Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 78 - Let Us Embrace You

Chapter 78 - Let Us Embrace You

Eideth bersama Zain dan Franz mengaku pada keluarga Raziel tentang identitas rahasia mereka. Ia menundukkan kepalanya tidak dapat menatap mereka secara langsung. Kakinya sedikit bergetar karena takut bersiap untuk yang terburuk. Lucia dan Agareth berdiri dan mendekati Eideth. Mereka tidak pernah melihat sisi ini dari anak mereka, namun mereka mengenalnya cukup baik untuk tahu Ia tidak berbohong. Lucia memeluk Eideth menenangkannya, memberitahu semua tidak apa. Agareth mengajak Zain untuk berpelukan bersama ibunya.

 

"Terima kasih sudah memberitahukan Kami, jangan sedih, Kalian tidak apa-apa kok" tutur Lucia dengan lembut. Ia juga menyambut Zain dalam dekapannya, mengelus kepala mereka berdua dengan penuh kasih sayang. Agareth menepuk pundak mereka menunjukkan dukungannya. "Kalian tidak marah" tanya Eideth, "tentu saja tidak, Ibu malah senang Kalian akhirnya jujur pada Kami" balasnya. Eziel juga berpikir itu masuk akal, Ia akhirnya mengerti bagaimana Eideth memiliki pengetahuan yang unik akan sihir, "apa dunia lamamu memiliki sihir juga, seperti sihir itu" Eziel penasaran. "Tidak Bi, dunia asalku tidak memiliki sihir, tapi Kami selalu berkreasi dengan ide itu" balas Eideth, "kalau Kamu Zain" Eziel melanjutkan.

 

"Dunia asalku, Kami memiliki sihir, hanya saja menggunakan sistem sihir yang berbeda dengan Artleya" jelasnya. Franz hanya berkomentar singkat, berkata Ia dari dunia yang sama dengan Eideth. "Apa maksudmu "sihir itu", Eziel" tanya Vinesa menyadari hal itu. Eziel melihat kearah Eideth tahu Ia tidak bisa memberitahu yang lain tentang topik tanpa seizinnya. "Tidak apa Bibi, biar Aku saja yang menjelaskan".

 

Semuanya hendak duduk kembali ke tempat mereka untuk mendengarkan. "Begini, Aku baru saja menemukan sihir tipe baru, Aku menamainya Conceptual Magic," Eideth mulai memperagakan sihir gerakan tangan yang Ia tunjukkan pada Eziel sebelumnya (chapter 13), "Raikiri" petir keluar dari tangannya. "Sihirku ini adalah salah satunya, Aku masih meneliti mereka jadi belum banyak yang bisa Aku simpulkan, sihir ini pada dasarnya manifestasi dari keinginan, kepercayaan, dan juga cerita yang Kau percayai itu nyata, ini adalah sihir itu" jelasnya singkat. Ia juga meminta mereka yang baru tahu untuk merahasiakan sihir itu seperti yang lain. Mereka pun setuju. "Aku tidak sabar melihat sihir ini setelah sempurna" ujar Irena bersemangat.

 

"Kalau Kamu Zain, ada sesuatu yang ingin Kamu bagikan" tanya Agareth. "Ayah, Ibu, Aku ingin pergi berpetualang lebih cepat, Aku dan Franz, Kami ingin segera mencari sang Pahlawan" Zain meminta izin. "Tentu saja Kau boleh, Kami hanya ingin Kalian berhati-hati di luar sana" balas Agareth, "dan jangan lupa untuk mengabari Kami jika terjadi sesuatu" sambung Lucia. Zain menggeram kepada dirinya sendiri berpikir mereka takkan mengizinkan, Ia salah. Zain menundukkan kepalanya dan memeluk kedua orang tuanya, tidak menunjukkan wajahnya karena malu.

