Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 74 - Crossroad One

Chapter 74 - Crossroad One

Setelah berbicara dengan keluarganya, sudah tiba saatnya mereka menyelesaikan prosesi itu. Ini adalah hal yang biasa di Artleya karena untuk memelihara sihir, mereka juga harus melestarikan budaya yang mereka buat. Setiap keluarga di Artleya memiliki sebuah tradisi yang mereka jaga untuk melestarikan sebuah sihir. Meskipun mereka jarang sihir itu sendiri, mereka tahu orang lain di luar sana akan senang jika mereka dapat memakainya.

 

"Kalau begitu, tunggu apalagi, cepat ambil Regalia Kalian" suruh Balak. Chalia, istri Balak menegur suaminya dan meminta maaf kepada mereka. Eideth, Zain, dan Irena memulai langkah penerimaan dan pemberian nama pada Regalia itu. Hal ini penting untuk meningkatkan kesempatan Regalia itu mendapatkan sihir ataupun kemampuan yang unik. Tidak ada yang tahu pasti tentang latar belakang dan kapan tradisi ini diciptakan, karena begitu banyak cerita yang sedikit berbeda dari masing-masing orang.

 

Pertama yang memulai adalah Irena. Ia mulai membaca puisi yang sudah tulis dan hafalkan sebelumnya. Puisi itu berfungsi untuk menyampaikan harapan, mimpi, juga pengenalan diri dari pemilik kepada Regalia itu. Karena keluarga Balak menciptakan Regalia dengan kemampuan dasar [Indestructible], Regalia itu akan menjadi rekan mereka seumur hidup tanpa perlu khawatir mengganti senjata baru.

 

"Aku tidak sekuat saudaraku yang lain, namun Aku melatih diriku untuk menjadi pemimpin yang terbaik, Aku minta Kau untuk melengkapi kekuranganku, menjadi kekuatan serta pengingatku, datanglah padaku, Judgement" kata Irena membacakan bait terakhir. Batang pohon Ficus yang melilit Regalia miliknya terbuka menunjukkan sebuah tongkat berwarna biru yang cukup besar.

 

Setelah melihatnya lebih dekat, tongkat itu memiliki ukiran Naga Lung yang panjang. Saat Irena hendak meraihnya, Naga itu membuka matanya. Ia terbang ke udara berkelok-kelok mendekati tuannya. Tatapan Irena begitu tajam mencoba menaklukkannya. Naga itu melilit tangan kanan Irena, merayap ke telapak tangannya. Ia berubah kembali menjadi sebuah tongkat namun ada sesuatu yang berbeda. Naga itu menyemburkan api dari mulutnya kemudian sebuah bilah berwarna biru keluar. Naga itu membengkokkan kepalanya hingga menjadi sebuah sabit yang indah. 

 

Bilahnya terlihat begitu mengkilat dengan ujung tajam di kedua sisi, gagangnya yang panjang dengan ukiran seperti sisik untuk membantu cengkraman agar tidak mudah lepas dari tangan. Irena mengayunkan sabit besar itu, namun segera berhenti karena belum terbiasa dengan keseimbangan beratnya. "Woah, keren" Zain dan Eideth memuji Regalia adik mereka yang begitu megah. Sedikit sombong, Irena dengan cerobohnya melepaskan sabit itu. Seketika semua orang jadi panik dan waspada berhati-hati dengan mata sabit itu. Terlepas dari tangan Irena, sabit itu berubah kembali menjadi naga, melilit tangan Irena dan berubah menjadi sebuah gelang biru yang indah.

 

Mereka bernafas lega tidak terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan. Meskipun begitu, Irena senang bahwa sabit miliknya memiliki kemampuan berubah wujud dan ukuran. Dapat berubah menjadi sabit dan bergantian menjadi gelang membuatnya mudah dibawa kemana-mana. Balak mengambil waktunya untuk mengamati Regalia itu dengan baik dan menggambarkan sabit itu kedalam bukunya. Sepertinya Ia sangat menyukai momen itu sebagai seorang pengrajin dan pandai besi.

