Chereads / AL HIKAM / Chapter 70 - Pentingnya Ilmu Makrifat

Chapter 70 - Pentingnya Ilmu Makrifat

Apabila Allah s.w.t. telah menganugerahi pada hati sebagian hambaNya ilmu makrifat dan ilmu rahasia sebagian alam mayapada ini, janganlah kita anggap mudah atau enteng pemberian Allah s.w.t. itu. Hendaklah pemberian Allah itu kita pelihara dan kita jaga untuk peningkatan amal ibadat kita terhadap Allah s.w.t. Tentang bagaimana kita memelihara dan menjaga kurnia Allah dengan pengertian tidak dianggap mudah dan dianggap enteng itu, yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan pengertian yang demikian dalam Kalam Hikmahnya yang ke-70, sebagai berikut:

"Barangsiapa yang anda lihat dia itu menjawab setiap pertanyaan dan menerangkan setiap penglihatan (perasaannya) dan menyebut setiap yang ia ketahui. Maka buktikan seseorang itu dengan demikian atas ada kebodohannya (kejahilannya)."

Sepintas lalu tentu agak sulit kita memahami terjemahan Kalam Hikmah ini, tetapi marilah kita perhatikan pengertian-pengertian sebagai berikut:

I. Jika kita telah dinaikkan derajat oleh Allah s.w.t. pada tingkatan "Al-Muriidun", yakni suatu tingkatan di mana seorang hamba Allah telah naik derajat ilmunya dan amalnya pada mengharap supaya Allah membukakan pintu hatinya dapat mengenal Allah s.w.t. Atau jika seseorang itu telah dinaikkan martabatnya sedemikian rupa kepada tingkat yang termasuk tinggi dalam kacamata tasawuf. Maka orang-orang yang telah sampai ke taraf karamdalam laut ridha dan qadar Ilahi, sehingga hati dan seluruh lahiriah dan batiniahnya telah tertuju kepada Allah s.w.t. 

Maka hamba-hamba Allah yang telah sampai ke tingkat yang demikian berarti mereka telah mendapat limpahan kurnia, berupa ilmu makrifat dari Allah s.w.t.

Ilmu-ilmu yang mereka perdapat, seperti hati mereka telah dibukakan oleh Allah s.w.t., bahkan juga sampai melihat dan merasakan pemberian Allah s.w.t. itu, maka terhadap mereka terjadilah salah satu dari dua macam; yaitu membawa kepada kebaikan dan yang lain membawa kepada kerendahan yang disebabkan karena mereka itu telah dayus atau mempermudah dan memperenteng apa-apa yang dikurniakan Allah kepadanya. Kedua macam itu adalah sebagai berikut:

1. Mereka membeberkan ilmu mereka, sehingga mereka menjawab segala pertanyaan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu yang telah dilimpahkan Allah s.w.t. atas hati segala hambaNya yang saleh, padahal ilmu-ilmu itu dilimpahkan Allah dengan khusus, langsung daripadaNya atas hamba-hambaNya yang 'Arifin. Di samping itu pula mereka menyebut dan mengatakan segala ilmu yang berkenaan dengan itu. Jika demikian telah terjadi atas mereka, maka ini mengakibatkan tidak baik dan meskipun mereka hamba Allah yang saleh, tetapi bodoh dan jahil.

Kenapa demikian?

Sebab tidaklah semua pertanyaan harus dijawab dan hak untuk dijawab. Karena menjawab semua pertanyaan membayangkan bahwa yang bersangkutan menguasai semua ilmu, apalagi ilmu yang kita kehendaki di sini ialah ilmu batin, yakni ilmu yang tersimpan dalam hati, ilmu yang tidak niudah mengungkapkannya. Padahal ilmu yang demikian masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang masih belum diketahui dan dibukakan Allah s.w.t. 

Bukankah Allah telah menyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut:

" ... Dan tiadalah diberikan ilmu kepada kamu, selain hanya sedikit." (Al-Isra': 85)

Kalaulah demikian, bagaimana akan tergambar dalam otak kita, bahkan sulit menggambarkannya, kita dapat menjawab semua pertanyaan dalam ilmu yang demikian sifatnya, jikalau tidak karena jahil dan bodohnya yang bersangkutan. Di samping itu harus pula diperhatikan keadaan orang yang bertanya, sebab tidak semua orang yang bertanya itu patut dan layak mendapat jawaban dari apa yang ditanyakan. Jika kita jawab juga pertanyaan orang yang bertanya itu, padahaljawaban pertanyaan itu belum pantas diterimanya dan belum termakan olehnya, tentulah meajawab pertanyaan orang yang demikian sangat tidak bijaksana dan kita yang menjawab termasuk jahil dan bodoh. 

