Selagi menyantap makan malam, Eideth akhirnya selesai merenung semenjak ujian pendaftaran tadi siang. Ia tidak bisa berhenti berpikir apa jadinya jika pengawas itu tidak berada disana menghalangi serangannya. Saat perjalanan pulang, Eideth menanyakan hal itu pada Reinhardt dan Gyslaine namun mereka tidak khawatir, berkata penghalang sihir pada dinding Akademi pasti dapat menahannya.
"Apa Kamu tidak menyukai makananmu Eideth" tanya Reinhardt disebelahnya. Eideth mulai memfokuskan perhatiannya ke sekitar. Selagi melamun, Eideth tanpa sadar menerima semua tawaran Reinhardt untuk menginap di Istana Kekaisaran sampai diajak makan malam bersama keluarganya. Sudah terlambat untuk menyesali itu, Eideth bersyukur atas bantuan mereka. "Tidak Pangeran, Saya hanya sedikit kepikiran", "yang tadi siang ya" tanya Reinhardt, Eideth mengangguk.
"Pangeran, apa Saya kuat" tanya Eideth dengan sungguh-sungguh. Claudias dan Vista yang makan disebelah mereka jadi tersedak. "Dibandingkan praktisi Teknik sihir tingkat Intermediate lain, apa Saya kuat" Eideth memperjelas pertanyaannya. "Ya, Kamu lebih kuat dibandingkan Praktisi tingkat Intermediate yang kutahu" jawab Reinhardt tanpa pikir panjang.
"Saya rasa itu karena cara berpikir tuan Eideth yang berbeda," Gyslaine menambahkan, "Kemahiran Anda menggunakan sihir sudah sangat tinggi meskipun pencapaian Anda masih Intermediate, ditambah Anda orang yang sulit ditebak, Kami selalu terkejut saat Anda menggunakan sihir Anda" jelasnya. Reinhardt setuju dengan perkataan Gyslaine. Kaisar dan Permaisuri takjub melihat kedua anak mereka begitu memuji Eideth.
"Bagaimana denganmu Claudias, Kamu yang paling tua dan bijaksana disini" tanya Eideth. "Ya, Kamu begitu kuat dibandingkan umurmu yang begitu muda, tapi Aku tidak mengerti kenapa Kamu terlalu memikirkan ini" tegurnya. Eideth membuat sebuah pengakuan, "Saya baru mulai menggunakan sihir secara normal enam bulan lalu".
Tidak ada yang menyangka Eideth akan mengungkapkan rahasia besar seperti itu. "Bukannya Saya tidak pernah memakai sihir, hanya saja Saya menggunakan sihir hanya untuk latihan atau mengikuti misi, hingga Talent Saya bangkit, kondisi tubuh tubuh Saya menjadi normal meskipun bekas luka ini tidak hilang, Saya takut jika Saya terlalu bebas seperti ini, Saya akan kehilangan kendali" ungkapnya.
"Aku rasa kekhawatiranmu itu masuk akal," balas Claudias, "tapi menurutku, Kamu hanya mengeluarkan potensi aslimu yang terpendam selama ini, itu hal yang wajar, karena itu ayo Kita uji sesuatu" ajak Claudias. Selesai makan malam, Claudias mengajak Eideth untuk sparring ringan, agar Ia bisa mengamati dan memberi masukan.
Setiba mereka di lapangan latihan, para pelayan sudah menyiapkan lapangan dalam kondisi sempurna, udara di lapangan terisi Mana yang berlimpah. "Ayo coba serang Aku seperti yang biasa Kamu lakukan" tantang Claudias, berubah kembali ke wujud naganya. Eideth mengeluarkan Vaylantz dan melakukan rutinitasnya. Eideth maju untuk melancarkan pukulan pertama.
Ia mengumpulkan Mana sebanyak mungkin untuk mengeluarkan Teknik sihirnya dengan kekuatan penuh. Seharusnya Ia tidak seperti itu, tapi seekor Naga pasti bisa menahan kekuatannya. Tiap langkah yang diambilnya membangun momentum, untuk melayangkan serangan dalam satu gerakan. Dentingan keras pecah dari bentrokan Vaylantz dan sisik Claudias. Eideth merasa satu serangan saja cukup untuk Claudias membuat penilaian.'
