Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 71 - Rivalry

Chapter 71 - Rivalry

Keesokan paginya, Zain dibangunkan pelayan karena Ia ketiduran lebih lama dari biasanya. "Huh, apa…" Ia bahkan tidak bisa melihat lurus ke depan untuk beberapa detik. Dengan lamban Ia berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Beberapa kali Ia hampir tersandung kakinya sendiri dan menabrak tembok menuju kesana. Didepan wastafel, rasanya begitu nyaman mendengar air keluar mengalir dari keran itu membuatnya semakin mengantuk. Mengambil air menggunakan tangannya, Zain membasuh wajahnya dengan air sedingin es itu tanpa ragu. Tubuhnya merinding sebentar merasakan dingin itu namun rasa segar datang tidak lama.

 

Merasa segar, Zain melihat pantulan wajahnya di cermin. Matanya tidak dapat terbuka begitu lebar, mukanya pasih tidak berenergi, namun Ia masih terlihat tampan. Kelelahan yang Ia rasakan tadi malam masih belum juga hilang setelah tidur singkat itu. Ia tidak bisa terlihat kelelahan saat sarapan jadi Ia segera memikirkan cara untuk membuat wajahnya terlihat lebih segar. Zain melihat ke samping, sebuah bak berisi air dingin yang sudah menunggunya sejak tadi malam. Ia memasukkan sebuah jari untuk menguji temperaturnya, tubuhnya langsung merinding mulai dari jari hingga ujung kaki.

 

"Gak, Aku gak ingin mandi, tidak dengan air dingin ini" ujarnya. Zain kemudian menggosok giginya di depan wastafel. Karena kelopak matanya semakin memberat, Zain harus menggosok giginya dengan mata tertutup. Ia tersadar kembali saat Ia hendak menjatuhkan sikat gigi dari tangannya. Ia sadar Ia tidak bisa keras kepala tentang hal itu, Ia harus menghadapinya untuk menyegarkan diri agar bisa bertemu dengan keluarganya dalam keadaan optimal.

 

Zain melihat bak mandi itu tampak semakin mengerikan, namun tekadnya sudah bulat. Zain memasukkan kakinya satu per satu ke dalam bak mandi. Ketika Ia duduk di dalamnya, Zain perlu mengatur nafas untuk mengendalikan pikirannya. Sambil menggigil kedinginan Ia mendorong dirinya untuk menyelesaikan itu hingga tuntas, "A-ayo Zain, masu-kkan kepalamu" tegasnya.

 

Zain keluar dari kamarnya sehabis berpakaian untuk sarapan bersama keluarganya. Berkat mandi air dingin itu, Ia tampak lebih segar dan tubuhnya tidak terlalu merasa kelelahan. Meskipun Ia menyadari sedikit lipatan di ujung kelopak matanya, Ia berharap yang lain tidak begitu menyadari. Zain berjumpa dengan saudaranya yang lain, mereka terlihat dalam keadaan yang sama. "Hai Kak, Irena, Kalian… juga sama ya" sapa Zain.

 

"Ya" jawab Irena dengan singkat. Ia tidak bisa memberitahu Ia terlambat tidur karena memata-matai ayah mereka. Eideth juga mengangguk tanpa memberi komentar, Ia tidak bisa memberitahu saudara yang lain Ia bermain ponselnya hingga larut, bahkan penjelasannya tentang ponsel belum sejauh itu. Kedua saudaranya juga mandi pagi dengan air dingin sama seperti dirinya. Irena berkomentar airnya terasa lebih dingin di hari itu. "Kalian setuju untuk tidak berkata apa-apa tentang ini" tanya Zain. Ia seketika mendapat dukungan saudaranya untuk tetap diam dan bekerja sama saat sarapan nanti.

 

"Jadi Kalian tidur larut semalam" Ibu mereka seketika tahu apa yang mereka lakukan. Mereka sudah mencoba bersikap senormal mungkin, tapi tetap saja ketahuan. Mereka memakan makanan mereka dengan tenang memikirkan kesalahan apa yang mereka tunjukkan. "Ternyata Ibu benar, Kalian ini benar-benar" ketiga saudara itu tersadar mereka telah dikelabui. Mereka melihat pada sesama, merasakan rasa kesal yang sama namun hormat karena itu adalah akting yang hebat dari Ibu mereka.

