Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 70 - Siblings

Chapter 70 - Siblings

"Talent milikku bernama Conceptualize, dari yang Aku pelajari, Talentku membuat sebuah peraturan untuk kuikuti, Aku mendapat beberapa keuntungan, Aku bisa memakai mantra sihir yang unik, dan lainnya, dengan batasan yang konkrit, Aku tidak bisa melampaui batas itu dengan cara biasa" ungkap Eideth. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan yang ditulis menggunakan alfabet yang berbeda dari dunia mereka. "Semisal, peraturan mengatakan Aku hanya bisa merapalkan lima mantra dalam satu hari, Aku hanya bisa merapal lima mantra, tidak bisa lebih, tanpa mengorbankan sesuatu, jika peraturan mengizinkan" jelasnya.

 

"Begitu" Irena dan Zain berpikir keras bagaimana Eideth memakai Talentnya. "Jadi semua mantra unik yang Kakak ciptakan ini karena Talent Kakak" tanya Irena. "Secara teknis, iya, tapi Aku sudah menerjemahkan mereka dengan formula sihir umum, mantra yang dipublis oleh profesor Revnis memiliki namaku sebagai rekan penulisnya". "Bagaimana Kakak bisa membaca bahasa asing ini" tanya Zain, Eideth hanya menjawab itu keuntungan dari Talent miliknya.

 

"Berapa banyak mantra yang bisa Kakak gunakan setelah melatih Talent Kakak hingga saat ini" tanya Irena. Eideth menggaruk kepalanya, Ia bingung untuk menjawab atau tidak. "Aku lagi… tidak bisa… memakai Talentku" bisik Eideth sambil menatap ke lantai. "Apa??" kedua saudara itu seketika tidak mengerti. Eideth berjanji untuk memberikan penjelasan yang detail namun meminta mereka untuk merahasiakan hal itu. "Jadi begini…"

 

Selesai mendengar cerita singkat dari Kakak mereka, kedua saudara itu mendapat respon yang berbeda. "Satu bulan istirahat, Aku rasa itu normal, untung saja Dewi tengah memurnikan Talent milik Kakak dari pengaruh kekuatan asing itu" ujar Irena. Zain hanya diam memikirkan kondisi kakaknya, Ia tidak tahu harus membalas bagaimana. "Zain, Kamu kenapa" tanya Eideth menyadari tingkah lakunya. "Maaf Kak, Aku hanya melamun sebentar… Kakak pasti… melompat kedalam api terlebih dahulu… seperti biasa" nada bicara Zain semakin melemah.

 

Eideth memukul lengan adiknya, "jangan khawatir, Aku baik-baik saja, Aku tidak seceroboh itu kok" ujarnya menghibur Zain. "Bagaimana Kamu bisa mengatakan itu dengan wajah santai" balas Zain dengan pelan. "Kakak bisa mati, Kakak tahu itu bukan, Kita cuma punya satu nyawa, Kakak tahu fisik Kakak sedikit lemah tapi selalu memaksakan diri seperti itu" Zain mendorong kakaknya yang sedang menghiburnya. Irena ikut dalam pembicaraan memahami perasaan Zain, "Kak Zain benar, sedari kecil Kakak selalu seperti itu, baik itu untuk melindungi Kami atau sekedar memotivasi, Kakak selalu mendorong batas Kakak, Kami tahu Kakak selalu istirahat di rumah karena itu, Kami hanya tidak ingin Kakak tidak kenapa-napa, Kakak selalu membuat Kami khawatir tahu" seru Irena mengambil sisi Zain.

 

Eideth tertegun tidak dapat menjawab. "Aku minta maaf karena membuat Kalian khawatir selama ini" jawabnya, "Aku cuma punya perasaan bahwa Aku itu anak percobaan". Mereka berdua tidak mengerti tapi memutuskan untuk mendengarkan Kakak mereka hingga selesai. "Aku lahir dengan fisik lemah, Aku tahu itu, dibandingkan dengan Kalian, Aku tidak punya bakat apapun, dan hanya menyusahkan Ayah Ibu, meskipun begitu Aku ingin jadi contoh agar Kalian melampauiku lebih tinggi lagi, maaf Aku tidak pernah menyadari Kalian khawatir".