 

Kini giliran Zain. "Aku ingin menjadi cahaya penerang bagi orang lain, sama seperti seseorang yang kukenal kepadaku, keinginanku adalah untuk menghentikan perang dengan Dewa dunia lain, untuk menghentikan penderitaan yang ditimpakan pada dunia ini, karena itu jadilah cahayaku yang selalu berada disisiku, kemarilah Solaris" bait terakhir Zain lebih banyak daripada bait sebelumnya, Ia benar-benar kesulitan mencoba mengakhiri puisi itu dengan sempurna. Zain memegang gagang pedang yang tertancap di dalam akar pohon itu. Benda itu tertancap begitu dalam hingga Zain sedikit kesulitan menariknya.

 

Zain tidak patah semangat karena Ia menerima itu sebagai salah satu bentuk ujian. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menarik pedang itu. Ia memperkuat tubuhnya dengan Mana namun itu masih belum cukup. Ia kemudian memakai Teknik sihir hingga bilahnya bergerak sedikit. Zain kemudian menggunakan Talent miliknya untuk mengisi pedang itu dengan sihir. Jika Ia tidak bisa menarik pedang itu keluar, Ia akan meledakkan akar itu ke dalam tanah.

 

Selagi Zain mengisi pedang itu dengan sihir hingga kelebihan muatan, akar pohon itu tidak bisa menahannya lagi dan pecah menjadi beberapa bagian. Cahaya yang terang lolos dari retakan itu menerangi langit bagaikan suar. Zain menerima hadiah dari upaya kerasnya, menyapu keringat yang bercucuran di dahinya. Pedang itu berukuran cukup besar, hampir menyamai sebuah Greatsword. Bilahnya memantulkan cahaya keemasan membuatnya hampir terlihat bercahaya. Zain coba mengayunkan pedangnya terkejut rasanya begitu ringan, membuatnya ingin mengayunkannya lagi. "Hey, jangan terlalu banyak bergerak, Aku sedang menggambar disini" tegur Balak. Chalia meminta maaf sekali lagi.

 

Keluarga Raziel sudah terbiasa dengan nada kasar milik Balak. Dirinya sebagai Kepala keluarga Woodforge sudah membantu keluarga Raziel setidaknya empat generasi, termasuk generasi Eideth. Ia sudah seperti paman bagi mereka, dan Chalia seperti bibi ramah yang menenangkan paman. Perkataan kasarnya tidak pernah bermaksud buruk, karena Ia mengungkapkan isi hatinya dengan tulus. Salah satu nilai yang Raziel hormati.

 

"Sudah giliranku saja ya" ujar Eideth menggaruk kepalanya. Ia melangkah mendekati pohon miliknya yang menyeramkan itu. Eideth mencoba mencari dimana senjatanya bersembunyi namun tidak kelihatan juga. Ia mencoba untuk membacakan puisinya lebih dulu. Puisi milik Eideth ternyata cukup sederhana karena Ia tidak begitu ambisius seperti saudaranya yang lain. "Aku ingin membantu orang disekitarku menjadi lebih kuat, Aku ingin membantu semua orang yang berniat mengakhiri penjajahan dewa dunia lain ini, Aku ingin membantu mereka mewujudkan impian mereka meskipun hanya sedikit, Aku tidak memintamu untuk menjadi senjata paling kuat, namun Aku memintamu untuk menjadi senjata yang mengakhiri kekerasan, Aku hadiahkan padamu nama istimewa ini agar tidak melupakan tujuanmu, datanglah padaku, Vaylantz".

 

Eideth menjulurkan tangannya mengharapkan senjata miliknya keluar namun tidak terjadi apa-apa. Ia menunggu sejenak mungkin karena Regalia miliknya sedikit pemalu, namun tetap tidak terjadi apa-apa. Eideth melihat keluarganya dengan wajah kebingungan. Ia mencoba memasukkan tangannya berpikir Ia mungkin harus meraih Regalia miliknya di dasar pohon.

 

Saat Eideth memasukkan tangannya, pohon itu seketika bergerak menutup lubang di batangnya seperti sebuah mulut. Agareth dan Vinesa menjadi waspada dan hendak menghunuskan senjata mereka untuk menolong Eideth. "Tidak apa Ayah, Bibi, Aku baik-baik saja" Ia meminta mereka untuk tidak membantunya. Eideth tidak percaya Ia harus berimprovisasi di tempat untuk membujuk pohon itu. Mulutnya menjadi kaku tidak tahu karena otaknya tidak tahu ingin berkata apa, dan Ia membiarkan lidah dan hatinya mengambil alih.