 

"Tidak apa-apa, Kami tau Kau seorang yang pendiam, tidak perlu berkata apa-apa, Kami mengerti, sudah nak" Lucia mengelus rambut Zain dengan lembut. Zain merasa bahagia sudah lama Ia tidak mendapat kasih sayang seperti ini. "Apa Kakak nangis" usik Irena, "tidak, asap tadi masuk ke mataku" dalihnya. Zain kembali ke tempat duduknya, dan menurut urutan, kini giliran Irena untuk mengakui sesuatu.

 

"Ibu, Aku sering bolos kelas kebangsawanan untuk berlatih bersama Kakak dan Bibi Vinesa" Irena mengaku. "Aku menahan diri untuk tidak berlatih dengan sabitku agar tanganku tidak tumbuh kapalan dan Ibu takkan sadar" tambahnya. Pengakuannya itu memecahkan kepercayaan Lucia kepadanya. Selama ini Ia berpikir Irena hanya merasa tertinggal dan sedikit tertarik dengan pertarungan dan sihir. Lucia mempertahankan wajah senyumnya namun mengepalkan tinjunya dengan erat karena marah. Agareth mengelus tangan istrinya, menenangkannya sebaik mungkin, tapi Irena belum selesai.

 

"Tapi Aku sekarang Aku sadar, semua yang Ibu lakukan untukku itu, agar Aku siap menjadi penerus kepala keluarga yang baik, terima kasih Ibu, Aku akan melanjutkan pelajaranku lebih giat lagi, jadi tolong biarkan Aku berlatih seperti Kakak juga Ibu" sambungnya. Lucia merasa tersentuh. Ia membukakan tangannya untuk menyambut Irena. Sudah lama anak bungsu itu tidak merasakan kehangatan ibunya. Setelah itu Ia kembali ke kursinya dengan perasaan bangga. "Cuma Kak Eid yang menangis", "itu benar" angguk Eideth memberi Irena tos tinju. "Hey" Zain tidak terima diledek selagi ditengah mereka.

 

Lucia melihat kearah Agareth, melanjutkan giliran. Agareth terkejut Ia harus mengungkapkan rahasianya juga tapi Lucia memaksa. Agareth mengaku Ia mematahkan 72 senjata saat berlatih suatu teknik, Ia berhasil, hanya saja Ia menyembunyikan kerusakan itu dan mengganti pedangnya dengan uang pengelolaan kastil. "Jadi itu yang terjadi waktu itu" Lucia langsung mengingat kapan itu terjadi. Agareth tentu saja mendapat teguran akibat perbuatannya.

 

Kini giliran Lucia tapi Ia mengaku Ia tidak punya rahasia apa-apa. Tatapan kuat dari keluarganya Lucia pun menyerah. Ia mengaku, saat Irena berusia lima tahun, Ia merasa senang karena Irena tumbuh menjadi putri yang baik, "Ibu sudah mempersiapkan calon pasangan untukmu, jika Kamu malu-malu seperti kedua bibimu itu". "Ibu" tegur Irena, mengatakan Ibunya melakukan hal yang tidak perlu. Eziel dan Vinesa menyemburkan minuman di mulut mereka merasa tersindir. Mereka berdua tak bisa marah karena itulah faktanya. Keturunan Raziel dipercaya sulit menemukan pasangan karena mereka terlalu sibuk berlatih dan tidak memikirkan romansa. Untung saja Agareth menikah dengan cepat dan menjadi kepala keluarga tanpa menunggu kakaknya.

 

Pengungkapan rahasia itupun terus berlanjut hingga giliran Franz. Mereka tidak memaksanya untuk membuka rahasia apapun jika Ia tidak mau, tapi Ia tak masalah. Franz berdiri agar sama seperti yang lain saat pengakuan mereka. "Aku ingin mengaku ini adalah misi pertamaku, Aku datang dari dunia tanpa sihir jadi ini semua baru untukku, karena itu Aku akan berlatih keras, dan Aku mohon bantuan Kalian" Franz membungkuk dengan hormat.

