Chereads / AL HIKAM / Chapter 73 - Bagaimanakah Kita Mengetahui Ukuran Kita di Sisi Allah s.w.t.

Chapter 73 - Bagaimanakah Kita Mengetahui Ukuran Kita di Sisi Allah s.w.t.

Apabila kemanisan taat merupakan basil amal atau faedah yang dapat dirasakan dalam beramal atau beribadat, maka tentulah hidup kita di dunia yang diisi dengan amal dan ibadat adalah hidup yang indah. Bahkan yang penuh dengan keindahan karena disinari oleh cahaya Tuhan dalam segala tindak-tanduk hidup kita. Tetapi sampai di mana dan bagaimana ukuran Allah s.w.t. menilai amal dan ibadat hamba-hambaNya kepadaNya, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya yang ke-73, sebagai berikut:

"Apabila anda ingin mengetahui ukuran anda di sisi Allah, maka anda lihatlah pada apakah yang Allah dirikan pada anda!"

Kalam Hikmah ini sangat penting kita ketahui sebagai pedoman yang benar sampai di manakah ukuran dan martabat kita di sisi Allah s.w.t. Karena itu penjelasannya sebagai berikut:

I. Jika kita termasuk hamba-hamba Allah yang biasa, yakni belum sampai ke tingkat auliaNya tentu kita akan bertanya kepada diri kita, apakah kita ini termasuk hamba-hamba Allah yang diterima amal ibadatnya oleh Allah dengan selamat dan bahagia, ataukah termasuk sebagai hamba-hamba Allah yang ditolak amal ibadatnya di mana tidak selamat dan celaka? Untuk itu lihatlah kepada diri kita masing-masing apakah kita taat dan patuh kepada Allah ataukah tidak. Jika kita di dalam hidup dan kehidupan kita selalu taat kepada Allah s.w.t., perintah dan anjuran Allah kita kerjakan, segala sesuatu yang tidak diridhai olehNya kita jauhkan, maka tentulah kita sebagai hamba Allah, selamat dan bahagia, di mana amal ibadat kita diterima olehNya, lnsya Allah.

Tetapi jika kebalikannya, yakni hidup dan kehidupan kita banyak diliputi oleh kegelapan mungkar dan larangan-larangan Allah, yakni banyak perintah Allah yang kita tinggalkan dan banyak larangan Allah yang kita kerjakan, maka tentu kita dapat mengukur diri kita, bahwa kita jauh dari selamat dan bahagia di sisiNya.

Demikianlah timbangan orang awam yang seyogyanya harus diperhatikan untuk mengetahui sampai di manakah kekurangan dirinya di sisi Allah s.w.t.

Apabila kita bukan orang awam lagi, tetapi sudah meningkat dari itu, yakni sudah termasuk dalam tingkatan hamba-hamba Allah yang taat menurut penglihatan lahiriah manusia, sedangkan pada hakikatnya kita belum tahu apakah kita termasuk dalam jamaah Al-Muqarrabiina Ilallaah, yakni orang-orang yang dekat dengan Allah ataukah bukan? Untuk mengetahuinya marilah kita tinjau hati kita masing-masing, sampai di mana hati kita terarah kepada Allah s.w.t., menghayati kebesaran dan keagunganNya. Jika hati kita sering mengingat Allah, sering kagum kepada kebesaran dan keagunganNya, sering tenggelam dalam tafakkur kepadaNya dengan melihat rahmat dan nikmatNya, maka hal itu menunjukkan bahwa kita telah dekat kepadaNya. Jika kebalikannya, yakni meskipun perintah-perintahNya dan anjuran-anjuranNya kita kerjakan tetapi hati kita sering kosong dari tafakkur dan mengingatiNya, berarti hati kita belum sampai menghayati kemanisan melihatNya (dengan matahati), yakni masih jauh dari Al-lhsan menurut kenyataan yang sebenarnya. 

Meskipun kita masih dalam golongan hamba Allah karena pada lahirnya kita taat kepadaNya, tetapi pada hakikatnya kita masih jauh daripadaNya. 

Apabila hati kita masih liar, perasaan yang kita rasakan masih belum tenang dan tenteram jika kita masuk dalam taman, zikir dan muraqabah kepada Allah s.w.t., berarti kita belum dapat disebut dengan Al-Muqarrabiina llallaahi Ta'ala.

II. Ketegasan daripada keterangan di atas adalah sebagai berikut:

[a] Jika hati kita masih kuat terarah kepada dunia yang fana ini, berarti kita masih hina dalam pcnilaian Allah s.w.t.

