"Apa kabar, Irena, Zain" sapa Pria itu dengan ramah. Dia terlihat berumur dua puluhan, rambut biru miliknya tersisir rapi. Ia mengenakan seragam militer miliknya, tanda namanya tertulis [Otto Raziel]. Sepertinya Ia mengambil nama keluarga Vinesa untuk dirinya sendiri, sudah sewajarnya jika Ia menjadi suami Vinesa. 'Itu artinya, paman dari keluarga biasa' pikir Eideth. Pandangannya berubah menjadi kagum setelah menyadari kemampuan Otto yang didapat dari kerja kerasnya. Eideth penasaran, jika Ia terlahir di keluarga biasa, apa Dia bisa sekuat itu.
"Selamat sudah naik tingkat, Irena, Zain, kerja bagus" puji Otto. Ia mengelus kepala mereka seperti itu adalah hal yang normal, namun mereka berdua tidak keberatan. "Apa Paman datang untuk melatih para kadet" tanya Irena, "iya, Paman sedang mencoba meyakinkan Bibimu". Vinesa memukul punggung Otto untuk membuatnya diam, "Sayang, Kita tidak perlu membicarakan ini di depan anak-anak".
Ketiga Raziel muda langsung melakukan analisa, memperkirakan bahasa tubuh dan makna tidak langsung dari pembicaraan mereka. Setelah berbisik-bisik, mereka mengambil Kesimpulan. "Bibi sedang mencoba punya anak", bisikan mereka ternyata tidak begitu pelan. Vinesa hendak memarahi mereka namun Otto menghalanginya. Mereka segera mengambil inisiatif dan memihak Otto, "kalau begitu, Kami tidak akan latihan dengan Bibi dulu, Kami latihan dengan Paman Otto saja, Bibi santai saja ya" ungkap mereka.
Wajah Vinesa seketika berubah menjadi merah, entah karena menahan emosi atau malu, mencengkram tinjunya dengan kuat. "Hey, Kalian tahu kan, Kalian membuatku dalam masalah" ujar Otto dengan pelan. "Tidak apa Paman, Paman harus lebih inisiatif, Kami hanya memberi sedikit dorongan" balas mereka dengan pelan. "Kalau begitu, Kami pergi latihan dengan Paman dulu, Dah" mereka segera menyeret Paman mereka pergi dari sana untuk menyelamatkan diri.
Vinesa tidak tahu harus merasakan apa. Ia mengeluarkan emosi miliknya dan merenovasi sebagian dari hutan dengan pukulannya. Setelah mengeluarkan semua Mana dan emosi, Vinesa melipat lututnya kemudian menutup wajahnya. Perasaannya bertentangan, Ia tidak menyangka akan diledek seperti itu. Vinesa tidak marah sama sekali, Ia merasa itu adalah karma karena Ia dan Eziel menjahili Agareth dengan cara yang sama saat masih muda. Setelah menenangkan emosinya, Vinesa kembali ke kemah dan menepuk pundak Agareth meminta maaf. Agareth terkejut namun menerima permitaan maaf itu walau tidak tahu untuk apa.
Irena dan Zain melanjutkan latihan mereka. Mengetahui mereka baru saja naik tingkat, mereka ingin tahu seberapa banyak kemampuan mereka dapat berkembang dengan melakukan eksperimen. Eideth disisi lain, mendapat konseling pribadi oleh Otto. Mereka hanya berbincang dengan santai untuk menenangkan suasana sebelum Otto membuka dengan pertanyaan serius. "Eideth, mengapa Kamu tidak mencoba naik tingkat saat melawan Vinesa seperti saudaramu yang lain" tanya Otto.
"Karena tugasku," jawab Eideth, "untuk memastikan Kami menang, setidaknya tidak babak belur oleh bibi, Aku menjadi Vanguard". Otto tampak belum puas dengan balasan itu, "hanya itu". Eideth beralasan tangannya terkena cedera yang cukup parah, Ia tidak yakin hal itu sepadan dengan resikonya. Otto masih tidak bergeming dan terus menggali. "Aku tidak tahu Paman, Aku masih bingung, Aku tidak tahu Aku ingin apa" ungkapnya.
