Setelah sarapan, semua orang pergi melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Zain mengajak Eideth untuk sparring dengannya. "Aku menolak" jawab Eideth dengan jelas. Eideth bercerita senjatanya rusak ketika melawan Apostle, Ia ingin pergi ke pandai besi Barak untuk memperbaiki senjatanya. Zain mengesampingkan niatnya dan ingin ikut bersama, Irena juga ingin diajak. Eideth minta izin kepada orang tuanya untuk pergi, Vista tidak tertarik dan lebih memilih untuk menunggu di kastil. Gerard meminta untuk ikut, Ia ingin menghabiskan waktu dengannya sebelum Eideth pergi ke Akademi.
Menaiki kereta kuda, perasaan nostalgia itu kembali. Mereka berempat duduk didalam kereta kuda, mengetahui tempat favorit masing-masing. Mereka mulai mengobrol seperti hari-hari yang lalu namun semua orang telah berubah meskipun sedikit. Irena dan Zain bercerita mereka sudah mencapai tingkatan baru dalam pelatihan Teknik sihir mereka. "Aku tidak pernah melihat sisi bibi Vinesa saat latihan seperti itu, menghadapinya secara langsung benar-benar… ugh…" bulu kuduk Irena berdiri mengingat pengalaman itu. Irena segera sadar ada Gerard disana, memohon padanya untuk tidak mengatakan apa-apa. Ia yakin kakaknya tidak akan memberitahu, tapi Ia tidak terlalu mengenal Gerard.
"Tenang saja Nyonya, percakapan ini takkan keluar dari kereta tanpa seizin Kalian, Aku berjanji akan hal itu" Gerard meyakinkannya. Irena menyandarkan punggungnya di bantalan tempat duduk, menghela nafasnya yang berat. Tanpa mereka sadari, mereka sudah mencapai kota. Jalanan kota yang ramai dengan pejalan kaki dan pengelana dari luar kota bertemu untuk berjualan dan bekerja. Melewati jalanan itu, mereka tiba didepan sebuah bangunan yang menjadi langganan kastil Raziel.
Eideth mengambil perlengkapannya yang hendak di perbaiki selagi Irena dan Zain masuk terlebih dahulu. "Permisi" panggil mereka, udara panas dari dalam tempat itu tampaknya tidak mengganggu mereka sama sekali. Mereka bisa mendengar keluhan dari belakang, "suara itu, Haah…, apa mereka sudah mematahkannya lagi, sebentar, Aku datang". Dibalik tirai menuju ruangan selanjutnya, seorang Dwarf keluar dengan wajah masam. Ia menaiki tangga kecilnya untuk mencapai meja yang cukup tinggi itu.
"Apa yang Kalian mau…" mulut Barrak berhenti bicara melihat seorang pria muda yang sudah lama tidak Ia jumpai. "Hehey, lihatlah, seorang petualang kembali ke rumahnya, apa kabarmu Eid" Ia menyapanya dengan ramah. "Hey, mengapa Kamu tidak pernah menyapa Kami seperti itu" tegur Irena, "Aku akan menyapa Kalian seperti itu jika Kalian tidak mematahkan pedang Kalian setiap saat" balas Balak. Mereka tidak bisa berkomentar terhadap hal itu.
"Aku baik-baik saja, terima kasih Balak, Aku ingin melakukan perbaikan" pinta Eideth. "Aku sudah duga… Aku tidak akan bersikap ramah untuk waktu yang lama, tunjukkan perlengkapanmu" suruh Balak. Eideth membuka kain yang membungkus perlengkapannya. Betapa terkejutnya mereka perlengkapan Eideth tidak seperti yang mereka bayangkan.
Pedang dan belati Eideth masih dalam kondisi yang baik, namun Ia tidak bisa mengatakan hal yang sama pada baju pelindung dan tongkatnya. Eideth membawa dua baju pelindung, sebuah Chainmail yang Ia pakai di dalam pelindung kulit, dan juga pelindung dada. Keduanya memiliki sebuah lubang tepat ditengah dada menembus hingga ke punggung. "Apa yang terjadi" tanya Balak. "Aku di tusuk oleh seorang Apostle, tapi tenang saja, seperti yang Kalian lihat, Aku baik-baik saja".