"Hmm... dari yang Aku lihat, seranganmu lebih kuat dibanding saat pertama kali Kita bertemu, hanya saja Aku tidak bisa merasakan kekuatan aneh itu lagi" ungkapnya. Eideth menjelaskan kekuatan itu adalah campur tangan dari Talent miliknya. Talent Eideth masih di reboot sehingga Ia tidak bisa melandakan serangan kritikal, Ia tidak bisa memberitahu mereka tentang itu. "Dari yang Aku lihat, Kamu mulai menggunakan keempat Teknik sihir bersamaan, kurasa itulah yang membuatmu tidak menyadari perubahanmu, kusarankan Kamu menggunakan satu Teknik sihir saja" sarannya.
Eideth tidak menyadari itu sama sekali, Claudias membuat poin yang tepat. Setelah Awakening, Eideth tanpa sadar selalu memadukan keempat Teknik sihir. Ia tidak merasakan sensasi yang begitu berbeda karena sudah terbiasa menggunakan Explode, sebuah kombinasi dari dasar ketiga Teknik sihir lainnya. Cara pikirnya yang linear membuatnya tidak menyadari sudut pandang itu.
"Terima kasih untuk pelajarannya, Claudias" Eideth memberi hormat. Ia mendapat sedikit pencerahan setelah beradu kekuatan dengan orang yang lebih kuat. Eideth tidak pernah berniat kehidupannya kali ini memfokuskan diri membangun kekuatannya, namun Ia tidak boleh lengah. Ia berusaha keras untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan seperti hiburan dan latihan. Eideth akan mengumpulkan hari liburnya seperti waktu Ia bekerja dulu.
Claudias kembali ke wujud manusianya, Ia menutup lengan kirinya yang menahan serangan Eideth tadi. Walaupun tidak terlihat di wujud naganya, Eideth berhasil menggores kulit keras Claudias. Meskipun Claudias adalah naga remaja, Ia masihlah lebih kuat dibandingkan ksatria manusia tingkat Intermediate. Namun Eideth berhasil melukainya.
Semenjak Eideth mengajarinya teknik baru untuk menggunakan keahlian wujud naganya, Claudias juga mulai berlatih untuk mencari tahu potensi aslinya. Ia yakin Ia sudah bertambah kuat semenjak pertarungan di Larcova dengan bantuan berkah naga miliknya. Tapi Eideth juga tumbuh lebih kuat dalam kurun waktu yang sama. Ia menemukan seseorang yang membuatnya ingin bersaing.
Naga dikenal sebagai makhluk yang berbangga diri. Mereka sangat kuat, bijaksana dengan umur panjang mereka, hampir tidak terkalahkan. Namun karena itu, mereka merasa bosan dengan hidup dan memilih bermalas-malasan. Mereka tidak pernah menemukan sebuah tantangan. Untuk menarik perhatian seorang naga, perlu seseorang yang hebat, namun untuk memotivasi seorang naga, perlu seseorang yang istimewa.
Karena hari sudah larut malam, Eideth dan Vista mengundurkan diri ke kamar mereka untuk istirahat. Eideth ingin bangun lebih awal besok pagi agar bisa melarikan diri dari Istana Kekaisaran secepatnya. Lagipula kapan lagi Ia akan mendapat kesempatan untuk jalan-jalan di Ibukota. Meskipun Eideth akan tinggal di Asrama, Ia yakin dengan sepenuh hati, Ia akan memulai kebiasaannya saat masih menjadi pelajar dahulu.
...
Keesokan paginya sebelum matahari terbit, alarm ponsel Eideth bunyi seperti biasanya. "Haah" Vista bangun terkejut mendengar panggilan alarm itu. Ia melihat Eideth masih tertidur pulas walaupun Dia sendiri yang memasang alarm supaya bangun lebih awal. "Hey bangunlah" geram Vista. Nada dering berisik itu membuatnya kesal, ditambah Ia tidak bisa mematikan alarm itu sendiri karena perlindungan ponsel milik Eideth.