"Apa maksudmu", "Aku akan belajar di Akademi tidak lama lagi, dan Aku sendiri tidak tahu apa yang harus Aku lakukan" Eideth menundukkan kepalanya ke bawah. Otto telah mencari tahu sedikit tentang Eideth dan saudaranya, namun ini adalah sebuah kejutan. Ia memilih untuk mendengarkan dahulu. "Kenapa Kamu berpikir seperti itu, kudengar Kamu sudah punya pilihan posisi yang ingin Kamu kuasai".
"Aku… masih tidak yakin dengan apa yang ingin Aku lakukan disana, orang yang mencolok belum tentu disukai orang-orang". Otto sedikit memahami pemikiran itu, Ia sudah mencari tahu sedikit tentang keluarga barunya. Otto mengenal Eideth sebagai seseorang yang tidak suka menjadi mencolok. "Paman, boleh Aku bertanya", "tentu saja". "Karena bibi orang yang kuat, apa bibi sering berkelahi di luar sana".
"Cukup sering, kenapa, apa Kamu benci berkelahi", "tidak juga, terkadang Aku menyukainya, perasaan saat Aku fokus bertarung untuk menjatuhkan lawanku itu, terkadang rasanya menyenangkan". Ekspresi wajah Eideth berubah selagi pembicaraan berlanjut, dengan tatapan serius, "hanya saja, yang terjadi setelah bertarung itu berbeda". Eideth mengungkit masa lalunya sebagai contoh. "Kami sparring untuk mengembangkan diri, tapi belakangan ini menjadi persaingan dengan satu sama lain, Kami tidak tahu apa Kami berkembang sama sekali atau tidak".
"Kalau begitu, kalahkan adikmu, keluarkan semua kemampuanmu, apapun yang terjadi nanti, tunjukkan kalau Kamu sudah berkembang, Aku yakin Zain akan membalas dengan perasaan yang sama". Otto tidak yakin itu adalah saran terbaik namun Ia tahu itu yang harus mereka dengarkan. "Kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi setelahnya jika Kamu tidak pernah sampai kesana" tambah Otto. "Ya, itu benar, Aku benar-benar harus menghajar Zain hingga Ia sadar nanti" gumamnya dengan pelan.
"Apa itu tadi", "tidak ada apa-apa" ujarnya mengesampingkan itu. "Kalau begitu, tolong latih Aku Paman", "tolong jangan panggil Aku paman, perbedaan umur Kita tidak begitu jauh, panggil saja Aku Otto saat Vinesa tidak ada". Mendapat persetujuan darinya, Eideth mulai memanggil Otto dengan akrab. "Jadi, Kamu ingin latihan apa", "Aku ingin mengasah Teknikku mengejar Zain tapi, tahulah, tanganku, Aku perlu mereka untuk besok". "Memangnya ada apa besok" tanya Otto yang tidak tahu. Eideth menjelaskan rencana mereka untuk sparring menggunakan Regalia baru besok.
"Aku punya ide" ujar Otto. Ia menjelaskan ide itu pada Eideth, "apa itu bisa berhasil" Ia tidak yakin. "Percaya padaku, kalaupun tidak berhasil, itu akan memperkuat inti latihan yang sudah Kamu kuasai selama ini" jelasnya. Eideth mengikuti arahan dari Otto untuk latihan unik itu. Meskipun Ia cukup lelah karena latihan di pagi hari, Ia mampu menyelesaikan latihan itu berkat bantuan Mana.
"Untunglah Kita punya banyak Mana hari ini, latihan seperti ini tanpa Mana akan lebih melelahkan" ujar Eideth berbaring di tanah. Mendengar perkataan Eideth membuat suasana hati Otto berubah, "Kita begitu beruntung bukan… Mana… di dunia Kita adalah sebuah kemewahan, banyak orang diluar sana yang tidak mendapat Mana seperti Kita" pandangan matanya terlihat begitu dalam tapi Eideth bisa mengerti. "Ya, Aku juga mengerti setelah berpetualang di luar, mencari kolam Mana sangat sulit" ujarnya. (Kolam Mana mengacu pada daerah yang memiliki simpanan Mana yang besar, bukan kolam sebenarnya).
Eideth dapat merasakan perubahan suasana di sekitarnya, Ia mengetahui ini dari buku yang Ia baca. [Terkadang, orang dengan kendali Mana yang kuat dapat merubah sensasi Mana di sekitarnya]. Ia sering merasakan itu karena teguran bibinya, namun suasananya terasa sedikit berbeda kali ini. Ia berpikir terlalu keras hingga mempengaruhi Mana disekitarnya. "Ehem, Otto Kamu baik-baik saja" Eideth menyadarkannya seramah yang Ia bisa.