[b] Jika kita masih dibimbangkan oleh makhluk alam mayapada ini, berarti pada hakikatnya kita belum menghadap Allah dalam arti yang sebenarnya.

[c] Jika kita sudah mulai mengarah pada beramal dan beribadat, berarti sudah ada banrnan Allah atas kita.

[d] Jika ilmu pengetahuan agama kita sudah mulai terbuka pintunya buat kita, berarti k1ta telah dikehendaki Allah untuk cenderung kepadaNya.

[e] Jika kita telah mulai sekali-sekala menyampaikan isi hati kita kepada Allah, berarti pintu dialog antara hamba dengan Allah telah dibukakan olehNya dan hal itu berarti kita telah mulai mendekat kepadaNya. 

[f] Jika kita sekali-sekala dicuba oleh Allah dengan bala, berarti Allah memberi petunjuk kepada kita asal kita bersabar terhadapNya.

[g] Jika kita beransur-ansur telah dapat menghilangkan selain Allah dari hati kita, berarti kita telah mulai dituntun Allah untuk beradab kepadaNya.

[h] Jika kita telah menerima secara ikhlas segala ketentuan Allah atas kita, baik yang manis atau yang pahit, berarti pintu ridha telah dibukakan Allah buat kita dan itulah pintu yang agung, sempurna dan mulia. Justeru itulah seorang alim besar tasawuf bernama Abdul Wahid bin Zaid r.a. telah berkata: "Ridha adalah pintu Allah yang agung, ridha adalah tempat istirahat hamba-hambaNya yang tekun ibadat dan ridha adalah syurga dunia.

Firman Allah menurut Hadis Qudsi: "Aku Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku. Aku jadikan kebaikan dan kejahatan, maka beruntunglah buat orang-orang yang Aku jadikan dia untuk kebaikan dan Aku alirkan kebaikan itu atas dua tangannya. Dan kecelakaan bagi orang-orang yang Aku jadikan ia untuk kejahatan dan Aku alirkan kejahatan itu atas dua tangannya."

Hadis Qudsi di atas diperkuat lagi oleh Hadis Rasulullah s.a.w. yang diterima dari Anas dan diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthny:

"Barangsiapa yang ingin mengetahui bagaimanakah keadaannya di sisi Allah, maka hendaklah ia melihat (dalam hatinya) bagaimana keadaan Allah pada sisinya. Karena bahwasanya Allah Ta'ala menempatkan si hamba menurut ukuran si hamba itu menempatkan Allah pada dirinya." 

Jadi jika si hamba itu melihat Allah mulia semulia-mulianya, serta membesarkan segala sesuatu yang diridhai Allah dan segera ia untuk itu, maka Allah s.w.t. di hari akhirat pada khususnya atau bahkan di dunia juga akan memuliakannya, membesarkannya dan segera pula memberikan pahala dengan nikmat yang bahagia dan abadi kepadanya. Tetapi jika kebalikannya, yakni menganggap rendah Allah Ta'ala, menganggap remeh perintahNya dan menganggap kecil syiar-syiarNya, maka tentulah Allah akan menghina orang itu, akan merendahkan nilainya, dan akan bersegera pula menindaknya, baik di dunia maupun di akhirat. Na'udzubillahi min dzalik.

Kesimpulan:

Jika kita benar-benar taat kepada Allah, yakin dan tekun dengan keimanan yang sesungguhnya, berarti ketaatan kita diterima Allah.

Kita selamat dan bahagia dan kita dekat kepadaNya. Tetapi jika sebaliknya maka belum tentu ibadat kita diterima Allah. Jika diterima, maka tidak lebih dari sekedar pulang pokok. Yang sudah terang kita masih jauh dari Allah, kita belum dekat kepadaNya. Oleh sebab itu perbanyaklah dalam beramal ibadat dengan tujuan karena Allah semata-mata dan karena mengharapkan kerelaanNya. Dan perkuat pulalah batin kita dengan ketauhidan yang sempurna, dengan perasaan tasawuf yang indah untuk mempertebal tawakkal kita kepada Allah s.w.t. dan untuk memperkuat tali batin kita dengan Allah s.w.t. Jika semuanya itu telah ada pada kita, maka kita sudah boleh mencuba menilai diri kita, berarti kita telah mulai dekat atau bahkan sedang berjalan di jalanNya untuk terus dekat kepadaNya.

Mudah-mudahan demikianlah kita hendaknya, senantiasa dituntun oleh 

Allah s.w.t.