Jika mereka mengatakan dan mengungkapkan semua yang dirasakan oleh batin mereka mengenai ilmu makrifat, dan pemberian Allah pada terbuka rahasia hubungan antara hamba dengan Tuhan, berarti keadaan itu membuka rahasia yang harus ditutup dan wajib disembunyikan, padahal ahli Tauhid dan Tasawuf telah berkata:

"Hati orang-orang merdeka adalah kuburan segala rahasia." 

Yang dimaksud dengan rahasia ialah rahasia-rahasia Allah s.w.t. yang ditanamkan di dalam hati hamba-hambaNya yang saleh dari Rasul-rasulNya, Nabi-nabiNya, wali-waliNya, dan para ulamaNya yang Abidiin, yang mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. 

Ketahuilah bahwa rahasia yang diletakkan Allah dalam hatihambaNya yang saleh mempakan amanat Allah pada hamba itu, karena itu, membuka rahasia itu dengan jalan menyampaikan dan mengungkapkannya samalah artinya dengan khianat terhadap amanat Allah, dan tentulah Allah tidak akan sayang dan cinta kepada orang-orang yang khianat.

Jika masalah-masalah yang berhubungan dengan perasaan disampaikan dan diungkapkan juga, padahal mustahil dapat diterangkan hakikatnya dengan bahasa lidah dan tuturan, pastilah tidak akan membawa kepada penjelasan yang terang, tetapi membawa kepada keterangan yang tak dapat dimengerti. Hal itulah yang menimbulkan salah sangka kepada orang yang tidak mengerti dan menimbulkan pandangan yang negatif kepada orang yang tidak sampai perasaannya. Itulah sebabnya seorang alim sufi terkenal dalam dunia tasawuf dengan nama Al-Hallaj (Abul Mughits Al-Husain Al-Hallaj AlBaidhawy) yang hidup dalam tahun 858 M. sampai tahun 922 M. yang dilahirkan dekat Morokko dan wafat di Baghdad, sampai dituduh oleh kaum Muktazilah telah menyimpang dari jalan yang benar, karena mengungkapkan perasaan makrifat sedemikian rupa, di antaranya beliau berkata: "Tidak ada dalam jubahku melainkan Allah" dan lain sebagainya.

Akibat salah pengertian dan tanggapan atas ungkapan perasaan Al‑Hallaj, ia pun dipenjara, disiksa, dan disalib. Padahal pada hakikatnya karena tak kenal maka tak cinta, dan jika telah kenal, maka jelaslah segala perkara, teranglah semua persoalan dan problema.

Bukankah hamba-hamba Allah yang saleh seperti Al-Hallaj telah melihat dan merasakan, bahwa Allah s.w.t. itu kelihatan pada segala-galanya. Wujud Allah terlihat pada bukit, gunung, laut, lembah, bumi, bulan, bintang, diri kita sendiri, dan segala-galanya. Sebab kita semuanya dan segenap alam mayapada ini, bahkan sampai kepada yang kita gerakkan adalah ciptaan Allah s.w.t. 

Tidak ada suatu benda, baik yang dapat dilihat atau ditangkap oleh salah satu rasa pancaindera yang lima atau bukan, tidak terlepas dari wujud Allah. 

Artinya, jika bukan karena Allah, maka tidak ada segala-galaNya itu. Mereka melihat Allah, artinya melihat ilmuNya, melihat kekuasaanNya dan melihat keagungan sifat-sifatNya pada segala yang mereka lihat di alam mayapada ini.

Itulah perasaan mereka dan itulah yang dirasakan oleh hati mereka, oleh lahiriah dan batiniah mereka. Karena itulah kita sangat tidak sependapat dengan sebagian orang yang menyalahkan Al-Hallaj. Apalagi yang mengkafirkan Al-Hallaj. Apakah pendapat dan perasaan yang demikian kita katakan mengkafirkan? Na'udzubillahi min dzalik!