 

Eideth berbisik dengan pelan, Ia berganti bahasa yang terdengar asing di telinga orang-orang. Bahasa itu dikenal dengan nama bahasa inggris. "Kawan, bisakah Kau membuka mulutmu untukku," pohon itu tidak membalas dan menahan tangannya dengan kuat. Eideth melepas nafas beratnya dan berbicara sungguh-sungguh kepada pohon itu. "Aku tau Kamu takut berubah, perubahan itu selalu terlihat menyeramkan, Aku juga menyadarinya saat Aku pergi berpetualang selama setengah tahun ini, Adik, Bibi, semua anggota keluargaku berubah saat Aku tidak ada, rasanya seperti Aku ditinggal sendiri".

 

Eideth menyandarkan punggungnya ke pohon itu tidak menyadari cengkraman di tangannya mulai longgar. Ia melihat kepada keluarganya dan terus berkata, "namun setelah Aku lihat lagi, mereka terlihat bahagia dan senang, Aku juga ingin merasa gembira untuk mereka kau tahu, mungkin Aku tidak pernah merasa utuh menjadi anggota keluarga ini karena Aku bukan dari dunia ini, cuma seseorang yang hanya lewat sebentar untuk menonton". Mata Eideth mulai berkaca-kaca membuat anggota keluarganya sedikit khawatir.

 

Eideth yang tiba-tiba berbicara dengan bahasa asing kemudian menjadi sedih secara tiba-tiba, seperti Ia menyembunyikan sesuatu dari mereka. Mereka ingin menghibur Eideth namun tidak bisa maju karena tidak mau mengganggu momen miliknya. Mereka tahu hubungan keluarga mereka sedikit renggang hingga mereka kesulitan membuka diri dengan masing-masing. Eideth sedang mengatasi kegelisahan hatinya, dan Ia hanya ingin mereka berada disana, disisinya walau tidak membantu.

 

Ia mengusap air matanya dan lanjut berbicara, "haha, jika Kau pikirkan kembali, Kita adalah orang yang berbeda di sepanjang hidup Kita, tapi itu bagus, Kita harus tetap maju selama Kita selalu mengingat diri Kita yang sebelumnya, Aku tidak akan pernah melupakan siapa Aku yang sebenarnya, Aku tidak akan pernah melupakan setiap detik dari kehidupan itu, jadi tidak apa bukan, jika Kita berubah lagi". Tangan Eideth terjatuh ke tanah setelah dilepaskan oleh pohon itu.

 

Keluarganya mendekati Eideth dan menghiburnya. "Kamu tak apa Eideth", "ya, Aku oke, eh, kemana Regalia ku" Eideth berbalik mendapati ketiga pohon Regalia sudah menghilang tanpa prosesi penempaan Regalia telah selesai. Eideth mendapati tangan kanannya sedikit berat dari biasanya, tak tahu mengapa. Ia memberitahukan hal itu pada yang lain. Balak tertegun melihat kejadian itu dan mencatatnya, "ternyata mimpi itu ternyata benar" ujar Chalia kepada suaminya. "Aku tidak percaya ini, semuanya terjadi seperti yang kulihat dalam mimpi itu" ujarnya. "Apa Kamu sekarang percaya bahwa mimpi itu dari Dewi" tanya Chalia, "mungkin, tapi Kita harus menyelesaikan ini" sambung Balak.

 

"Oi, Eideth, kemari sebentar" panggil Balak. Ia menunjukkan sebuah peti kepadanya, peti yang terlihat familiar. "Itu bukannya", "itu senjatamu" didalam peti itu terdapat pecahan Flatline milik Eideth. Gestur Balak seraya menyuruh Eideth mengambilnya kembali. Saat Ia mengulurkan tangannya, sebuah tanaman merambat berduri berwarna emas keluar dari telapak tangannya. Ia melilit pecahan Flatline menyatukannya kembali menjadi satu. Warna Flatline yang putih seketika berubah menjadi hitam, menyisakan sedikit warna di tempat ukiran Flatline sebelumnya. 