 

Sudah cukup lama mereka tidak memiliki pembicaraan yang intim seperti ini. Selain saat berlatih dan beberapa acara khusus, hubungan mereka tidak begitu dekat dengan satu sama lain. Dalam hati mereka, mereka lebih memilih menyendiri dengan berlatih agar menjadi cukup kuat sehingga yang lain tidak khawatir. Pembicaraan itu membuat mereka lebih mengerti satu sama lain. Eideth memecah kecanggungan dan suasana sedih itu dengan gurauan, "Aku tidak ingin kalian berjalan diatas cangkang telur denganku, karena Aku itu lemah (brittle)". Eideth menyesal karena humornya tidak sejalan dengan keluarganya yang lain. Ia seharusnya tidak menonton kumpulan lelucon ayah di ponselnya.

 

Kedua saudara itu tertawa pada lelucon kakaknya, Ia sendiri tidak tahu apa itu tawa kasihan tapi Ia menerimanya. Mereka lanjut berdiskusi tentang Talent dan bagaimana mereka bisa mengkoordinasi kemampuan mereka. "Irena, apa Kamu pernah berpikir untuk menjadi Overseer" tanya Eideth. Overseer adalah posisi yang sering terlupakan dalam militer karena mereka tidak bertarung langsung di lapangan, meskipun pengecualian dapat dibuat. Overseer bertugas untuk mengumpulkan, memonitor, dan mengontrol informasi medan pertarungan selagi membentuk strategi yang sesuai untuk pasukan. Mereka selalu dikaitkan dengan pemonitor Mana untuk memperingati pasukan akan jumlah Mana pada Area tapi tugas mereka lebih dari itu.

 

Seorang Overseer dapat menjadi pemimpin yang baik karena kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang tepat untuk seluruh pasukan. Overseer dipandang tidak terlalu dibutuhkan karena ksatria dan penyihir dapat mengukur Mana disekitar dengan sendirinya tapi itu tidak benar. Overseer adalah pekerjaan dengan tingkat keahlian yang tinggi, dan banyak dimintati di benua Calix. Irena mengaku Ia telah memikirkan ide itu, namun Ia tidak cukup yakin jika Ia ingin menempuh pekerjaan itu. Eideth mendukung Irena karena Ia percaya Ia dapat memanfaatkan Talant [Perfect Calculation] miliknya untuk membantu lebih banyak orang, terutama pasukan mereka. Zain tidak menolak ide itu dan setuju Irena dapat memilihnya. Mereka berdua berjanji untuk tidak memaksa Irena karena karir pekerjaan itu harus Ia minati dengan kemauan sendiri.

 

Irena tengah membuat pilihan, meskipun kedua kakaknya tidak memaksanya saat itu juga. "Aku selalu benci Aku berada paling belakang saat Kak Eid melindungi Kita, Aku tahu Kak Zain selalu khawatir dengan Kakak yang selalu keras kepala, Aku juga ingin melindungi Kalian dengan caraku sendiri, jadi Aku akan menjadi Overseer yang baik, sehingga Kalian harus mengikuti semua arahanku mengerti" Seru Irena berdiri tegak dan menunjuk kedua Kakaknya. "Siap Kepala keluarga" usik Zain dan Eideth mengangkat tangan mereka memberi hormat. Irena seketika malu dan menutup wajahnya, merasa kesal Ia memukul kakaknya untuk berhenti mengusilinya seperti itu.

 

Kedua pemuda itu mengelus tangan mereka sehabis dipukul. Karena Irena sudah memutuskan pilihannya, mereka lanjut membahas Zain. "Kenapa Kalian melihatku seperti itu" tanya Zain. "Jadi Tuan Breaker, apa Kamu sudah yakin dengan pilihan posisimu" tanya Eideth. "Kamu selalu berkata ingin melindungi saudara yang lain tapi pilihanmu adalah Breaker" usiknya. Zain menyadari kontradiksi dalam argumennya. Posisi pasukan di medan tempur dalam militer yang diketahui oleh khalayak umum, terbagi menjadi lima, Vanguard pelindung depan, Breaker penghancur pertahanan lawan, Hunt penyerang yang mengakhiri pertarungan, Catalyst pendukung untuk Breaker dan Hunt, juga Clergy sang medis. Lima posisi ini adalah pondasi dasar membentuk sebuah pasukan.