"Tidak apa, Aku hanya melamun sebentar", "tidak masalah, hati-hati sedikit karena emosimu keluar" ungkapnya. Eideth ingin menghargai batasan pribadi masing-masing. Ia tidak perlu ikut campur ke semua masalah yang bisa terjadi di depannya. Ia akan menunggu hingga yang lain meminta bantuan, seperti masalah Zain. Ia tahu untuk menghargai rahasia orang lain karena Ia juga punya rahasia miliknya sendiri.
Karena hari sudah sore, mereka memutuskan untuk mengakhiri latihan. Mereka kembali ke kemah dan menjalankan tugas mereka masing-masing. Zain dan Irena sudah mengumpulkan kayu bakar sembari latihan dan Eideth berinisitatif untuk memasak. Ia ingin memamerkan sekaligus membuktikan pada Ibunya Ia memakan makanan yang sehat selama perjalanannya. Eideth meminta izin dengan koki untuk meminjam peralatan dapurnya dengan balasan Ia akan membantu memasak untuk para kadet.
Persiapan untuk memasak makan malam untuk seluruh kemah bukanlah hal yang mudah. Meskipun Eideth diberi tugas yang sederhana dalam kuantitas yang besar, Ia tidak mengeluh dan bekerja seperti yang diperintahkan. Meskipun tangannya sudah tidak ada tenaga lagi, berkat bantuan Mana Ia bisa terus bekerja. "Para Koki selalu melakukan ini setiap hari, mengasah keterampilan mereka di lingkungan yang ketat, apa Aku harus memiliki jalan seperti itu" gumannya sambil memotong sayuran.
Ketika selesai, Ia hendak mengantarkan sayuran itu ke dalam tenda untuk dimasak. Saat Eideth memasuki tenda, hawa panas menyambar kulitnya. Hidungnya berdenyut mencium bau rempah-rempah dan aroma dari masakan di dalam sana. Hawa pengap itu dapat membuat siapapun berkeringat secara insting, gelombang panas dapat terlihat bergetar di udara. Ia melihat para koki bekerja dengan giat dibawah arahan Kepala Koki.
"Semuanya, Aku ingin makanan untuk para Beastmen sudah siap", "ya Chef". "Sup untuk ras Fae", "siap Chef". Kepala koki mulai menyelesaikan daftar di papan klip yang Ia pegang. "Dimana sayuran untuk diet Fiend", "disini Chef" menyadari dirinya dipanggil Ia segera datang. "Antarkan kesana dan bantu Koki itu", "baik Chef". Tugas di dalam dapur sangat sibuk seperti yang Ia perkirakan, namun tidak seorangpun disana merasa keberatan ataupun kelelahan. Mereka melakukan kewajiban mereka selagi bersenda gurau agar suasana tidak begitu tegang.
Selesai bekerja, Kepala Koki memegang janjinya dan membiarkan Eideth memakai peralatan masak di dapur. "Kamu bisa meminjam apapun di dapurku ini, hanya saja…" setelah pekerjaan besar tadi, tidak banyak peralatan yang bersih tersisa. "Tenang saja Chef, Aku akan membersihkan mereka". Eideth segera merapal [Prestidigitation] untuk membersihkan alat masak itu dengan cepat. Kepala koki dan juru masak lainnya kaget melihat sihir unik itu. Eideth menawarkan untuk mengajari mereka sihir itu karena itu sihir level 0 yang tidak menguras Mana. "Itu Sihir level 0" teriak mereka tak percaya.
Eideth kembali ke tendanya lebih lama dari yang direncanakan, Irena dan Zain marah karena Ia terlambat namun untungnya Eideth membawa makanan lebih untuk dimasak, "pemberian Chef" ujarnya. Eideth mulai memasak untuk makan malam keluarga. Ia berjanji pada ibunya tidak akan memakai sihir untuk membantunya memasak, mensimulasikan memasak di luar yang sebenarnya. Dengan sayuran yang didapatnya, Eideth berniat memasak sup untuk makan malam mereka. Tidak begitu sulit dan menghemat waktu mengingat Ia sedikit terlambat. Namun untuk meningkatkan rasa sup miliknya, Eideth mengeluarkan senjata rahasia.