Selanjutnya, mereka melihat tongkat Eideth yang menjadi patahan-patahan kecil. Zain meminta penjelasan kali ini. "Ini senjata yang kupakai melawan Apostle, Aku memukul kepalanya dan menghancurkan Flatline begitu" balasnya. Eideth meminta maaf pada Balak karena mematahkan tongkat yang diberikan olehnya. "Jadi, tongkatku mengalahkan seorang Apostle huh…" Balak membalikkan wajahnya menjauhi mereka.
Eideth tidak tahu apakah Ia membuat Balak kesal, tapi Zain dan Irena menunjukkan jari mereka padanya. Balak berbalik setelah mengusap matanya, "jadi Apa yang ingin Kamu lakukan dengan ini" Ia bertanya. "Apa Kamu ada pengganti, Aku sangat menyukai tongkat ini" pinta Eideth. Balak menanyakan perubahan itu, hampir seluruh keluarganya memakai pedang.
"Aku tidak ingin membunuh orang" balasnya, "setelah Talentku bangkit, terkadang Aku kehilangan kendali atas kekuatanku, Aku tidak ingin membunuh orang secara tidak sengaja, karena setiap nyawa itu berharga". Eideth tidak ingin mendapat serangan kritis disaat yang tidak disangka-sangka. Ia memiliki kekuatan untuk mencurangi kematian, dan Ia tidak ingin menjadi sombong karena itu. Balak dan Eideth terdiam, menatap begitu dalam ke mata masing-masing.
Balak membungkus patahan Flatline kedalam sebuah kantung kain. Ia pergi ke belakang untuk mengambil sesuatu, Zain dan Irena segera mengusik Eideth untuk perkataannya tadi. "Kata-kata yang bagus Kak" Irena menepuk pundak Eideth, Zain merangkul lehernya. Balak kembali dan membawa sebuah peti kecil. Ia membuka gemboknya menggunakan kunci khusus. Didalam kotak itu terdapat tiga buah bijih mineral berwarna putih.
"Keluargaku, Woodforge adalah bagian dari pendiri Raziel terdahulu, Kami pada awalnya bukanlah sebuah pandai besi melainkan pandai kayu, karena Kakek moyang Kalian membentuk perjanjian dengan Kakek moyangku, Keluarga Kami memutuskan untuk tetap tinggal di Raziel untuk mendukung Kalian. Aku rasa sudah waktunya Kalian mendapat senjata Kalian" ujar Balak. Istri Balak, Chalia, seorang Elf keluar mengikuti suaminya. "Awalnya Kami hanya memberi ini pada Raziel yang sudah Kami pandang layak dan dewasa, tapi itu tampak tidak adil untuk saudara Kalian yang lain" ujar Chalia.
Dengan nada kasarnya, Balak menyuruh mereka untuk mengambil bijih-bijih itu. Masing-masing dari mereka mendapat satu. Seketika mereka meraba tekstur bijih itu, Mereka segera tahu sensasi spesial yang mereka rasakan. "Ini… sama seperti senjata Ayah dan Bibi" tanya Irena yang pertama menyadari hal tersebut. Balak mengungkapkan Ayah dan Bibi mereka juga mendapat bijih yang sama ketika mereka masih muda. Eideth juga berkata Ia melihat kesamaan yang sama dari senjata paman mereka di desa.
"Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai, ish… Bijih itu adalah bahan untuk membuat senjata sihir bernama Regalia" ungkap Balak. "Regalia…" cetus tiga saudara itu bersamaan, "maaf…" mereka segera menundukkan kepala mereka. "Seperti yang kalian tahu Regalia adalah senjata yang dapat menampung sihir, setelah penelitian bertahun-tahun, Regalia dapat diberi sebuah Talent, semua Regalia ciptaanku adalah Regalia dengan Talent [indestructible], sehingga mereka tidak dapat dihancurkan secara sempurna" jelas Balak.
"Sayangnya, Talent [Indestructible] itu tidak sempurna, kerusakan pada senjata itu adalah sesuatu yang tidak bisa terelakkan, di penghujung hari, mereka hanyalah lempengan besi yang sulit dihancurkan" ungkap Chalia. "Itu sudah lebih dari cukup untuk Kalian, benar bukan" sambung Balak. "Terima kasih banyak" ungkap ketiga saudara tersebut.