 

 

Dalam pohon keluarga mereka, tidak ada yang pernah menjadi Vanguard murni. Mereka sendiri terlalu keras kepala untuk bertahan, mengutip perkataan leluhur mereka, "pertahanan yang baik adalah serangan yang baik, sebaliknya adalah kebohongan". Mereka semua mengangguk menyetujui ungkapan itu. Menggambarkan posisi mereka disebuah kertas, hanya Eideth yang belum mengungkapkan posisinya dalam kombinasi mereka. "Jadi Kak, Kamu ingin jadi Breaker juga atau seorang Hunt" tanya Irena. Tepat sebelum Eideth ingin menjawab pelayan Zain datang mengingatkan mereka sudah mendekati waktu makan malam. Mereka terpaksa kembali, Eideth berjanji akan memberitahu semua orang posisinya selesai makan malam.

 

Sehabis makan malam, Eideth meminta perhatian dari keluarganya sebentar. "Ayah, Ibu, Aku akan mendaftar ke Gonan sebagai Catalyst" ungkapnya. Itu pengumuman yang sedikit mengejutkan, mereka tidak pernah menduga Eideth akan memilih posisi itu. Lucia bertanya alasan dibalik pilihannya itu. Eideth berkata Ia mendapat banyak pelajaran saat berpetualang keluar. Ia tidak sekuat yang Ia pikirkan sendirian, setelah berlatih dan bertarung bersama, Ia sadar posisinya lebih sesuai menjadi Catalyst.

 

Zain mengerti pemikiran itu, Ia juga meminta agar Kakaknya tidak terlalu memaksakan diri. "Aku juga sempat berbicara dengan Pangeran Reinhardt tentang ini, Ia memang berkata Aku lebih mirip seorang Breaker, jadi Aku akan memilih posisi sampingan sebagai Breaker" tambahnya. Zain tanpa tersadar, bersandar ke kursinya mendengar itu. Hal itu melegakan pikirannya. Mengganti topik pembicaraan, Agareth bertanya apa mereka siap untuk menanam bijih Regalia itu besok, mereka bertiga menjawab sudah siap. "Kalau begitu Kalian harus tidur cepat" perintah Lucia. Mau tidak mau mereka menuruti perkataan Ibu mereka itu.

 

"Kak Eid, bisa Aku minta waktu sebentar" panggil Irena. "Ada apa", "ugh…" Irena memperhatikan sekitarnya, merasa bukan tempat yang tepat untuk membuat pembicaraan tapi Ia harus mengambil. "Begini Kak—", "Kalian sedang apa" potong Zain. "Tidak ada apa-apa, Aku hanya meminta pendapat Kak Eid, Kami pergi dulu" Irena merasa tidak enak dan mendorong Kakaknya pergi dari sana. Zain merasa sedikit aneh tapi Ia mengerti karena waktu mereka terbatas bersama. Zain sendiri sudah tidak sabar menunggu untuk sparring dengan sungguh-sungguh dengan Kakaknya, untuk menguji dirinya sendiri.

 

"Ada apa Irena, kenapa Kita menjauhi Zain seperti ini" tanya Eideth. Irena mengunci ruangan itu memastikan mereka dapat membicarakan hal ini berdua. "Kakak, apa Kakak sadar Kak Zain bertingkah aneh". Eideth segera mendapat tali yang Irena ulurkan, "maksudmu". "Kak Zain melakukan itu lagi, semenjak insiden Desa Gobbi, Kak Zain berlatih sangat keras untuk mengejar Kakak" jelas Irena. Eideth mengerti apa yang terjadi, ini adalah masalah yang sering terjadi dalam keluarga mereka. Mereka sebagai saudara bertugas untuk membenarkan sikap jelek ini.

