Pemuda asing yang tiba-tiba muncul itu maju menyerang Eideth. Ia sudah dituduh sebagai orang dunia lain dan balasannya itu menjawab semua kecurigaan. Ia mencoba menyerang Eideth di kepala, pukulan kuat disertai sihir dan kekuatan aneh. Eideth mengangkat Vaylantz dan menahan pukulan itu meskipun Ia terdorong mundur. Eideth bersiap dengan kuda-kuda bertarungnya siap menganalisa pertarungan.
Eideth menyadari Ia tidak dalam kondisi untuk siap bertarung, tubuhnya masih mendapat keletihan Mana dan memakai sihir bukanlah pilihan. Menahan pukulan barusan tanpa Mana menunjukkan perbedaan kekuatan dan kerugian yang Ia miliki. Eideth tidak punya strategi apapun untuk situasi seperti ini.
"Kak hentikan, jangan berkelahi" Zain menengahi mereka berdua. Pemuda itu menurunkan tangannya dan tidak berniat untuk lanjut bertarung. "Franz, kenapa Kamu menyerang Kakakku", "Kamu sih ragu-ragu seperti itu, Aku hanya berniat membuat Kakakmu pingsan tanpa menyakitinya, tapi Dia kuat". Tak melihat lawannya ingin lanjut bertarung, Eideth menurunkan penjagaannya sedikit. Ia menyadari Zain mengenal pria itu membuatnya kebingungan. "Zain Kau…"
"Dengarkan Aku Kak, Aku juga dari dunia lain" Eideth terdiam dengan wajah syok tak percaya membuat Zain harus menjelaskan dirinya. "Begini Kak, meskipun Aku lahir di Artleya, jiwaku berasal dari dunia lain, ini sedikit sulit untuk dijelaskan" Zain kesulitan merangkai kata-kata. Kenalan Zain itu maju untuk menjelaskan, "jiwa Kami berasal dari dunia lain, Kami dikirim ke sini oleh Dewa dunia lain yang baik untuk membantu dunia Kalian menyelesaikan masalah, apa Kau mengerti".
"Aku tidak bisa percaya semudah itu, tidak ada garansi perkataanmu itu benar, dan Zain, Kau dan Aku perlu bicara dengan yang lain nanti". Eideth menarik tangan Zain untuk segera pergi dari sana tapi pemuda itu menahannya. "Kau tidak bisa pergi semudah itu, Aku harus memintamu berjanji untuk merahasiakan ini" tegasnya. "Kau tidak punya hak untuk meminta apapun dariku, Kami pergi dari sini" Ia masih tetap tidak melepaskan genggamannya. "Tak ada pilihan lain, Aku harus menghapus ingatanmu" ujarnya.
Eideth langsung menjaga jarak menjadi waspada, melepas tangan Zain untuk memegang Vaylantz dengan kedua tangan. Franz tengah bersiap untuk melumpuhkan Eideth supaya Ia bisa di cuci otak. Zain di tengah bingung dan ragu-ragu harus memihak siapa. "Zain kalau Kau tidak mau membantu minggir saja" suruh Franz. Eideth tidak bisa mengharapkan Zain untuk menjaga punggung, sendirian menghadapi seseorang dari dunia lain Eideth menjadi sangat berhati-hati.
Sebuah tawa dari seorang wanita terdengar di hutan sunyi itu. Suara itu terdengar familiar di telinga mereka bertiga. Memunculkan dirinya di udara, Loefel tertawa terbahak-bahak dengan tangan di perutnya merasa sedikit sakit. "Nona Loefel", "Loefel mengapa Kamu kemari, jangan bilang kalau… Kamu adalah… kontraktor mereka" Eideth menyadari apa yang terjadi. "Iya itu benar bos, Aku adalah kontraktor mereka, pastinya Kamu sudah kenal Mage bukan" ujarnya sambil tertawa.