 

Vinesa bertanya seberapa jauh perjalanan Franz, mendapati idiom itu Franz menjawab dengan benar. "Aku baru mencapai Second Gate, Aku punya kemahiran lebih tinggi dengannya, mantra tertinggi yang bisa ku lafalkan itu level 3" ungkapnya. "Dan Kamu baru tiba di dunia ini sejak lahir" tebak Eziel, "Aku baru sampai setengah tahun lalu" balasnya.

 

"Loh, tunggu sebentar" Eideth menyadari sesuatu, "Linzel, Loefel, Talentku bangkit bukan karena Dia datang bukan". Linzel dan Loefel yang sedari tadi berada disana untuk menonton kini menjadi poros perhatian. "Kami… mungkin mengatur kemungkinannya sedikit", "Kami hanya sedikit khawatir keberuntunganmu dengan pengambilannya tidak mujur" jawab mereka berdua. Eideth tidak mengira Ia akan mendapat pity terakhir jika bukan karena Franz, Ia bukannya bersyukur, namun berpikir betapa sialnya dia.

 

Irena bertanya apa yang kedua peri itu maksud, Eideth menjelaskan. "Begini, karena Aku pekerja yang baik, Aku menggunakan gajiku untuk tunjungan terakhir sebelum pensiun, disetujui oleh kepala direktur, Aku mendapat syarat Aku hanya bisa mendapat hadiahku, sebanyak dua puluh kali, dan hanya bisa diambil satu per satu setiap ulang tahun, hadiah utamanya adalah beberapa pilihan, Aku meminta ponsel ini untuk hadiahku, jadi apa hubungannya ponsel ini dengan Talentku".

 

"Ehem, karena pengetahuan ini harus ditemukan sendiri oleh orang Artleya, Kami tidak bisa menjelaskan sepenuhnya, ini berkaitan dengan misteri dari Talent itu sendiri" jelas Loefel. Linzel menyambung memberi penjelasan, "dari pengamatan Kami, Talent Eideth bangkit karena persyaratan spesial telah terpenuhi, dengan Kamu mendapat akses dengan dunia lamamu menggunakan ponsel, Talentmu ikut bermanifestasi menjadi yang sekarang". Eideth dan Zain menghalangi Eziel karena Ia baru saja terpancing. "Tidak perlu khawatir, Bibi lebih tertarik mengungkapkan misteri itu sendiri" ujarnya dengan percaya diri, "tapi jika Kalian ingin memberi petunjuk itu akan sangat dihargai" Eziel mengintip dari ujung matanya. Loefel dan Linzel tidak berkomentar.

"Jadi, apa Talentmu itu semacam sihir konsep" tanya Franz. Ia tidak sadar Ia melanggar tabu jadi Zain menghentikannya. "Tidak apa, Aku juga sudah memberi tahu Conceptual Magic, kenapa tidak seluruhnya" ucapnya dengan santai. "Talent milikku, kurasa terbagi menjadi dua, ini cuma perkiraanku saat ini, [Conceptualize: TTRPG] adalah namanya, Conceptualize, dari pengetahuanku, adalah membangkitkan sihir dari konsep, dan TTRPG, adalah peraturan khusus yang Aku harus ikuti saat memakai sihir ini" jelasnya. Franz ingin menambahkan sesuatu tapi Eideth melarang. Ia tidak mau Franz mengatakan sesuatu yang tidak perlu, seperti TTRPG itu adalah permainan atau semacamnya. Eideth memberinya tatapan "tunggu giliranmu" dengan ramah.

 

"Conceptualize datang lebih dulu, sebelum Aku memilih haluan TTRPG setelah mempertimbangkan pilihan lain, Aku yakin dengan penelitian yang dalam, Aku bisa menggabungkan esensi Talentku dengan Mantra dan Teknik sihir umum, tapi pencapaianku saat ini masih belum ada" ungkapnya. "Apa masih ada lagi rahasia penemuan sihir yang belum Kau beritahu" tanya Eziel yang masih mencatat penjelasan tadi di bukunya.