 

Ketika Eideth mendapat masalah dan melakukan hal yang sama, Irena disana untuk menyadarkannya. Saat Irena kesulitan dalam pelajarannya, Zain disana membantunya. Kini giliran Zain yang mendapat masalah, Eideth, sebagai Kakak dan seorang rival, Ia akan membantunya mengembalikan saudaranya ke sedia kala. "Irena, bisakah Kamu membantuku", "Kakak harus bertanya? Tentu saja Aku akan membantu". Eideth mencoba berbisik ke telinga Irena meskipun mereka sudah berada di tempat yang tertutup. "Apa Kamu sudah berlatih Wave". Irena meneguk ludahnya merasa tidak enak. "Ya, Kamu akan membantu bukan" ujar Eideth. "Baiklah, Aku akan coba" balas Irena sedikit terpaksa.

 

Mereka keluar dari ruangan itu dan kembali ke kamar mereka masing-masing untuk mempersiapkan diri ke Murath keesokan harinya. Eideth mendatangi kamar Vista untuk memberitahunya kabar bahwa mereka akan pergi selama beberapa hari. "Apa Aku harus ikut" tanya Vista. Eideth menjawab tidak, setelah mendengar perkataan Irena tentang Zain. Ia sadar Ia harus sedikit menjaga jarak mengingat Vista adalah mantan Apostle dunia lain. Meskipun Vista sudah dibawah naungannya, Eideth sendiri tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana apakah Vista itu musuh atau bukan. Eideth sadar Ia menyelamatkan Vista dengan sedikit iba, namun Ia menyadari itu bukanlah sepenuhnya alasannya melakukan itu.

 

"Ok kalau begitu, Aku akan menunggu disini, sampai jumpa" Vista membanting pintu itu di depan wajah tuannya. Eideth sedikit kaget namun Ia sudah terbiasa dengan sikap Vista yang seperti itu. Ia sendiri malah khawatir apa Ia terlalu bertoleransi dengannya. Eideth berbalik dan melihat Gerard berdiri diujung koridor menahan kemarahannya setelah melihat itu. Ekspresi wajahnya tidak berubah tapi Eideth bisa melihat aura Gerard meledak-ledak. Eideth mencoba menenangkannya tapi Ia tidak bisa menjamin Gerard akan melepaskan emosinya.

 

Eideth memegang tangan Gerard coba menarik perhatiannya. "Gerard, dengarkan Aku" Eideth menunggu sampai Gerard menatap matanya, "Kamu selalu mengingatkanku untuk tetap tajam dan cermat, Kita membutuhkan Vista untuk informasi yang Ia punya untuk menyelesaikan perang tak henti-henti ini, Aku mohon padamu untuk bersabar, dan Jika hal baik terjadi, Aku harap dia bertarung untuk Kita, Kamu bisa membantuku mengawasinya bukan" pinta Eideth. Gerard mengangguk dan aura membunuhnya itu hilang. Ia akhirnya kembali berpikiran tenang seperti biasa. "Baiklah Tuan, sesuai perintah Anda" balas Gerard setelah mengembalikan ketenangannya.

 

Eideth meminta bantuan Gerard untuk mengemas barang-barang yang Ia butuhkan besok. "Apapun yang Tuan inginkan" balas Gerard dengan santai. Selagi membereskan perlengkapannya, Eideth merasa sangat bersyukur dengan semua yang Ia miliki. Kehidupannya sebagai bangsawan yang lebih beruntung dari sebagian besar orang, keluarganya, cara didikan yang Ia terima, orang-orang disekitarnya. Walaupun Ia merasa tercukupi, Ia senang Ia masih ingin lebih. Keinginan untuk berubah dan berkembang belum padam dari jiwanya, sesuatu yang membuatnya manusia. Eideth berharap Vista juga sama.