 

Setelah mengakui kesalahan mereka dan meminta maaf, Irena bagaimana Ibu mereka bisa tahu apa yang terjadi. "Ibu hanya tahu" balasnya tak mau membeberkan rahasia tersebut. Meskipun tidak tertangkap jelas, mereka menyadari Ibu mereka melirik kepada Ayah mereka sejenak. 'Ayah tidak mungkin membeberkan hal itu pada Ibu', 'itu berarti', 'Ayah pasti terlibat dengan suatu hal' mereka bertiga berpikiran sama. Dengan lirikan dari kedua adiknya, Eideth yang maju mewakili yang lain. "Ayah, apa Ayah bisa menceritakan kisah ketika Ayah mendapat Regalia Ayah".

 

Agareth hendak bercerita namun dihentikan oleh Lucia dengan alasan mereka akan sibuk hari ini jadi tidak punya waktu untuk cerita panjang itu. Seketika itu juga, Irena, Zain, dan Eideth paham bagaimana mereka ketahuan. Mereka merasa sedikit sedih tidak bisa melampaui darah keturunan mereka seperti dikutuk untuk mengulangi hal yang sama. Mereka disuruh untuk bersiap karena sebentar lagi mereka akan pergi ke Murath.

 

Mereka berpisah untuk mengambil barang-barang di kamar. Zain pergi lebih dulu meninggalkan saudaranya yang lain. Irena dan Eideth mengambil kesempatan ini untuk merencakan skenario paling natural untuk mereka dan persiapan untuk mengantisipasi masalah yang dapat terjadi. "Aku selalu bertanya-tanya, menurutmu siapa yang akan bertahan kalau Kami menerima tinju masing-masing", Irena bingung mau berkomentar apa. Ia seketika memukul lengan kakaknya menolak ide itu, "Kalian itu sparring seperti ingin menghajar satu sama lain, menerima pukulan seperti itu sangatlah bodoh Kak" ungkapnya.

 

Mereka berdiskusi bagaimana Irena menengahi mereka ketika sparring itu diluar kendali. Mengetahui pola biasa mereka bertarung, Irena harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan mereka dari pukulan terakhir, dimana mereka selalu menentukan pertarungan dengan cara itu. "Apa Kakak yakin Aku bisa melakukan itu" Irena ragu dengan kemampuannya. "Jangan ragu, tempat rendah hati itu bagus, tapi Kamu harus yakin dengan kemampuanmu, tidak seperti Kami, Kamu berhasil mengelabui Ibu berlatih Wave diam-diam selama berbulan-bulan, Aku percaya Kamu bisa" dukungnya.

 

Irena tidak seperti kedua kakaknya yang melatih Teknik sihir Explode dari Vinesa. Irena punya kemahiran dengan Wave meskipun Ia tetap belajar Explode sebagai pelajaran sampingan. Teknik sihir Wave mengandalkan kontrol pada aliran Mana dari luar tubuh, Irena dapat berlatih Wave tanpa ketahuan karena tidak perlu melatih tubuhnya begitu keras. Eideth dan Zain yang selalu melatih tubuh mereka dengan keras untuk menahan efek samping Explode, Irena tidak perlu melakukan itu. Ditambah dengan Talent [Perfect Calculation] miliknya, Irena memiliki tingkat fokus yang lebih tinggi dibandingkan orang pada umumnya.

 

Eideth berpisah dengan Irena untuk mengambil bijih Regalia miliknya di dalam kamar beserta perlengkapannya yang lain. Disana Ia mendapat sebuah panggilan, [Eideth, Aku perlu bicara padamu], itu adalah Deith, sponsor dari kelas Warlock miliknya. "Ya, ada apa", [Aku tidak mau Kamu melakukan sparring dengan Zain] balasnya. Eideth kaget mengapa perubahan sikap tiba-tiba dari sponsornya itu. Ia seketika menanyakan alasan dibalik permintaannya itu tapi Deith tidak bisa menjawab. "Maaf ya, tapi Aku tidak bisa melakukan itu, saudaraku memerlukan bantuanku, Aku tidak bisa membiarkannya, bye" Eideth menutup panggilan itu dan segera pergi.