"Iya, huh, apa" Eideth langsung berdiri dari tempat tidurnya, masih setengah sadar. "Matikan ponselmu itu" suruhnya. Eideth segera mematikan alarmnya seperti yang diperintahkan. Ia tidak sangka Ia masih tidak dapat dikejutkan dengan nada dering alarm itu. Sudah lima kali Ia mengganti nada dering, namun belum ada yang bisa membangunkannya dengan konsisten.
"Makasih Vista" kata Eideth sembari merapikan tempat tidurnya. "Bawa tasmu kemari" suruh Eideth. Ia membuka otoritas penyimpanan untuk mengamankan barang bawaan mereka. Mereka tidak bisa bergerak cepat jika dibebani tas mereka. "Ruang penyimpanan huh, Kau punya sihir seperti itu" ujar Vista. "Ini fitur istimewa dari cincin ini" dalihnya. Eideth berbohong, Ia tidak ingin memberitahu Vista tentang otoritas dan mengekspos identitas aslinya. Ia cuma mengutip benda-benda ajaib dari komik, Ia selalu kesal semua cerita selalu mengabaikan hal penting seperti barang bawaan.
"Jadi kemana Kita hari ini" tanya Vista. Eideth segera mengeluarkan sebuah peta dan menjelaskan rencananya. "Meskipun banyak hal yang bisa Kita jelajahi di Ibukota, kurasa sebaiknya Kita membiasakan diri dengan lingkungan disekitar Asrama, Kita memang akan selalu disini sebagian besar". Eideth terkesan Vista juga bersemangat tentang hal ini namun Ia masih punya keraguan.
"Hey Vista, apa Kamu sudah memikirkan apa yang ingin Kau lakukan nanti" tanya Eideth. Karena Vista adalah seorang Apostle dunia lain, sudah sewajarnya Kekaisaran akan mengutus mata-mata tanpa sepengetahuan mereka. Walaupun Eideth sudah membuat perjanjian dengan Vista untuk membawanya bersama ke Akademi, sebenarnya semakin banyak persyaratan yang dipaksakan kepadanya. Selagi bersama Eideth, Vista tidak boleh menggunakan kekuatannya tanpa seizin Eideth, tidak boleh mempelajari pengetahuan Artleya, tidak boleh memata-matai Kekaisaran, dan masih banyak lagi persyaratannya.
"Aku berpikir untuk membaca buku, buku cerita atau apalah untuk menghabiskan waktu" ujarnya. "Bagus itu, membaca itu hobi yang bagus, ayo Kita ke toko buku nanti" puji Eideth. Ia senang Vista melakukan perubahan. "Kau siap" tanya Eideth mengatur manekin palsu di tempat tidurnya. "Aku siap" jawab Vista melakukan hal yang sama dengan ranjangnya. "Ayo Kita kabur" ujar Eideth.
Mereka bisa saja menunggu hingga pagi dan pergi dengan normal, namun itu tidak seru untuk memulai hari. Kapan lagi mereka bisa melarikan diri dari Istana Kekaisaran. Vista tidak menolak karena Ia setuju itu ide yang seru. Mereka membuka jendela kamar dan melihat ke bawah. Mereka berada di lantai lima, "Kau sudah bisa memakai mantra sihirmu waktu itu" tanya Vista, Eideth menggelengkan kepalanya. Mereka terpaksa untuk mengendap-endap dari pintu depan.
Seperti yang mereka duga, para pelayan sudah bersiap-siap di pagi hari, begitu pula para penjaga. Keluar dari depan bukanlah hal yang mudah. Mereka mengendap-endap dengan baik, menggunakan cantrip [Coin Toss] untuk mengalihkan perhatian pelayan jika perlu, Mereka hampir tertangkap basah beberapa kali jika bukan karena plot armor. "Terima kasih Zatharna" ujar Eideth dalam hati.