Dan Alhamdulillah pengajian yang demikian dapat kita pelajari pada kitab-kitab Imam Ghazali, Ibnul 'Arabi, Al-Qusyairy dan lain-lain. Hal seperti itu telah dirasakan oleh seorang ulama besar Indonesia di Aceh bernama Hamzah Fansuri yang hidup pada bahagian kedua abad ke-16. Hamzah Fansuri mengungkapkan dalam salah satu syairnya yang terkenal dengan syair perahu, seperti berikut ini:

Satukan hangat dengan dingin. tinggal loba dan ingin. hancur hendak seperti lilin. maka dapat kerjamu licin.

Maksudnya, jangan ada perbedaan antara makhluk dengan makhluk. Samakanlah kesemuanya itu jika dihadapkan kepada Allah s.w.t. Semuanya tidak berbekas, tetapi yang berbekas dan berkuasa adalah Dzat yang Maha Mutlak, yaitu Allah s.w.t. Dengan demikian ratalah jalan yang kita jalani, lempang dan licinlah segala sesuatu yang kita hadapi.

Untuk lebih mendalam lagi perasaan yang demikian hingga karam dan lenyaplah kita dalam laut tauhid kepada Allah s.w.t. Hamzah Fansuri menambahkan lagi dalam syair-syairnya:

Hapuskan akal dan rasamu. lenyapkan badan dan nyawamu. pecahkan hendak kedua matamu. di sanalah lihat permai rupamu.

Hunuskan pedang bakarkan sarung. isbatkan Allah nafikan patung. laut tauhid juga kau harung. di sanalah engkau dapat bernaung.

Dalam dua syair ini, Fansuri seolah-olah membuka rahasia bagaimana karam dan lenyapnya seorang yang jatuh dalam laut keasyikan terhadap maksyuknya, Allah s.w.t. Tenggelamlah ia dalam laut cinta terhadap Tuhannya, lenyaplah semua perasaannya, akalnya, kehendaknya dan semua anggota tubuhnya, jika bcrhadapan dengan keagungan yang Maha Agung Allah s.w.t. Segala-galanya terbakar sudah menjadi debu yang tiada artinya, putus-putus berserakan, karena hunusan pedang yang maha perkasa. Semua yang ia lihat tidak lebih dari penilaian kepada patung yang tidak bernyawa. 

Barulah ia merasakan siapa dia dan siapa Allah, barulah ia mengakui bahwa dia tak ada arti apa-apa, lemah, kurang, tidak sempurna, tidak menentukan, tidak ada daya dan upaya, tetapi Allahlah yang dilihat dan terlihat pada setiap makhluk dalam alam ini, hilang selain Allah. Cuma Allahlah yang muncul dalam penglihatannya dan perasaannya. Itulah laut tauhid yang terus diharungi oleh hamba-hamba Allah yang saleh, Rasul-rasulNya, Nabi-nabiNya dan wali-waliNya. Laut tauhid itulah yang melegakan perasaannya, yang mendatangkan nikmat yang paling indah dan lezat. Di laut itulah tempat bernaung hamba-hambaNya yang saleh. Dan bernaunglah kita dengan ilmu Allah dalam mengharungi la utan tauhid itu. Jika seorang hamba Allah telah demikian keadaannya, barulah ada padanya makrifat kepada Allah, kenal kepada Allah dengan mendalam dan dihayati oleh lahiriah dan batiniahnya. 

Apabila telah begitu, barulah ia betul-betul kenal kepada Allah, meskipun ia belum terniat berhaji ke Baitullah, sebab makrifat kepada Allah terserah kapan Allah menghendaki dan siapa yang dikehendaki olehNya, dan tempat di mana saja hambaNya itu diberikan nikmat ilmu yang demikian oleh Allah s.w.t. 

Inilah maksud syair Hamzah Fansuri dalam menceriterakan seperti tersebut dalam syair berikut:

Hamzah Fansuri di dalam Makkah. mencari Tuhan di Baitul Ka'bah. dari Barus ke Kudus terlalu payah. akhirnya dapat di dalam rumah.

Apabila telah terang pada kita, bagaimana murninya ilmu makrifat kepada Allah s.w.t., apakah itu dapat disalahkan? Tidak, tidak dapat disalahkan. Dan salahlah orang yang menyalahkannya, karena ilmunya belum sampai, apalagi perasaannya dan penghayatan batinnya.

