Eideth masuk ke dalam kamarnya yang masih saja rapi setelah dua hari. Ia bisa mencium harum bunga dari sarung bantal dan selimutnya. Lantainya bersih mengkilap tanpa debu sedikitpun. Sensasi aneh yang Ia rasakan ketika membuka kamarnya sendiri, seperti ketenangan sunyi itu memiliki bau yang tidak bisa Ia jelaskan.
"Sudah saatnya Aku pergi ya" Eideth menyadari waktu penggunaan Stasis sudah hampir 24 jam. Ia tidak ingin waktu istirahatnya jadi terlalu panjang agar dirinya tidak kewalahan. Eideth membuka kancing bajunya melihat Stasis yang tertancap di dadanya itu. Ia menghadap ke cermin mempersiapkan dirinya. Ia bersyukur Ia bisa melalui banyak hal dalam waktu 24 jam ini. Ia berhasil jujur dengan keluarganya, bertemu kembali dengan Mage yang sekarang menjadi adiknya Zain, juga merasakan kenikmatan kecil di waktu yang sempit itu.
Eideth hampir meneteskan air mata, tidak mau pergi kembali. Ia pernah berpikir untuk tidak melepaskan Stasis miliknya, dan tetap mempertahankan kesadarannya. Tapi Ia tidak bisa melakukan itu, Ia harus belajar untuk melepaskan. Eideth yakin dirinya dapat menghadapi apapun dengan seluruh kemampuannya. "Terima kasih Deith, Aku akan memotong sebagian ingatanku, kutitipkan padamu sampai Ferelina tiba, tolong bantuannya kawan" ucapnya selamat tinggal. Eideth mencabut Stasis dari dadanya dan mulai tak sadarkan diri.
…
"Eideth kenapa" Deith kembali ke domain Zatharna setelah itu. Kedatangannya yang tiba-tiba diketahui oleh para dewi. "Deith Kamu tidak apa, apa yang terjadi" tanya Zatharna dengan khawatir. "Eideth kenapa, Kamu bisa menjadi utuh kembali, jadi kenapa Kau melakukannya" Deith berbicara pada dirinya sendiri. "Kau membuat Stasis karena Kau tak ingin berubah jadi kenapa" Deith mulai kehilangan pikirannya. Tidak tahu apa yang harus Ia lakukan pada makhluk dunia lain itu, Zatharna menamparnya dengan keras.
"Deith sadarlah," Zatharna merasa bersalah melakukan itu dan memeluk Deith, "maaf karena menamparmu, Aku tidak tau harus berbuat apa, Aku tidak akan bisa membantu kalau Kau tidak bilang apa-apa, jadi cerita padaku". Dalam dekapan tangan yang lembut itu, Deith merasa tenang. Ia merasa dapat mengungkapkan kekesalannya, kebingungannya, dan semua yang terjadi padanya.
Mendengar cerita panjang itu, Zatharna tidak tau bagaimana harus membalas, itu diluar kemampuannya. Dia tidak pernah tahu Eideth memiliki nasib yang berat seperti itu. Dan ingatannya itu dipegang Vista karena suatu alasan. "Eideth, Aku…", "tidak apa, Kau tidak perlu membantu," Eideth melepaskan diri dari pelukannya, "mendengar ceritaku saja, Aku sudah senang". Zatharna bisa tahu Deith tersenyum meskipun tidak bisa melihat menembus asap hitam itu.
…
Eideth tersadar kembali di kamarnya tidak sadar Ia termenung sesaat. Ia merasa aneh tapi tak dapat menunjuknya dengan jelas. "Aku tadi ngapain ya", Eideth melihat ke sekitar, mencari petunjuk sekecil apapun. Ia melihat koper setengah terbuka, lemari pakaiannya terbelanga. "Oh iya, Aku belum berkemas" ucapnya. Ia tidak percaya Ia melamun sampai melupakan hal penting itu.
Eideth segera mengambil koper dan memasukkan semua pakaian santai yang Ia punya. Pakaian mewah seperti jas dan jubah ditinggalkannya terbengkalai di ujung lemari. Eideth punya harapan bagaimana hidupnya di akademi, dan tidak sabar untuk mewujudkan itu. "Itu sama sekali tidak boleh Tuan" Gerard muncul di belakangnya seperti biasa namun kali ini dengan teguran.