Eideth melihat Zain dengan mata berkaca-kaca, "Zai- Mage, apa itu Kau" tanya Eideth. "Kalau Kakak kenal dengan nona Loefel berarti Kakak adalah…" akhirnya mereka mengetahui identitas asli satu sama lain. "Kakak" Zain melompat hendak memeluk kakaknya tapi Eideth bukannya ikut terharu malah memukul wajah adiknya. Zain kaget dan juga bingung, "Kakak" gumamnya dengan pelan.
"Mage, kau brengsek, kenapa Kau disini, Kau sudah mati dengan damai di duniamu, kenapa Kau kemari, Loefel Aku akan bicara denganmu nanti" tunjuk Eideth dengan marah. Ekspresi Loefel berhenti tertawa tahu Eideth tidak menerima kejutan itu dengan baik. Eideth menggaruk kepalanya dengan agresif meluruskan pikirannya. "Apa Kamu mengatur ini" tanya Eideth dengan tegas, "tidak, semuanya ini murni kebetulan, tidak ada yang mengira Kalian akan lahir sebagai saudara" balasnya dengan serius.
"Sejak kapan Kau tau", "saat Mage lahir sebagai Zain" balasnya. Eideth membantu Zain bangun dari tanah dan menatap matanya dengan serius. "Kenapa Kau mengajukan diri untuk ini, Aku melihatmu menjalani hidupmu dengan puas, kenapa Kamu ingin—", "karena Aku ingin membalasmu Kak, Aku dapat memperbaiki hidupku dan mengubah dunia asalku karenamu, Aku ingin membantu dunia lain juga, membantu orang lain menemukan kebahagiaan sepertiku". "Tapi Kau gak tau itu, apa yang akan Kau hadapi kedepannya, apa Kau tahu apa yang—", "ya Kak, Aku tau, Aku tau" potongnya.
Eideth kehabisan kata-kata untuk memarahi temannya, Ia duduk ke sebuah batu untuk berpikir dan menenangkan diri. "Pekerjaan seperti ini, membuatmu lupa kalau Kita hanyalah makhluk fana, Kamu tau kalau Kamu tak—", "takkan kembali ke dunia lamaku setelah mati selama tiga kali, artinya gagal menyelesaikan permintaan, Aku tau itu peraturan yang Kakak buat dengan IDC". Eideth menundukkan kepalanya coba memikirkan alasan untuk menerima ini.
Melihat hal itu, Franz jadi tegang mengetahui seseorang dengan kewenangan lebih tinggi dihadapannya. 'Nona Loefel saja kembali serius, orang ini pasti bukan macam-macam' pikirnya dalam hati. Ia sadar bukan posisinya untuk masuk dalam pembicaraan, jadi Ia melihat saja dari pinggir. 'Semangat Zain, Kau pasti bisa" dukungnya dalam hati.
"Loefel, apa mungkin untuk merevisi ulang peraturan itu" tanya Eideth. "Kakak" marah Zain, "Aku hanya bercanda" tawanya. Eideth berdiri dan memberi Zain pelukan hangat. "Senang bisa bertemu lagi denganmu kawan, Aku tidak minta maaf karena memukul wajahmu, Kau layak mendapatkan itu karena datang ke sini". Mereka berpelukan dengan erat, lebih erat dari yang pernah mereka lakukan. "Kakak sudah menerimanya secepat itu" tanya Zain.
Eideth melepas pelukannya dan menatap Zain, "tentu saja tidak, karena Kita harus memberitahu Ayah, Ibu, dan yang lain, Kita harus membuat mereka menerimanya baru Aku puas". "Apa, itu tidak boleh, peraturan ke lima ratus empat puluh tujuh—", "artikel empat setelah revisi, pelaksana kontrak, Kami, dapat memberitahu orang yang dapat Kami percayai untuk membantu misi Kami, dengan berbagai kriteria penilaian, blah blah blah, termasuk keluarga, tidak perlu beritahu Aku peraturannya, Aku disana saat mereka direvisi" potongnya.