2. Adapun ilmu-ilmu yang lain dari ilmu Rabbani seperti telah tergambar sebagian sifatnya di atas sangat berlainan keadaannya dengan ilmu tersebut. Misalnya ilmu fiqh, ilmu tauhid biasa, ilmu tasawuf biasa, ilmu akhlak, dan lain-lain. Ilmu ini ilmu umum, artinya ilmu yang harus diketahui, bahkan dipelajari oleh ummat manusia, sebab ilmu-ilmu ini diperintahkan oleh agama untuk mengetahuinya dan untuk mempelajarinya. Belajarlah ilmu-ilmu tersebut pada ahlinya dan ambillah ilmu-ilmu tersebut dari ulamanya. Mengenai ilmuilmu itu Rasulullah s.a.w. bersabda: 

"Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, orang itu akan dibelenggu di hari kiamat dengan belenggu api neraka."

Kenapa demikian? Sebab ilmu-ilmu ini, ilmu-ilmu lahir, ilmuilmu dasar dan ilmu-ilmu yang tak dapat tidak harus diketahui jika kita ingin meningkat dan ingin naik kepada tingkat ilmu yang lebih sempurna dan yang lebih halus, apalagi tingkat kesempurnaan itu pada ilmu "Ar-Rabbani", ilmu yang langsung limpahan dari Allah s.w.t., sebab ilmu rabbani dan ilmu ladunni pada umumnya dikurniakan oleh Allah s.w.t. jika ilmu-ilmu dasar dan ilmu-ilmu lahiriah seperti di atas telah ada pada dia.

Untuk menyatakan dalil sebagai perbedaan antara kedua macam ilmu di atas, Abu Hurairah r. a. berkata:

"Telah aku pelihara dari Rasulullah s.a.w. dua karung ilmu. Adapun salah satu dari keduanya aku taburkan (isinya) buat manusia. Ada pun yang lain jika aku taburkan isinya, sungguh kamu putuskan urat leher saya ini."

Demikianlah perbedaan antara ilmu lahir dengan ilmu batin. Meskipun kedua ilmu itu wajib dipelajari, dituntut dan dicari, tetapi sifat mencarinya, menuntutnya berbeda antara satu dengan yang lain. Ilmu lahir dapat kita cari di mana-mana, meskipun yang memberikan ilmu itu orang fasik, bahkan orang ateis sekalipun, yakni orang kafir atau orang yang beri'tikad tiada Tuhan sama sekali.

Sedangkan ilmu makrifat atau Al-Ilmur-Rabbani mencarinya dan menuntutnya adalah dengan mujahadah, yakni berjuang membersihkan kekotoran fisik dan kekotoran hati, setelah bersih hati kita dari berbagai dosa dan suci pula hati kita dari bermacam penyakit, barulah lahiriah dan batiniah kita telah merupakan wadah suci menerima limpahan Al-llmur-Rabbani dari Allah s.w.t. Karena itulah kita harus berjuang dengan keras, mengamalkan dengan yakin dan sungguh tuntunan-tuntunan batin seperti yang telah diatur oleh ulama-ulama besar, dan terkenal dalam dunia tauhid dan tasawuf. 

Itulah sebabnya, maka kita dapat menerima tuntunan-tuntunan dari tariqat-tariqat Islam, seperti tariqat Naqsyabandiyah, tariqat Al-Qadiriyah, tariqat Syathariyah, dan lain-lain. Semua tariqat itu berlandaskan syariat Islam, di samping mengandung hakikat dalam mengharapkan makrifat kepada Allah s.w.t. Adapun syarat yang lain, supaya tariqat-tariqat itu dibina dan dipimpin oleh ulama-ulama yang turun-temurun, karena pengetahuan mereka mendalam dalam syariat, tauhid dan tasawuf. Karena tariqat-tariqat itu hanyalah sekedar sistem-sistem dan tuntunan-tuntunan cara bagaimana kita berjalan yang tujuannya dekat dengan Allah s.w.t. dan beroleh makrifat daripadaNya.

Barangsiapa yang anti terhadap tariqat-tariqat yang sah dalam Islam, berarti ia juga tidak mengakui adanya ilmu batin, seperti digambarkan oleh Rasulullah dan seperti yang dibayangkan oleh Abu Hurairah r.a.