 

"Halo Vaylantz" sapa Eideth pada senjatanya. Keluarganya yang lain memuji Regalia miliknya. "Kakak, kenapa Kalian tidak memberitahuku Kalian membuat nama unik, apa Aku tidak diajak" keluh Irena. Zain berkata Ia menemukan Solaris dari sebuah kamus di perpustakaan, Eideth berdalih Vaylantz hanya pelesetan dari kata "Violence". Sebenarnya Vaylantz itu adalah nama sebuah archtype dari permainan kartu, tapi tidak ada yang tahu kecuali Eideth.

 

Eideth coba mengayunkan tongkatnya itu, Ia punya kendali penuh akan benda itu. Eideth coba melakukan serangan tusukan dengan ujung runcing Vaylantz. Ia hampir melupakan sensasinya memakai tongkat itu. Eideth menunduk berterima kasih pada Balak, Irena dan Zain kemudian mengikutinya. Setelah selesai mendapat Regalia mereka, ketiga saudara itu tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. "Ayo Kita Sparring".

 

Sebuah lapangan berbentuk lingkaran di persiapkan untuk sparring ini. Ketiga saudara Raziel hendak latih tanding dengan satu sama lain dalam pertandingan bebas untuk semua. Tidak ada teman, yang terakhir berdiri adalah pemenangnya. Irena melakukan peregangan sambil memegang sabit miliknya. Zain mengikat pergelangan tangannya dengan perban untuk memperkuat cengkraman. Mereka tengah menunggu Eideth yang kembali ke tenda sebentar untuk mengambil sisa peralatannya.

 

Di tendanya, Eideth bertemu kembali dengan sponsornya itu. "Eideth, dengarkan perkataanku sebentar saja", "tidak perlu, Aku tahu Kau ingin bilang apa". Deith tahu Ia takkan bisa membujuk Eideth jadi Ia memakai cara lain. "Aku tidak berniat membujukmu atau semacamnya, Aku hanya ingin memberitahu bahwa Kau akan kalah" ungkapnya. Eideth kesal tapi Ia menahan mulutnya dari mengumpat. "Kau akan kalah karena Aku" sambung Deith.

 

Eideth bingung apa maksud perkataan sponsornya barusan. Ia memintanya untuk memberi penjelasan. "Kau tahu Aku adalah pendatang dari dunia lain, namun alasan Aku bisa menetap selama ini, Karena Aku mengambil setengah dari tubuhmu", "APA" teriaknya tak percaya. "Kau pasti berbohong, ini cuma bercanda bukan", "itu sungguhan, Kau pasti tau dengan peraturan itu" sambung Deith. Alasan Deith terdengar masuk akal dalam pikirannya, tapi Ia tidak bisa berhenti waspada. Ia segera meminta bukti dan Deith menunjukkan kontrak Warlock yang Ia tandatangani. Itu adalah kebenarannya.

 

Eideth ingin menang dengan kemampuannya sendiri, karena itulah Ia tidak meminta bantuan Deith. Ia sadar Ia tidak bisa mengeluarkan seluruh kemampuannya jika setengah tubuhnya di pinjam. Eideth mengingat janji yang Ia ucapkan pada Vaylantz, Ia ingin berubah. Eideth menyadari bukan waktunya untuk keras kepala, Ia sadar Ia juga perlu bantuan. "Apa yang harus Kita lakukan, Kau punya rencana bukan" tanya Eideth.

 

Deith segera menggambarkan formula lingkaran sihir di tanah, hanya saja itu berbentuk persegi panjang membuat Eideth terkesan. Itu adalah formula sihir yang tidak pernah Ia lihat sebelumnya, 'jarang-jarang ada formula dengan bentuk seperti ini' ungkapnya dalam hati. Setelah selesai, Deith meminta Eideth untuk berdiri di dalam persegi panjang itu, memintanya untuk mengikuti semua arahannya untuk mantra ini. Deith berdiri di depannya menyiapkan bagiannya dari mantra itu sementara Eideth menunggu di belakang. Eideth mulai mendengar suara aneh, seperti irama nada lonceng.