"Kenapa", "Saya lihat Tuan tidak punya pengalaman dalam mengemas barang-barang penting, jadi biarkan Saya membantu" Gerard memaksa. Ia mengambil beberapa pakaian bagus dari lemarinya, mengingat selera pakaian tuannya, Ia memilih yang tidak terlalu mencolok namun masih rapi dan berkelas. Tak lupa Ia juga memasukkan sepasang sepatu yang tidak sejenis, yang nyaman dan yang mewah. Eideth hanya bisa menonton dari samping saat pekerjaannya di ambil alih.
"Tuan adalah pria yang unik" puji Gerard, "Tuan yakin akan ke Akademi agar bisa sedikit bersantai, tapi Tuan tau sebaliknya akan terjadi". Gerard mulai mengobrol sambil melipat pakaian dan merapikannya ke dalam koper. "Tuan sangat dermawan, tapi sangat pelit dengan diri sendiri, karena itulah Saya memasukkan pakaian ini untuk acara penting, cuma jaga-jaga" Ia tidak bermaksud menyindir. Eideth tidak bisa menyangkal namun hatinya benar-benar tertusuk, memasang wajah santai Ia membalas "tidak apa".
"Tuan, Aku ingin mengatakan sesuatu, Aku mengawasi Vista kemarin dan tebakan Anda benar" ujarnya. Sudah terlihat jelas apa yang Gerard pikirkan dari aura yang dilepaskannya, Ia menunggu Eideth memberinya perintah untuk membunuh Vista. Eideth tengah mempertimbangkan keputusannya sekaligus mencari cara untuk menghadapi hal ini. "Apalagi yang Tuan tunggu" tanya Gerard tidak mengerti keraguan Eideth.
"Gerard, apa Kamu akan puas hanya membunuh satu Apostle" tanya Eideth, Ia berdiri dari kursi menghampiri pelayannya yang setia itu. "Aku tau Kau membenci mereka lebih dari apapun, seberapa haus darah dirimu, Kau harus tetap berpikir rasional, itu yang Kau ajarkan padaku ingat" perkataan Eideth berhasil menenangkannya. Gerard mendapatkan kembali wajah tanpa emosi dinginnya itu. "Apa yang ingin tuan lakukan". "Aku punya rencana" usulnya.
…
Eideth dan Gerard pergi menghampiri Vista di kamarnya. Ia hanya duduk di atas ranjang tidurnya dengan tenang, tapi Eideth tidak tertipu muslihat itu. "Aktifkan perintah, Vista mulai saat ini hanya bisa diam di tempat dan mengikuti perintahku" Eideth mulai memaksakan wewenangnya sebagai Tuan. Tubuh Vista membeku di tempat, kekuatan sihir dari Finger of Death mengendalikan tubuhnya. "Apa-apaan ini", "jangan coba membodohiku, Aku sudah tau semuanya, untung saja Aku memerintahkan Gerard untuk mengawasimu" potong Eideth.
Vista menatap Gerard dengan penuh kebencian, Gerard memberi balasan yang sama lebih kejam dari tatapannya. "Sial, Aku harusnya membunuhmu tadi malam" gerutunya. "Apa yang Kau tunggu lagi, bunuhlah Aku" kecamnya. "Ayolah, jangan terburu-buru seperti itu, apa semua Apostle sepertimu" Gerard mengambil sebuah kursi agar Eideth bisa duduk berhadapan dengan Vista. "Jadi sudah berapa lama Kamu berkontak kembali dengan mereka" Eideth menggunakan perintahnya agar Vista menjawab.
"Dua bulan lalu Aku mengontak mereka kembali, kekuatan dunia lain milikku perlahan pulih dan Aku dapat mulai menentang sihirmu ini" jawabnya. "Begitu, bagaimana caramu melakukannya", "Aku mendapat inspirasi ini darimu, sihir aneh yang Kau gunakan itu, Stasis, Aku mencoba menggunakan kekuatanku untuk menghalangi sihirmu, namun ini memakan terlalu banyak energi". Eideth tidak percaya kekuatan dunia lain dapat digunakan seperti itu, terlebih lagi Vista mengambil inspirasi dari kekuatannya.