Mereka berhasil mencapai pintu depan namun masih ada masalah. Halaman Istana memiliki penjagaan lebih ketat. Ditambah mereka harus melewati Gerbang yang dijaga belasan penjaga. Zatharna memanggil Eideth, mengatakan Ia tak bisa membantunya lagi, Ia hanya bisa menonton mulai sekarang. "Sial, plot armor takkan bisa membantuku disini" ujar Eideth, "Ayo kita coba mengamati pola rutinitas mereka" ajaknya.
Setelah menghabiskan tiga puluh menit mengamati, Eideth merasa kesal. "Bagaimana bisa, penjagaannya terlalu ketat, rute manapun yang kulihat tidak ada jalan keluarnya, Kita harus melewati gerbang itu lagi" keluhnya. Melihat Eideth menyerah, Vista mengajukan sebuah ide, "kenapa tidak Kita terobos saja". "Kita itu mau mengendap keluar dari sini" Eideth mengingatkan.
"Aku tahu, dengar dulu, Kita tidak perlu memanjat tembok itu, Kita lompati saja" usulnya. "Wow ide hebat jenius, kenapa Aku tidak memikirkan itu, oh iya, Karena itu mustahil, bahkan dengan sihir Aku hanya melompat sampai tiga meter" ujarnya dengan tenang. "Naik ke punggungku" ujar Vista. Eideth mengerti apa yang ingin Vista lakukan, Ia mungkin takkan sampai tapi kekuatan Apostle Vista pasti dapat melakukannya. "Apa ada jalur yang bisa kugunakan untuk berlari", "lurus saja ke depan sampai pot bunga kelima itu, tunggu aba-abaku" ujarnya. "Vista, Kau boleh memakai Kekuatanmu" ujar Eideth memberi izin. Untuk sesaat, Vista merasakan sebuah kepercayaan. Ia tidak mengatakan apa-apa dan berfokus pada pekerjaannya.
"Sekarang", mendapat aba-aba, Vista segera berlari. Lintasan lurus itu membantunya mengumpulkan kecepatan. Eideth terpukau Vista dapat berlari begitu cepat sambil menggendongnya. Tepat di titik yang Eideth peringatkan, Vista menggunakan kekuatannya untuk melompat setinggi mungkin. Selagi melayang di udara, mereka menikmati pemandangan Ibukota ditemani matahari terbit. Sayangnya pemandangan itu hanya bertahan beberapa detik, karena mereka langsung jatuh dari atas langit. "VISTA" teriak Eideth panik, memintanya untuk mendarat dengan selamat.
Menggunakan kekuatan anehnya, Vista meredam hantaman kakinya saat mendarat. Membuat mereka seperti mendarat dari lompatan kecil biasa. Eideth bersyukur mereka tidak membuat suara yang keras. "Hey, Kau dengar suara tadi itu" teriak seorang penjaga dari atas gerbang. "Oh sial" Eideth teringat dia berteriak karena panik tadi. "Vista, cepat kabur" suruhnya menunjuk ke depan. Mereka meninggalkan Istana dengan cepat ke perkotaan.
Setelah memastikan mereka tidak memperingati istana, Eideth dan Vista melompat gembira merayakan keberhasilan misi mereka. "Ayo Kita cari sarapan yang enak" ajak Eideth bersemangat. Dengan bantuan petanya, Eideth menemukan pasar, mereka pasti dapat menemukan penjual makanan disana. "Aku ingin daging" ujar mereka berdua, pikiran mereka berdua sudah sinkron.
Mengandalkan indra mereka, sebuah aroma lezat memandu mereka ke kios kecil. "Aroma ini... Hamburger". Eideth tidak menyangka akan menemukan hamburger di dunia ini. Tentu saja Ia sudah memakan hamburger sebelumnya, namun ini bukan sembarang hamburger. Daging beserta sayuran seperti selada dan tomat, sehelai keju dan saus, dibungkus menggunakan roti. Makanan utama dari negara kebebasan di dunia lamanya. "Pak, pesan dua, dibungkus ya" pesannya.