"Apa yang akan Kami lakukan dengan bijih ini" tanya Zain. "Dengan sihir keluarga Kami, Woodforge, Kami tidak perlu menempa bijih itu untuk membuat senjata pada umumnya, Kalian hanya perlu menanam bijih itu di tempat yang memiliki aliran Mana yang kuat untuk tumbuh" jelas Barrak. Melihat wajah yang dipenuhi antusias itu, Balak yakin mereka tidak terlalu mendengarkannya, Ia mengambil baju zirah Eideth yang rusak itu. "Kalau Kalian masih punya pertanyaan, baca saja petunjuk didalam kotak itu, Aku akan sibuk memperbaiki baju zirah ini, jadi Kalian pulang sana" usir Balak.
Mereka bertiga berterima kasih pada Chalia karena Balak sudah lebih dulu masuk ke dalam. Mereka bertiga kesulitan berjalan lurus karena mata mereka begitu terpaku pada kotak itu. Gerard harus menuntun mereka kedalam kereta kuda agar mereka bisa segera kembali ke kastil. Tidak bisa tenang di tempat duduk mereka, jari mereka bergetar ingin membuka kotak itu. Untung saja Irena yang mengamankan kotaknya hingga mereka pulang, sebenarnya Ia juga hampir tidak sabar.
"AYAH, IBU" teriak mereka begitu pulang ke rumah. Satu kastil mendengar teriakan mereka itu. Agareth dan Lucia tidak mendengar karena mereka berada di ruang kerja, namun insting mereka mengatakan bahwa anak-anak mereka memanggil. "Sayang, apa Kamu merasakan itu" tanya Agareth, "iya, Aku juga merasakan hal yang sama, anak-anak sudah pulang, haa… sudah lama Kita tidak merasakan ini, ayo Kita lihat mereka" ajak Lucia. Agareth menunda pekerjaannya dan ikut bersama istrinya pergi keluar. Mereka pergi ke ruang keluarga seperti yang biasa mereka lakukan.
Insting orang tua mereka benar ketika ketiga remaja itu mengerumuni mereka seperti anak kecil. Mencoba menarik perhatian mereka untuk mendengarkan sebuah cerita. Senyum terukir di wajah pasangan itu, mereka melihat pada satu sama lain, tahu mereka merasakan nostalgia dari kejadian itu. "Ehem, anak-anak, tenang, coba ceritakan apa yang terjadi".
Mereka mulai bercerita bahwa mereka sudah mendapat pengakuan Balak untuk memiliki Regalia mereka sendiri. "Kak Eid yang lulus penilai Balak, sehingga Kami mendapat bijih ini" jelas Irena. "Biar Ibu tebak, Kalian tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan bijih itu" tebak Lucia. Menggaruk kepala mereka dan melihat kearah lain, tebakan itu tidak bisa disangkal sama sekali. "Kalian sama saja seperti Ayah dan Bibi Kalian", Lucia meminta mereka untuk membuka peti itu dan membaca petunjuk di dalamnya.
Terdapat sebuah kertas perkamen yang sudah kusam dan tua, di dalam kompartemen tersembunyi dibawah bijih itu. Irena mulai membaca petunjuk yang tertulis disana, "setelah bertahun-tahun meneliti penciptaan Regalia, Kami menemukan cara untuk meningkatkan kesempatan Regalia Kalian untuk memiliki Talent. Kami telah memodifikasi sihir Kami untuk membaca ekspektasi Kalian terhadap Regalia, Kami menyarankan untuk membawanya selama satu hari untuk membuka diri Kalian sendiri pada bijih itu, sebelum menanamnya di tempat yang penuh Mana, buat senjata yang bagus Kalian dengar, tertanda Aldebaran Woodforge". Agareth tampak begitu hafal dengan isi petunjuk itu, meminta Irena untuk menyimpannya kembali ke dalam kotak itu. "Untuk generasi selanjutnya" gumamnya dengan pelan.