"Ibu, maaf Aku curang, tapi ini adil," Eideth mengeluarkan MSG dari otoritasnya. Dengan persediaan MSG tanpa batas miliknya, Eideth berhasil menghemat bumbu yang Ia bawa selama enam bulan. Ia begitu beruntung mendapatkan itu lewat Authority Ascencion saat umur sembilan tahun. Eideth menghidangkan sup itu dalam mangkuk kemudian membagikannya pada keluarganya. Agareth dan Lucia kaget mencicipi sup itu, sementara Irena dan Zain sudah tahu apa yang dilakukannya.
Kecurigaan muncul dengan cepat di wajah Lucia, memintanya untuk memberitahu apa yang Ia lakukan. Eideth mengaku Ia memakai bumbu istimewa, Ia memakai alasan yang sama dengan yang Ia katakan pada Irena dan Zain. "Saat umur sembilan, Aku menemukan alat sihir ini Ibu, sebuah bumbu untuk menambah rasa makanan, setiap kali Aku membuka kemasan transparan ini, Ia akan terisi dan kembali ke semula keesokan harinya" dalih Eideth. Lucia mempercayai penjelasan itu karena tak bisa menemukan tanda Ia berbohong.
Mereka bertanya bagaimana Ia mendapat bumbu itu. Ia menjawab seorang peri kecil memberikan itu padanya setelah menolongnya di hari ulang tahun yang kesembilan. Linzel merasakan gatal yang menusuk di telinganya. Mereka kemudian lanjut mengejar kabar tentang apa yang sudah terjadi selama enam bulan yang terpotong sebelumnya. Mulai dari keributan di Nous hingga Lucardo.
Karena hari sudah larut malam, mereka pergi tidur ke dalam tenda mereka masing-masing. Irena dan Zain berharap Regalia mereka siap besok, namun Eideth memiliki renungan yang berbeda. Ia berpikir bagaimana Ia bisa mengalahkan kekuatan penuh Zain dengan Teknik sihir tingkat Elit dan Talent curang miliknya, hanya berbekal Teknik sihir tingkat Intermediate. Talent miliknya sendiri, [Conceptualize: TTRPG] sedang dalam masa perbaikan dan Ia tidak bisa memakainya. Eideth tidak bisa memakai lembar Karakter Halq yang menjadi senjata terkuatnya. Ia masih punya Cantrip dan beberapa mantra level rendah tapi itu tak sebanding dengan sihir Cahaya milik Zain.
Eideth tidak pernah menyadari tembok di antara dirinya dan Zain menjadi begitu besar. Mereka selalu seimbang sebelumnya karena mereka hanya sparring menggunakan Teknik sihir tapi Eideth berniat menantang Zain keesokan harinya. Eideth menampar pipinya untuk berhenti berpikiran negatif. Daripada terpuruk memikirkan hal yang sia-sia, Eideth mengganti jalan pikirannya untuk menang. "Aku tidak akan kalah" ujarnya dengan semangat. Disaat itulah sesosok hitam datang menghampirinya di malam hari.
"Ya, benar begitu, jangan mau kalah dengannya" ujar bayangan hitam itu. Eideth berbalik dan terkejut melihat seseorang menyusup ke dalam tendanya. Pria itu tertutup bayangan hitam diseluruh tubuhnya dan mendengar suaranya, Eideth mengenali orang itu. "Deith, bagaimana Kau bisa kemari" bisiknya supaya tidak kedengaran saudaranya disebelah. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu Eideth, Aku ini sponsormu ingat, Aku bisa bebas datang kapan saja", Eideth tidak bisa membantahnya. "Kau ingin apa", tahu Ia tidak dapat berdebat, Eideth langsung ke intinya. "Aku bisa membantumu… kuberi Kau sebuah penawara—"
"Aku menolak" Eideth memotong Deith sebelum Ia sempat bicara. "Kenapa", "Aku ingin mengalahkan Deith dengan kekuatanku sendiri, jadi pergilah, jangan ganggu Aku". Eideth mengipas tubuh asap Deith hingga tercerai berai. Deith kembali ke domain Zatharna dengan perasaan kesal, Ia tidak bisa memaksa Eideth karena Talent miliknya sedang tidak aktif dan posisinya sebagai sponsor tidak begitu berguna. "Kamu tidak apa" tanya Zatharna, "terima kasih, Zatharna, Aku baik-baik saja, tapi Aku harus mencoba lagi besok, tolong bantuannya ya" Deith menyatukan kedua tangannya memohon.