"Wow, ini enak" puji Vista, Ia makan dengan lahap menghiraukan pinggiran mulutnya dipenuhi saus. Eideth juga tidak jauh berbeda, Ia menggigit burger itu seperti hewan kelaparan. Ia merasa bebas bisa sesekali makan dengan santai seperti itu, tanpa harus memperhatikan etika meja.
Eideth memberi tisu kepada Vista selagi Ia pergi membuang bungkus makanan. "Masih ada dua jam hingga pengumuman dibuka, ke toko buku?" Vista mengecek peta. "Iya, Aku juga ingin mencari buku mantra baru, ayo" ajaknya.
Melewati pejalan kaki lain, mereka mulai mempelajari jalan-jalan Ibukota. Tentu saja mereka berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas namun itulah petualangan. Menghabiskan waktu dengan tidak efisien, menikmati setiap lika-liku hidup. "Pergi kesana hingga kamu menemukan tiang petunjuk jalan, Kamu akan melihat toko buku disebelah kiri" tunjuk seorang kakek. Eideth membungkuk hormat dan berterima kasih, lalu melanjutkan perjalanannya.
"Bagaimana Kamu bisa dengan santai bertanya kepada orang asing seperti itu" tanya Vista. "Guliran daduku sedang mujur tadi" balasnya tanpa berpikir, begitu Ia sadar keceplosan, Eideth mengganti jawabannya. "Aku hanya bertanya dengan sopan kepada orang yang lebih tua, itu normal kok". Ia harus lebih berhati-hati dengan perkataannya, Ia terlalu santai. Eideth sadar Ia harus menemukan keseimbangan, namun Ia belum cukup terbiasa.
Tanpa mereka sangka, mereka sampai di depan Akademi, dan toko buku itu berada di penghujung jalan. Didepan akademi, sudah banyak calon pendaftar yang mencari nama mereka di papan buletin. "Kau tidak kesana", Eideth tersenyum, "tenang, Kita harus memanfaatkan teknologi sesekali, tidak perlu begitu tradisional".
Eideth mengeluarkan ponselnya, mengaktifkan aplikasi kamera, dan menggunakan otoritasnya sedikit. [Mengubah ponsel... kemampuan kamera telah ditingkatkan]. Eideth membesarkan gambar sebanyak 50 kali namun kamera itu masih berfokus dengan jelas. Ia benar-benar menggunakan ponselnya sebagai teropong. Eideth mulai mencari namanya di tiap-tiap tabel.
"Gawat, Aku peringkat pertama" ujarnya. "Bukannya itu bagus" tanya Vista tidak mengerti. Eideth memperhatikan disebelah namanya terdapat tanda seru. "Ayo Kita kesana sebentar, Aku janji Kita akan pergi ke toko buku setelahnya" ajak Eideth tergesa-gesa. Eideth menyelip ditengah kerumunan, mencari tahu arti tanda seru itu. Ia menemukan nama orang lain mendapat tanda yang serupa.
"Siapa Eideth itu, Aku lihat Ia tidak punya nama keluarga, Ia pasti orang biasa", "bisa-bisanya orang biasa mengalahkan Tuan muda". Orang-orang mulai mempertanyakan identitas dari ranking pertama itu. Ia tidak memperdulikannya dan pergi mencari seorang yang dapat ditanyai. Seperti yang Ia duga, seorang guru perwakilan sudah ditempatkan oleh Akademi. "Untuk semua orang yang mendapati nama mereka ditandai dengan tanda seru, itu artinya Kalian perlu melapor kepada Kepala sekolah untuk konsultasi lanjutan" ujarnya.
"Kamu, pemuda yang disana, apa ada masalah seperti ini juga, siapa namamu" Ia menunjuk kepada Eideth, "Saya Collei pak, Kami harus kemana". Guru itu memberikan mereka petunjuk arah, namun setelah berterima kasih atas arahannya, kedua orang itu malah pergi kearah sebaliknya. "Kok mereka keluar" tanya guru itu. "Itu kau rupanya" seorang guru muncul dari belakang dan mulai mengejar kedua pemuda yang baru pergi. Ternyata begitu pikirnya.