"Jadi Kami harus membawa bijih ini untuk latihan" simpul Zain. "Itu tidak sepenuhnya benar," jawab Agareth, "menurut Ayah sendiri, bijih itu membutuhkan semacam inspirasi, Ia seperti sebuah cermin yang meniru pemiliknya, lihat Regalia Ayah". Agareth menunjukkan Regalia miliknya, sebuah gada bintang yang tampak normal, "Regalia ini memiliki Talent [Charges], Ayah dapat menyimpan sihir dari Talent Ayah, [Impact], untuk digunakan dalam berbagai cara". Mereka sedikit memahami apa yang Ayah mereka ingin sampaikan.
"Kita tidak tahu pasti Talent apa yang mungkin muncul dalam Regalia itu, tapi Kita harus mencoba membuatnya mendapat Talent yang dapat memperkuat kemampuan yang sudah Kita miliki" sambung Agareth. Mengingat pesan Agareth, mereka mulai memikirkan rencana mereka untuk meningkatkan kedekatan dengan Regalia itu. Zain berpikir untuk menyempurnakan mantra sihir yang sudah Ia buat kemarin, berharap untuk meningkatkan peluang Regalia miliknya mendapat sihir yang bagus. Zain bertanya pada Irena apa yang Ia akan lakukan. "Ada deh, Kakak lihat saja nanti" Irena tidak mau memberi petunjuk.
Eideth tampak memikirkan sesuatu begitu dalam, "Ibu, Ayah, dimana sebaiknya Kami menanam bijih ini, Aku tidak yakin Kita bisa menanamnya di halaman Kastil" tanya Eideth. Zain tidak berpikir sampai kesana, Ia mengira bijih Regalia itu pastinya memerlukan begitu banyak Mana. Kebutuhan Mana untuk kastil Raziel melatih prajurit tidak akan cukup, membuat mereka tak punya banyak pilihan yang tersedia.
"Bagaimana kalau Kita pergi ke Murath" usul Agareth. Eideth menaikkan kedua alisnya, hampir melupakan Murath, lokasi Menara Sixen yang mereka serang enam bulan lalu. Menara Sixen merupakan tambang Mana buatan yang diciptakan oleh Dewa dunia lain untuk merusak Artleya, menciptakan korosi sambil menarik persediaan Mana disekitar. Setelah Menara Sixen di hancurkan, sumur Mana yang terhubung langsung dengan syaraf Mana dunia menjadi milik kediaman Raziel.
Count Raziel telah mengamankan Murath dalam wilayah kekuasaannya. Kota Raziel mendapat banyak keuntungan dari peluasan wilayah itu, banyak lahan baru terbuka mengundang masyarakat untuk menetap. Ditambah Count Raziel menambah program pelatihan prajurit di tahun itu, membuat kota menjadi semakin ramai. Agareth berkata bahwa Murath masih dalam tahap pembangunan, mereka membangun fasilitas untuk menghadapi jika Menara Sixen itu bangkit kembali.
"Ayah bangga padamu Eideth, Kamu melakukannya dengan baik di Desa Aliansi Gobbi, temanmu itu, Sang Kepala Desa, menyampaikan kabarnya padamu ketika Ia berkunjung kemari" ungkap Agareth. "Terima kasih Ayah… tunggu, Gobbi kemarin datang kemari" tanya Eideth balik pada Ayahnya meminta penjelasan. Agareth berkata Gobbi meminta bantuan Count Raziel untuk mengesahkan wilayah mereka di mata Kekaisaran, meskipun mereka tidak berniat bergabung dengan Kekaisaran, mereka ingin membentuk hubungan kerja sama.
Eideth berpikir itu masuk akal. Desa Aliansi Gobbi terletak dekat dengan wilayah kekuasaan Raziel, namun lokasinya terlalu jauh dari wilayah Kekaisaran. Gobbi memahami lokasi desa mereka tidak akan terjamin keselamatannya dibawah Kekaisaran dan bisa terkena konflik dari Kerajaan lain. Menegakkan otoritas terhadap tanah mereka sendiri itu adalah keputusan yang bijak.
"Apa Kakak tahu, Gobbi masih belum memakai cermin sihir yang Kakak berikan padanya, Ia sangat berhati-hati menjaga benda itu dengan baik" ujar Zain. Eideth akhirnya tahu mengapa Gobbi tidak pernah mengirim kabar padanya, baik itu sebuah pesan ataupun panggilan telepon. Ia kemudian mendapat ide untuk menjahili Gobbi dengan menelponnya lebih dulu. Setelah memutuskan tempat mereka menanam bijih Regalia itu, mereka memulai proses pendekatan dengan cara mereka sendiri. Irena dan Zain memutuskan untuk mengunci diri di kamar sementara Eideth masih punya urusan lain.