Loefel tidak bisa membantah hal itu dan menurunkan jarinya. Franz terlihat kagum menyaksikan dari samping tapi Eideth masih belum menghiraukannya. Perhatiannya kembali fokus pada Zain. "Zain, Aku tidak marah padamu karena menyimpan rahasia ini, Aku juga, Aku hanya marah padamu karena Kau memilih untuk melakukannya, tapi Aku tetap sayang padamu jadi dengarkan" Eideth memegang kepala Zain dan mendekatkan kepala mereka.
"Kau tidak akan menemukan kenyamanan dalam pekerjaan ini, ataupun kebanggaan, Kau harus memegang erat tujuanmu itu, Kau ingin apa", "membantu dunia lain mendapat kebahagiaan mereka", "itu bagus, itu tujuan yang mulia memang, tapi bukan tanpa beban, Kau sudah memilih jalan ini, Aku yakin Kau siap untuk beban apapun yang akan menimpamu" ungkap dari dalam lubuk hatinya. Melihat tatapan mata serius itu, Zain bertanya, "bagaimana jika Aku tidak bisa memilih". "Kamu harus siap membuat pilihan baru itu sendiri, bagaimanapun caranya".
Setelah Eideth melepaskan kepalanya, Zain bisa merasa lega. "Wow Kak, Aku pikir Aku akan mendapatkan dukungan darimu jika Kita bertemu lagi, Kau sangat blak-blakan" ujar Zain. "Yah, Aku harus menghilangkan kecanggungan setelah tau Kau itu Mage, mau gimana lagi" Eideth mengangkat bahunya. Eideth meminta maaf pada Loefel karena sudah membentaknya seperti itu, Ia tidak suka menjadi atasan yang merasa superior. Loefel merasa lega Ia tidak jadi dimarahi.
"Kamu Franz bukan" sapa Eideth mengulurkan tangannya. "Senang bertemu dengan Anda tuan —", "panggil Aku Eideth disaat seperti ini". Franz menjabat tangan Eideth begitu bersemangat. "Aku tidak menyangka misi Artleya ini akan dibantu bersama petinggi IDC" ujarnya. "Oh tidak, Aku kesini tidak untuk membantu, Aku hanya mengawasi dan akan turun tangan bila diperlukan, ini tetap misi Kalian berdua" balasnya. "Tetap saja, dengan Anda disini, Saya punya perasaan baik dengan misi ini". Eideth begitu Franz begitu pandai menjilat orang.
"Apa Kau sudah makan, kalau belum ayo ikut Kami makan malam" ajak Eideth. Franz hendak menolak tapi Eideth menjelaskan alasannya bukan karena Ia baik hati. Melainkan, "Aku perlu membawamu karena Kau juga harus mengaku pada orang tuaku" jelasnya. Eideth menjelaskan bahwa itu akan membantu menjelaskan keraguan dan juga membantu mereka mendapat dukungan dari orang yang dapat dipercaya. "Apa itu boleh" Franz ragu-ragu. "Kapan lagi Kalian akan menemukan kesempatan untuk dapat dipercayai oleh orang dunia ini" sanggahnya.
Franz mau tidak mau ikut bergabung untuk makan malam. Loefel pamit karena Ia masih punya pekerjaan yang perlu diselesaikan, terutama laporan atas kejadian ini. Sambil membawa kayu bakar, mereka kembali ke kemah bersama yang lain. Eideth dan Zain segera memperkenalkan Franz kepada keluarga mereka, "ini teman Kami Franz, Ayah, Ibu, bolehkah Franz ikut makan malam bersama Kita". "Tentu saja, Ibu akan memasak lebih banyak" jawabnya. "Kau tunggu disini sebentar, makan malam akan segera siap" ujar Zain.
Eideth dan Zain mengantarkan kayu bakar mereka. Suasana jadi canggung setelah mereka kebingungan tidak tau ingin membicarakan apa. "Kak, apa Kita harus bersikap berbeda setelah mengetahui identitas rahasia satu sama lain" tanya Zain. "Aku rasa tidak, Kita tidak begitu berbeda saat ini dibandingkan di duniamu dulu, Aku masih lebih tua, Kau memanggilku Kakak, sama saja" ungkitnya. "Kau benar, Aku terlalu mengkhawatirkan yang tidak-tidak", "hey, Aku juga tadi ingin menanyakan itu", mereka berdua tertawa mengetahui pikiran mereka sama. Eideth pergi lebih dulu dan meminta waktu sebentar untuk berbicara sendiri dengan Franz.