 

Gerakan yang dilakukan Deith terlihat begitu familiar. "Pasangan terbaik, apa Kamu siap" tanya suara penyiar itu. Eideth mengetahui suara itu, yang Ia tidak tahu hanyalah bagaimana Deith bisa tau tentang itu. Eideth menonton banyak sekali tayangan hiburan saat berada di Domain Zatharna yang terpisah dari waktu untuk mengejar ketertinggalannya. Ia tidak pernah memberitahu Deith tentang itu, Ia bahkan tidak meminjamkan sebuah ponsel padanya. "Hey Deith, siapa Kau sebenarnya" Eideth mencoba menggerakkan tubuhnya tapi Ia membeku di tempat.

 

Deith memalingkan wajahnya, "maaf Eideth, ada beberapa hal yang tidak kusampaikan tadi, tapi tak apa, karena Kamu juga tidak akan ingat". Deith mengeluarkan sebuah bilah Stasis yang cukup besar di depannya. "Henshin" mendengar perkataannya, Stasis itu menusuk dirinya, mendorongnya ke dalam tubuh Eideth. Eideth teringat itulah yang terjadi saat mereka berhadapan dengan Varrak, tapi kesadaran Eideth segera hilang sama seperti waktu itu.

 

Tubuh Eideth mengeluarkan asap, aura dan sikapnya berubah menjadi lebih tenang. Eideth membuka matanya dan berkata "Waahhh… itu tadi keren sekali, Aku tidak menyangka Kau berhasil melakukannya Deith" pujinya. Eideth sedikit bangga karena melakukan transformasi keren dari salah satu tayangan hiburan yang Ia tonton. "Aku kembali lagi ya, walaupun hanya sementara" ujarnya melihat Vaylantz di tangannya. Eideth berterima kasih pada Deith yang sudah memberinya kesempatan bertarung dengan kekuatan penuhnya. Eideth melihat jendela status untuk memastikan sesuatu, dan ternyata Ia benar. [Eideth Raziel, Human, Wizard 19, Barbarian 1] Ia kembali ke rute lamanya.

 

[Durasi Stasis: 00:47. Peringatan. Semakin lama Waktu penggunaan Stasis, semakin lama waktu istirahatnya, tolong berhati-hati] layar Status memperingati Eideth akan kemampuannya. Eideth sadar hal itu, Ia sedang merapikan jalan pikirannya tentang sparring ini. Sparring ini sangat berarti baginya karena Ia kembali. Ia mengingat kembali apa yang Ia alami saat koma selama enam hari itu. Betapa keras perjuangannya untuk kembali, semua pengalaman yang Ia dapat disana. Bohong jika Ia mengaku tidak menyalahkan Zain sedikit tentang itu, tapi Ia tidak bisa membencinya.

 

Pikirannya kacau namun Ia menerima fakta Ia tidak senang dengan apa yang terjadi dan setidaknya ingin berbicara pada Zain untuk menyelesaikannya. Sama seperti Zain yang memendam masalah sendiri, Ia akan menyelesaikan masalah mereka berdua dalam sparring ini. Eideth mengambil peralatannya dan bergegas ke lapangan.

 

Eideth segera mengikat sabuk pedangnya dengan kencang bersiap untuk pertarungan latihan itu. "Kakak bawa banyak senjata hari ini" ujar Irena sedikit panik, "ya, Aku berniat sungguh-sungguh kali ini, Kau juga kan, Zain" tunjuknya terang-terangan. Eideth merasa deg-degan karena Ia sudah lama tidak sparring dengans saudaranya. "Seperti ucapan bibi" ujar Eideth, Irena dan Zain tahu itu adalah sebuah kode untuk memulai. "Kau tidak akan berkembang jika kau tidak sungguh-sungguh" kutip mereka dengan serentak.

 

Mereka bertiga maju bersamaan bersiap untuk menyerang. Eideth mengira Ia akan diserang oleh kedua adiknya lebih dulu, ternyata tidak sama sekali. Irena menyerang Zain dengan ayunan sabit yang lebar. Satu tebasan sabit Irena berhasil membuat Zain mundur dan waspada, Ia hanya bisa bertahan dari serangannya. Irena dengan mudah mendorong Zain karena Ia dirugikan jarak serangan. Sabit Irena terlalu panjang dan kontrol jarak miliknya sangat baik.