Eideth dan Vista segera mundur seribu langkah. Ia tidak menyangka guru penguji kemarin menemukannya, dan kini mengejarnya. Ia adalah guru yang membelokkan serangan Eideth kemarin. Eideth sudah punya perasaan tidak enak saat melihat dirinya di posisi pertama, ditambah dengan tanda seru itu. Menggunakan kemampuannya untuk menghilang menggunakan persekitarannya seperti tuan Wick, Eideth berhasil mengecoh guru itu dan melarikan diri.
Sesuai janjinya, Eideth dan Vista pergi ke toko buku. Selagi Vista mencari buku yang bisa menarik perhatiannya, Eideth terus-menerus mengintip keluar jendela sekaligus memikirkan langkah selanjutnya. "Apa yang Kau takutkan" tanya Vista, "Aku malas berurusan dengan mereka, selalu menarik perhatian yang tidak kubutuhkan". "Bukannya Kau mau seperti itu" tunjuk Vista, "apa?"
"Bukannya Kamu masuk ke akademi untuk merasakan pengalaman baru, kenapa Kamu menghindarinya" ujar Vista. Eideth akhirnya menyadari apa yang Ia lakukan. Ia bertingkah seperti seorang Chuuni remaja, sok bersikap introvert, menganggap remeh semua hal, dan merasa tidak butuh interaksi sosial. Tidak Ia sangka, walaupun Ia tidak sedang bermain dengan Zatharna, instingnya membuat perjalanan mereka berputar-putar. "Kau benar, makasih sudah mengingatkanku" jawab Eideth. Ia mengeluarkan dompetnya, membayar buku yang dipilih Vista. "Ayo pergi".
Keluar dari toko buku, mereka berdua segera masuk kedalam Akademi, mengikuti arahan yang diberikan. Mereka sampai di ruangan dimana Kepala Akademi dan para guru duduk bersama. Mereka disana untuk memberikan konsultasi pada penempatan kelas tiap pelajar. Ini semacam wawancara untuk memastikan penempatan siswa sesuai dengan kemampuan mereka.
Di Akademi Ganon, Akademi semi militer ini, memiliki lima kelas utama untuk tiap semester. Kelas S dan A berfokus melatih unit penyerang seperti Breaker, Hunt, dan Reaper. Kelas B dan C berfokus melatih unit pendukung seperti Catalyst, Clergy, dan Vanguard. Karena prestise yang dimiliki Akademi ini, banyak sekali yang mendaftar sebagai unit penyerang tanpa memahami kemampuan dan bakat mereka.
"Selanjutnya, Tuan Eideth, akhirnya Kita bertemu lagi" sapa Kepala Akademi. "Mari kita mulai," para guru mulai membuka laporan didepan mereka. Betapa terkejutnya mereka membaca yang tertulis disana. "Tuan Eideth, mengapa Anda memilih menjadi Catalyst, nilai Anda..."
"Saya memilih menjadi Catalyst karena pengalaman Saya di garis depan perlawanan. Saya mendapat kemampuan Saya dari berlatih dan bertarung disana. Saya menyadari potensi Saya adalah untuk mendukung rekan Saya yang lain". "Kamu punya latar belakang militer" tanya seorang guru. "Maaf karena tidak menuliskan nama Saya dengan penuh, nama saya Eideth Raziel dari keluarga Raziel". Mereka tidak menyangka pemuda didepan mereka adalah tuan muda dari keluarga bangsawan yang cukup ternama.
"Saya harap Anda semua menerima keputusan Saya untuk menjadi Catalyst" pintanya. "Tunggu sebentar tuan Eideth, apa Anda yakin dengan ini, keputusan ini harus didiskusikan dengan orang tua Anda", "tidak perlu khawatir pak guru, Saya sudah mendapat izin dari keluarga ketika memutuskan posisi ini". Karena mereka sudah tidak punya alasan lagi, Eideth ditempatkan ke Kelas B. Eideth membungkuk hormat kemudian mengundurkan diri.