 

"Eideth, Eideth", panggil Deith, "Sial, Dia tak mau mendengarkanku". Saat ini Deith berada di domain Zatharna sebagai seorang tamu, Ia menetap disana cukup lama karena Ia juga salah satu GM sampingan yang membantu jalannya permainan. Zatharna menghampiri Deith melihat kegelisahannya, "Deith, ada masalah". "Iya, si bodoh itu berniat sparring dengan Zain, tak memikirkan kondisi tubuhnya" jelas Deith. "Aku tidak yakin itu masalah yang begitu besar, fisik Eideth sudah cukup membaik" Zatharna kesulitan melihat masalahnya. "Aish, Kamu tidak mengerti, Eideth itu akan melawan Zain tanpaku" tegasnya. Deith berpikir keras mencoba menghentikan sparring itu terjadi. "Zatharna, apa Kamu bisa menolongku" tanya Deith.

 

Mereka bertiga berkumpul di depan gerbang, Agareth telah menyiapkan sebuah kereta kuda agar mereka dapat pergi bersama. Sudah cukup lama satu keluarga itu tidak berpergian bersama. Irena mengungkit terakhir kali mereka berpergian satu keluarga adalah liburan enam tahun lalu, mengecualikan ritual keluarga Raziel yang mereka lakukan tiap tahun di desa asal mereka. Perjalanan ke Murath itu seperti yang diperkirakan, mereka tertidur setelah keluar dari kota. Lucia menghela nafas melihat anak-anaknya yang sudah cukup dewasa masih bersikap seperti anak-anak. Agareth memegang tangan Lucia dan tersenyum padanya.

 

"Irena, Zain, Eideth, bangun, Kita sudah sampai" panggil mereka berdua. Ketiga saudara itu bangun dengan cepat dan terlihat lebih berenergi dari tadi pagi. Perjalanan ke Murath ternyata memakan waktu dua jam, cukup untuk mereka mengambil tidur yang kurang kemarin malam. Agareth tidak memberitahu bahwa Ia memerintahkan kusir untuk berkendara dengan santai agar mereka dapat beristirahat, Ia kesulitan membujuk Lucia untuk itu.

 

Zain melihat kakaknya menunjukkan wajah takjub setelah sekian lama. Ia sedang pergi saat mereka memulai pembangunan di Murath. Beberapa bangunan telah dibangun untuk menunjang fasilitas yang dibutuhkan untuk melatih prajurit, seperti barak, gudang arsenal, kantin yang masih dalam pembangunan. Pembangunan itu sedikit terhambat karena mereka terlebih dahulu membangun kubah penampung untuk menyegel sisa menara Sixen.

 

Setelah Menara Sixen berhasil diselesaikan, mereka akan jadi bangunan yang tidak aktif namun tidak menghentikan fungsi utamanya yaitu memompa Mana dari dalam tanah. Untuk itu perlu sebuah katup untuk menahan Mana itu mengalir keluar dengan sia-sia. Disamping itu juga, perlu adanya fasilitas untuk mengolah dan mendistribusikan Mana tersebut. Bangunan itu sangatlah jarang dijumpai karena pembangunannya sangat mahal.

 

Agareth berpisah meninggalkan Eideth dan saudaranya sendirian selagi mereka mengurus barang-barang. Ia ditemani Lucia pergi ke gedung pendistribusian Mana itu. Zain dan saudaranya mengadakan lomba untuk mendirikan tenda untuk mereka tidur, tidak ada taruhan apapun dibaliknya namun mereka begitu semangat seperti sedang berkemah. Mereka bertiga tidak ingin ketinggalan bersenang-senang dan menghabiskan waktu bersama yang lain.

 

Agareth bersama Lucia langsung pergi menuju bangunan itu. Pekerja disana kaget dengan kedatangan Count Raziel yang tiba-tiba. Mereka mencoba menyambutnya dengan baik dan segera memanggil atasan mereka memberitahukan kabar itu. Seorang Manager keluar untuk melayani Agareth, Ia menunjukkan sebuah alat yang memproyeksikan sebuah gambar. Pria dari gambar itu menyapa, "Selamat Siang Tuan Agareth, maafkan Kami karena tidak dapat menyambut Anda dengan baik, Kami tidak menyadari kedatangan Anda". Ia membungkuk tubuhnya meminta maaf.