Eideth merasa kesal Ia mendapat "bisikan iblis" jika mengambil perumpamaan dunia lamanya. Hal itu membuatnya merasa inferior, bahkan sponsornya sendiri ingin membantunya karena Ia lemah. Tidak mau merasa terpuruk Eideth mulai membuat strategi untuk menghadapi Zain dan Talent miliknya itu. "Aku, tidak ingin kalah", perasaan persaingan itu adalah salah satu dari sedikit benda yang Ia cintai. Karena itulah Ia begitu serius ingin mengalahkan Zain. Setiap kali mereka bertarung, Eideth semakin merasa dirinya tertinggal karena kemampuannya yang rata-rata. Ia merasa sparring mereka seri hanya karena Ia beruntung. Namun tidak untuk hari esok, besok Ia akan menentukan segalanya.
…
Keesokan harinya, Eideth dibangunkan oleh suara berat dari seorang pria. "Hey, bangun, berapa lama lagi Kau ingin tidur" ujarnya. Eideth biasa bangun pagi, namun Ia tidur terlalu larut tadi malam. "Dasar pemalas, bangun" keluh Deith, omelannya itu hanya membuatnya semakin kesal dan keras kepala. Tak lama, Eideth mendengar sepasang langkah kaki mendekati tendanya. Ia segera bangun karena waspada takut itu adalah orang yang Ia perkirakan.
"Kak, Kau sudah bangun" Irena mengintip masuk kedalam tenda. "Iya, baru saja, Kukira Kamu bibi Vinesa tadi" Eideth keluar dari tendanya. "Kamu memanggil" ujar Vinesa. Eideth kaget tak menyadari keberadaan bibinya, Ia memiliki aura yang berbeda padanya pagi hari itu entah karena alasan apa. "Terima kasih ya", Vinesa datang kesana berniat mengembalikan alat sihir milik Irena. Benda itu dapat menciptakan kubah penghalang suara, Eideth mengenal desainnya karena itu adalah ciptaan Revnis. Ia memperkirakan Revnis memberikan itu pada Eziel, kemudian Irena meminjamnya, kemudian Vinesa.
"Kenapa kalian bersantai-santai disini, cepat siap-siap Kita akan pemanasan sebentar lagi" Vinesa kembali ke dirinya yang biasa dengan cepat. Eideth berbalik mengambil peralatan mandi dalam tendanya melihat Deith masih berada disana. Ia sedikit memuji Deith didalam hatinya karena berhasil menyembunyikan keberadaannya dari Vinesa. "Sudah, sana pergilah, jangan menggangguku" usir Eideth. "Hey, dengarkan Aku dulu" kata Deith tapi Eideth mengabaikannya.
Hari kedua latihan di kemah, Eideth tidak bisa konsentrasi saat penasaran karena Deith selalu mengganggunya. Bagaikan hantu yang punya dendam padanya, tidak ada seorangpun yang melihat Deith kecuali dirinya. Eideth tidak membenci sponsornya itu tapi tahu apa yang ingin Ia tawarkan. Memikirkan hal itu membuatnya meragukan dirinya sendiri dan Ia memutuskan untuk mengabaikan Deith. Ia mencoba berbincang dengan saudaranya untuk mengalihkan pikirannya.
"Kak, lihat itu," tunjuk Irena tanpa terlihat mencolok. Disana Otto berdiri disamping Vinesa dengan mata kelelahan, Ia tampak sedikit tak berenergi tapi Ia menegaskan ekspresi wajahnya agar terlihat tegar. Irena memberitahu Zain bahwa Vinesa meminjam alat sihir Kubah anti suara miliknya tadi malam. Mereka bertiga berniat menggodanya sedikit. Ketika mereka menyelesaikan satu putaran, mereka akan memberi teguran seperti batuk, menganggukan kepala, bahkan bersiul pada Otto. Hal itu membuatnya malu tapi Ia tetap menjaga mukanya.