Selagi keluar dari pintu, Eideth bisa melihat para guru dan kepala sekolah berdebat akan keputusan itu. Eideth hanya bisa tersenyum selagi menutup pintu. Selanjutnya, mereka langsung pergi ke Asrama. Perjalanan ke sana sama uniknya dengan diluar akademi. Eideth melihat berbagai macam ras berkumpul kesana. Elf dan manusia biasa terlihat berbaur dengan normal, namun yang lebih menarik perhatian adalah jumlah pelajar Beastmen. Berbagai macam spesies Beastmen berbagai ukuran mengantri masuk ke Asrama seperti ras lain.
Setelah barisannya semakin dekat dengan Asrama, Ia akhirnya melihat sebagian kecil dari kehebatan akademi ini. Pintu ke Asrama itu sangatlah besar bagaikan sebuah gerbang. Asrama itu dibangun begitu megah dan besar untuk mengakomodasi semua ras yang ingin belajar ke Akademi. Mereka tidak mengistimewakan siapapun, semuanya dipandang dan mendapat perlakuan yang sama oleh Akademi.
Didepan meja administrasi, mereka bertemu seorang Dryad, seorang peri pohon yang merupakan sepupu jauh dari ras Elf. Meja administrasi asrama itu sedikit unik, terdapat pot berisikan pohon kecil di setiap sudut pos kerjanya. Diatas lemari, meja, rak dinding, dimanapun itu. Ia seperti membangun hutannya sendiri. "Nama dan posisi", Eideth Raziel, Catalyst, Saya juga punya surat atas nama Vista dari kepala sekolah".
Ia mengambil surat itu, "Aku tidak pernah melihat pendatang spesial sebelumnya, yah, sesuai perintah pak Kepala" Dryad itu memberi Eideth dan Vista kunci kamar mereka. "Lantai dua di lorong kiri, nomor kamar Kalian tertera di kunci itu, selanjutnya". Sesampai di depan ruangan mereka, Eideth melihat kamarnya berada di ujung lorong di dekat tangga masuk, sementara Vista berada disebelahnya.
Pikiran mereka langsung sinkron saat mata mereka bertatapan. Melempar kunci mereka ke udara untuk bertukar. Eideth tidak mau ruangannya terlalu pinggir, Vista ingin ruangannya dipinggir agar Ia bisa kabur lebih mudah jika Ia mau. Mereka berhasil membuat kesepakatan yang menguntungkan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Eideth masuk ke kamarnya, di sana terdapat sebuah ranjang tidur di pojok ruangan, lemari pakaian dan meja belajar bersebelahan di sisi sebaliknya. Sebuah jendela untuk menikmati pemandangan luar. Tata letak furniturnya tidak buruk namun Eideth akan memindahkan semuanya nanti. Setelah merapikan pakaiannya didalam lemari. Eideth beristirahat sejenak duduk diatas ranjang. Akhirnya Ia tiba di Gonan. Eideth tidak menyangka betapa banyak hal berubah dalam waktu setengah tahun semenjak Ia pulih dari kondisi langkanya. Kehidupan pelajar ini tidak pernah Ia sangka akan terwujud. "Aku ingin kesan pertama yang bagus" ujarnya ingin menyapa tetangganya.
Ia sudah menyiapkan buah tangan kecil, hanya cemilan kue kecil yang dia ambil dari toko roti di luar akademi. Eideth keluar dari kamarnya memilih pintu siapa yang Ia ingin ketuk terlebih dahulu. Matanya memilih pintu kamar yang berhadapan dengannya. Eideth menyiapkan kepercayaan dirinya, mengatakan pada diri sendiri untuk tersenyum dan bersikap ramah.
Dekikan pintu terseret menusuk terlinganya. Aura kelam keluar dari ruangan itu. Eideth sedikit menyesal karena kepercayaan yang baru dibangunnya sudah hilang akibat angin dingin itu. Mengingat misinya, Eideth mengokohkan kakinya. "Halo..." sapanya dengan ramah.