 

"Tidak apa, Kami hanya datang untuk beberapa urusan keluarga, bisakah Aku mengambil alih Akses untuk katup Mana selama satu hari" tanya Agareth. "Tentu saja Tuan, apakah Anda ingin mengadakan pelatihan khusus", "tidak sepenuhnya, Kami ingin membuat Regalia" ungkapnya dengan singkat tanpa memberi penjelasan tambahan. Pria itu langsung memerintahkan pekerja disana untuk menuruti perintah Agareth kemudian Ia pamit pergi. Agareth segera meminta agar mereka membuka pintu besi yang menyimpan Mana itu keluar.

 

Semburan Mana yang tidak terlihat mengalir keluar dan berhamburan ke udara. Untuk orang-orang disana, baik yang bisa melihat ataupun tidak, mereka dapat merasakan energi itu mengubah lingkungan mereka. Eideth seketika menoleh dan terkejut, Ia sangat senang telah belajar untuk merasakan dan melihat Mana walaupun hanya sedikit. Pemandangan itu sangat luar biasa meskipun Ia hanya bisa melihat setengah dari yang orang lain lihat.

 

Udara sekitar berubah, hembusan angin dingin menerpa kulitnya. Sensasi paru-parunya sedikit lebih nyaman namun Ia menyadari udara itu sedikit lebih berat. Eideth melihat beberapa prajurit yang sedang berlatih sedikit kesusahan karena perubahan Mana itu, hingga ada beberapa yang tumbang. "Mana Sickening" gumamnya dengan pelan sedikit bersimpati pada mereka.

 

Mana Sickening adalah gejala reaksi fisik yang berkaitan dengan Mana. Gejala ini dapat dipicu berbagai sebab seperti terpapar Mana secara tiba-tiba, kehilangan Mana, hingga memaksakan diri dengan memakai Mana berlebihan. Meskipun kondisi ini bukanlah penyakit yang menular, melainkan reaksi fisik akibat adaptasi makhluk hidup terhadap perubahan di Artleya, kejadian ini masih terus diteliti oleh para ahli.

 

Semenjak penjajahan Artleya oleh Dewa dunia lain, ekosistem ikut berubah. Orang-orang yang terbiasa menjalani kehidupan sehari-hari menggunakan Mana dan sihir, kehilangan kemampuan mereka dan harus beradaptasi dengan lingkungan. Beberapa dari mereka mencari dan membangun tempat tinggal di dekat sumber Mana, tapi tidak semua orang begitu beruntung. Untungnya mereka beradaptasi, perlahan-lahan dapat hidup dengan normal dengan Mana yang sedikit ataupun tidak mendapat Mana sama sekali. Sehingga, saat mereka bersentuhan dengan Mana, tubuh mereka kebingungan tidak tahu cara bereaksi dengan hal tersebut.

 

Eideth sebelumnya memiliki jenis Mana Sickening yang cukup langka. Tubuhnya merespon Mana secara negatif dan mengubahnya menjadi rasa sakit. Ia butuh bertahun-tahun rehabilitas dan hanya pulih total setelah membangkitkan Talent miliknya. Melihat para prajurit itu, Eideth bersimpati mengingat pengalamannya sendiri dengan Mana Sickening. Eideth seperti mendapat PTSD mengingat bagaimana Ia melakukan terapi untuk menerima Mana. Meskipun Ia sendiri yang meminta untuk sembuh dengan cara menyakitkan itu, tubuhnya menggigil masih mengingat sensasi menyakitkan. Menginjeksi tubuhnya dengan Mana secara paksa, sambil melatih Teknik sihir untuk meredakan rasa sakit itu, bukanlah pengalaman yang menyenangkan.

 

"Kak, Kamu baik" Zain menyadarkan Eideth dari lamunannya. "Aku baik, hanya sedikit kasihan dengan prajurit disana" tunjuknya. "Dia pingsan ya, dia bakalan dapat banyak latihan keras kedepannya" Zain pun ikut bersimpati. "Aku bersyukur Aku berhasil sembuh dari Mana Sickening, kalau tidak Aku akan ikut pingsan karena tidak dapat menahan sakit" candanya. Irena dan Zain menatap Eideth dengan tidak setuju, berkata padanya untuk tidak bercanda pada kondisinya itu. Mereka berkata mereka semua malah khawatir Eideth mendapat gejala itu kembali saat Ia berpetualang. Eideth berjanji tidak akan membuat lelucon tentang itu lagi.