"Apa saja yang Kau beritahu pada mereka" tanya Eideth. "Tidak banyak, Kami sudah sedikit memahami sistem kekuatan dari dunia ini, Kalian bilang ini sihir bukan" Vista sudah mulai mencoba mengalihkan pembicaraan. "Yang Benar, jawab saja yang Aku tanyakan, jangan coba mengalihkan, apa yang Kau beritahukan pada mereka" bentaknya. Vista tersentak namun tidak menjawab sama sekali. Eideth sadar Vista mulai melunjak karena Ia berbaik hati. "Sepertinya Aku sudah terlalu baik denganmu, lepaskan segel pada saraf, kembalikan necrosis"
Beberapa saat kemudian, Vista mulai merasakan sakit di setiap otot pada tubuhnya. Sakit luar biasa yang terbendung karena sihir Eideth itu, terlepas dan membanjiri otaknya. Vista terjatuh ke lantai, terkapar tidak mampu berdiri, Ia tidak bisa mengumpulkan tenaga sedikitpun saat ototnya menjerit kesakitan. Tangan dan kakinya serasa lumpuh dan teramat sakit. "T-tolong A-ku" mohonnya. Dengan menjentikkan jarinya, Eideth menyegel kembali penguraian otot itu, mengembalikan Vista ke seperti semula. "Aku selama ini selalu berbaik hati denganmu, jadi jangan buat Aku menyesalinya, jawab dengan benar, Aku tidak peduli lagi rahasia apa yang Kau punya, Kau akan beritahukan semuanya padaku hari ini" suruhnya.
Vista mengerti Eideth tidak lagi bermain-main dengannya, merubah sikapnya menjadi serius. Ia sadar, selama ini Eideth bukanlah pria naif dengan kemampuan dan kekuatan misterius, dia hanya baik. Sadar Ia terlalu nyaman dalam belas kasihnya, sampai Ia menurunkan kewaspadaannya seperti itu. Untuk saat ini, Vista memutuskan untuk menurutinya.
"Aku memberitahu level kemampuan yang dimiliki orang-orang biasa dan prajurit di militer, tidak ada yang diluar perkiraan Kami selain beberapa pengecualian, seperti Kau, pangeran Reinhardt itu, juga Paladin, untuk saat ini Kami berjaga-jaga dengan pergerakan Kalian" jawabnya. "Apa hanya itu? Bagaimana dengan Bibiku, Kita sudah pernah bertarung bersama dengannya di Ibukota". "Kami sudah berkonfrontasi dengan Bibimu sejak lama, Kami sudah punya pandangan besar terkait kemampuannya" Vista tidak menutupi informasi sekecil apapun sama sekali.
"Ceritakan semua yang Kau lakukan di belakangku sekarang, tanpa menyembunyikan apapun". Vista pun patuh dan menceritakan semuanya dari awal. Seperti yang Ia katakan sebelumnya, Ia baru mendapat kemampuan ini dan baru dua kali mencobanya. Di percobaan pertama, Ia melaporkan pada rekan Apostlenya kondisinya saat itu, "Mereka membuat kesepakatan denganku, jika Aku terus mengikutimu, menjadi mata-mata yang terpercaya dari dalam, mereka akan mengembalikan posisi Apostleku" jawabnya.
"Kau percaya dengan itu, bagaimana jika mereka cuma ingin memeras kegunaan terakhir darimu—", "Aku tidak peduli, Aku akan melakukan apapun yang mereka perintahkan, Aku hanya ingin pulang" potongnya dengan membentak. Gerard hampir mengeluarkan belati dari saku rahasia di balik lengannya. "Kau tidakkan mengerti karena Kau punya rumah dimana Kau bisa pulang" Vista menurunkan suaranya dan duduk kembali. Eideth jadi bersimpati kembali padanya, namun Ia mengalihkan perasaan itu lebih dulu.
"Benar, Aku punya rumah untuk pulang, tapi berani Kamu bilang Aku tidak tau rasanya, lihat mata, LIHAT" Eideth menunjukkan tatapannya yang dalam seraya ingin memberitahukan sesuatu. Vista ragu-ragu pada awalnya namun Ia mengamati tatapan mata itu. Ia bisa melihat betapa tenang dan santainya tatapan terang itu dari luar, tengah menyembunyikan sesuatu yang gelap di dalamnya. Vista sendiri tak percaya yang Ia lihat. "Paham sekarang? bisa saja Aku ini lebih tua darimu" ungkapnya.
"Ehem, sekarang, Kita lanjut ke topik yang lebih penting, jelaskan semua yang Kau tau tentang dewa-dewa dunia lain, tanpa terkecuali sedikitpun" suruhnya. Vista tertegun namun kesulitan menjawab "bisakah dia pergi" pintanya. Eideth melihat pandangan mata Vista yang masih terancam oleh kehadiran pelayannya itu. "Gerard, Aku minta Kau untuk tunggu diluar" pintanya. "Tapi Tuan", "Aku tau Kau khawatir, tapi Aku dalam kendali, percaya padaku". Gerard setuju untuk menjaga di luar kamarnya.
