'Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib r.a., bahwa bdiau sembahyang 1000 rakaat sehari semalam, dan wirid begini tidak beliau tinggalkan, meskipun beliau dalam musafir. Apabila beliau berwudhu' kelihatan beliau pucat, apabila beliau sembahyang kelihatan seperti takut dan terkejut. Orang bertanya kepada beliau: "Kenapa Tuan demikian?" 

Beliau menjawab: "Tahukah kamu semua, siapa yang sedang saya hadapi?" 

Justern itulah beliau berkata: "Jika sebagian orang menyembah Allah karena takut dari azab siksaan neraka, itu adalah ibadat budak bdian dan hamba sahaya. Jika sebagian orang beribadat karena gemar dan menginginkan syurga dan pahala, ibadat yang demikian itu adalah ibadat pedagang. Dan jika sebagian kaum menyembah Allah karena bersyukur kepadaNya, itulah ibadat orang-orang merdeka yang sebenarnya.

Kesimpulan:

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan sebagai berikut:

[a] Kerjakanlah perintah-perintah Allah s.w.t. bahkan anjuran-anjuranNya juga, seperti ibadat-ibadat yang sifatnya sunnat, dan jauhkanlah larangan-laranganNya. Bahkan sampai kepada yang makruh-makruh. Apabila telah dikerjakan semuanya ini, berarti Allah telah menganugerahi kita nikmat lahiriah dalam mentaatinya.

[b] Nikmat lahiriah itu tidak sempurna jika tidak dibarengi dengan pengamalan taat yang bersifat batin. Amalkanlah taat batiniah dengan jalan jangan hati kita terpukau oleh ibadat yang kita kerjakan dan janganlah hati kita tergantung bahwa ibadatlah yang menyelamatkan kita. Kita diperintah Allah untuk taat dan patuh kepadaNya.

Taat itu harus kita kerjakan. Tetapi keridhaan Allahlah yang kita maksudkan dan yang kita tuju, sebab Allahlah yang membalas segala amal kebajikan dengan pahala-pahala. Sedangkan amal ibadat tidak lain hanya sekedar Allah mencuba kita, apakah kita taat kepadaNya ataukah tidak. 

Ketentuan Allah bebas dari segala ikatan apa saja, meskipun ibadat yang diperintahkan olehNya. Karena itu bulatkanlah hati kepada Allah, jangan bercabang-cabang dan hilangkanlah dari perasaan hati kita ketergantungan kepada selain Allah.

Inilah hakikat ucapan hamba-hamba Allah yang saleh dalam menghadap Allah:

"Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan Engkaulah yang aku harap (dengan sesungguhnya)."

Mudah-mudahan kita dapat mengikuti jejak langkah hamba-hamba Allah yang saleh dalam ibadat dan 'ubudiyah mereka kepada Allah s.w.t.

Amin, ya Rabbal-'alamin ..... !