 

Selesai mendirikan tenda, orang tua mereka datang. "Kalian sudah siap" tanya Agareth. Mereka bertiga tahu tanda itu, mengambil bijih Regalia milik mereka simpan untuk segera menanamnya. Orang tua mereka menunjukkan tempat yang sesuai untuk menanam bijih itu. Mereka melakukan doa terakhir kali sebelum menanam bijih itu. 'Jadilah cahaya yang membimbingku, seperti saudara dan keluargaku' ujar Zain dalam hati. Selanjutnya giliran Irena berdoa, 'bantulah Aku menjadi pemimpin yang baik' pintanya dalam hati.

 

Eideth disana berlutut dengan pikiran kosong tidak tahu ingin mendoakan apa. Melihat dari sudut pandang orang dunia lain, Eideth menghormati budaya Artleya dan mengikuti mereka karena ajakan keluarganya. Namun Ia sendiri tidak sepenuhnya percaya dengan itu. Pemikiran nalar dari dunia lamanya lah yang melihat sihir sebagai suatu keajaiban tanpa penjelasan yang tampak. Ia sadar mentalitasnya itu datang dari pengalaman hidupnya di dunia tanpa sihir tidak seperti Artleya. Meskipun tidak menunjukkannya di depan keluarga dan hanya Ia pendam sendiri, ideologi itulah yang membuat dirinya seperti saat ini.

 

Eideth mencari ke dalam hatinya, sesuatu yang Ia inginkan, tapi yang Ia dapat hanyalah keinginannya saat itu juga. Sebelumnya Ia pergi ke perpustakaan kastil untuk mencari tahu sejarah Murath. Dari sepengetahuannya, tempat itu adalah medan perang dimana orang-orang bertemu maut mereka. Prasangkanya terhadap takhayul membuatnya tidak tenang. Sehingga Ia meminta, 'lindungilah Regalia saudaraku dari pengaruh jahat seperti Aku melindungi mereka'.

 

"Bagaimana" tanya Lucia menanyakan perasaan mereka. Balasan dari mereka cukup normal seperti gugup, tegang, dan tidak sabar. Mereka sedikit tidak percaya Eideth menjawab tidak sabar, sudah lama mereka tidak melihat antusiasme darinya. Untuk menunggu Regalia itu selesai terbentuk, mereka memutuskan untuk berlatih di kemah pelatihan tentara itu. Itu adalah tradisi keluarga yang dibentuk saat berpisah dengan keluarga utama dan menjadi bangsawan. Meski mereka bukan bagian dari keluarga utama yang menetap di desa, mereka masih melanjutkan tradisi mereka dengan sedikit penyesuaian. 

 

Dua wajah familiar menyambut mereka, "selamat siang Tuan…" betapa terkejutnya mereka melihat Eideth. "Halo Levyr, Cloven, lama tak jumpa" sapa Eideth. Mengingat pekerjaan mereka, Cloven dan Levyr tidak terlalu lama berbincang. "Semuanya, perkenalkan, ini adalah Tuan Eideth, Tuan Zain, dan Nona Irena, mereka akan berlatih bersama Kita hari ini, semuanya siap di posisi, Kita akan mulai pemanasan" instruksi Levyr. Eideth, Zain, dan Irena bergabung dengan barisan mana saja yang mereka bisa masuki.

 

Eideth mengambil barisan agak depan bersebelahan dengan Fiends, Zain tepat ditengah bersama Beastmen, dan Irena mengambil posisi belakang dalam barisan Fae wanita. Kejadian itu sangatlah mengherankan untuk prajurit-prajurit baru melihat seorang bangsawan ikut berlatih bersama pasukan mereka. Mereka sedikit skeptis karena punya pandangan sendiri dari bangsawan dari tempat asal mereka yang berbeda-beda. Sebagian memuji hal itu, namun tidak semua orang berpendapat positif. "Semua siap, ikuti instruksi ku" ujar Cloven memimpin pemanasan.