 

"Aku tidak punya apa-apa lagi," balasnya sambil mengangkat bahu, "karena itu Aku masih punya suatu permintaan". Eideth membentuk huruf T dengan tangannya, tanda mereka sudah menyingkir dari topik yang sensitif. "Aku tahu ini terdengar bodoh, tapi Aku ingin Kita menyelesaikan masalah Sixen ini perlahan-lahan" pintanya. "Aku hanya khawatir, ini sudah mengangguku sejak lama, kenapa Dewa dunia lain tidak menyelesaikan dunia ini dari awal" tunjuknya.

 

"Tidak masuk akal bagiku, mereka memutuskan untuk menjamah dunia ini perlahan-lahan dan tidak menghancurkannya secara langsung, konfrontasi pertama kita dengan mereka itu ratusan tahun lalu, saat Pan Gazer masih hidup, Aku yakin mereka masih belum menunjukkan kekuatan asli mereka setelah ratusan tahun ini". "Aku tidak setuju" sanggah Zain, "kurasa menyerang lebih dulu adalah yang terbaik, semakin lama Kita membiarkan mereka merancang rencana, semakin berbahaya jadinya" sambungnya.

 

Eideth tidak dapat membantah pendapat itu, logikanya masuk akal. "Bagaimana apa Kakak mau membantu" ajak Zain. Ia menggelengkan kepala, Eideth yakin Ia dapat membantu lebih banyak dengan menjauhi grup pahlawan. "Saat ini Aku dalam perhatian Apostle dunia lain, Aku yakin saat pahlawan muncul perhatian mereka segera beralih, jika Pahlawan kenapa-napa dan cedera, saat itu Aku mengalihkan perhatian mereka, dengan begitu perjalanan Kalian akan lebih lancar".

 

Zain tidak menyangka Kakaknya sudah berpikir sejauh itu, Ia mengangguk setuju dengan ide itu. "Kalau Aku Kak bagaimana" Irena mengangkat tangannya, Ia juga ingin memberi kontribusinya sendiri. "Bagaimana ya… posisi lapangannya sudah Kami ambil semua", "iya, Kamu bisa ambil pekerjaan apa ya" Irena sadar mereka mengerjainya tapi Ia tetap sabar. "Kamu, jadilah penerus keluarga yang baik, latih prajurit Kekaisaran supaya lebih kuat lagi, Aku yakin dengan Talentmu, Kamu bisa membuat inovasi yang lebih besar dari Kami" ujar Eideth.

 

"Ehem… Kamu tidak akan mengambil pekerjaan Ayah semudah itu, lanjutkan dulu pendidikanmu" tegur Agareth merasa pekerjaannya mau diambil. Lucia berkata Agareth tidak perlu khawatir, Irena masih empat belas tahun dan Ia masih punya banyak waktu. Mengalihkan senyum nakal anaknya itu, Agareth mengelus kepala Irena dan memeluknya. Candaan seorang ayah kepada anaknya, itu adalah hal yang jarang mereka tunjukkan dalam kehidupan mereka selayaknya bangsawan.

 

"Sudah, selesai makan malam, ayo beres-beres dan siap-siap tidur" suruh Lucia. Kedua kontraktor itu berterima kasih atas keramahan dan pengertian mereka, mereka pamit kemudian menjentikkan jari menghilang seketika. Eideth merasa begitu lega sesudah melepas rahasia berat itu. Ia tahu kedepannya akan lebih mudah untuk jujur kepada mereka. Zain mengajak Franz untuk tetap tinggal, Ia kesulitan menolak dan terpaksa setuju. Eideth tertawa melihatnya mencoba untuk membuat alasan dan tetap saja gagal. "Kamu tidak bisa lari secepat itu tuan antisosial" ucapnya pada Franz. Mereka segera istirahat setelah ditegur Lucia.