Dengan membawa dua buah gelas di tangannya, Eideth menghampiri Franz. "Boleh Aku duduk", Franz mengangguk lalu bergeser memberi ruang. Eideth memberinya satu gelas coklat panas dan berkata, "minumlah, Aku belum menemukan pohon coklat di dunia ini, jadi semoga ini cukup". Franz mempersiapkan bibirnya untuk menyirup coklat panas itu. Rasa manis di ujung lidah hampir membuatnya lupa lidahnya hampir terbakar, tangannya menarik gelas itu pergi sebelum bertambah buruk. "Kau bercanda denganku, ini luar biasa, terasa seperti dari rumah" pujinya.
"Kau benar, itu memang dari rumah" Eideth menunjukkan coklat yang Ia pakai untuk membuat minuman itu. Kemasan plastik mengkilap itu, nama merek dan bahasa tulisan yang tertera di atasnya. Franz langsung mengetahui asal coklat itu. "Itu dari—", "memang seperti dari Rumah, ini pertama kalinya Aku berbicara dari teman dari dunia itu" Ia tersenyum dengan ramah.
"Aku tidak bisa melihat berkasmu karena Aku sedang berada di lapangan jadi Aku ingin menanyakan kabar, apa yang terjadi disana sebelum kau pergi" tanya Eideth. "Yah, em… tentu, apa yang Kau ingin tau", "kalau begitu Aku harus tau dulu, maafkan pertanyaan sensitif ini, tapi tahun berapa Kau mati". Franz terdiam kesulitan menjawab, Eideth tau itu topik yang sensitif tapi Ia perlu tau yang sebenarnya. "Oke, Aku salah, biar Aku ganti pertanyaanku, episode Wanpiece ke berapa yang terakhir kau tonton".
"Apa" wajah Franz kebingungan tidak mempercayai apa yang telinganya tangkap. "Kau dengar Aku, mungkin Wanpiece terlalu menghakimi, film apa yang terakhir keluar, atau berita terkini apa yang Kau ingat" Eideth mengeluarkan ponselnya siap untuk mencari tahu ke internet. "Hey, dari mana Kau dapat itu" tanya Franz. "Ini punyaku, lebih tepatnya cara IDC membayarku setelah bekerja untuk mereka" jelasnya. "Apa Aku juga akan mendapat itu", "tidak, ini adalah bayaranku setelah menjadi penasihat IDC, kasusmu sedikit berbeda, tanyakan saja pada Loefel, dia akan menjelaskannya padamu" balasnya.
"Jadi, beri Aku sesuatu" Franz lupa dengan pertanyaan Eideth, "Aku tidak ingat tanggalnya tapi Aku tidak jadi menonton episode xxx". "Keren, dari sini tertulis, itu empat tahun yang lalu di sana, sekarang tahun 20XX, dan ya, Wanpiece belum tamat". Mata Franz melotot namun Ia langsung menerimanya, hal itu tidak mengagetkan sama sekali. "Hey tunggu, itu tersambung dengan internet disana, bolehkah Aku pinjam, Aku ingin—" Eideth meletakkan jarinya ke bibir Franz
"Aku akan mengingatkanmu tentang tidak boleh berhubungan kembali dengan dunia lama, kau ingat peraturan itu bukan, dan bukannya Aku tidak mempercayaimu, melihat kabar mereka saja akan mempengaruhi pikiranmu kedepannya, Aku tanya apa Kamu siap untuk melanjutkan misimu setelah melihat kabar mereka". Franz terdiam Eideth sudah mengetahui niatnya, hal itu membuatnya memikirkan ulang niatnya itu. "Ya, Aku siap, Aku hanya ingin tahu mereka baik-baik saja setelah kepergianku" jawab Franz dengan tatapan yang teguh. Eideth meminjamkan Franz ponselnya dan membiarkannya sendiri untuk sementara.