 

Pemanasan itu tidak hanya pemanasan fisik, tapi juga pelatihan penyerapan Mana. Metode ini digunakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya Mana Sickening. Setelah itu mereka lanjut melatih fisik seperti push up, sit up, squat seperti biasa. Latihan itu lebih panas dari biasanya. Terlihat sebuah motivasi mendorong mereka berlatih lebih keras. Karena bangsawan diantara mereka begitu bersemangat. Tampaknya mereka bertiga tengah berlomba dengan satu sama lain.

 

Instruksi Cloven pada latihan pertama ini adalah untuk menguji batas mereka. Sebuah tantangan yang sesuai untuk Raziel bersaudara. Mereka bertiga tahu kemampuan masing-masing dan rekor mereka sebelumnya. Mereka tidak berlomba dengan satu sama lain dalam pencapaian, melainkan berlomba siapa lebih dulu memecahkan rekor mereka. Sebuah cara pikir yang diajarkan oleh ayah dan bibi mereka. "Kamu tidak perlu menjadi lebih baik dari orang lain, jadilah lebih baik dari dirimu yang kemarin" pesan mereka.

 

Nafas mereka terengah-engah, kaki dan tangan mereka gemetaran namun masih mendorong ke bawah. Irena puas menambahkan lima dari rekor lamanya, meskipun Ia kelelahan Ia dapat mengatur nafasnya kembali dengan mudah. Hal itu tidak sama dengan kakaknya, Zain dan Eideth menembus dua puluh dan lima belas dari rekor lama mereka. Berbaring di tanah kelelahan dengan tangan spageti berusaha keras mengambil nafas bersama dengan yang lain dalam barisan mereka. Tetesan keringat dari semua orang di barisan itu membasahi tanah.

 

Irena tidak tahu apakah itu karena Ia berbaris dengan para wanita Fae Ia tidak terlalu memaksakan diri seperti mereka. Irena bisa melihat dari kedua wajah kakaknya bahwa mereka sedikit menyesali meninggikan tiang lompat itu terlalu banyak. Fiends dan Beastmen juga kelihatan sedikit menyesal membuang tenaga mereka terlalu awal dalam latihan hari itu. Meskipun mereka kelelahan, mereka melihat para senior mendapat pelatihan lebih keras. Entah kenapa mereka masih bersyukur dengan kondisi mereka.

 

Cloven segera menginstruksikan mereka untuk istirahat sejenak sebelum merangkum latihan itu dengan berlari. Eideth dan Zain segera duduk bersilah untuk memulihkan tenaga mereka, Irena juga ikut tidak begitu lama. Seorang kadet bertanya apa yang sedang mereka lakukan karena mendapati sesuatu yang aneh dari mereka. Ketiga Raziel itu mengajak kadet yang lain untuk duduk melingkar karena mereka akan menunjukkan langkah pertama pengendalian Mana. Ada beberapa kadet tidak percaya dengan mereka namun Zain segera menunjukkan demonstrasi. Ia menarik nafas yang dalam kemudian meninju ke tanah menerbangkan debu-debu ke udara. Kekuatan milik Zain tidaklah kuat sama sekali namun pengendalian Mana miliknya berhasil melakukan itu.

 

Sebagian besar Kadet yang sudah mendapat pelatihan dengan Mana sebelumnya dapat melihat apa yang terjadi. Seorang kadet di tunjuk untuk menggambarkan apa yang Ia lihat. "Um… pertama Tuan Zain mengumpulkan Mana dari udara lalu menyalurkannya ke tinjunya. Saat pukulan itu hampir menyentuh tanah, Mana tersebut terdorong keluar menghentikan hantaman, penyebaran kekuatan itu menerbangkan debu di tanah", Kadet tersebut mendapat apresiasi untuk deskripsinya yang singkat dan jelas.

 

Zain mulai menjelaskan bahwa Mana itu adalah sumber energi dari alam. Betapa sia-sia jika energi tersebut hanya masuk lalu keluar dari dalam tubuh tanpa di pakai. Ia menginstruksikan mereka untuk berlatih menarik Mana, banyak Kadet yang sudah bisa melakukan itu namun masih ada beberapa yang tertinggal. "Maaf Tuan, Saya masih tidak merasakan apa-apa" ujarnya. "Tidak apa, itulah alasan Kita belajar dan berlatih disini, tidak semua orang langsung bisa saat pertama mencoba" ungkap Zain.