Larian mereka terhenti saat mereka merasakan guncangan kecil di tanah. Semua orang di kemah berhenti karena merasakan guncangan itu, mengira akan terjadi gempa. Tapi seorang prajurit yang sedang berjaga berkata, tiga buah pohon baru saja tumbuh keluar dari dalam tanah. Menyadari apa yang dimaksud olehnya, ketiga Raziel berlari kencang meninggalkan lapangan tanpa meminta izin dari Vinesa. Tentu saja Ia marah namun Otto berada disana untuk menenangkannya.
Letih dari latihan tadi tidak membebani mereka sedikitpun selagi berlari dengan kecepatan penuh ke pohon Regalia mereka. Betapa terkejutnya mereka melihat pohon Regalia mereka tumbuh begitu besar padahal baru keluar beberapa saat tadi. Pohon milik Irena adalah beberapa pohon Ficus yang tumbuh melilit sebuah senjata ditengahnya. Pohon milik Zain lebih mirip sebuah altar, sebuah senjata tertancap kedalam tunggul pohon yang dililit bunga Iris.
Mereka berdua sangat senang Regalia mereka tumbuh dengan baik, namun pohon milik Eideth tidak terlihat sebaik mereka. Pohon Regalia itu kering dan layu berwarna abu kecoklatan, tak ada satupun daun di dahan dan rantingnya. Batangnya dililit oleh tanaman berduri yang juga telah berubah warna menjadi kuning, merambat kemana-mana. Sebuah lubang ditengah batang membuatnya terlihat menyeramkan. Eideth hanya diam menatapi pohonnya, "Kak Kamu baik" ujar Zain dan Irena.
"Oh, Iya, Aku baik-baik saja, Kalian mulai saja lebih dulu, tidak apa, Aku ambil giliran terakhir" Eideth mencoba memaksakan senyuman di wajahnya. Kedua adiknya tahu senyuman pahit itu dan memutuskan untuk menunggu orang tua mereka datang. Agareth dan Vinesa datang menghampiri mereka diikuti Vinesa dan Otto tak jauh di belakang. Mereka melihat keadaan itu mencoba untuk menghibur Eideth namun Ia tidak kecewa sama sekali. Mereka bisa melihat melewati senyum pahitnya itu.
Agareth meminta mereka untuk menunggu seseorang untuk melihat pohon Regalia itu. "Siapa yang Ayah panggil" tanya Zain, "penciptanya". Beberapa jam kemudian, Balak datang bersama istrinya dengan terburu-buru. Balak mulai mengamati penampilan pohon itu dengan seksama dan mencatat sesuatu di bukunya. "Ini kedua belas kalinya, hal ini terjadi pada keturunan keluarga Kalian" ujar Balak bernada kasar seperti biasa. "Ini aman" Balak meyakinkan pohon Regalia Eideth itu normal.
"Alasan Kalian diminta untuk menghabiskan waktu bersama bijih Regalia itu karena bijih itu menangkap cerminan Kalian, harus kubilang, didalam dirimu itu cukup menyedihkan sampai Aku tidak sampai hati mengumpat" ujar Balak. Eideth melihat pohon Regalia itu ternyata merefleksikan dirinya sendiri, apa yang Ia rasakan di dalam. Ia merasa lega sesaat dan menerima kenyataan itu. "Wow, Aku cukup gelap ya didalam" Eideth membuat lelucon itu untuk meringankan suasana namun keluarganya tidak yakin Ia benar-benar baik-baik saja.
"Aku beneran baik-baik saja, maaf Aku sering memendam semuanya sendiri" Eideth menundukkan kepalanya. "Apa Kamu ingin membicarakannya" tanya Lucia, Eideth menggelengkan kepala. "Aku berjanji akan mengungkapkan semuanya nanti" jelasnya. Eideth berniat memberitahu keluarganya tentang identitasnya yang sebenarnya, namun Ia masih mencari waktu yang tepat. Ia berjanji untuk lebih terbuka dengan keluarganya ke depannya.
"Suatu saat nanti, Aku akan memberitahu kalian semua" gumamnya dengan pelan sambil tersenyum. Eideth melihat keluarga dan orang-orang dekat berkumpul disekitarnya, merasa begitu bahagia mendapat perhatian dan kasih sayang mereka. Eideth melihat pohon miliknya yang telah layu itu seperti melihat pantulannya sendiri di cermin. "Aku akan berubah, Aku tidak akan sama lagi seperti dulu" ujarnya pada pohon itu, pada dirinya sendiri.