Chereads / AL HIKAM / Chapter 52 - Sambutan Yang Wajar Atas Nikmat Makrifat

Chapter 52 - Sambutan Yang Wajar Atas Nikmat Makrifat

Apabila kita telah betul-betul tidak melihat bahwa kitalah yang telah melaksanakan amal ibadat, meskipun pada lahirnya kita mengerjakannya, tetapi ini sama sekali tidak terbayang dalam hati kita, sebab kita masih belum percaya bahwa amal itu dikerjakan dengan sempurna dan sebaik-baiknya. 

Ketika itulah telah ada tanda bahwa amal kita telah mendapat hara pan untuk diterima oleh Allah s.w.t. dengan izinNya. Dan pada ketika itu pula dalam pandangan hati kita atas amal yang kita kerjakan seperti belum ada apa-apanya. 

Dan apakah kelanjutannya daripada demikian itu, di samping sebagai tanda atas harapan besar untuk diterima Allah s.w.t. atas amal yang dikerjakan?

Buat mengetahui kelanjutannya, yang mulia Al-ImamIbnu Athaillah Askandary telah mengemukakannya dalam Kalam Hikmahnya yang ke-52 sebagai berikut:

"Hanyasanya Dia (Allah) mendatangkan atas anda sesuatu yang datang supaya adalah anda dengan sesuatu itu menjadi orang yang datang kepadaNya (ke hadirat Allah s.w.t.)."

Maksud Kalam Hikmah ini ialah:

I. Jika kita telah tetap dalam pendirian, bahkan telah sejalan pula dengan perasaan kita tentang pengamalan ajaran di atas, maka barulah Allah s.w.t. akan memberikan nikmat pada kita berupa ilmu makrifat. Hal tersebut semata-mata merupakan pemberian langsung dari Allah s.w.t.. Dengan ilmu itu berarti kita dekat kepada Allah, sehingga lapang dada kita dan bersih hati kita, hingga kita melihat benar pada yang hak dan salah pada yang batil. 

Atau dengan kata lain timbul kenyataan kebenaran Ketuhanan pada hati kita, sehingga menghasilkan hal-hal tersebut meskipun kita tidak menyadarinya, karena ·masih keras tabiat kemanusiaan yang menyelubungi matahati kita. 

Ilmu makrifat itu tidak dapat diusahakan, disengaja dan dicari-cari,. tetapi ia merupakan kurnia Allah sebagai keberkahan atas pendirian kita yang tetap dan pengamalan kita atas pendirian itu yang sejalan pula dengan perhatian dan perasaan kita.

Jadi, apabila kita tidak melihat diri kitalah yang beramal, dan tidak melihat bahwa kita telah baik menjalankannya, tetapi kita masih melihat bahwa di sana-sini terdapat kekurangan-kekurangan, barulah dengan izin Allah kita diberikan makrifat olehNya. Apakah makrifat itu merupakan nikmat perasaan kehebatan melihat Allah, melihat keagungan sifat-sifatNya dan AsmaNya, ataukah kehebatan pada melihat alam makhluk yang diciptakan olehNya. 

Termasuk juga dalam makrifat ini kurnia nikmat rindu kepada Allah s.w.t. sehingga kita asyik terbenam dalam perasaan rindu kepadaNya dengan mengerjakan ibadat-ibadat dalam arti yang luas. Atau perasaan gundah dan susah sehingga mengakibatkan selalu tidak puas dengan amal-amal yang dikerjakan. Atau kurnia nikmat selalu faqir dan miskin kepada rahmat Allah, sehingga kita selalu mengharapkan rahmat dan kurniaNya dengan mengerjakan perintah dan anjuranNya serta meninggalkan larangan-larangan dan segala sesuatu yang tidak sejalan dengan ridhaNya. Ataukah kurnia nikmat selalu gembira dengan segala ketentuan yang ditentukan olehNya menurut qadha' dan qadar sehingga ia selalu tersenyum melihat segala-galanya, dan karena itu ia selalu gembira menghadapi dan melaksanakan ajaranajaran agama di samping gembira pula menjaga disiplin untuk tidak tergelincir ke dalam jurang yang tidak diridhaiNya. Ya, macam-macamlah nikmat kurnia Allah yang bernaung di bawah ilmu makrifat Ketuhanan di mana Dialah yang dapat menentukan siapakah hamba-hambaNya yang dekat kepadaNya, yang dianugerahi ilmu tersebut.