 

Zain berkumpul dengan saudaranya untuk membicarakan sesuatu. "Berapa banyak yang belum bisa mengumpulkan Mana di barisan Kalian, disini sembilan orang" tanya Zain. Setelah menghitung seluruh kadet, mereka mendapati dua puluh persen diantaranya masih menguasai pengendalian Mana. "Syukurlah tahun ini lebih sedikit" ujar Eideth. Para Raziel muda itu tidak sembarangan mengikuti latihan militer hanya karena ingin. Setiap tahun mereka bertugas mengoberservasi setiap kadet untuk mengorganisir kebutuhan latihan yang diperlukan setiap kadet.

 

Tidak semua orang memiliki latar belakang pengetahuan yang baik tentang Mana dan sihir. Meskipun begitu, itu bukanlah alasan untuk tidak melatih mereka menjadi prajurit terbaik bagi Kekaisaran. Meskipun ada departemen pengembangan sumberdaya manusia (HRD), mereka juga ingin membantu sebisa mungkin. Mereka menambahkan catatan pada daftar absensi rekrutan baru untuk para kadet yang memerlukan pelatihan lebih. "14 Fiends… kurasa itu kurang spesifik, sembilan orcs dan lima ogres", "tambahkan tujuh Cat Beastmen, delapan Dog Beastmen" tambah Zain. "Barisanku hanya empat elf" sambung Irena, "hanya itu" Eideth dan Zain hampir berteriak membuat kadet lain tersadar.

 

Mereka kemudian menyerahkan daftar itu pada Cloven supaya diserahkan kepada Departemen pengembangan sumberdaya manusia. Cloven pergi setelah menginstruksikan para kadet untuk berlari keliling kemah sebanyak yang mereka bisa. Mereka mulai berlari namun segera kelelahan setelah beberapa putaran. Itu adalah hal yang wajar karena mereka memakai energi tubuh mereka sendiri. Raziel menyarankan para kadet untuk menggunakan energi dari Mana yang dikumpulkan lewat pernafasan. Mustahil untuk fisik mereka melewati batas itu secara normal tanpa bantuan sihir. Beberapa kadet sudah menunjukkan perubahan dalam kecepatan dan stamina mereka.

 

Melihat para kadet sudah mengerti apa yang harus mereka lakukan, Raziel memulai lomba mereka. Eideth dan Zain melaju meninggalkan Irena karena pengendalian Mana mereka lebih baik. Irena tertinggal jauh, Ia cukup kesal saat Zain dan Eideth melewatinya dari belakang setelah melewati satu putaran. Irena tahu kemampuannya setelah berlatih selama enam bulan tidak bisa dibandingkan dengan kakaknya yang telah berlatih bertahun-tahun mendahuluinya. Tapi itu tidak membuat kekesalannya menghilang, berkali-kali Ia ingin menambah kecepatan untuk mengikuti kecepatan mereka, tapi kemampuannya belum sampai kesana.

 

Karena kecepatannya yang sedikit lebih lambat, Irena dapat melihat lingkungan sekitar dengan lebih teliti. Di ujung matanya, Ia melihat sosok yang familiar mendekati lintasan lari mereka. Irena segera memperlambat kecepatannya dan berlari lebih santai menghemat energi. Setelah melewati orang itu, Ia tertawa kecil membayangkan wajah kakaknya nanti.

 

Zain berlari dengan kecepatan penuhnya, bertekad memecahkan rekornya setinggi mungkin. Tak lama, Eideth mengejarnya mencoba menyamakan langkah mereka, tidak mau kalah. Walaupun Zain telah menyelesaikan lebih banyak putaran, Ia tetap tidak mau kalah dengan Eideth yang mengeluarkan seluruh tenaganya. Tujuan lari itu adalah untuk memecahkan rekor pribadi dan melihat perkembangan mereka dibanding yang lalu. Hal itulah yang mereka perlombakan. Di pertengahan lintasan, mereka berdua melihat seseorang tengah menunggu dari pinggir menonton mereka. Semangat hilang dari wajah mereka setelah menyadari siapa orang itu. Mereka tidak dapat memperlambat langkah mereka lagi dan harus menyelesaikan lari itu. "Sial, ada bibi Vinesa" ujar mereka dalam hati. Saat mereka menyusul Irena dari belakang, Ia tersenyum dan berkata, "semangat ya kak" menjulurkan lidahnya dengan senyuman nakal.