Zain melihat apa yang terjadi dari kejauhan, "biarkan dia sendiri, Aku rasa dia butuh waktu untuk memproses pikirannya" jelas Eideth. Zain tidak akan ikut campur tau betapa sensitifnya topik itu, "jujur saja Kak, Aku sendiri sedikit rindu dengan rumah, tapi Aku tidak ingin itu menghalangi niatku" ungkap Zain. Sebagai seorang pengelana, sudah sewajarnya setiap orang merindukan tempat asal mereka. Itu adalah harga yang dibayar saat mereka memilih untuk pergi ke dunia lain. Eideth tahu Ia harus melegakan dirinya dari perasaan itu sesekali.
Franz menghabiskan waktunya menatapi layar ponsel itu. Semakin sering Ia menggulir layar, kantung matanya semakin berat. Sebelum Ia sadar, setetes air jatuh ke pipinya. Mulutnya setengah terbuka, bibinya bergetar hingga Franz harus menggigitnya. Ia tertawa sedikit membaca postingan itu sebelum menjadi sedih kembali. Berulang kali Ia ingin menekan tombol komentar namun Ia menghentikan niatnya.
"Agh…" Franz menggaruk kepalanya tidak bisa menghilangkan gatal itu. Ponsel itu dulunya Ia sering gunakan untuk menghilangkan jarak dengan keluarganya, berbagi pesan dan kabar, suka dan duka, seperti Ia hampir berada di samping mereka. Kini Ia mendapat kesempatan itu kembali namun rasanya Ia begitu jauh. Dulunya Ia bisa memberi balasan namun sekarang tidak lagi. Franz memutuskan akan berhenti setelah selesai melihat foto-foto keluarganya, mereka terlihat bahagia di foto itu membuatnya merasa semakin kesepian. "Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Aku akan membuat Kalian bangga" Franz mendekatkan dahinya ke layar ponsel itu sebelum mematikannya.
Franz meletakkan ponsel itu dengan hati-hati disebelahnya. Ia kemudian mengusap air mata seraya mengatur emosinya. Setelah meluapkan kesedihan dan kerinduan itu, Franz merasa begitu lega. Meskipun Ia belum terlihat baik-baik saja dari luar, Ia merasa begitu bebas didalam. Franz segera mencari Eideth untuk mengembalikan ponselnya itu. "Eideth, terima kasih sudah meminjamkan ponsel ini padaku, Aku sangat menghargainya".
"Sama-sama, percayalah Aku mengerti, Aku juga merasakan apa yang kau rasakan saat pertama kali mendapat ponsel ini, tapi lega rasanya bukan", Franz mengangguk. "Apa ada yang bisa kulakukan untuk membalasmu" ungkapnya. "Aku punya ide, tapi jika Kau mau melakukannya, Aku tidak akan memaksamu" ujarnya. "Katakan saja, Aku tidak masalah" ujarnya dengan sungguh-sungguh. "Aku akan memegang perkataanmu barusan itu, Aku ingin–".
…
Lucia memanggil seluruh keluarganya untuk makan malam. Ia dan Irena bersusah payah untuk menyiapkan hidangan besar itu dengan bahan-bahan seadanya. "Fiuh, sudah lama Ibu tidak memasak seperti ini" ujar Lucia menurunkan lengan pakaiannya. "Ibu, Aku sudah memanggil mereka" sahut Irena. Dengan semua orang hadir, makan malam pun dimulai. Lucia mulai membagikan piring steak daging. Aroma dari piring itu membuat mereka sedikit kesulitan membagikan makanan ke yang lain.
Mereka makan malam di depan api unggun, tanpa meja atau alat makan mewah, hanya ada cangkir kayu berisi air di samping kaki mereka, duduk beralaskan tikar. Tidak ada yang mengeluh dengan kondisi itu karena daging yang dimasak Lucia begitu sempurna. Tawa senang dan terpukau setelah menyuap daging itu kedalam mulut mereka tak bisa tertahankan. Eziel dan Vinesa segera bertanya resep steak itu, membuat Lucia berjanji untuk membagikannya setelah makan malam. Agareth dan yang lain ikut memuji makanan itu, hanya Franz yang merasa sedikit tidak enak karena menyantap daging itu tanpa membantu apa-apa. "Tidak apa Franz, nikmati saja makananmu," ujar Lucia, "Aku rasa Kita harus menunda rencana tadi siang" keluhnya.