II. Apabila Allah s.w.t. telah memberikan nikmat kerohanian seperti yang tersebut tadi, dengan demikian kita mulai termasuk golongan orang-orang yang sudah mulai bersih hatinya dan mulai bersih pula amal-amal yang dikerjakannya. Tidak ada lagi penyakit-penyakit hati padanya dan tidak ada pula gangguan-gangguan lahiriah untuk tidak diterima amalnya oleh Allah. Pada waktu itulah baru kita dapat menanggapi dan dapat menyambut nikmat makrifat dan kerohanian itu untuk melangkah maju memasuki pintu gerbang hadirat Allah yang Maha Agung dan Maha Luas. Hal keadaan ini seperti kapal yang baru keluar dari pelabuhan, mengarungi lautan besar, luas, dalam dan penuh dengan gelombang-gelombang besar. Biasanya sebuah kapal baru keluar dari pelabuhan belayar di lautan besar karena kapal itu sudah siap sedemikian rupa, sehingga memungkinkan untuk belayar. Demikian pulalah apabila pendirian kita dan perasaan kita dalam beramal, sama sekali kita melihat bahwa kita selalu dalamkekurangan jika dibandingkan dengan nikmat dan rahmat Allah pada kita, seperti telah berulang kali disebutkan di atas, berarti kita telah dapat bersiap-siap buat belayar mengarungi Samudera Kebesaran dan Keagungan Allah dalam lapangan makrifat ketauhidan yang laksana laut tak ada pantainya.

Kesimpulan:

Bahwa manusia itu menurut ulama besar Tasawuf Abu Bakar Al-Waasithy terbagi kepada tiga tingkatan:

[a] Tingkatan pertama, ialah manusia-manusia yang dikurniakan Allah atas mereka cahaya-cahaya petunjuk. Maka manusia-manusia ini terpelihara dari kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan.

[b] Tingkatan kedua, ialah manusia-manusia yang dikurniakan Allah atas mereka dengan cahaya-cahaya Al-'Inayah, yakni mereka selalu tidak dilupakan Allah, karena itu mereka terpelihara dari dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar.

[c] Tingkatan ketiga, ialah manusia-manusia yang dikurniakan Allah atas mereka dengan kecukupan terhadap Allah, karena itu mereka terpelihara dari gerak-gerak hati yang tidak baik dan terpelihara pula dari tindak-tanduk orang-orang yang lalai padaNya.

Di samping tingkatan-tingkatan manusia seperti yang disebutkan oleh Abu Bakar Al-Waasithy tadi, maka kurnia-kurnia Allah selanjutnya berupa ilmu makrifat sangat banyak, di antaranya seperti yang kita sebutkan di atas. Karena itu tanamkanlah keikhlasan semata-mata karena Allah dalam mengerjakan ibadat apa saja dan kebajikan apa pun. Karena ikhlas itu mehaikkan kita pada martabat ihsan. Dan kalau kita telah sampai pada martabat Al-Ihsan, seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w., maka lupalah kita pada melihat amal-amal kebajikan kita dan selalu saja hati dan perasaan kita tidak puas dengan amal-amal yang telah kita kerjakan itu. Dengan demikian kita selalu berkehendak untuk meningkatkan ibadat dan amal kebajikan sehingga tercapailah maksud kita, yakni mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Apabila kita telah dekat denganNya, maka lnsya Allah nikmat makrifat dan kerohanian itu akan dilimpahkan olehNya atas kita.

Mudah-mudahan demikianlah kita hendaknya, Insya Allah.

Amin, ya Rabbal-'alamin ... !