"Cepat jelaskan" perintahnya. "Aku akan memperingatkanmu, jika Apostle dunia lain tau Kau memiliki informasi ini, mereka akan segera memburumu". Eideth tidak menghiraukan peringatan itu sama sekali, Ia juga tidak dapat hidup dengan tenang jika Apostle masih ada. Menghidupkan ponselnya, Eideth bersiap untuk merekam penjelasan Vista kedalam ponselnya.
"Jika Kau tidak tau, ada enam Dewa dunia lain yang menjajah Artleya, Mereka adalah Rhagul (World Destroyer, Dewa Kehancuran), Varrak (Elating Mischief, Dewa Kekacauan), Yonhwa (Plaguing Cure, Dewa Keabadian), Uzreal (Conquering Monarch, Dewa Penguasa), Sarruman (Existence Eraser, Dewa Penghapusan), dan Qoatzl (Boundless Riches, Dewa Kekayaan)". Eideth juga mencatat pada buku catatannya sendiri, Ia sedikit bersemangat untuk mendengar kisah dari Dewa dunia lain itu.
"Masing-masing dari mereka memiliki 6 hingga sembilan Apostle, Mereka adalah Apostle utama, dipilih langsung oleh dewa mereka untuk pergi ke dunia lain menjalankan misi mulia itu. Mereka adalah perantara kekuatan Dewa, seorang yang membuat keputusan mewakili dewa mereka, Aku juga seorang Apostle". "Mantan" Eideth memotong Vista untuk menekankan itu, supaya informasi itu direkam ponselnya ucap Eideth. Vista sedikit kesal namun melanjutkan ceritanya.
"Lalu ada yang namanya Prophet, makhluk asli dari dunia yang Kami jajah, Kami beri kekuatan dan kekuasaan Apostle, ini berguna untuk menipu dan mengalihkan Kalian dari Kami yang asli, Prophet memiliki kekuatan dan bisa mengendalikan bawahan namun mereka tidak dapat membagi kekuatan mereka, juga tak bisa menciptakan pasukan sendiri, meskipun begitu, mereka adalah alat sempurna untuk Kami gunakan" ujarnya. Eideth menggenggam penanya dengan erat. Walaupun Ia membenci metode yang mereka pakai itu, Ia menyadari betapa berpengalamannya mereka dibandingkan kasus yang sudah Ia lihat. Ia harus lebih berhati-hati ke depannya.
"Jadi maksudmu, Arlaw, Kalos, dan juga Reine, adalah Prophet, mereka jadi bidak untuk Dewa dunia lain itu" tanya Eideth (ch. 53-56). "Itu benar, Kami juga menggunakan kendali pikiran pada Prophet yang Kami pilih, mereka hanyalah boneka bagi Kami" jawab Vista mengkonfirmasi hal itu. "Tapi kenapa, kenapa Kalian melakukan cara rumit seperti ini hanya untuk menguasai Artleya" tanya Eideth kebingungan.
"Meskipun keenam Dewa dunia lain bergerak bersama, bukan berarti tujuan mereka sama, Dewa punya tujuan mereka masing-masing, konsep yang menjadi identitas mereka, mereka hanya… melampaui tujuan mereka di dunia asalnya" jelas Vista. "Itu tidak menjawab apapun, jelaskan lagi", Eideth menyuruhnya untuk berhenti sok filosofis dan langsung ke intinya.
"Karena tidak semudah itu untuk mengubah akhir takdir dunia ini" ungkapnya, "eh?" Eideth mencoba mendengarkan sampai selesai sebelum memotong Vista. "Setiap dunia memiliki sebuah akhir, itu sudah ditakdirkan semenjak awal penciptaan, Kami harus perlahan-lahan menyatu dengan dunia ini agar bisa mengubahnya, saat itu salah satu dari keenam dewa akan mendapat imbalan mereka". Perkataan Vista seperti menggambarkan sebuah ramalan. Akhir Artleya akan direbut oleh Dewa dunia lain untuk diri mereka sendiri.