"Tidak apa Ibu, Aku dan Zain membawa Franz ke sini untuk memberitahukan sesuatu pada Kalian". Eideth menaruh piringnya ke samping kemudian berdiri, menandakan Zain dan Franz untuk mengikutinya. "Semuanya, Kami… sebenarnya berasal dari dunia lain" butuh beberapa saat agar perkataannya sampai ke kepala mereka. "Apa maksudmu" tanya Agareth. "Ayah dan Ibu tau cermin sihir ini bukan, tidak mungkin teknologi sihir Kita saat ini sudah bisa menciptakan cermin sihir seperti ini, ditambah" Eideth mematahkan ponsel itu menjadi dua, "tidak ada cermin sihir yang menggandakan diri seperti ini" Eideth menunjukkan kasusnya.
Ia sudah bisa melihat wajah Lucia mulai menyesali keinginannya tapi Eideth tidak berhenti. "Tapi Aku tidak pernah berbohong pada Kalian sedikitpun, tidak sepenuhnya" Eideth mengetuk layar ponsel untuk panggilan cepat dan seketika Linzel dan Loefel muncul di tempat. "Ini adalah peri yang kuceritakan pada Kalian, mereka sebenarnya bukan peri hanya terlihat seperti itu, mereka adalah orang yang mengantarkan jiwa Kami ke dunia ini mereka juga yang memberiku berbagai macam alat sihir dan benda-benda unik yang Kalian sudah tahu" jelasnya.
Ia mulai mendapat pertanyaan balasan dari yang lain. "Kenapa Kamu berbohong pada Kami" tanya Eziel mencoba mencari alasan untuk membela keponakannya, "karena Kami tidak bisa memberitahu kebenarannya begitu saja, Kami tahu Artleya sedang dijajah oleh Dewa dunia lain, musuh dari dunia ini, Kami hanya bisa memberitahu orang yang sudah Kami percayai selama seumur hidup Kami, batas minimal dua puluh tahun" jelasnya. Irena melakukan perhitungan dan perkataan Eideth berlawanan, "20 tahun, termasuk dari dalam kandungan dimana Aku sudah sadar, itu tepatnya 20 tahun semenjak Aku, jiwaku tiba kedunia ini" sambungnya.
"Kenapa memberitahu Kami sekarang, dari perkataanmu, Kamu seperti tidak harus mengungkapkan ini, Kamu bisa menyimpan rahasia ini selamanya" tanya Vinesa. "Karena Aku seorang Raziel, Aku dibesarkan sebagai Raziel, Aku mendapat kasih sayang dan perhatian sedari kecil dari keluarga Raziel, disaat Ibu meminta agar Kita melakukan pembicaraan keluarga untuk saling membuka rahasia, Aku sudah siap memberitahukan segalanya, Aku tidak pernah berniat menyembunyikan apapun, dan tidak pernah sekalipun bermaksud menipu dan membohongi Kalian dengan niatan buruk" ungkapnya dengan berani.
"Ayah, Ibu, semuanya," Eideth menatap dalam kedalam mata mereka, "Aku mencintai Kalian, Aku tau apa yang… mungkin akan terjadi, meski begitu Aku akan tetap mengaku pada Kalian, karena Kalian memberiku kesempatan untuk jujur, Aku bersyukur karena sudah dilahirkan ke keluarga ini" Eideth menutup mata dan menundukkan kepalanya, tidak sanggup lagi mengangkat dagunya dengan berani. Eideth bisa mendengar langkah kaki dari dua orang mendekatinya, arahnya berasal dari Agareth dan Lucia. Ia sudah siap dengan apapun yang terjadi, meskipun hatinya ketakutan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah perkataannya sanggup mencapai hati mereka.