 

Di Raziel, Vista mengendap-endap keluar dari kastil di malam hari. Ia pergi menjauhi kota dan memasuki hutan. Dia dengan jelas melawan perintah Eideth untuk tetap tinggal di kastil selagi Ia pergi. Gerak-geriknya mencurigakan, selalu memperhatikan belakangnya supaya tidak diikuti. "Kau sampai, Aku tidak bisa percaya, tapi Aku yakin sekarang, Kamu ingin mengabdi kembali pada Dewa kita Rhagul, bukan" sebuah siluet bayangan datang menyapanya. "Aku tidak bisa memberontak terlalu lama, pengaruh kekuatan sihir ini masih mengekangku, laporan baru, Aku akan menyusup masuk kedalam Akademi Gonan, Raziel itu percaya padaku dan akan membawaku masuk" jelas Vista.

 

"Hoho, itu luar biasa, Aku tidak tahu apakah tuan pura-puramu itu bodoh atau begitu percaya diri akan kekuatannya, Aku akan menyampaikan laporanmu pada yang lain, tetaplah pada misimu" balasnya. "Apakah harus seperti ini" tanya Vista, "kenapa, apa Kau mulai bimbang", "Aku hanya khawatir anak itu mulai mencurigaiku" ungkapnya. "Kenapa Kau takut mati sekali lagi" ledeknya. "Aku serius, dia benar-benar membunuhku saat itu, sihirnya membawaku kembali seperti ini, melawan hukum kekuatan Kita".

 

Figur hitam itu tidak percaya, "tidak mungkin, sihir orang biasa sepertinya tidak mungkin dapat melakukan itu, Kita tak bisa sepenuhnya mati sampai mereka menyelesaikan tingkat terakhir, tubuh utama Kita terlindungi" ungkapnya. "Itu kenyataannya, Kau lihat Aku disini, dengan tubuh asliku dirubah menjadi bawahannya… Agh…" kepala Vista diserang oleh rasa sakit yang tak tertahankan. "Akh… Aku tidak punya waktu lagi, Aku harus kembali" Ia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, menahan kepalanya yang mau pecah. "Akan kukabari nanti, sampai jumpa" ucap bayangan itu sebelum menghilang tanpa meninggalkan jejak.

 

Vista berhasil menyusup kembali kedalam kastil tanpa memperingati penjaga. Ia mengatur nafasnya selagi rasa sakit itu perlahan hilang. Ia hampir tidak sempat kembali, Ia tidak mau tidak sadarkan diri ditengah jalan karena itu akan menarik perhatian. Vista hendak kembali ke kamarnya tapi Ia berpapasan dengan Gerard di lorong. "Kau dari mana" tanya Gerard dengan tegas. "Aku habis dari kamar mandi agh, sibuk dengan urusan orang saja" Zain sudah bersiaga untuk kejadian itu, Ia sengaja mengambil kamar yang tidak memiliki kamar mandi untuk menyempurnakan alibinya.

 

 Masuk ke kamarnya, Vista tidak bisa menghilangkan kekhawatirannya akan Gerard. Ia akan berada dalam masalah jika pelayan tua itu mulai curiga padanya. Ia kepikiran untuk menyingkirkan Gerard tapi itu hanya akan menambah kecurigaan terhadapnya. "Dia juga bukan pelayan biasa, Aku bisa merasakan kekuatan yang Ia coba tutupi itu, menyerangnya langsung bukanlah pilihan untuk tubuhku saat ini" gumamnya. Vista sudah lama tidak merasa begitu tidak berdaya. Kini Ia harus semakin berhati-hati, Ia membangun hubungannya saat ini begitu lama dan belum saatnya menghancurkan mereka.