Begitu kembali ke kamarnya, Zain meletakkan bijih Regalia itu dengan baik di atas meja, kemudian mengambil perkamen sihir yang Ia kerjakan disebelahnya. Ia berharap Talent yang didapat Regalia itu dapat membantu sihir cahaya. Zain yakin Ia dapat bertambah kuat, agar bisa mengejar Kakaknya. Eideth menyadari Ia perlu mengasah Talent miliknya sendiri menyadari Ia takkan mampu melampaui kakaknya hanya dengan Teknik dan Mantra sihir. "Aku tidak boleh lemah, Aku masih punya banyak hal yang harus kulakukan, jadi Aku butuh bantuanmu Regalia ku". Zain mulai meluapkan semua perasaannya pada pekerjaannya itu. Impian, ketekunan, prinsip, pengalamannya, Ia ceritakan semua pada bijih itu.
Selesai menulis mantra sihir itu, Zain merasa malu pada dirinya sendiri karena berbicara pada sebuah batu. Ia bisa mendengar suara Loefel menertawainya namun itu cuma pendapatnya sendiri, Loefel tidak pernah melakukan itu. Zain memutuskan untuk berbaring di atas kasurnya membawa bijih itu selagi Ia menjernihkan pikirannya. Ruangan itu begitu sunyi, namun Zain mendengar suara kepalanya menggema di dalam sana.
Zain mengangkat tangannya di atas kepala, melihat kapalan yang kasar di telapak tangannya itu. "Aku yakin tangan kakak lebih kasar". Zain mulai mengingat kembali saat-saat Kakaknya melampaui dirinya di saat-saat kritis, beberapa kejadian saat mereka masih kecil hingga kejadian di hutan enam bulan lalu. Zain selalu memikirkan cara baru untuk melewati tembok itu, namun Ia masih belum berhasil. Ia mendapat banyak saran dari keluarga dan temannya untuk menembus batasannya itu, tapi saran dari mereka selalu berakhir "tetap bersabar dan terus berjuang". Daripada merenung dalam kekesalan, Zain memutuskan untuk melihat saudaranya yang lain.
Zain pergi mencari Irena, ke tempat istimewa yang sering Ia kunjungi. Di bagian utara Kastil terdapat sebuah pos pemantau, Irena mengambil alih tempat itu menjadi tempat bersantainya. Agareth bertanya mengapa Irena begitu bersikeras ingin memiliki tempat itu dan Ia menjawab tempat itu memiliki pemandangan sempurna untuk melihat kastil dan kota mereka. Tapi Zain tahu niat Irena yang sebenarnya menginginkan tempat itu. "Kamu disini Irena" panggil Zain
Irena tengah mengawasi kantor kerja ayahnya seperti biasa. Sedari kecil, Ia selalu tertarik dengan tempat itu, bercita-cita ingin menjadi kepala keluarga dari Raziel. Impiannya itu cukup aneh mengingat Ia anak bungsu dari tiga bersaudara, namun Irena menemukan minat yang dalam tentang itu. Saat kecil Ia begitu senang mendengar kedua kakaknya berkata mereka tidak ingin menjadi kepala keluarga saat dewasa dan ingin berpetualang seperti paman dan bibi mereka. Untuk Irena, menjadi penerus Count adalah Impian terbesarnya.
Irena belajar dari contoh teladan yaitu ayahnya bahwa Ia tidak bisa menjadi pemimpin hanya dengan kepintaran saja, Ia juga harus bertambah kuat mengingat status keluarganya yang mengikuti militer. Ia berusaha sebaik mungkin untuk menyeimbangkan latihan dan belajar untuk menjadi penerus kepala keluarga. Zain mendapati Irena memata-matai kantor Ayah mereka seperti biasa. Entah bagaimana penyadap yang Irena letakkan di dalam kantor itu tidak pernah ketahuan sehingga Irena bisa mendengar semua percakapan penting disana.
