Chereads / The Exciled Queen / Chapter 7 - Rindu Ayah

Chapter 7 - Rindu Ayah

"Kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat, kesabaran adalah permulaan kesembuhan."

Alice Sandara, 1974.

Cahaya gemerlap itu menerangi lamunan sang ratu di malam hari. Ratu Alice duduk termenung di taman istana sambil menatap ribuan cahaya bintang di atas langit. Melamun, ia memikirkan tentang kematian ayahnya yang masih misterius hingga detik ini. Kematian sang ayah benar-benar seperi kematian yang tak wajar, Ratu Alice pun belum sempat mendengar ucapan terakhir sang ayah atau isyarat yang menandakan ayahnya akan pergi untuk selamanya.

"Alice ... bolehkah aku menemani lamunanmu?"

"Kalau tak boleh ... aku pergi saja."

Raja Albert tiba-tiba datang menghampiri istrinya yang tengah melamun sedih di taman istana.

"Sayang ... temani aku di bawah bintang-bintang ini, ya." ujar Ratu Alice.

"Apa yang membuatmu melamun, istriku? Perihal bola kristal atau rencana meditasiku?" tanya Raja Albert kepada istrinya itu.

Dengan lirih, Ratu Alice menjawab pertanyaan Raja Albert.

"Aku ... aku merindukan Ayah, sangat."

"Sampai detik ini, aku masih tidak tahu penyebab dari kematin Ayah ..."

Raja Albert pun mendekati Ratu Alice sembari mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi yang merona itu.

"Jelas itu perbuatan Valeria, Alice." Seketika Ratu Alice tercengang dan mendongak ke arah Raja Albert.

"Apa maksudmu? Jadi selama ini kau tahu penyebab kematian Ayah? Kenapa kau diam saja? Membiarkanku terperangkap dalam rasa penasaran ini!" Alice marah dan sedikit kesal setelah mendengar perkataan dari sang raja.

"A-alice, aku bukan ingin menutup-nutupi. Justru, aku kira kau sudah tahu akan  penyebab kematian Ayah karena kau tidak pernah bercerita apapun soal Ayah padaku."

"Kematian Ayah itu jelas membuat semua orang di istana ini berduka. Saat itu aku masih memegang tahta sebagai pangeran kerajaan, Alice. Saat itu ..."

Raja Albert pun menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi kepada Alice. Ayah Alice itu memang sengaja dibunuh oleh Valeria secara diam-diam, ditambah saat itu kondisi serta keadaan dari sang ayah mulai melemah karena umurnya yang sudah mulai rentan. Namun, dengan kekuatan sihir jahatnya Valeria bisa membunuh tanpa menyentuh tubuh korbannya sedikitpun. Valeria membuat seluruh tubuh korbannya lumpuh dan terpaku. Hal itulah yang membuat sang ayah dari Alice itu tak bisa berteriak meminta tolong bahkan sekedar memanggil nama Alice saja ia tak kuasa. Setelah ia lumpuh dan terpaku, tiba-tiba sebuah kilatan api datang dari arah luar lalu menghantam dada sang ayah dengan sangat keras. Sang ayah kesakitan namun tak bisa berkata apa-apa, sampai akhirny ia meninggal di tempat saat itu juga. Kematian ayahnya Alice pun kemudian tersebar di seluruh istana. Saat Raja Hamers, pemimpin pertama Kerjaan Andora serta ayah dari Raja Albert  itu ingin mengunjungi kediaman Alice, rumah itu sudah terlihat kosong. Tak ada satupun orang yang ada di dalamnya. Rupanya, bertepatan saat Raja Hamers datang, Alice saat itu sudah mengikuti ajakan Valeria untuk pergi ke rumahnya

"Licik! Benar-benar iblis wanita itu!" Sontak Alice langsung marah setelah mendengar penjelasan dari Raja Albert.

"Alice, Valeria merupakan keturunan akhir dari keluarga penganut ilmu gelap. Seluruh seisi istana tahu betul siapa dan bagaiman keluarga itu ..."

"Dan kau tahu? Ayahku juga berhutang budi pada ayahmu atas jasanya menyelamatkan Kerajaan Andora. Itu sebabnya kini aku semakij bertekad untuk lebih mencintai dan menjaga putrinya."  ujar Raja Albert.