 

Zain coba membalas dengan serangan jarak jauh, menembakkan sihir cahaya miliknya untuk mengalihkan perhatian. Sayangnya itu gagal karena dihalang bilah Judgement yang cukup lebar dan reflektif, memantulkan serangan Zain dengan mudah. 'ini tidak bagus' ujar Zain dalam hati. Irena saat ini adalah lawan alami baginya. Irena selalu mengawasi dirinya saat latihan sehingga Ia tahu banyak tentang strategi dan serangan miliknya, ditambah panjang sabitnya membuatnya sulit membuat serangan balasan. Meskipun ini latihan tanding pertama mereka secara resmi, Zain benar-benar kewalahan. Ia benar-benar seperti sebuah buku terbuka di mata Irena.

 

"Hey, jangan tinggalkan Aku sendiri". Eideth masuk dan menangkis serangan sabit itu. Tidak seperti Zain yang waspada, Eideth masuk untuk melakukan serangan dekat tanpa mengkhawatirkan sabit Irena. Eideth menahan gagang sabit itu dengan lengannya, Ia bergeming sedikit karena itu masih sakit. Irena coba menarik sabitnya, melanjutkan serangan menggunakan bilah bagian dalam. Tapi Eideth sudah siap dengan Vaylantz di punggungnya menahan bilah tajam itu.

 

Irena mengubah sabitnya menjadi bentuk naga dan melarikan diri. Taktik miliknya tak bekerja dengan baik terhadap Eideth dan Ia perlu mengganti strategi. Irena mengaktifkan [Perfect Calculation] untuk memprediksi bagaimana Eideth akan menyerang dan bersiap untuk menahannya. Dari pengamatannya yang super cepat, Irena melihat banyak variabel dari peralatan di tubuh Eideth. Perkiraannya itupun salah, Eideth menggunakan Teknik sihir miliknya.

 

[Combine Technique, Geyser X Gate, Mold Earth] Eideth mengubah struktur tanah yang mereka pijak. Irena tersandung karena gundukan tanah tiba-tiba muncul. Kemampuan kakaknya yang tidak terprediksi membuatnya sulit bereaksi. Irena tau Eideth mendapat banyak pengalaman lewat pertarungan dan petualangannya, sesuatu yang Ia tidak tahu diluar prediksinya. Irena melihat mulut Eideth membisikkan sesuatu. "Sudah saatnya Irena, maaf ya, Aku akan sedikit keras". Eideth memukul Irena keluar dari lapangan menggunakan Second Geyser.

 

Dengan tereliminasinya Irena, pertarungan itu seketika berubah menjadi duel. Irena mencoba mengembalikan nafasnya dengan bantuan Teknik sihir meskipun agak kewalahan. Irena mengeluarkan sesuatu dari kantungnya, itu adalah alat sihir yang Ia dan kakaknya sudah persiapkan untuk hari itu. "Kakak punya lima menit, berjuanglah," Irena mengaktifkan kubah anti suara itu dan menutupi seluruh lapangan dengan saudaranya di dalam. Zain segera menyadari alat sihir itu namun bingung dengan apa yang terjadi.

 

"Sekarang hanya ada Kita berdua disini, apa ada yang ingin Kau katakan Zain" tanya Eideth menodongkan Vaylantz. "Apa yang Kakak maksud" Zain tidak mengerti. Agar tidak terlihat aneh dari luar kubah dengan terlalu banyak mengobrol, Eideth menyerang Zain dengan agresif. Perubahan kakaknya yang tiba-tiba membuat Zain bingung, Ia hanya bertahan dari serangan bertubi-tubi itu. "Kau tahu apa yang kumaksud, kenapa Kau menahan diri" tuduh Eideth. Zain merasa semakin bingung dengan apa yang terjadi. Ia pun melawan balik, "apa maksud Kakak". Eideth bisa merasakan kekesalan dari menahan serangan itu. Eideth harap Ia dan Irena benar, karena mereka sudah bertindak terlalu jauh sekarang. Eideth menelan ludahnya kemudian memegang Vaylantz dengan erat, selanjutnya akan jadi bentrokan yang sesungguhnya dimulai.