 

Di malam hari, Eideth kesulitan tidur seperti biasa. Ia memutuskan untuk memainkan ponselnya, Ia mendapat kesenangan melihat dunia lamanya tetap hidup walaupun melalui jendela internet. Eideth juga memberi kontribusi sendiri dengan memperbarui sosial media miliknya. Ia bisa mencium bau uang dari video-video baru yang diunggahnya itu. Eideth mengaku Ia tidak merasa perlu uang dunia lamanya, namun keinginannya untuk membeli hal-hal yang dulu Ia kejar sangatlah memuaskan. Eideth seperti mendapat pekerjaan pertamanya dan mendapat gaji untuk memuaskan hobinya.

 

Tiga jam terlewati begitu saja seperti tiga puluh menit. Eideth mendapati dirinya semakin kesulitan untuk tertidur padahal hari sudah semakin larut. Ia mulai memikirkan harinya, menyesali beberapa hal terutama yang barusan terjadi, dan memikirkan hal-hal untuk besok. Eideth mengambil bijih Regalia yang Ia letakkan di samping tempat tidurnya. Ia tidak berharap banyak pada benda itu namun Ia sudah memikirkan sebuah nama untuknya, sama seperti saudaranya yang lain. Lengkap dengan ungkapan panggilan bagaikan puisi singkat sebagai ritual peresmian. Eideth yakin saudaranya tengah melakukan hal yang sama.

 

Zain, didalam kamarnya, sedang memikirkan nama terbaik untuk Regalia miliknya. Ia mengambil banyak sekali inspirasi, namun itu menjadi bumerang membuatnya ragu menetapkan pilihan. Sebuah nama melambangkan identitas, dan Regalia yang ingin mendapatkan sihir atau Talent tertentu perlu nama yang sesuai untuk memancingnya. Setelah dua jam mengeliminasi sebuah nama, Zain mendapatkan pilihan terbaiknya.

 

Ia melihat kertas itu diatas kepalanya dengan rasa bangga dan puas. Ia bangun dan melihat kamarnya itu yang semakin gelap, Ia tersadar Ia belum selesai menulis kata sambutan untuk ritual kecil pembentukan Regalia mereka. Zain menggaruk kepalanya dengan kesal selagi menuliskan puisinya. Konsentrasinya terhenti sejenak saat memikirkan bagaimana saudaranya yang lain menyiapkan bijih Regalia mereka.

 

Irena, masih belum tidur mengintip Ayahnya yang belum berhenti bekerja di kantornya. Belakangan ini pekerjaan Ayahnya semakin banyak dan Irena sedikit frustrasi karena tidak bisa membantu lebih banyak lagi. Irena menyelipkan sebuah surat dibawah pintu lalu segera kembali ke kamarnya agar tidak dimarahi. Agareth yang menyadari surat itu segera mengambilnya tahu Irena baru saja disana. Ia menghela nafas lalu mengukir senyuman pahit di wajahnya.

 

"Irena, anak itu… kenapa kalian begitu mirip seperti Kami" gumam Agareth selagi kembali ke mejanya. Agareth sadar dirinya dan saudarinya menjadi contoh untuk anak-anak mereka. Karakter mereka merupakan refleksi sempurna dari generasi sebelumnya. Ia tidak tahu apakah itu takdir, namun Ia merasa kebahagiaan yang aneh dalam hatinya, merasa bangga karena memiliki seorang penerus. Mengikuti surat itu, Agareth berhenti dan pergi beristirahat.

 

Kembali ke kamarnya, Irena akhirnya memutuskan nama dari Regalianya itu dan menuliskan puisinya miliknya. Ia menuangkan emosi dan keinginan terdalamnya dalam puisi itu. Dengan harapan puisi itu menjadi doa yang menuntunnya hingga Ia terkabulkan. Irena tahu jalan yang Ia ingin tempuh bukanlah hal yang mudah. Namun dengan dukungan dari keluarganya Ia bertekad untuk memenuhi ekspektasi itu. Selesai menyelesaikan pekerjaan rumah mereka, ketiga saudara itu masih cukup terjaga. Mereka bertiga pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka kemudian tidur mengharapkan hari esok cepat tiba.