Alice yang tadinya gelap mata akan kemarahannya terhadap  Valeria pun seketika reda dan memeluk tubuh suaminya dengan erat. Tangisan pilu pun pecah membasahi pundak Raja Albert.

"Aku paham betul perasaanmu ini, Alice. Aku berjanji padamu, tidak akan ku biarkan wanita iblis itu kembali datang untuk menghancurkan hidupmu." ujar Raja Albert.

****

Sang fajar pun terbit dan menyinari awal hari di istana.  Terlihat suasana di istana tampak berjalan seperti biasanya.

"Albert, apa kau akan berlatih pedang lagi hari ini? tanya Alice kepada Raja Albert.

"Kenapa? Masih mau menantangku, ya? Aku tidak berlatih pedang hari ini, tapi aku akan pergi tepi bukit bersama beberapa prajurit." sahut Raja Albert.

"Untuk apa? Kenapa tidak mengajakku?" Alice menunjukkan wajah kesalnya.

"Alice, aku pergi ke tepi bukit hanya untuk melatih kecepatan kuda-kuda di istana, sudah lama aku tak melatih mereka."

"Apapun alasannya, aku tetap ingin ikut!" Alice pun menekuk wajahnya lalu pergi meninggalkan Raja Albert.

"Meski sudah jadi seorang ratu, Alice masih saja terlihat seperti anak kecil dimataku."

Raja Albert pun akhirnya memutuskan untuk mengajak Ratu Alice ikut bersamanya ke tepi bukit bersamaan dengan para prajurit lainnya. Suara ketukan serentak dari kuda-kuda yang ditunggangi mereka pun seakan mengiringi perjalanan mereka hingga sampai ke tepi bukit.

Saat sampai di tepi bukit.

"Alice, bukit ini adalah satu-satunya tempat terakhir para rakyat Andora untuk menyelamatkan diri saat perang dahulu."

"Mereka bersembunyi di bukit ini dan sebagian membuat rumahnya sendiri." jelas Raja Albert.

"Itu tandanya, bukit ini tidak diketahui oleh musuh kerajaan?" tanya Ratu Alice.

"Bukan, namun bukit ini sering dicampahkan bahkan tidak dianggap ada oleh para musuh."

"Kenapa begitu?"

"Karena bukit ini dulunya sangat gersang, gundul dan bahkan tidak ada kehidupan. Jadi para musuh berpikir jika para rakyat Andora tidak akan hidup dan bersembunyi di bukit ini karena tidak ada bahan makanan atau sebagainya."

Mendengar penjelasan sang suami, Alice pun mendongakkan kepalanya lalu melihat bukit yang hijau nan besar itu. Kini bukit yang dulunya gersang telah berubah menjadi tempat ternyaman bagi makhluk alam bebas.

"Selama aku tinggal di hutan, aku belum pernah melihat bukit ini." ujar Alice.

"Itu karena kau berada dalam jeratan sihir Valeria." sahut Raja Albert.

Raja Albert dan para prajurit pun turun dari atas kuda dan memberikannya makanan yang berasal dari bukit itu. Kuda-kuda Andora itu dengan lahapnya memakan rumput-rumput hijau yang disediakan oleh bukit.

"Albert, setelah melihat bukit ini aku kembali teringat dengan kehidupanku yang dulu saat masih bersama Ayah." ucap Ratu Alice.

"Melupakan orang yang kita amat sayang itu memang tidaklah mudah, Alice. Bahkan tidak akan pernah bisa dilupakan. Tapi kau harus ingat satu hal, orang yang telah pergi meninggalkan dunia ini sudah mendapatkan tempat yang semestinya di sana ..."

"Mungkin kini Ayah tengah menikmati masa bahagianya di alam surga. Meskipun ia tak lagi bersamamu, namun aku berjanji untuk bisa menjadi sosok suami serta sosok seorang ayah untukmu." Raja Albert tersenyum sambil memegang kedua tangan lembut istrinya.

"Terima kasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku, Albert ..."

"Kau tidak pernah membiarkanku berlarut-larut dalam kesedihan. Kau adalah bentuk rasa syukur yang selalu aku agung-agungkan, Albert." Air mata pun berlinang di kedua bola mata Alice.