Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkanlah dengan tidak mengharap apa-apa kembali. Maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia ini baik dan mengasihani orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan orang-orang jahat (Lukas 6:35)
Dalam kehidupan ini, tidak dapat dihindari bahwa kita akan mengalami konflik dengan sesama. Konflik bisa muncul dalam berbagai situasi dan dengan beragam intensitas. Namun, sebagai orang percaya, panggilan kita adalah mengelola konflik dengan kasih, sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus.
Ayat pendukung kita dari Lukas 6:35 mengingatkan kita tentang pentingnya kasih dalam mengelola konflik. Yesus mengajarkan agar kita kasih dan berbuat baik kepada musuh kita, serta tidak mengharapkan apa-apa kembali. Kebanyakan orang mungkin akan merespons konflik dengan emosi negatif seperti kemarahan, dendam, atau balas dendam. Namun, sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk merespons konflik dengan kasih, seperti yang diperlihatkan oleh Kristus.
Mengelola konflik dengan kasih bukanlah hal yang mudah, terutama ketika kita merasa sakit hati atau merasa tidak adil. Namun, ketika kita memilih untuk berkasih, kita membuka peluang bagi rekonsiliasi dan pemulihan hubungan yang rusak. Kasih adalah kekuatan yang mampu menyembuhkan luka dan mengatasi perbedaan.
Ketika kita berbicara tentang mengelola konflik dengan kasih, tidak berarti bahwa kita harus mengabaikan masalah atau merendahkan diri. Sebaliknya, mengelola konflik dengan kasih berarti memiliki hati yang terbuka untuk mendengarkan, berbicara dengan lemah lembut, dan mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam surat Yakobus 1:19 tertulis, "Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, hendaklah setiap orang cepat mendengar, lambat berbicara, dan lambat menjadi marah." Ketika kita belajar untuk mendengarkan lebih dulu sebelum merespons, kita memberikan kesempatan bagi diri kita sendiri dan orang lain untuk mengerti perspektif masing-masing dan menemukan titik temu.
Mengelola konflik dengan kasih juga berarti mencari kebaikan dan kepentingan orang lain. Ketika kita mengutamakan kepentingan orang lain di atas diri kita sendiri, kita menunjukkan sikap rendah hati dan mempraktikkan kasih yang tulus.
Contoh nyata mengenai mengelola konflik dengan kasih dapat ditemukan dalam kisah perempuan berdosa yang dibawa kepada Yesus dalam Yohanes 8:1-11. Para pemimpin agama waktu itu ingin menjatuhkan Yesus dengan menguji-Nya tentang hukum Musa. Mereka membawa seorang perempuan yang tertangkap berbuat zina dan ingin menghukumnya sesuai dengan hukum Taurat. Namun, Yesus menunjukkan kasih-Nya yang besar ketika Ia berkata, "Siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama kali melemparkan batu kepadanya." (Yohanes 8:7). Melalui perkataan ini, Yesus mengingatkan kita bahwa kita semua berdosa dan tidak pantas untuk menghakimi orang lain. Ia menunjukkan kasih dan belas kasihan kepada perempuan itu, dan dengan lemah lembut menasihatinya untuk pergi dan berdosa tidak lagi.
Dalam situasi konflik, Yesus tidak menyembunyikan kebenaran atau mengabaikan dosa, tetapi Ia menunjukkan kasih tanpa pamrih. Ia mengajak perempuan berdosa itu untuk bertaubat dan mengubah hidupnya. Kasih Yesus adalah kasih yang memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berubah dan bertobat.
Ketika kita mengelola konflik dengan kasih, kita juga memperlihatkan karakter Kristus yang penuh pengampunan. Dalam surat Kolose 3:13, rasul Paulus menuliskan, "Bertoleransilah terhadap seorang yang lain dan ampunilah orang yang mempunyai keluhan terhadap kamu; sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, demikian juga hendaklah kamu mengampuni." Ketika kita mengampuni orang lain, kita memperlihatkan kasih yang nyata dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki kesalahan mereka.
Mengelola konflik dengan kasih juga berarti menghindari pembicaraan yang bernada sinis atau menyakiti perasaan orang lain. Dalam surat Efesus 4:29 tertulis, "Janganlah ada perkataan kotor atau kiasan-kiasan tolol atau lelucon-lelucon cabul, yang semuanya itu tidak patut, melainkan perkataan-perkataan syukur." Ketika kita berbicara dengan kata-kata yang lembut dan penuh kasih, kita membawa damai dan mencegah terjadinya konflik lebih lanjut.
Mengelola konflik dengan kasih juga berarti mencari cara kreatif untuk menyelesaikan perbedaan atau masalah. Ketika kita berfokus pada solusi dan mencari jalan tengah yang menguntungkan semua pihak, kita memberikan peluang bagi harmoni dan persatuan.
Konflik dalam kehidupan ini tidak selalu bisa dihindari, tetapi kita dapat mengelola konflik dengan kasih dan bijaksana. Kasih adalah bahasa universal yang mampu menyembuhkan dan menyatukan hati yang terluka. Marilah kita hidup sebagai saluran berkat bagi orang lain dengan mengelola konflik dengan kasih, sehingga dunia ini dapat melihat Kristus yang tinggal dalam diri kita. Amin.