Kesimpulan:

Ilmu makrifat adalah sebagian dari Al-llmur-Rabbani, ilmu yang dapat digolongkan kepada ketuhanan dan juga disebut dengan Al-llmul-Ladunni, yakni ilmu yang langsung datangnya dari Allah s.w.t. Ilmu yang demikian merupakan ilmu hakikat yang tidak semua orang mudah mendapatkannya dan tidak pula semua orang dapat menanyakannya, bahkan juga menjawabnya dan menyampaikannya.

Sebab ilmu yang demikian itu berhubungan dengan penghayatan keyakinan perasaan batin yang merupakan limpahan peringatan Allah s.w.t. atas hamba-hambaNya yang saleh. Ilmu inilah yang digambarkan oleh seorang alim sufi, Ali bin Husein bin Ali r.a. dalam syair-syairnya sebagai berikut:

Wahai Tuhan, hakikat ilmu itu jika kulahirkan niscaya orang mengecapku, kau menyembah patung sebagai tuhan. Darahku halal dalam anggapan mereka itu dianggap baik kerja mereka yang buruk itu. Aku akan pasti menyembunyikan mutiara ilmuku untuk menghindarkan si bodoh terfitnah dari melihat kebenaran itu.

Oleh sebab itu kita tidak dapat menyalahkan Al-Hallaj, sebab mungkin ia mengatakan perkataan hakikat yang demikian dalam keadaan tidak sadar, disebabkan saking asyiknya, saking karamnya dengan perasaan penghayatan keyakinannya terhadap Allah s.w.t.

Demikian pula tidak dapat kita salahkan Hamzah Fansury dalam syair-syairnya, karena beliau mengarang syairnya itu buat dirinya ataupun jika tertulis dalam tulisan adalah untuknya dan bukan untuk orang lain. Meskipun Ar-Raniri yang hidup dalam zaman Sultan Iskandar Tsany, menentang ajaran Hamzah Fansury, hal tersebut dilakukan bukan karena ajaran Hamzah Fansury tidak baik, tetapi bertujuan menghindarkan orang awam yang jauh dari penerangan ulama, kalau-kalau ajaran Hamzah Fansury itu ditafsirkannya menurut kemauannya. Justeru itulah ulama-ulama besar Aceh yang lain seperti Syamsuddin As-Sumatrany, yang hidup dalam zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Syah sebagai seorang ahli tasawuf dan negarawan Aceh menerima ajaran yang demikian. Sedangkan Syeikh Abdur Rauf As-Singkily yang hidup dalam bahagian kedua abad ke-17, seorang ulama besar Aceh yang terkenal dengan Tengku Syiakhkwala dalam masalah ini tidak memberikan komentarnya. Dan menurut sebagian riwayat, beliau pun turut mendukung Hamzah Fansury.

Demikianlah gambaran ilmu Rabbani sepintas kilas bagi ulamaulama besar Islam. Ilmu yang demikian itu bebas terlepas daripada aturan dan kaedah yang disusun oleh makhluk, tetapi bebas menurut limpahan kehendak Allah s.w.t. Inilah yang menyebabkan pula orang-orang besar dalam ilmu pengetahuan semakin banyak ilmunya, semakin mendalam, dan semakin meningkat ilmunya, semakin tidak terikat ia dari tatatertib dalam kehidupan. 

Jangankan buat ulama Islam, buat filosof dunia pun kita dapat lihat contohnya: Kita lihat seorang filosof ilmu pasti bernama Albert Einstein. Setelah besar sedemikian rupa terkenallah ia dengan filsafat hidupnya yakni dua macam. 

Satu, jangan ada aturan. Kedua, bebaslah dari pendapat-pendapat orang lain.

Karena itu sampai di mana ibadat dan taat kita apabila dibandingkan dengan ibadat dan taat hamba-hamba Allah yang saleh dari Rasul-rasu!Nya, Nabi-nabiNya, wali-waliNya dan para ulamaNya yang betul-betul beramal menurut ilmunya. Sungguhpun demikian kita tidak boleh putus asa dari rahmat Allah, semoga Allah melimpahkan juga pada kita ilmu makrifat, di samping ibadat lahiriah kita terhadapNya.

Mudah-mudahan demikianlah kita. Amin, ya Rabbal-'alamin ...!