"Bagaimana Kami bisa menyingkirkan Kalian" Eideth mempersiapkan hatinya untuk menerima misi baru itu. Tujuan yang Ia akan dedikasikan kehidupan terakhirnya agar terwujud. Vista membungkukkan punggungnya, mencondong lebih dekat dan berbisik. "Dengan mendorong dunia Kalian menuju Akhir, mengambil Epilogue lebih awal, itulah satu-satunya cara untuk menyingkirkan Kami" tawa Vista di akhir benar-benar membunuhnya.
Vista kembali bersandar ke belakang dengan santai, sementara Eideth mencoba menahan amarahnya. Satu-satunya cara menyelesaikan misinya adalah untuk mendorong akhir dunia datang lebih awal pikirnya. Memperlambat akhir juga bukanlah pilihan karena itu hanya menunda hal yang tak terelakkan. Eideth juga tidak mau generasi selanjutnya harus menderita karena hal itu.
Ia tertegun lalu tersenyum, tidak menyangka Ia dapat menggunakan ilustrasi dari dunia lamanya. Dewa dunia lain itu adalah TBC. Mereka adalah bencana/virus yang sempurna. Mereka menunggu dengan tenang, tidak memporak-poranda dunia. Mengangkat Prophet untuk menyembunyikan diri mereka. Mereka beradaptasi dengan segala aspek Artleya, seperti membaur dalam keramaian.
"Apa itu pertanyaan terakhirmu" tanya Vista. "Tinggal satu lagi," ujarnya selagi berdiri, "bisakah Kami membunuh Apostle" tanya Eideth dengan tegas. "Apa gunanya, Kami akan selalu berada disini sampai Akhir dunia tiba", "jawab pertanyaanku dengan benar, bisa atau tidak" Eideth tidak main-main dengan pertanyaan penutup itu. "Seperti kasusku, Kami bisa mati, namun itu sangat sulit untuk dilakukan" jawabnya. Mendengar itu, hati dan pikirannya sedikit lebih tenang, lawan mereka bukanlah tak terkalahkan. Masih ada sedikit harapan untuk Artleya.
Eideth mengambil kembali ponselnya dan menghentikan rekaman. Ia berpikir untuk memberitahukan hal itu pada semua orang ketika waktunya sudah tepat. Ia tidak boleh memancing dewa dunia lain begitu awal, memberinya waktu untuk bersiap-siap. Vista merasa sedikit tenang Eideth telah berhenti mengeluarkan hawa mencekam itu. Ia bisa melihat emosinya mempengaruhi Mana di sekitar. Ada beberapa momen Eideth mengeluarkan hawa membunuh ditujukan kepadanya.
"Tetap duduk disitu, jangan coba kemana-mana" perintahnya. Eideth tidak akan melepas Vista semudah itu, setelah percobaan pengkhianatannya. Eideth berkata Vista cukup beruntung tertangkap basah di awal, jika Ia menemukan Vista berkhianat setelah lama bersamanya, Ia akan menyiksa Vista tanpa ampun kemudian membunuhnya. Vista dapat merasakan itu lewat sekujur tubuhnya, itu bukanlah ancaman kosong.
Eideth mengajak Gerard untuk masuk kembali setelah interogasi selesai. Gerard sedikit terkejut Vista belum mati, Ia berpikir Eideth memanggilnya untuk mengeksekusi Vista. "Tidak, bukan itu, Aku hanya perlu Kau membuatnya tegang sedikit" Eideth berkedip kepada Gerard. Memahami isyarat itu, Gerard mengikuti kehendak Tuannya.
Eideth kembali duduk berhadap-hadapan dengan Vista dengan Gerard dibelakangnya. "Vista, Aku mau Kau mengkhianati rekan Apostlemu" pinta Eideth. Penolakan oleh Vista sudah Ia duga. Meskipun ada Gerard disana untuk mengancamnya, Vista masih teguh pada pendirian dan kepercayaannya. "Kau begitu cinta dengan dunia asalmu itu huh. Oke kalau gitu, ayo buat taruhan" usul Eideth. Vista tidak tau tipu muslihat macam apa yang Eideth persiapkan namun Ia sudah mempersiapkan tamengnya.
"Aku ingin Kau memberi kesempatan, pada dirimu sendiri, untuk mencintai dunia ini, tidak ada tipuan apapun, Aku sungguh-sungguh" Ia bersumpah. Vista masih tidak percaya taruhannya sesederhana itu. "Kalau begitu ayo Kita buat peraturan dasar, Kita buat batas waktunya dua tahun karena satu tahun terlalu singkat, Kau akan ikut denganku ke akademi namun tidak boleh belajar tentang sihir apapun, Kau hanya boleh membaca buku literasi yang selalu Aku awasi, dan membentuk hobi untuk menghabiskan waktu dua tahun". "Ini bagianku, rasanya terlalu mudah" Vista yakin Eideth masih merencanakan sesuatu.