Di waktu senggangnya, Irena belajar lewat mendengar ayahnya bekerja. Ia mengenal situasi rumah dan politik Kekaisaran lebih baik dari saudaranya yang fokus berlatih. Irena tahu apa yang Ia harus lakukan untuk mempersiapkan diri mengambil posisi impiannya itu. Ia tahu dengan baik menjadi seorang pemimpin bukan hanya tentang kekuatan namun disertai kebijaksanaan. Irena berharap Regalianya dapat membantu mewujudkan mimpinya itu.
"Irena", "kak Zain" itu adalah sapaan yang begitu canggung karena mereka berdua tengah fokus, mereka sudah biasa mengapa satu sama lain seperti itu. "Kamu melihat Kak Eid", "Kakak penasaran apa yang Kak Eid lakukan ya, Aku juga sama, ayo Kita cari dia" ajak Irena. Adiknya itu meminta waktu sebentar untuk membereskan tempat favoritnya itu sebelum mereka pergi. "Ayo Kita pergi" ujar Irena.
Mereka berdua pergi mencari Eideth ke seluruh Kastil, Irena sampai menyarankan untuk menanyakan Vista jika Ia mengetahui keberadaannya. Meski Zain tidak ingin melakukan ide itu, Ia berpikir untuk mengecek tingkah lakunya selagi mengikuti Irena. "Aku tidak tahu kakak Kalian kemana, tinggalkan Aku sendiri" Vista tengah latihan seorang diri di ujung lapangan untuk memperkuat fisiknya. Zain sedikit kesal dengan balasan Vista tapi Ia tidak perlu meluapkan emosi. "Aku tidak yakin Eideth latihan fisik dengan kondisinya saat ini, mungkin Ia pergi membaca atau semacamnya" saran Vista. Mendengar itu, mereka pergi ke satu tempat terakhir yang belum mereka cari.
Melirik ke dalam perpustakaan, mereka melihat Eideth tengah membaca catatan-catatan yang ditinggalkan oleh leluhurnya. Mereka berpikir itu ide yang cukup cemerlang. Mereka mengungkit beberapa waktu dimana mereka berdiskusi tentang Talent seperti apa yang dapat mendukung mereka untuk menjadi lebih kuat. Mereka bertiga selalu membayangkan bagaimana leluhur mereka bertarung bersama lewat cerita yang dibacakan untuk mereka. Setiap kisah dimana leluhur bertarung bersama, mereka melakukan serangan kombinasi yang spektakuler untuk mengalahkan lawan mereka.
"Kak, ngapain" Irena datang menyapa. "Aku cuma membaca catatan milik paman dan kakek, siapa tahu bijih Regalia ini menciptakan Talent yang serupa seperti mereka, Aku memiliki beberapa kombinasi yang terlihat menarik untuk kupelajari" balas Eideth. "Kita belum pernah bercerita dengan satu sama lain tentang Talent milik Kita, apa Kakak mau bercerita" tanya Zain. Eideth sedikit terharu mendapat ajakan tersebut, "ya, sudah lama Kita tidak seperti ini, terakhir kali karena melawan bibi Vinesa bukan" Eideth mengungkit kembali trauma lama mereka itu. Tubuh mereka menggigil serentak bernostalgia kembali seperti mengulangi momen itu untuk kedua kalinya. "Kakak jangan begitu dong, rasanya jadi aneh" ujar Irena. Mereka tertawa bersama setuju untuk tidak mengungkit kenangan itu lagi.
"Jadi, apa yang Kakak pelajari dari Talent milik Kakak" tanya Zain. Irena juga sama penasarannya, Eideth seperti sudah terbiasa menggunakan Talent miliknya hanya dalam waktu yang singkat hingga dapat mengalahkan Apostle. "Sulit kujelaskan, rasanya Aku tidak akan mampu mencapai potensi maksimal dari Talent ini hingga beberapan tahun lagi" balas Eideth. "Jangan begitu Kak, Kami tidak bisa mengalahkan Apostle setelah mendapat Talent Kami selama sebulan seperti Kakak, meskipun Kakak dibantu oleh Dewi, Kakak pasti bekerja keras" ujar Irena. Ia meminta Eideth untuk menjelaskan Talent miliknya itu. "Jadi Talentku itu sebenarnya…"