 

Pagi itu, di perkemahan, keluarga Raziel memutuskan untuk kembali. Eideth harus segera pergi ke Lucardo untuk mendaftar, Zain akan pergi bersama Franz untuk mencari sang Pahlawan, dan Irena akan mendapat latihan spesial dari Vinesa dan Eziel. Kedua kakaknya memberikan doa dan tepukan pundak belasungkawa kepada Irena. "Sudahlah Kak, Kalian membuatku gugup" keluhnya.

 

Vinesa dan Eziel akan menyusul belakangan, mereka perlu menyelesaikan latihan di perkemahan. Irena mendapat sedikit ruang untuk bernafas, Ia punya waktu untuk membuat menyiapkan diri dan mentalnya. Melambaikan tangan, mereka naik kedalam kereta kuda untuk pulang lebih dulu. Dua hari yang mereka lewati bersama, banyak hal sudah terjadi. Eideth tidak menyangka keluarganya akan menerima rahasianya itu. Eideth senang dapat menghindari alur salah paham akibat terbongkarnya rahasia, itu salah satu hal yang sulit dihadapi meskipun dengan semua cerita yang sudah Ia baca.

 

"Ibu tidak pernah masih tidak habis pikir Kalian berdua dari dunia lain, bagaimana Kalian bertemu" tanya Lucia. Eideth dan Zain melanjutkan cerita mereka tadi malam yang terpotong. Mereka coba menyampaikan semua detail yang penting tanpa melanggar bagian dari kontrak mereka, tidak boleh memberitahukan dunia asal mereka, hal ini untuk melindungi mereka dan dunia mereka. Eideth menjelaskan salah satu alasan Ia mengungkapkan identitas rahasianya karena pengalaman di dunia asal Zain.

 

Disaat itu, mereka menyembunyikan rahasia tersebut begitu lama, mereka hampir di cap sebagai pengkhianat, merusak sebagian besar usaha mereka saat itu. Eideth sadar kepercayaan harus dibangun dari awal, rahasia untuk melindungi diri mereka itu malah menghancurkan hubungan, kepercayaan, dan pandangan orang-orang terhadap mereka. Misi mereka untuk menyelamatkan dunia jadi terlambat. "Aku tidak mau mengulangi itu lagi" jawab Eideth dengan mata yang tegas.

 

"Kami mengerti" jawab Agareth, Irena, dan Lucia bersamaan. Karena menjaga rahasia adalah hal yang umum di Artleya, dan ditekankan jika berkaitan dengan sihir, Ia berharap bisa mengendalikan rahasia itu sebaik mungkin sebelum menyebar terlalu luas. Eideth dan Zain sangat bersyukur bisa terlahir dalam keluarga Raziel.

 

Waktu melintas dengan cepat saat bercerita. Tanpa mereka berdua sadari, mereka sudah tiba di kastil Raziel. Para penjaga mengumumkan kepulangan Count, membukakan pintu gerbang agar kereta kuda itu masuk. Tubuh mereka sedikit kaku karena perjalanan yang panjang diatas kereta namun masih ada pekerjaan yang harus mereka kerjakan sendiri-sendiri. Eideth dan Zain permisi untuk membereskan koper mereka, Irena pergi untuk mengganti pakaian, Agareth dan Lucia melanjutkan pekerjaan mereka di dalam kantor.

 

"Sial" melihat sampainya keluarga Raziel dari jendela kamar, Vista merasa tidak nyaman dengan kepulangan tiba-tiba itu. Ia berpikir itu bukanlah suatu kebetulan dan mencoba memikirkan apa yang akan terjadi. 'Apa Aku sebaiknya kabur' pikirnya, Vista mengingat masih ada kemungkinan bahwa semua ini hanyalah kebetulan. Daripada melarikan diri dan meyakinkan kecurigaan, Ia akan mencoba berdalih terlebih dahulu. Vista dengan tenang menunggu di kamarnya berharap hal yang Ia takutkan tidak terjadi.