"Dengar dulu, selama dua tahun, Kau akan memberiku informasi apapun tentang dewa dunia lain yang Kau tahu, dan Aku akan mengatur informasi apa yang akan Kau bagikan kepada rekanmu, agar mereka tidak curiga dengan kesepakatan Kita ini, Jika dalam waktu dua tahun, pendapatmu tentang Artleya tidak berubah, Aku akan melepas sihirku padamu dan membiarkanmu pergi, bagaimana cukup adil bukan".
Vista merenungkan dalam-dalam penawaran itu. "Jadi Kau bertaruh, Aku tidak akan mencurangimu selama dua tahun, mempelajari rahasia Artleya, untuk dibagikan kepada rekanku, hanya karena Aku mulai mencintai dunia Kalian" Vista memastikan kesepakatan mereka. "Itu benar, dan jika Kau mulai mencintai Artleya, Kau harus menjadi agen rangkap tiga untukku, kalau tidak Aku akan melepasmu pergi". Vista tidak menyangka akan muncul kesempatan emas seperti itu. Ia mengulurkan tangannya tanpa ragu.
Eideth tidak begitu saja setuju meskipun ini adalah usulannya, "ingat, Kamu harus benar-benar berusaha untuk mencintai dunia ini, sama halnya Aku berjanji untuk melepasmu dengan ikhlas". "Ya, ya, Aku mengerti, kenapa Kau yang ragu-ragu" ucapnya. Eideth meminta Vista untuk melakukan sumpah atas eksistensi mereka, jika salah seorang dari mereka melanggar kesepakatan itu, mereka akan mati.
"Kami berdua bersumpah untuk… sumpah atas nama eksistensi Kami". Dengan jabatan tangan itu, sebuah kekuatan aneh seperti mengikat jiwa mereka. Kekuatan itu bukanlah sihir seperti Adazh, ataupun kekuatan dunia lain yang Vista gunakan, itu lebih mirip dengan hukum dunia. Selesai mengucapkan sumpah mereka, Eideth dan Gerard pergi meninggalkan Vista, menyuruhnya untuk segera bersiap karena mereka akan segera pergi ke Lucardo, untuk mendaftar ke akademi. "Maksudmu sekarang", "iya sekarang, jadi cepatlah, Aku juga perlu berkemas" ujarnya segera keluar dari kamarnya.
Vista menyadari Gerard tidak menutup pintu kamarnya dengan benar, meninggalkan sebuah celah kecil. Ia mendengar suara dari sela pintu itu. Gerard tengah mengeluh kepada Eideth tentang tindakannya yang tidak rasional. "Tuan, kenapa Anda melakukan itu, dia itu pengkhianat" Ia mengajukan diri untuk membunuh Vista menunggu perintah dari tuannya. "Tidak perlu, Vista masih bisa menolong Kita, Aku rasa Kita harus coba percaya padanya" balas Eideth. Setelah perdebatan singkat itu, mereka segera pergi.
Vista tidak tau apakah Eideth begitu bodoh atau naif. Namun Ia harus bersyukur dengan keadaannya saat ini, Ia masih punya kesempatan untuk kembali pada dewanya dan mewujudkan keinginannya untuk pulang. Vista tidak mau melepas hal itu. Ia bertekad untuk kembali bagaimanapun juga.
Kembali ke kamarnya, Eideth dan Gerard melepas nafas lega, akhirnya mereka tidak perlu berakting kembali. "Apa menurut Tuan Vista akan percaya setelah melihat itu" tanya Gerard. "Aku tidak yakin, tapi Aku yakin itu akan membantu" balasnya. Mereka hanya bisa menunggu dan mengantisipasi apa saja yang bisa terjadi. "Tuan, Anda masih belum selesai mengemas koper Anda", "Oh iya…" teriaknya terlupa kembali. Tidak ada yang tau bagaimana pilihannya itu akan mengubah masa depan, tapi Eideth memutuskan untuk hidup pada masa ini. Ia hanya bisa berharap yang terbaik dan berusaha lebih giat.
End of Vol. 1.5
Next Vol.2 Academy, life of a Scholar